Sabtu, 28 Januari 2017

Tell Me Why (part 4)

Bosan. Lelah. Gerah.
Entah aku yang sudah jenuh dengan situasi seperti ini atau memang aku tidak pernah menikmatinya,  tapi nyatanya hari ini terasa begitu panjang dan lama.
Masih setia mengikuti dua wanita di depanku yang sibuk melihat display kanan-kiri sambil terus heboh membicarakannya, aku sembari menyibukan diri dengan ponselku. Curhat.
'Anjrit, kesel banget gue hari ini. Bebasin gue, bro. Bebasin!' tulisku kemudian mengirimkannya ke dua temanku yang kadang jadi bajirut itu.
Tak lama salah satu orang membalas, 'Gue juga pengin bebas, bro.Capek'
Ha? Aku tercenung membaca balasan Baim. Kenapa dia? Baru saja mau membalas pesan Baim, mendadak ada seruan yang cukup memekik telingaku.
"Andraa, ayo dong, Nak. Jangan jalan sambil main HP, ah.", tegurnya yang melihatku sibuk dengan ponsel. Aku tersenyum canggung.
"Iya, Tan..eh, Ma."
Wanita paruh baya itu menggeleng pelan, "Kebiasaan kamu ya masih suka panggil Tante, dibilangin suruh panggil Mama aja. Toh ngga lama lagi kan Andra bakal jadi anak Mama juga.", ujarnya seolah tanpa beban, tanpa memperhatikan raut wajahku yang mendadak cengo ketika mendengarnya.
Terlalu cepat anda menyimpulkannya, Nyonya Tua, aku membatin.
"Sayang ayo makan dulu. Mama mau makan apa, Ma?", Ghina, si anak manja ini sepertinya ingin memperlambat waktu agar aku lebih banyak menghabiskannya dengan dia dan Mamanya.
"Mama lagi pengin sop buntut di restaurant langganan kita itu loh, Ghin.", jawab Mama.
Aku terhenyak, "Eh, bukannya itu rada jauh dari Mall ini ya, Ma? Kenapa ngga makan di resto yang ada di sini aja?", aku coba menawar tapi kemudian sebuah cubitan kecil mendarat di lenganku.
"Kalo Mama mau ke sana, ayok. Kebetulan aku juga pengen makan itu, Ma. Udah lama ngga makan sop buntut.", kata Ghina seraya matanya melolot ke arahku.
Sial. Aku kalah.
*
"Makasih loh, Ndra, mau nemenin Mama jalan hari ini. Moga selanjutnya ada kesempatan lagi ya, soalnya masih banyak tempat yang mau Mama datengin bareng Andra dan Ghina.", ucap Mama Ghina begitu turun dari mobil.
Aku tersenyum tipis, "Iya, Ma. Semoga ya."
"Ya udah Ma, Ghina anter Andra balik dulu ya."
"Hati-hati Ghin, jalan lagi ramai banget itu."
Ghina mengangguk kemudian memberi kode untuk tancap gas.
"Andra pamit dulu, Ma.", ucapku seraya melambaikan tangan pelan.

