Minggu, 04 Januari 2015

Sudah Waktunya Untuk Pindah



Dia menghilang lagi. Seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah.
Aku melirik handphone yang seharian ini tidak mengeluarkan bunyi apapun. Tidak ada notifikasi apapun, tidak ada pesan, tidak ada panggilan satupun. Tidak masalah sih, aku sudah terbiasa dengan keadaan ini. Cuma yang sedikit membuatku gelisah adalah orang itu. Dia tidak lagi usil mengirimiku pesan. Sejak rencana pertemuan kami yang gagal itu, dia tidak lagi mengusikku dengan pesan singkatnya. Dia menghilang, seperti  yang sudah aku prediksikan sebelumnya dengan Riris.
“Pasti setelah ini dia bakalan ngilang lagi deh,” ucapku pada Riris di sela-sela mengerjakan artikel untuk aku post di blog pribadiku.
Riris yang tengah asyik menonton drama Korea di laptopnya langsung memalingkan wajahnya ke arahku dengan tatapan sebal, “Olla Mikhaila yang polosnya bukan main, bukannya kamu tau sendiri kalau dia emang selalu begitu sama kamu kan? Selalu, Olla. SELALU! Udah deh nggak usah sok ngeluh gitu”, ucap Riris ketus.
“Kenapa harus selalu begitu, ya? Kenapa dia bisa seenaknya bersikap begitu sama aku? kayak ngga ada rasa bersalahnya apa gimana gitu. Ya paling engga dia bilang ‘kita ketemunya lain kali  ya’ atau apa kek. Dia mah...”
“Kamu masih aja ngarepin dia? Ya ampun Olla..”, Riris menepuk dahinya sendiri seraya menggelengkan kepalanya.
“Bukan gitu, Ris. Cuma aku heran aja, dia kayak nggak ada inisiatif ngajakin ketemuan lagi apa gimana. Dia kok hobi banget nyiksa perasaan aku gini ya? Aku bingung deh, sebenarnya aku pernah berbuat jahat apa sih sama dia sampai dia setega ini sama aku?”
“Nah kan, mulai lagi dramanya. Udah lah, La. Kalau dia nggak ngabarin kamu lagi ya nggak usah diharapin lagi, nggak perlu kamu tunggu lagi. Jangan bikin nyesek perasaan kamu sendiri lah.”
“Aku begini karena aku masih pengen ketemu dia, Ris. Aku pengen banget ketemu Irham lagi”.
“Itu kan kamu yang pengen. Si Irhamnya sendiri pengen juga nggak? Realistis aja, kalau dia emang niat dan pengen ketemu kamu, pasti dia udah ngusahain buat ketemu. Tapi kamu lihat nyatanya kayak gimana, dia nggak bersungguh-sungguh dengan apa yang dia udah katakan sendiri.”
“Ya, dia malah ngilang lagi sekarang”, ucapku lesu.
“Nah, itu tau. Udahlah, masih banyak ada hal lain yang lebih penting buat kamu pikirin daripada kamu ngabisin waktu buat si Irham kunyuk itu.”
*
Jam dinding kafetaria menunjukan pukul 11 siang. Belum waktunya makan siang sih sebenarnya, tapi berhubung tidak ada mata kuliah pada jam segini, lebih baik aku nongkrong di kafetaria sambil menulis artikel untuk blog pribadiku yang lama tak terurus.
Di tengah aku menulis, aku merasa ada seseorang yang mendekati mejaku. Begitu aku menoleh..
“Hey, Olla. Lagi ngapain?”, sapanya dengan ramah diikuti senyumnya yang sumringah.
“Hey, Fabian. Lagi nulis-nulis aja nih buat blog”, sahutku seraya tersenyum.
Melihat Fabian berdiri di depanku begini aku jadi teringat kejadian sewaktu di rumah sakit beberapa minggu yang lalu. Saat dia menyatakan perasaanya padaku dan memelukku dengan begitu hangat.
