Dia
menghilang lagi. Seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah.
Aku melirik
handphone yang seharian ini tidak mengeluarkan bunyi apapun. Tidak ada
notifikasi apapun, tidak ada pesan, tidak ada panggilan satupun. Tidak masalah
sih, aku sudah terbiasa dengan keadaan ini. Cuma yang sedikit membuatku gelisah
adalah orang itu. Dia tidak lagi usil
mengirimiku pesan. Sejak rencana pertemuan kami yang gagal itu, dia tidak lagi
mengusikku dengan pesan singkatnya. Dia menghilang, seperti yang sudah aku prediksikan sebelumnya dengan
Riris.
“Pasti
setelah ini dia bakalan ngilang lagi deh,” ucapku pada Riris di sela-sela
mengerjakan artikel untuk aku post di blog pribadiku.
Riris yang
tengah asyik menonton drama Korea di laptopnya langsung memalingkan wajahnya ke
arahku dengan tatapan sebal, “Olla Mikhaila yang polosnya bukan main, bukannya
kamu tau sendiri kalau dia emang selalu begitu sama kamu kan? Selalu, Olla.
SELALU! Udah deh nggak usah sok ngeluh gitu”, ucap Riris ketus.
“Kenapa
harus selalu begitu, ya? Kenapa dia bisa seenaknya bersikap begitu sama aku?
kayak ngga ada rasa bersalahnya apa gimana gitu. Ya paling engga dia bilang
‘kita ketemunya lain kali ya’ atau apa
kek. Dia mah...”
“Kamu masih
aja ngarepin dia? Ya ampun Olla..”, Riris menepuk dahinya sendiri seraya
menggelengkan kepalanya.
“Bukan gitu,
Ris. Cuma aku heran aja, dia kayak nggak ada inisiatif ngajakin ketemuan lagi
apa gimana. Dia kok hobi banget nyiksa perasaan aku gini ya? Aku bingung deh,
sebenarnya aku pernah berbuat jahat apa sih sama dia sampai dia setega ini sama
aku?”
“Nah kan,
mulai lagi dramanya. Udah lah, La. Kalau dia nggak ngabarin kamu lagi ya nggak
usah diharapin lagi, nggak perlu kamu tunggu lagi. Jangan bikin nyesek perasaan
kamu sendiri lah.”
“Aku begini
karena aku masih pengen ketemu dia, Ris. Aku pengen banget ketemu Irham lagi”.
“Itu kan
kamu yang pengen. Si Irhamnya sendiri pengen juga nggak? Realistis aja, kalau
dia emang niat dan pengen ketemu kamu, pasti dia udah ngusahain buat ketemu.
Tapi kamu lihat nyatanya kayak gimana, dia nggak bersungguh-sungguh dengan apa
yang dia udah katakan sendiri.”
“Ya, dia
malah ngilang lagi sekarang”, ucapku lesu.
“Nah, itu
tau. Udahlah, masih banyak ada hal lain yang lebih penting buat kamu pikirin
daripada kamu ngabisin waktu buat si Irham kunyuk itu.”
*
Jam dinding
kafetaria menunjukan pukul 11 siang. Belum waktunya makan siang sih sebenarnya,
tapi berhubung tidak ada mata kuliah pada jam segini, lebih baik aku nongkrong
di kafetaria sambil menulis artikel untuk blog pribadiku yang lama tak terurus.
Di tengah
aku menulis, aku merasa ada seseorang yang mendekati mejaku. Begitu aku
menoleh..
“Hey, Olla.
Lagi ngapain?”, sapanya dengan ramah diikuti senyumnya yang sumringah.
“Hey,
Fabian. Lagi nulis-nulis aja nih buat blog”, sahutku seraya tersenyum.
Melihat
Fabian berdiri di depanku begini aku jadi teringat kejadian sewaktu di rumah
sakit beberapa minggu yang lalu. Saat dia menyatakan perasaanya padaku dan
memelukku dengan begitu hangat.
Seketika aku
langsung berpikir, kenapa waktu itu aku tidak menerima perasaannya ya? Jika
saja aku menerima perasaannya kemudian menjadi pacarnya, mungkin sekarang aku
tidak perlu lagi pusing soal Irham yang datang dan menghilang seenaknya itu.