Aku menghela napas panjang. Tiga jam akhirnya berlalu juga. Setelah sampai kos baiknya langsung tidur saja.
"Lihat kan tadi," celetuk Ghina, "Mama tuh begitu penginnya kamu ada buat dia. Pengin kamu jadi anaknya juga. Ngerti ngga sih maksudnya apaan?"
Nah, mulai lagi.
"Iya, jadi menantu kan maksudnya?"
"Kamu udah dikodein kayak gitu bukannya langsung ambil tindakan cepat malah mematung aja. Kamu ngga mau jadi menantu Mamaku?", tanya Ghina yang ingin aku jawab IYA dengan lantang. Tapi jelas saja aku tidak bisa menjawab seperti itu, nyawaku taruhannya.
"Kalau ini masih soal materi, aku ngga maksain kamu buat benar-benar siap dulu kok. Soal itu bisa dipikirin sambil dijalani. Yang penting kan ketegasan kamu dulu yang diutamakan, Ndra."
Lagi-lagi aku menghela napas, "Ngga segampang itu, Ghina. Aku ini laki-laki, calon kepala rumah tangga, jelas aja segalanya harus dipersiapkan matang-matang. Kalau sekarang ini persiapanku belum ada limapuluh persen."
"Kamunya sendiri udah ada usaha buat mewujudkannya apa belum? Jangan-jangan cuma buat alasan doang"
"Ngapain aku buat-buat alasan sedangkan nyatanya memang begitu?"
"Seenggaknya kamu bicarain sesuatu dulu dong sama orangtuaku. Biar mereka ngga kepikiran terus soal kita."
"Ghin, selama ini kita baik-baik aja, ngga ada yang perlu dikhawatirkan"
"Kalau kamu ngga segera bertindak, jelas itu yang mengkhawatirkan. Aku cuma takut bakal..", Ghina menggigit bibirnya, seolah enggan melanjutkan kalimat selanjutnya.
"Takut bakal apa? Bakal pisah?"
"Aku ngga mau kita kayak Namira dan Baim, Ndra"
Aku terhenyak. "Hah? Emang mereka kenapa? Jangan bilang kalau mereka.. putus?"
Tak disangka Ghina mengangguk. Aku tercekat. Pantas saja Baim mengirim pesan seperti itu padaku.
"Kapan?", tanyaku
"Dua hari yang lalu.", jawab Ghina, lesu. "Aku mampir ke kedai Namira, dan di sana dia akhirnya cerita soal itu. Aku sendiri ngga nyangka mereka bisa putus begitu aja."
Aku  mendengus, "Mereka ngga putus begitu aja, pasti ada alasan kuat kenapa mereka ngga bisa sejalan lagi. Aku denger dari Baim kalau Namira ngga mau berkomitmen sama dia. Mungkin itu alasannya."
"Sama kayak kamu, kan?", Ghina mendelik ke arahku.
"Ha? Apaan sih? Kok malah dibalikin ke aku?"
"Ya Namira sama aja kayak kamu, ogah ngomongin soal komitmen."
"Jelas beda jauh lah", bantahku ,"Namira ngga tertarik sama komitmen, sedangkan aku mau, sangat mau, cuma keadaannya aja yang belum memungkinkan."
"Gitu aja alasan kamu sampe SBY jadi presiden lagi."
Dahiku berkerut, "Yakali SBY jadi presiden lagi, ngga mungkin lah!"
"Ya itu maksud aku."
Ah. Aku baru ngeh apa yang diucapkannya.
"Ghina..", tangan kiriku meraih tangan kanannya. Menggenggamnya lembut.
"Aku tuh sama kamu cintanya udah mentok, ngga bisa tengak-tengok ke mana-mana lagi, cuma sama kamu doang. Aku mau nikah kok sama kamu, mau hidup sama kamu sampe tua bangkotan, sampe maut memisahkan. Sekarang aku lagi usaha dulu buat mempersiapkannya, aku harus punya modal yang cukup dulu buat ngehidupin kamu nanti. Aku ngga mau kamu hidup susah gara-gara aku. Lihat sendiri, aku ke mana-mana masih pake motor, masih ngekos, buat DP rumah aja belum ada. Jadi tolong bersabar dulu buat aku ya."
Kali ini aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Ya, biasanya aku paling malas membahas soal ini. Tapi pada akhirnya aku menyadari bahwa memang sudah umurnya untuk memikirkannya. Cuma kadang yang bikin kesal adalah ketidaksabaran Ghina, apa lagi kalau sudah bawa-bawa orangtuanya, menuntutku untuk segera melamar. Tentu saja aku akan melamarnya, segera. Ini cuma soal waktu.
Ah, bukan. Bukan cuma soal waktu. Tapi soal materi juga. Itu yang selalu saja bikin kepala pusing.

Ghina mendorong bahuku pelan saat aku mau menciumnya.
"Lah? Jual mahal amat nggak kayak biasanya."
"Aku ngga mau ciuman di mobil, nanti putus kayak teman kita."
Aku terbelalak, "Namira sama Baim abis ciuman terus putus?!"

to be continued..