Seketika aku langsung berpikir, kenapa waktu itu aku tidak menerima perasaannya ya? Jika saja aku menerima perasaannya kemudian menjadi pacarnya, mungkin sekarang aku tidak perlu lagi pusing soal Irham yang datang dan menghilang seenaknya itu.
“Oh, temanya tentang apaan? Lihat dong, boleh ngga?”, Fabian mengambil kursi kemudian duduk di sebelahku. Tercium aroma parfumnya yang khas.
Mendadak aku merasa ada degupan kencang begitu kepala Fabian dan kepalaku saling bersentuhan pelan. Terlebih ketika desahan nafasnya yang terasa di pipiku.
Tunggu, aku tidak sedang gugup karena Fabian kan?
“Kamu baru kena PHP seseorang, La?”, tanya Fabian sambil matanya tak lepas dari layar laptopku.
“Ah, engga kok. Iseng aja nulis begituan, buat isi-isi blog doang”, jawabku sekenanya.
Fabian tidak menyahut, dia asyik membaca tulisanku yang baru setengah jadi sambil mengangguk sesekali. Tampangnya terlihat begitu serius. Dan jujur saja, melihatnya seperti itu membuat perasaanku membaik.
“Tulisan kamu bagus ya, simpel sih keliatannya tapi enak dibaca”, puji Fabian.
“Sori nih, aku nggak ada receh buat bayar gombalan kamu,” ujarku dengan nada bercanda. Fabian terkekeh pelan.
“Aku serius tau, tulisan kamu tuh cakep. Udah coba buat ngirim ke penerbit?”
Aku menggeleng, “Jangankan ke penerbit, ngirim buat majalah aja seringkali ditolak. Cuma di mading kampus doang nih yang langsung diterima terus dipajang.”, aku tersenyum kecut.
“Lah, kok nadanya pesimis gitu? Ya kamu coba lagi dong La, jangan berhenti berusaha.”
“Penginnya sih gitu, tapi gimana ya, rasanya udah capek aja berkali-kali ditolak. Apalagi ditolaknya dengan berbagai alasan, yang katanya monoton lah, yang katanya mainstream lah, klise lah, apa lah, ini lah, itu lah. Aku udah berkali ngirim cerpen dengan berbagai tema loh padahal, tapi tetep aja dapet alasan penolakan yang sama. Capek, ah.”, aku mengibaskan tangan di depan mukaku.
Fabian tersenyum simpul mendengar keluhanku.
“Kamu kok lucu gitu ya, La?”
“Hah?”
“Iya, lucu. Aku kira kamu orangnya selalu punya semangat, nggak gampang nyerah, penuh kerja keras dan punya rasa optimis tinggi. Tapi kayaknya perkiraan aku salah ya?”
Aku tertegun. Seketika bibirku terkunci, tidak bisa merespon ucapannya yang begitu menusuk hingga bagian organ terdalam.
“Aah, sorry sorry, omonganku terlalu sotoy ya? hehe, maaf La, nggak bermaksud menyinggung kok”, ucap Fabian begitu menyadari kediamanku yang cukup lama.
Aku menggeleng pelan, “Nggak, Yan. Kamu bener. Tapi dimana letak kelucuan yang kamu maksud?”
“Oh, itu. Kalau aku bilang sih, wajah kamu yang lucu. Menipu.”
“H-hah?”
“Sorry, tapi menurutku pribadi, wajah kamu itu wajah yang bisa menginspirasi. Tapi ternyata wajah kamu menipu, aslinya malah kamu orangnya gampang pesimis. Hehe, aku sotoy banget ya?”
DEG! Aku baru pertamakali menemui hinaan berbau pujian seperti itu. Menohok sekali.

“Aahh, ganti topik deh, ganti topik!”, aku mengalihkan pembicaraan. Fabian Cuma terkekeh sambil mendorong bahuku pelan.
Namun begitu aku hendak melanjutkan mengetik, tiba-tiba mataku menangkap sosok bayangan yang belakangan ini menghilang dan baru saat ini dia muncul lagi di kafetaria kampus. Lelaki tinggi berambut ikal yang akrab dengan jaket Adidas putih dan terkenal dengan senyumnya yang menawan ; Remy Anggara.