“Oh, temanya
tentang apaan? Lihat dong, boleh ngga?”, Fabian mengambil kursi kemudian duduk
di sebelahku. Tercium aroma parfumnya yang khas.
Mendadak aku
merasa ada degupan kencang begitu kepala Fabian dan kepalaku saling bersentuhan
pelan. Terlebih ketika desahan nafasnya yang terasa di pipiku.
Tunggu, aku
tidak sedang gugup karena Fabian kan?
“Kamu baru
kena PHP seseorang, La?”, tanya Fabian sambil matanya tak lepas dari layar
laptopku.
“Ah, engga
kok. Iseng aja nulis begituan, buat isi-isi blog doang”, jawabku sekenanya.
Fabian tidak
menyahut, dia asyik membaca tulisanku yang baru setengah jadi sambil mengangguk
sesekali. Tampangnya terlihat begitu serius. Dan jujur saja, melihatnya seperti
itu membuat perasaanku membaik.
“Tulisan
kamu bagus ya, simpel sih keliatannya tapi enak dibaca”, puji Fabian.
“Sori nih,
aku nggak ada receh buat bayar gombalan kamu,” ujarku dengan nada bercanda.
Fabian terkekeh pelan.
“Aku serius
tau, tulisan kamu tuh cakep. Udah coba buat ngirim ke penerbit?”
Aku
menggeleng, “Jangankan ke penerbit, ngirim buat majalah aja seringkali ditolak.
Cuma di mading kampus doang nih yang langsung diterima terus dipajang.”, aku
tersenyum kecut.
“Lah, kok
nadanya pesimis gitu? Ya kamu coba lagi dong La, jangan berhenti berusaha.”
“Penginnya
sih gitu, tapi gimana ya, rasanya udah capek aja berkali-kali ditolak. Apalagi
ditolaknya dengan berbagai alasan, yang katanya monoton lah, yang katanya
mainstream lah, klise lah, apa lah, ini lah, itu lah. Aku udah berkali ngirim
cerpen dengan berbagai tema loh padahal, tapi tetep aja dapet alasan penolakan
yang sama. Capek, ah.”, aku mengibaskan tangan di depan mukaku.
Fabian
tersenyum simpul mendengar keluhanku.
“Kamu kok
lucu gitu ya, La?”
“Hah?”
“Iya, lucu.
Aku kira kamu orangnya selalu punya semangat, nggak gampang nyerah, penuh kerja
keras dan punya rasa optimis tinggi. Tapi kayaknya perkiraan aku salah ya?”
Aku
tertegun. Seketika bibirku terkunci, tidak bisa merespon ucapannya yang begitu
menusuk hingga bagian organ terdalam.
“Aah, sorry
sorry, omonganku terlalu sotoy ya? hehe, maaf La, nggak bermaksud menyinggung
kok”, ucap Fabian begitu menyadari kediamanku yang cukup lama.
Aku
menggeleng pelan, “Nggak, Yan. Kamu bener. Tapi dimana letak kelucuan yang kamu
maksud?”
“Oh, itu.
Kalau aku bilang sih, wajah kamu yang lucu. Menipu.”
“H-hah?”
“Sorry, tapi
menurutku pribadi, wajah kamu itu wajah yang bisa menginspirasi. Tapi ternyata
wajah kamu menipu, aslinya malah kamu orangnya gampang pesimis. Hehe, aku sotoy
banget ya?”
DEG! Aku
baru pertamakali menemui hinaan berbau pujian seperti itu. Menohok sekali.
“Aahh, ganti
topik deh, ganti topik!”, aku mengalihkan pembicaraan. Fabian Cuma terkekeh
sambil mendorong bahuku pelan.
Namun begitu
aku hendak melanjutkan mengetik, tiba-tiba mataku menangkap sosok bayangan yang
belakangan ini menghilang dan baru saat ini dia muncul lagi di kafetaria kampus.
Lelaki tinggi berambut ikal yang akrab dengan jaket Adidas putih dan terkenal
dengan senyumnya yang menawan ; Remy Anggara.