Kamis, 26 Januari 2017

Tell Me Why (part 3)

Tepat pukul lima sore, aku menutup kedai kecilku bersamaan turunnya gerimis. Aku merogoh ransel untuk mencari payung, tapi sial, ternyata aku lupa membawanya. Ah sudahlah, berlari sedikit ke halte mungkin tak masalah, toh hanya gerimis.
Tapi begitu aku bersiap untuk pergi dari kedai, sebuah mobil berhenti tepat di depan mataku. Sebuah Grand Livina berwarna silver yang begitu familiar. Ah, dia rupanya. Tanpa pikir panjang aku pun masuk ke dalam mobil itu.
"Mobil lo kapan baliknya dari bengkel, sih?", tanyanya begitu aku memasang seat belt, to the point.
"Ngga tahu," aku mengangkat bahuku, "Kata abang-abangnya sih paling lama dua minggu. Ini kan baru lima harian.Belom dikabarin lagi gue."
"Pastiin sana udah bener apa belom itu mobil." tukasnya.
"Eh gue ngga nyuruh lo buat jemput-jemput gue ya. Masih bisa naik taksi atau bus kok.", balasku sedikit sewot.
Dia melirik ke arahku, mencibir "Ngambek. Gitu aja ngambek. Baperan dasar."
"Lagian lo kayak ngga ikhlas gitu."
"Ikhlas kok ikhlas. Apa sih yang engga buat pacar gue yang tersayang ini, ha?", godanya sambil terkekeh pelan.
"Basi lo, ah.", aku membuang muka, memandangi jalanan yang lumayan ramai sore ini.
"Mau empek-empek ngga?", tawarnya tiba-tiba.
"Ha? Kenapa empek-empek?", tanyaku bingung. Karena biasanya dia menawarkan makan di restaurant cepat saji atau di angkringan Solo.
"Itu, saudaranya Rado baru aja buka warung empek-empek gitu. Gue penasaran pengen nyobain, soalnya katanya baru beberapa hari buka udah laris aja."
"Emang saudaranya Rado ada yang orang Palembang? Setahu gue dia keturunan Jawa-Sunda deh."
"Lah, kenapa jadi Palembang?"
"Kan empek-empek makanan khas Palembang."
Dia terkekeh geli, "Namira sayangku, buka warung empek-empek ngga harus jadi orang Palembang dulu kali. Jadi saudara sepupunya Rado ini dulunya kerja di restaurant di Palembang, sahabatan sama kokinya. Diajarin lah dia cara bikin masakan khas sana, empek-empek salah satunya. Balik Bekasi ya dia coba buka warung sendiri dari hasil belajarnya itu.", ujarnya menjelaskan.
Mulutku membulat, "Gitu ya? Ya udah kalo lo mau, gue sih ngikut aja. Lagian bosen juga lo ajakin ke Richeese Factory mulu."
Dia terkekeh lagi.