Tidak, tidak. Aku tidak sedang dalam keadaan ingin melihatnya, yang ada aku malah sudah tidak begitu peduli lagi tentang dia. Selama ini aku baik-baik saja meski tak melihatnya di kampus, aku bahkan tidak merasa rindu atau terbayang akan wajahnya. Ya, sekarang aku sungguh baik-baik saja, tanpa dia.
“Kamu ngeliatin siapa?”, tanya Fabian yang sepertinya mengamati arah pandanganku.
“Oh. Itu ada temenku”, jawabku seadanya.
“Siapa? Remy?”
Aku tersentak kaget. Fabian ini cenayang atau apa sih? Eh tunggu, kalau diingat, Fabian dan Remy kan berada dalam satu fakultas yang sama. Entah mereka satu kelas atau tidak.
“Kamu kenal sama dia?”, tanyaku dengan wajah dongo.
Fabian mengangguk, “Iya kenal. Bukan temen sekelas sih, cuma beberapa kali kami ketemu di acara seminar.”
Aku ber-Oh panjang.
“Kamu juga akrab sama Remy?”
“Yaa kalau dibilang akrab sih lumayan, dulu.”
“Dulu? Berarti sekarang udah nggak?” tanyanya. Uh, sepertinya Fabian mulai kepo.
Aku mengangguk.
“Kenapa? Kok bisa?”, tanya Fabian lagi. Dia benar-benar kepo ternyata.
“Aku juga nggak tau kenapa bisa begitu. Susah dijelasin deh”, jawabku sekenanya. Jujur saja aku malas menceritakan awal mula bagaimana aku bisa dekat dengan Remy hingga renggang seperti sekarang pada Fabian. Apa untungnya?
“Atau dulunya kalian ini pernah pacaran?”
Aku mendengus, “Pacaran? Boro-boro. Yang ada aku kena jebakan friendzone”, Okay, sekarang aku malah membuka aibku sendiri.
Fabian terbelalak, “Jadi kamu korban friendzone-nya Remy juga?”
Aku tertegun, “Barusan kamu bilang ‘juga’?”
“Iya, banyak teman cewekku yang kena juga. Nggak tau deh gimana ceritanya, tau-tau mereka heboh gitu kalau liat Remy.”
“Heboh?”
Fabian mengangguk, “Suka teriak gitu, ngedumel sendiri, katanya Remy itu PHP, tukang friendzone. Selidik punya selidik, Remy itu suka kalau ditaksir sama banyak cewek, makanya sikapnya seenaknya begitu sama yang suka sama dia. Kayak.. ”
“Semacam ngasih harapan tapi habis itu ditinggal gitu aja?”, potongku.
“Nah, persis!”
Alhamdulillah, aku tidak meneruskan perasaan (bodoh) itu.
“Ternyata begitu.”, aku mengangguk seraya meneguk lemon tea-ku.
“Ya begitulah, selain tenar diantara cewek-cewek fakultas hukum, dia juga terkenal tuh di fakultas teknik. Apalagi teknik sipil. Dan nggak aku sangka, kamu juga sempat suka sama dia”, ucap Fabian dengan nada meledek. Matanya seolah mengejekku ‘bodoh Lo! Olla bego!’
“Yan, kamu nggak lagi ngejek aku dalam hati kan?”
Fabian melongo, “Hah? Ngapain aku ngejek kamu, La?”
“Karena aku pernah naksir sama orang kayak dia.”
“Loh, apa salahnya naksir sama orang kayak dia? Buat urusan hati mah ngga ada yang salah kali, yang ada Cuma ‘nggak tepat waktu’.”
“Iya sih, kamu bener juga.”
“Eh, lanjutin nulisnya dong!”, Fabian menunjuk laptopku.
“Ah, iya bentar. Aku mau nengok facebook dulu.”
“Hah? Kamu masih main facebook? Kuno banget ih, dasar alay!”