Tidak,
tidak. Aku tidak sedang dalam keadaan ingin melihatnya, yang ada aku malah
sudah tidak begitu peduli lagi tentang dia. Selama ini aku baik-baik saja meski
tak melihatnya di kampus, aku bahkan tidak merasa rindu atau terbayang akan
wajahnya. Ya, sekarang aku sungguh baik-baik saja, tanpa dia.
“Kamu
ngeliatin siapa?”, tanya Fabian yang sepertinya mengamati arah pandanganku.
“Oh. Itu ada
temenku”, jawabku seadanya.
“Siapa?
Remy?”
Aku
tersentak kaget. Fabian ini cenayang atau apa sih? Eh tunggu, kalau diingat,
Fabian dan Remy kan berada dalam satu fakultas yang sama. Entah mereka satu
kelas atau tidak.
“Kamu kenal
sama dia?”, tanyaku dengan wajah dongo.
Fabian
mengangguk, “Iya kenal. Bukan temen sekelas sih, cuma beberapa kali kami ketemu
di acara seminar.”
Aku ber-Oh
panjang.
“Kamu juga
akrab sama Remy?”
“Yaa kalau
dibilang akrab sih lumayan, dulu.”
“Dulu?
Berarti sekarang udah nggak?” tanyanya. Uh, sepertinya Fabian mulai kepo.
Aku
mengangguk.
“Kenapa? Kok
bisa?”, tanya Fabian lagi. Dia benar-benar kepo ternyata.
“Aku juga
nggak tau kenapa bisa begitu. Susah dijelasin deh”, jawabku sekenanya. Jujur
saja aku malas menceritakan awal mula bagaimana aku bisa dekat dengan Remy
hingga renggang seperti sekarang pada Fabian. Apa untungnya?
“Atau
dulunya kalian ini pernah pacaran?”
Aku
mendengus, “Pacaran? Boro-boro. Yang ada aku kena jebakan friendzone”, Okay,
sekarang aku malah membuka aibku sendiri.
Fabian
terbelalak, “Jadi kamu korban friendzone-nya Remy juga?”
Aku
tertegun, “Barusan kamu bilang ‘juga’?”
“Iya, banyak
teman cewekku yang kena juga. Nggak tau deh gimana ceritanya, tau-tau mereka
heboh gitu kalau liat Remy.”
“Heboh?”
Fabian
mengangguk, “Suka teriak gitu, ngedumel sendiri, katanya Remy itu PHP, tukang
friendzone. Selidik punya selidik, Remy itu suka kalau ditaksir sama banyak
cewek, makanya sikapnya seenaknya begitu sama yang suka sama dia. Kayak.. ”
“Semacam ngasih
harapan tapi habis itu ditinggal gitu aja?”, potongku.
“Nah,
persis!”
Alhamdulillah,
aku tidak meneruskan perasaan (bodoh) itu.
“Ternyata
begitu.”, aku mengangguk seraya meneguk lemon tea-ku.
“Ya
begitulah, selain tenar diantara cewek-cewek fakultas hukum, dia juga terkenal
tuh di fakultas teknik. Apalagi teknik sipil. Dan nggak aku sangka, kamu juga
sempat suka sama dia”, ucap Fabian dengan nada meledek. Matanya seolah
mengejekku ‘bodoh Lo! Olla bego!’
“Yan, kamu
nggak lagi ngejek aku dalam hati kan?”
Fabian
melongo, “Hah? Ngapain aku ngejek kamu, La?”
“Karena aku
pernah naksir sama orang kayak dia.”
“Loh, apa
salahnya naksir sama orang kayak dia? Buat urusan hati mah ngga ada yang salah
kali, yang ada Cuma ‘nggak tepat waktu’.”
“Iya sih,
kamu bener juga.”
“Eh,
lanjutin nulisnya dong!”, Fabian menunjuk laptopku.
“Ah, iya
bentar. Aku mau nengok facebook dulu.”
“Hah? Kamu
masih main facebook? Kuno banget ih, dasar alay!”