*
"Kedai gimana ini hari?", tanyanya begitu pelayan selesai mencatat pesanan kami.
"Lumayan rame sih, mana kan lagi mendung, udara sejuk, banyak lah yang pengin minum teh sama makan kue.", jawabku. "Lo tumben beberapa hari ini ngga ada kerja rodi lagi?"
"Yah, gantian lah sama teknisi lainnya, masa gue mulu yang lembur."
"Duit lo berkurang dong jarang dikasih lemburan."
"Duit mulu yang lo pikirin."
"Lah, kita kan emang butuh duit buat hidup."
"Buat hidup kita butuh udara, air dan makanan. Kalau nikah baru kita butuhnya duit."
Aku mendengus, "Tauk ah." mendadak sebal kalau dia mulai mengungkit soal nikah.
Wahyu Ibrahim, di saat keluarga dan teman-teman memanggilnya Baim, cuma aku yang nyeleneh dengan memanggilnya Wayu. Dia adalah laki-laki yang sejak kanak-kanak sudah berada disisiku, bermain bersama, belajar bersama, masuk ke sekolah yang sama dari TK sampai SMA, dan akhirnya berpisah di perguruan tinggi. Dia memutuskan untuk kuliah di Jakarta mengambil jurusan teknik mesin bersama dua sahabatnya, sedangkan aku memutuskan untuk kuliah di Semarang.
Empat tahun berlalu, akhirnya kami bertemu lagi di Bekasi, bekerja di kota yang sama. Dan entah karena dasar apa, aku menerima dia menjadi kekasihku. Kurasa bukan hal yang sulit untuk menjadi gadis yang berada disisinya selama ini, bahkan dua tahun bersama pun tak berasa. Tapi belakangan ini, dia lagi senang sekali mengungkit hal yang sebenarnya membuatku risih dan sedikit kesal.
Komitmen. Lamaran, Menikah. Ah, aku sungguh tidak menyukai kata-kata itu.
"Nah kan, begitu mulu kan reaksi lo.", Baim menunjuk wajahku.
"Lo lagian cari perkara terus sama gue."
"Cari perkara apaan, Nam? Yang ada gue lagi nyoba meluruskan perkara ini."
"Yu, gini ya..", aku menghela napas pendek. "Lo kalau mulai ungkit hal beginian cuma bikin sakit kepala tau ngga. Daripada lo bikin gue sakit dan kehilangan nafsu makan mendingan stop aja, Okay?"
Baim mendengus, "Mau sampai kapan lo kayak gini sih, Nam? Gue kurang meyakinkan gimana lagi sih di mata lo?"
"Bukan masalah lo yang ngga meyakinkan atau apa, gue cuma ngga suka lo ungkit soal nikah-nikah."
"Kenapa lo ngga kayak Ghina sih yang begitu matangnya udah mikirin hal ini? Kita udah sepantasnya..."
"Yu, plis ya gue ngga suka dibanding-bandingin kayak gitu. Apa lagi Ghina itu sahabat gue, sahabat kita. Ngga etis tau ngga."
"Lo sebenarnya sayang ngga sih sama gue?"
Ah. Pertanyaan itu keluar lagi. Entah kenapa aku kesal dengan sikap Baim yang drama king begini. Terdengar kekanakan dan norak sekali.
"Wayu lo jangan mulai drama deh, Yu. Lo ngajakin gue ke sini buat makan kan, bukan buat debat?"
Baim menghela napas pendek. "Gue cuma pengin kita bisa hidup bareng buat selamanya, Namira. Gue memikirkan masa depan kita berdua. Seenggaknya lo biarin gue nyoba buat ketemu sama orangtua lo, ngobrolin soal kita..."
"Kenapa lo maksain sesuatu yang gue ngga suka sih?"
"Kenapa lo harus ngga suka?"
"Karena gue ngga mau kebebasan gue direnggut sama yang namanya komitmen."
Deg. Aku bisa melihat raut muka yang begitu berbeda dari Baim. Wajahnya memerah, seolah memendam kesal yang mendalam. Aku mencoba untuk tetap tenang, sambil terus menatapnya lurus-lurus.
Kukira Baim akan semakin mengomel atau melakukan tindakan ekstrem seperti menampar pipiku atau semacamnya, tapi ternyata dia hanya diam. Sampai pelayang datang membawakan pesanan, kami sama-sama terdiam. Makan pun tanpa suara, bahkan aku lihat sendiri Baim hanya menyuap sedikit makanannya. Yah, kalau sudah begini, nafsu makan memang bisa lenyap seketika.
*
Baim masih terdiam selama perjalanan pulang. Dia terlihat begitu berbeda dari biasanya. Selama ini jika sedang marah dia hanya akan mengomel sebentar kemudian membaik. Tapi kali ini, apa dia benar-benar kesal padaku sekarang?
"Yu..", panggilku dengan canggung. Matanya menatap lurus ke depan,tapi raut wajahnya begitu kosong.
"Gue kan udah bilang, jangan ungkit soal ini, yang ada bikin kita jadi berantem."
"Ya udah, ", akhirnya dia bersuara
"Ya udah apanya?"
"Ya udah gue ngga akan ungkit soal itu lagi buat seterusnya. Karena emang udah bukan urusan gue lagi."
Aku tercenung, dahiku berkerut, "Maksud lo apaan?"
"Ngga ada gunanya kita begini, Nam. Gue ngga bisa nerusin lagi. Toh kita pacaran juga karena lo kalah taruhan sama gue, bahkan first kiss pun, juga karena lo yang kalah taruhan."
"Sebentar sebentar, lo mau ngomong apaan sih sebenernya?", tanyaku makin bingung.
Baim menghentikan mobilnya tiba-tiba. Wajahnya mendekat padaku, kemudian menatapku tajam.
"Yu.."
Bibirnya menyentuh bibirku, sesaat tapi terasa dalam.
"Itu yang terakhir dari gue. Kita putus aja."

to be continued..