Aku melotot tajam pada Fabian. Kontan dia mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.
Begitu aku membuka akun facebookku, yang terlihat pertamakali adalah sebuah status dari akun bernama..
“Irham..”, ucapku lirih.
Dan akhirnya dia muncul kembali. Bukan lewat pesan singkat, tapi muncul dalam linimasa akun facebookku. Entah aku harus menangis bahagia atau berteriak kesal melihatnya.
“Siapa tuh? Kamu kenal?”, tanya Fabian, mulai kepo lagi.
“Temen.”, jawabku singkat. Kali ini aku benar-benar enggan membahas pria bernama Irham Ramadhan itu.
“Dulunya dia anak band SMA bukan? Kayaknya aku juga pernah ketemu sama dia deh.”
OMAIGAT FABIAN! Siapa kamu ini sebenarnyaaa?! Kenapa semuanya kamu kenaal?! Sebuah kebetulan yang aneh.
Aku bertanya penuh antusias, “Hah? Kok tau? Kamu ketemu di mana?”
“Dulu dia di SMA 20 kan? Nama bandnya.. apa tuh ya? Lupa.”
“Veloz band.”
“Nah itu! Dulu dia pernah ngisi acara pensi SMA aku sama bandnya. Aku bahkan sempat kolaborasi sama dia.”
“Emang kamu bisa nyanyi?”
“Bukan jadi vokalis sih, tapi aku jago main drum loh,” kata Fabian, membanggakan dirinya.
“Gitu ya?”
“Dia mantan kamu?”
Good question, Fabian.
“Iya, mantan. Mantan gebetan,” jawabku lesu. “Ah udah ah, ngga usah bahas orang itu.”
“Dari cara pandang kamu ngeliat akun dia aja aku langsung tau kalau kamu menyimpan something, La. Ngga ada salahnya kan kalo kamu share ke aku?”
“Terus kalau aku udah share ke kamu, setelah itu apa?”
“Sebenarnya aku udah tau masalah kamu sama Irham dari Aldi dan Riris.”
Aku tercengang. Apa dia bilang? Aldi dan Riris? Ohh, bagus ya! Kenapa mereka mulutnya ember banget?!
“Nah itu kamu udah tau kan, terus ngapain aku ceritain lagi?”
Fabian menggeleng, “Aku memang tau, tapi akan lebih afdol aku dengar langsung dari si empunya kan?”
Aku menghela napas pendek.
“Intinya.. aku masih nggak bisa menyingkirkan segalanya tentang dia dari dalam otak sampai hati aku, Yan. Aku masih terlalu sayang sampai aku keliatan kayak orang bego begini. Ya, aku memang sempat suka sama beberapa orang, pernah pacaran pula. Tapi semuanya nggak bisa bikin aku lepas dari bayang-bayang seorang Irham. Sikap dia yang sering datang kemudian hilang semaunya bikin aku kacau sekacau-kacaunya. Mau lupain gimana kalau dia nggak menghilang secara total.”
“Kamu ngedoain dia mati?”
“Bukan gitu!”, duh ini Fabian kenapa malah ngelawak?
“Aku Cuma mau dia nggak muncul lagi dihadapan aku, aku bakal lebih tenang kalau dia nggak ngasih kabar. Iya sih, bakal kangen banget nantinya. Tapi itulah yang terbaik, kupikir.”
Fabian mengangguk mendengar curahan hatiku. Entah dia benar-benar mengerti atau Cuma sok mengerti.
“Belakangan aku tau kalau dia udah nggak punya pacar lagi. Dan dia beberapa kali ngasih kabar dan sempat ngajak ketemuan. Tapi ternyata cuma omong doang, karena akhirnya aku nggak ketemu dia sama sekali. Padahal aku kira kami bakal dekat lagi kayak dulu. Yah, mungkin aku aja yang terlalu banyak berharap”, aku tersenyum miris.
Fabian mengalihkan pandangannya ke laptopku, kemudian menggeser pointer dan mengklik sebuah foto.