Aku melotot
tajam pada Fabian. Kontan dia mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.
Begitu aku
membuka akun facebookku, yang terlihat pertamakali adalah sebuah status dari
akun bernama..
“Irham..”,
ucapku lirih.
Dan akhirnya
dia muncul kembali. Bukan lewat pesan singkat, tapi muncul dalam linimasa akun
facebookku. Entah aku harus menangis bahagia atau berteriak kesal melihatnya.
“Siapa tuh?
Kamu kenal?”, tanya Fabian, mulai kepo lagi.
“Temen.”,
jawabku singkat. Kali ini aku benar-benar enggan membahas pria bernama Irham
Ramadhan itu.
“Dulunya dia
anak band SMA bukan? Kayaknya aku juga pernah ketemu sama dia deh.”
OMAIGAT
FABIAN! Siapa kamu ini sebenarnyaaa?! Kenapa semuanya kamu kenaal?! Sebuah
kebetulan yang aneh.
Aku bertanya
penuh antusias, “Hah? Kok tau? Kamu ketemu di mana?”
“Dulu dia di
SMA 20 kan? Nama bandnya.. apa tuh ya? Lupa.”
“Veloz
band.”
“Nah itu!
Dulu dia pernah ngisi acara pensi SMA aku sama bandnya. Aku bahkan sempat
kolaborasi sama dia.”
“Emang kamu
bisa nyanyi?”
“Bukan jadi
vokalis sih, tapi aku jago main drum loh,” kata Fabian, membanggakan dirinya.
“Gitu ya?”
“Dia mantan
kamu?”
Good
question, Fabian.
“Iya,
mantan. Mantan gebetan,” jawabku lesu. “Ah udah ah, ngga usah bahas orang itu.”
“Dari cara
pandang kamu ngeliat akun dia aja aku langsung tau kalau kamu menyimpan something, La. Ngga ada salahnya kan
kalo kamu share ke aku?”
“Terus kalau
aku udah share ke kamu, setelah itu
apa?”
“Sebenarnya
aku udah tau masalah kamu sama Irham dari Aldi dan Riris.”
Aku
tercengang. Apa dia bilang? Aldi dan Riris? Ohh, bagus ya! Kenapa mereka
mulutnya ember banget?!
“Nah itu
kamu udah tau kan, terus ngapain aku ceritain lagi?”
Fabian
menggeleng, “Aku memang tau, tapi akan lebih afdol aku dengar langsung dari si
empunya kan?”
Aku menghela
napas pendek.
“Intinya..
aku masih nggak bisa menyingkirkan segalanya tentang dia dari dalam otak sampai
hati aku, Yan. Aku masih terlalu sayang sampai aku keliatan kayak orang bego
begini. Ya, aku memang sempat suka sama beberapa orang, pernah pacaran pula.
Tapi semuanya nggak bisa bikin aku lepas dari bayang-bayang seorang Irham.
Sikap dia yang sering datang kemudian hilang semaunya bikin aku kacau
sekacau-kacaunya. Mau lupain gimana kalau dia nggak menghilang secara total.”
“Kamu
ngedoain dia mati?”
“Bukan
gitu!”, duh ini Fabian kenapa malah ngelawak?
“Aku Cuma
mau dia nggak muncul lagi dihadapan aku, aku bakal lebih tenang kalau dia nggak
ngasih kabar. Iya sih, bakal kangen banget nantinya. Tapi itulah yang terbaik,
kupikir.”
Fabian
mengangguk mendengar curahan hatiku. Entah dia benar-benar mengerti atau Cuma
sok mengerti.
“Belakangan
aku tau kalau dia udah nggak punya pacar lagi. Dan dia beberapa kali ngasih
kabar dan sempat ngajak ketemuan. Tapi ternyata cuma omong doang, karena
akhirnya aku nggak ketemu dia sama sekali. Padahal aku kira kami bakal dekat
lagi kayak dulu. Yah, mungkin aku aja yang terlalu banyak berharap”, aku
tersenyum miris.
Fabian
mengalihkan pandangannya ke laptopku, kemudian menggeser pointer dan mengklik
sebuah foto.