Sabtu, 21 Januari 2017

Tell Me Why (part 2)

Deg!
Kembali lagi terjadi seperti ini. Perasaan aneh yang belakangan sembarangan muncul ketika aku klik send.Aku menghela napas dalam. Entahlah, aku selalu berdebar cuma karena melakukan hal sepele semacam itu. Mungkin bagi orang lain terlihat biasa, tapi bagiku, ini sedikit membuat nervous.
Aku meletakkan ponsel pintarku di atas meja, enggan meliriknya. Mendadak aku merasa tidak ingin menyentuh ponsel selama beberapa jam. Apa-apaan ini? Apakah aku kembali menjalani pubertas?
Yang benar saja.
Brak! Aku mendengar suara pintu dibanting. Aku mendengus, sudah tahu siapa pelakunya.
"Tumben sepi, biasanya genjrang-genjreng nyanyi ngga jelas lu.", celetuk Andra, sahabatku sejak awal masuk kuliah hingga kini sama-sama bekerja sebagai Teknisi di sebuah Perusahaan Jepang.
"Lo jadi ketemu Mama Camer?", tanyaku seraya mengambil dua kaleng Pepsi dari kulkas.
Andra mengangguk."Kadang gue heran sama dia, bisa aja nyari alasan biar gue temuin.Yang minta dianter belanja lah, ngajakin nonton bioskop lah, dan kali ini minta ditemani cek-up ke rumah sakit. Padahal perginya juga sama si Ghina, tapi kenapa pake acara ngajakin gue segala?", keluh Andra, nadanya terdengar sedikit kesal.
"Namanya juga calon mertua, Ndra. Wajar aja dia mau melihat bagaimana lo bersikap terhadap dia sama Ghina. Lagi diperhatiin tuh, diteliti, diamati, lo cocok kagak jadi menantunya, lo baik ngga buat Ghina. Yang kayak gitu-gitu mah harusnya lo udah tau sendiri lah.", timpalku enteng.
Andra mencibir, "Lo ngomong kayak gitu seolah lo udah pernah ketemu sama camer aja, elah. Itu si Brietta jangan lo gantungin kayak jemuran mulu, Do. Pacarin, tembak langsung, dor!",
"Yaelah, gampang soal itu mah. Nanti juga bakal jadi.", ucapku sok yakin.
"Emang lo beneran yakin bisa jadi sama dia? Dari nadanya sih engga", Andra sepertinya bisa membaca pikiranku.
Aku menghela napas pendek, "Gue jadi mikir ulang sejak Brietta ketemu nyokap pas selamatan rumah baru bulan kemaren."
"Jangan-jangan ini soal kalungnya Brietta ya?", lagi-lagi tebakan Andra tepat.
"Iya, itu masalahnya. Kelihatannya sih sepele ya, tapi buat gue, buat keluarga gue, ngga sesepele itu."
Andra terkikik, "Buset deh si Rado, kapan sih lo berenti jadi anak mami? Nih ya, kata gue mending lo hajar aja dah daripada nyesel belakangan lo. Jadiin dah si Brietta, jangan lo keburu takut duluan sama tanggapan keluarga lo. Yang ngejalanin kan elo, Do, bukan mereka."
"Enak lo bisa ngomong begitu. Gue yang lulusan pesantren gini kalau tetep nekat begitu bisa-bisa dicoret dari kartu keluarga. Ntar dibilangnya gue ngga ngejalanin apa yang udah diajarin selama di pesantren dulu, melanggar syariat, penista agama. Lo tau sendiri kan waktu gue  milih kuliah jurusan teknik mereka menentang keras, dan malah nyuruh gue ke jurusan Pendidikan Agama?"
"Tapi akhirnya lo nekat masuk teknik dan mereka fine-fine aja kan?", potong Andra cepat.
Aku mendengus, "Yeah, tapi lo tau sendiri kan gue ngga dibiayain kuliah sama sekali sama orangtua gue?"
"Iyalah, orang lo kerja di toko Kakak gue demi bayar kuliah," Andra terbahak mengingat masa-masa kelam itu. "Inget banget dah lo cuma makan satu kali demi ngirit, ngga ikutan jajan bareng gue sama Baim, tapi paling semangat kalo dateng ke ulang tahun temen sekampus demi bisa makan enak. Anjrit gue pengen ketawa kenceng banget setan!",