“Kamu bilang dia udah putus, tapi kenapa yang aku lihat beda begini ya?”, tanya Fabian dengan nada retoris, begitu menunjukkan foto sepasang pria dan wanita dengan background pemandangan pantai lengkap dengan sunset-nya yang indah. Sebuah foto yang membuat perasaanku terganggu, sekaligus menegaskan alasan mengapa Irham tak lagi usil mengirimiku pesan. Pahit sekali. Namun mau tak mau harus aku telan dan rasakan. Karena bagaimanapun juga, Irham memiliki jalan hidupnya sendiri, dan aku tidak berhak mencampurinya dengan perasaan seperti ini.
Aku tersenyum, “Kayaknya dia udah berhasil pindah dengan cepat.”
Yang lebih tepat ingin aku katakan adalah, ‘ternyata kami memang tidak berjodoh.’
“Lalu gimana sama kamu?”, tanyanya lagi.
“Aku? Aku kenapa?”
“Kamu kapan pindah?”
Lagi, pertanyaan yang bagus dari Fabian. Saking bagusnya aku sampai tidak tau harus menjawab apa. Aku hanya merespon dengan senyum tipis.
Tanganku menggeser pointer ke bawah, melihat satu persatu status yang terpampang di linimasaku. Namun tak lama pandanganku kembali terhenti pada sebuah postingan foto.
“Siapa?”, Fabian mulai kepo lagi.
“Dia? Kamu kan bisa baca sendiri, namanya Odie Ananta.”, jawabku asal.
“Siapanya kamu?”
“Kenapa kamu jadi kepo banget?”
Fabian terkekeh. “Sorry..”
Aku menggeleng pelan. Kemudian kembali memandang foto itu dengan nanar. Sebuah foto sepasang kekasih yang memamerkan cincin putih di jari manis mereka masing-masing dengan senyum bahagia. Aku iri melihatnya, sungguh iri.
“Kamu pengin posting foto begitu juga?”
“Kenapa nanya begitu?”
“Ya habisnya kamu ngeliatnya penuh penghayatan banget sampai nggak berkedip begitu.”
“Hah? Masa?”
Fabian memandangku dengan tatapan penuh simpati. Apa aku begitu kasihan di matanya ya?
“Kamu juga harus segera pindah, La. Emang nggak capek stuck di satu tempat terus?”
“Capek lah. Tapi kan kamu tau, kalau pindah nggak semudah pengucapannya.”
“Ah, kata siapa? Buktinya nih..eh, bentar”, suara dering handphone terdengar dari kantong celana Fabian. Sepertinya ada sebuah pesan masuk. Mataku melihat ekspresi Fabian yang senang ketika membaca pesan-yang-entah-dari-siapa itu.
“La, lusa kamu kosong nggak?”
“Nggak tau, mungkin Cuma ada kelas pagi. Kenapa?”
“Ah, gini. Cewek aku ulang tahun, aku mau minta temenin kamu nyari kado buat dia. Bisa nggak?”
Aku tercengang. “H-hah? ‘Cewek’ kamu bilang?”, ulangku dengan nada setengah tidak percaya.
Fabian mengangguk mantap. “Iya, pacar aku. Baru semingguan ini jadian. Makanya, kamu cepat pindah dong! Masa kalah sama aku.”
Aku tertegun. Begitu mudahnya bagi orang lain untuk pindah secepat itu. Benar-benar membuat iri. Aku pun ingin bisa, tapi kenapa aku merasa begitu sulit?
“Okey, lusa jam 2 siang. Gimana?”
“Ah, oke kalau gitu.”
“Ya udah, kamu lanjutin nulisnya ya, pacar aku udah keluar kelas tuh. Jangan lupa, buruan pindah ya!”, ucap Fabian dengan senyum lebar. Kemudian berlari meninggalkan aku yang termangu di kafetaria kampus.
Dia terlihat begitu gembira. Aku iri. Aku iri kepada mereka yang berhasil pindah dengan mudahnya.
*
TUNG!!