“Kamu bilang
dia udah putus, tapi kenapa yang aku lihat beda begini ya?”, tanya Fabian
dengan nada retoris, begitu menunjukkan foto sepasang pria dan wanita dengan
background pemandangan pantai lengkap dengan sunset-nya yang indah. Sebuah foto
yang membuat perasaanku terganggu, sekaligus menegaskan alasan mengapa Irham
tak lagi usil mengirimiku pesan. Pahit sekali. Namun mau tak mau harus aku
telan dan rasakan. Karena bagaimanapun juga, Irham memiliki jalan hidupnya
sendiri, dan aku tidak berhak mencampurinya dengan perasaan seperti ini.
Aku
tersenyum, “Kayaknya dia udah berhasil pindah dengan cepat.”
Yang lebih
tepat ingin aku katakan adalah, ‘ternyata kami memang tidak berjodoh.’
“Lalu gimana
sama kamu?”, tanyanya lagi.
“Aku? Aku
kenapa?”
“Kamu kapan
pindah?”
Lagi, pertanyaan
yang bagus dari Fabian. Saking bagusnya aku sampai tidak tau harus menjawab
apa. Aku hanya merespon dengan senyum tipis.
Tanganku
menggeser pointer ke bawah, melihat satu persatu status yang terpampang di
linimasaku. Namun tak lama pandanganku kembali terhenti pada sebuah postingan
foto.
“Siapa?”,
Fabian mulai kepo lagi.
“Dia? Kamu
kan bisa baca sendiri, namanya Odie Ananta.”, jawabku asal.
“Siapanya
kamu?”
“Kenapa kamu
jadi kepo banget?”
Fabian
terkekeh. “Sorry..”
Aku
menggeleng pelan. Kemudian kembali memandang foto itu dengan nanar. Sebuah foto
sepasang kekasih yang memamerkan cincin putih di jari manis mereka
masing-masing dengan senyum bahagia. Aku iri melihatnya, sungguh iri.
“Kamu pengin
posting foto begitu juga?”
“Kenapa
nanya begitu?”
“Ya habisnya
kamu ngeliatnya penuh penghayatan banget sampai nggak berkedip begitu.”
“Hah? Masa?”
Fabian
memandangku dengan tatapan penuh simpati. Apa aku begitu kasihan di matanya ya?
“Kamu juga
harus segera pindah, La. Emang nggak capek stuck di satu tempat terus?”
“Capek lah.
Tapi kan kamu tau, kalau pindah nggak semudah pengucapannya.”
“Ah, kata
siapa? Buktinya nih..eh, bentar”, suara dering handphone terdengar dari kantong
celana Fabian. Sepertinya ada sebuah pesan masuk. Mataku melihat ekspresi
Fabian yang senang ketika membaca pesan-yang-entah-dari-siapa itu.
“La, lusa
kamu kosong nggak?”
“Nggak tau,
mungkin Cuma ada kelas pagi. Kenapa?”
“Ah, gini.
Cewek aku ulang tahun, aku mau minta temenin kamu nyari kado buat dia. Bisa
nggak?”
Aku
tercengang. “H-hah? ‘Cewek’ kamu bilang?”, ulangku dengan nada setengah tidak
percaya.
Fabian
mengangguk mantap. “Iya, pacar aku. Baru semingguan ini jadian. Makanya, kamu
cepat pindah dong! Masa kalah sama aku.”
Aku
tertegun. Begitu mudahnya bagi orang lain untuk pindah secepat itu. Benar-benar
membuat iri. Aku pun ingin bisa, tapi kenapa aku merasa begitu sulit?
“Okey, lusa
jam 2 siang. Gimana?”
“Ah, oke
kalau gitu.”
“Ya udah,
kamu lanjutin nulisnya ya, pacar aku udah keluar kelas tuh. Jangan lupa, buruan
pindah ya!”, ucap Fabian dengan senyum lebar. Kemudian berlari meninggalkan aku
yang termangu di kafetaria kampus.
Dia terlihat
begitu gembira. Aku iri. Aku iri kepada mereka yang berhasil pindah dengan
mudahnya.
*
TUNG!!