Aku cuma bisa melempari Andra yang terbahak-bahak seperti orang kesurupan dengan botol dan kaleng kosong.
"Jadi intinya", Andra menghentikan tawanya, "Lo ngga berani buat ambil resiko lagi kali ini?"
"Yah, lo tau itu lah."
"Terus kenapa masih aja lo deketin Brietta kalo begitu?"
"Kenapa tanya? Karena gue suka sama dia, bego!"
"Kalo suka diungkapin, bego."
"Kami beda agama, tolol!"
"Kalian semua bego, cuma gue yang pinter!"
Sebuah suara sumbang tiba-tiba muncul. Ah, makhluk menyebalkan satu ini datang juga.
"Kumpulan Sabtu malam harus banget pake Pepsi?", tanya Baim, nggak penting.
"Kenapa lo ke sini? Ngga ngapelin Namira?", tanyaku seraya membuka kulkas, mengambil satu kaleng Pepsi lagi.
"Namira ngga perlu diapelin, ngga minta juga dianya.", jawab Baim enteng.
Tiba-tiba tangannya memungut Sampoerna Mild yang sedari tadi tak tersentuh di atas meja.
Aku dan Andra saling pandang, heran.
"Marlboro lo mana, Ndra? Tumben adanya ini doang.", dengan lincah tangan Baim mengambil satu batang dan memantiknya.
"Anjrit si Baim berulah!", umpat Andra.
"Heh, bajirut! Lagi kesambet setan mana lo?", tanyaku histeris, mengingat bahwa Baim sudah tidak merokok lagi sejak semester dua kuliah, tak lama setelah kakak kandungnya meninggal akibat kanker paru-paru. Aku masih ingat saat di pemakaman kakaknya, Baim membuang semua batang rokoknya di atas pusara kakaknya sambil berkata 'makan tuh rokok gue, bawa semuanya sambil menghadap Tuhan' Dan sejak saat itu, aku tidak pernah melihat Baim bersama Dunhill kesayangannya lagi.
Tapi kali ini, apa-apaan dia? Apakah tobatnya cuma sesaat saja?
"Ngga usah nanya kenapa. Gue cuma lagi iseng.", ucap Baim tanpa beban, seakan tidak memedulikan ekspresi wajahku dan Andra yang cengo-cengo bego.
"Brietta bales chat lo, tuh, Do.", celetuk Baim sambil dagunya menunjuk ke arah ponselku.
Ya, terlihat ada notifikasi pesan masuk di sana.Tapi entah kenapa kali ini aku tidak berani membukanya.
"Rado si anak mami ini sekarang udah jadi pengecut, Im.", tukas Andra seraya menyambar kotak rokok yang dimonopoli Baim. "Gue yang beli aja belom nyicip, setan!" umpatnya kemudian.
"Gue bukan pengecut ya maaf maaf aja", sanggahku yang langsung disambut tawa Baim dan Andra.
"Cemen lo, Do!", olok Andra. "Ngakuin perasaan aja ngga berani cuma gara-gara kalung salib doang."
"Bajirut! Itu bukan masalah 'kalung salib doang' ya! Ini masalah iman coy!"
"Tinggal diungkapin aja sih, Do. Ungkapin, biar Brietta tau gimana elo ke dia.", ujar Baim.
Mendadak aku geram dengan pembicaraan ini.
"Lo lo sendiri gimana? Lo, Ndra, cemen mana sama lo yang sampe sekarang ngga berani ngelamar Ghina?"
Andra tersedak seketika, "Njrit, bukannya gue ngga berani ngelamar Ghina, gue cuma belom siap aja. Gila aja lo ngelamar anak orang ini loh bukan mau ngawinin kucing persia. Ngga bisa asal lah, Do."
"Pasti lo ngasih alasan ke Ghina soal materi lagi, kan?", tebak Baim. Dan tepat akurat.
Andra mengangguk lemah, "Ya nyatanya emang kayak gitu, men. Gue belom siap modal apapun buat Ghina. Gue cuma ngga mau dia susah karena gue yang kayak gini. Gue harus mapan dulu baru bisa jadiin dia bini gue."
"Ampun dah.", aku menepuk dahiku sendiri, "Kalo nunggu lo mapan mau bakal sampe kapan, kunyuk?"