Sebuah notifikasi BBM muncul dari layar handphoneku. Ternyata sebuah ‘undangan’ pertemanan.
Aku tercenung membaca nama si pengundang itu.

Ariel Damar Suryo

Siapa tuh? Kayaknya aku nggak punya teman bernama Ariel Damar Suryo. Abaikan saja lah, toh aku hanya menerima ‘undangan’ dari orang yang benar-benar aku kenal. Malas rasanya kalau menyimpan kontak seseorang yang tidak aku kenal, bisa jadi aku kena penipuan atau pelecehan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Aku sudah menerka kalau itu adalah Riris yang datang karena ingin numpang mandi.
“Woy, air lancar nggak?”
Tuh kan.
“Iya lancar. Air di kosanmu kenapa lagi, Ris?”
“Biasa, masalah pada pipa air PDAM. Kalau begini terus aku mendingan pindah kos aja deh.”, jawab Riris sambil mencari handuk dalam lemariku. Sudah jadi kebiasaan Riris kalau numpang mandi hanya membawa pakaian ganti saja. Urusan sabun, shampo, pasta gigi sampai handuk, semuanya dia ‘pinjam’ dariku. Ya, dia memang cewek yang nggak modal.
“Eh, aku udah cerita tentang Ariel belum sama kamu? Dia udah invite kamu kan?”
Ariel? Ohh jadi ini kerjaannya si kampret ini lagii?!
“Udah. Dia siapa sih?”
“Sepupunya Aldi. Cakep loh orangnya. Bisa main musik, suaranya juga dahsyat loh.”
“Dari mana kamu tau?”
“Tempo hari kami karaokean bareng. Waktu itu kamu aku ajakin malah molor!”
Oohh, lima hari lalu itu ya? Iya sih, aku lebih memilih tidur setelah menghadiri seminar penulisan yang bukannya memberi pencerahan malah menyebar virus kantuk luar biasa.
Accept aja, La. Aku jamin dia nggak bakal bosenin deh orangnya. Di mana lagi kamu bisa kenal sama cowok cakep bersuara merdu yang jago hampir semua alat musik dan juga ternyata bisa masak kayak chef chef yang di tivi itu, La! Di mana lagi coba?!”, kata Riris dengan penuh energi. Aku melihatnya sambil membayangkan ada api berkobar di atas kepalanya.
“Kenapa kamu ngotot gitu sih?”
Riris mendengus, kemudian melemparku dengan handuk. “Ini anak nggak pernah ada ngertinya juga ya? Ya biar kamu dapet pacar lah, Olla! Sampai kapan mau stuck sama Irham terus, hah?”
Aku tertegun.
Jadi harus segera pindah ya?
*
Mataku memandang sekeliling. Mana dia? Sudah sepuluh menit berlalu sejak jarum pendek menunjuk angka 3. Okay Olla, sabar saja. Kamu udah terbiasa buat menunggu kan? Aku menghibur diriku sendiri.
Tak lama ada sebuah colekan di bahuku. Nah, dia datang juga akhirnya.
“Sorry, tadi susah nyari tempat parkiran. Kalau weekend rame banget sih.”, ujarnya tanpa aku tanya.
Aku mengangguk, “No problemo.”
“Maaf ya aku tadi harus kuliah dulu, jadi nggak bisa jemput kamu deh.”, ucapnya.
“Ngga apa-apa, tadi aku juga ada kelas pagi kok. Lagian kalau aku nggak dateng duluan, bisa-bisa kita nggak kebagian kursi”, kataku sambil menunjukkan dua lembar tiket di tangan.
“Jadi, telat berapa menit nih?”
“Lebih tepatnya lima menit lagi filmnya mulai. Buruan masuk!”

Aku dan dia pun memasuki studio dengan kedua jari yang saling mengait satu sama lain. Sebuah awal mula yang tidak terlalu buruk untuk kencan pertama.

Yeah. Pada akhirnya aku sampai juga di tahap itu. Dan.. ya. Aku berhasil pindah.