Sebuah
notifikasi BBM muncul dari layar handphoneku. Ternyata sebuah ‘undangan’
pertemanan.
Aku
tercenung membaca nama si pengundang itu.
Ariel Damar Suryo
Siapa tuh? Kayaknya aku nggak punya teman bernama Ariel
Damar Suryo. Abaikan saja lah, toh aku hanya menerima ‘undangan’ dari orang
yang benar-benar aku kenal. Malas rasanya kalau menyimpan kontak seseorang yang
tidak aku kenal, bisa jadi aku kena penipuan atau pelecehan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Aku sudah
menerka kalau itu adalah Riris yang datang karena ingin numpang mandi.
“Woy, air lancar nggak?”
Tuh kan.
“Iya lancar. Air di kosanmu kenapa lagi, Ris?”
“Biasa, masalah pada pipa air PDAM. Kalau begini terus
aku mendingan pindah kos aja deh.”, jawab Riris sambil mencari handuk dalam
lemariku. Sudah jadi kebiasaan Riris kalau numpang mandi hanya membawa pakaian
ganti saja. Urusan sabun, shampo, pasta gigi sampai handuk, semuanya dia
‘pinjam’ dariku. Ya, dia memang cewek yang nggak modal.
“Eh, aku udah cerita tentang Ariel belum sama kamu? Dia
udah invite kamu kan?”
Ariel? Ohh
jadi ini kerjaannya si kampret ini lagii?!
“Udah. Dia
siapa sih?”
“Sepupunya
Aldi. Cakep loh orangnya. Bisa main musik, suaranya juga dahsyat loh.”
“Dari mana
kamu tau?”
“Tempo hari
kami karaokean bareng. Waktu itu kamu aku ajakin malah molor!”
Oohh, lima
hari lalu itu ya? Iya sih, aku lebih memilih tidur setelah menghadiri seminar
penulisan yang bukannya memberi pencerahan malah menyebar virus kantuk luar
biasa.
“Accept aja, La. Aku jamin dia nggak
bakal bosenin deh orangnya. Di mana lagi kamu bisa kenal sama cowok cakep
bersuara merdu yang jago hampir semua alat musik dan juga ternyata bisa masak
kayak chef chef yang di tivi itu, La! Di mana lagi coba?!”, kata Riris dengan
penuh energi. Aku melihatnya sambil membayangkan ada api berkobar di atas
kepalanya.
“Kenapa kamu
ngotot gitu sih?”
Riris
mendengus, kemudian melemparku dengan handuk. “Ini anak nggak pernah ada
ngertinya juga ya? Ya biar kamu dapet pacar lah, Olla! Sampai kapan mau stuck
sama Irham terus, hah?”
Aku
tertegun.
Jadi harus
segera pindah ya?
*
Mataku memandang
sekeliling. Mana dia? Sudah sepuluh menit berlalu sejak jarum pendek menunjuk
angka 3. Okay Olla, sabar saja. Kamu udah terbiasa buat menunggu kan? Aku
menghibur diriku sendiri.
Tak lama ada
sebuah colekan di bahuku. Nah, dia datang juga akhirnya.
“Sorry, tadi
susah nyari tempat parkiran. Kalau weekend rame banget sih.”, ujarnya tanpa aku
tanya.
Aku
mengangguk, “No problemo.”
“Maaf ya aku
tadi harus kuliah dulu, jadi nggak bisa jemput kamu deh.”, ucapnya.
“Ngga
apa-apa, tadi aku juga ada kelas pagi kok. Lagian kalau aku nggak dateng
duluan, bisa-bisa kita nggak kebagian kursi”, kataku sambil menunjukkan dua
lembar tiket di tangan.
“Jadi, telat
berapa menit nih?”
“Lebih
tepatnya lima menit lagi filmnya mulai. Buruan masuk!”
Aku dan dia
pun memasuki studio dengan kedua jari yang saling mengait satu sama lain. Sebuah
awal mula yang tidak terlalu buruk untuk kencan pertama.
Yeah. Pada akhirnya
aku sampai juga di tahap itu. Dan.. ya. Aku berhasil pindah.