"Ya pokoknya sampe gue seenggaknya udah punya rumah sendiri, ngga ngekos kayak sekarang. Yakali gue mau tinggal di kosan sempit bareng Ghina. Lagian emangnya dia bakal mau sama kondisi gue yang begitu?"
"Kalau dia ngga nerima kondisi lo yang sekarang, dia ngga bakalan minta dilamar, nyet! Bego amat sih lo? Yang peka makanya jadi cowok.", olokku yang disambut hantaman kecil dari Baim.
"Apaan lo?", aku melotot pada Baim.
"Lo sendiri juga bego, nyet! Itu Brietta lagi nungguin kejelasan dari lo, mau jadian apa kagak. Makanya yang peka jadi cowok."
"Mampus lo dibalikin! Hajar, Im!" Andra mengompori.
"Tai lo semua!", umpatku kesal.
Andra dan Baim terkekeh.
"Sumpah kalo lo manyun gitu, Do, lo imut abis. Serius gue ngga bohong!", goda Andra sambil terus tertawa geli.
"Diem, setan!"
"Eh tapi, Im", Andra mengalihkan pandangannya ke Baim. "Bukannya lo ada acara sama Namira ini hari?"
Baim mengangguk, "Siang tadi ketemunya, itupun cuma bentaran doang. Dia ada acara sama klub menulisnya."
"Namira bukannya lagi sibuk nulis novel ya, Im?", tanyaku.
"Iya, bentar lagi kelar katanya."
"Dan abis itu lo ngelamar dia?", tanyaku lagi.
"Ngomongin soal lamaran mulu, lo. Tembak dulu Briettanya!", timpal Andra mengejek.
"Urusin dulu si Ghina sono!"
Baim meringis, "Enak jadi lo, Ndra, ngga perlu susah buat bikin cewek lo mau dilamar. Soalnya dia yang minta duluan.",
"Bukannya di mana-mana emang cewek duluan yang ngebet minta dilamar?", tukas Andra.
"Namira beda. Dia ngga kayak cewek lainnya yang nungguin kapan bakal dilamar. Yang ada dia ngga mau itu terjadi pada dia."
Aku tercengang. Andra kembali tersedak.
"Gue heran kenapa dia sebegitu tidak tertariknya dengan sebuah komitmen. Lama-lama gue mikir, sia-sia aja ya dua tahun ini gue sama dia."
"Emang lo pernah nyoba ngomongin soal ini sama Namira, Im?", tanya Andra, "Siapa tau dia emang belom siap aja, sama kondisinya kayak gue ini."
"Najis banget Namira yang cakep begitu disamain sama lo yang abstrak.", ejekku yang kemudian disambut tinju kecil dari Andra.
Baim menggeleng, "Masalahnya bukan karena dia ngga siap atau belum siap. Dia emang ngga tertarik buat berkomitmen. Dia bilang semua itu seakan mengekang dia, mengikat dia dengan berbagai hal yang cuma bikin hidup dia ribet. Namira cewek yang suka kebebasan."
"Njir, selama ini ngapain dong lo pacaran sama dia kalau tahu bakal kayak gini?", aku menggeleng tak mengerti.
"Itu sih..", Baim meletakkan sisa batang rokoknya di asbak, "Karena gue suka sama dia."
Aku tertegun.
Benar, semua pertanyaan atas segala masalah ini sebenarnya hanya membutuhkan satu jawaban; Aku suka dia. Yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya masing-masing.
Dan aku, entahlah, aku masih belum tau akan bagaimana. Di satu sisi, perasaan ini semakin tak terkendali. Di sisi  lain, aku harus mengesampingkan ego demi keluargaku.
Ternyata yang kuhadapi kini, tidak semudah bayanganku.

Senin, 16 Januari 2017

Tell Me Why (part 1)

"Okay!", ucapnya setelah beberapa menit hanya diam dan berpikir panjang. Satu kata keluar dari mulutnya yang kurasa cukup untuk menjadi jawaban atas segala keresahan, kebingungan dan kecemasan yang tengah kami hadapi bersama. Aku tersenyum lega, beban berat di punggungku seakan lenyap.
"Jadi?", tanyaku semringah, "Kapan kamu mau ke rumah dan bilang sama Papa Mamaku?"
Andra mengangkat bahunya, sekilas dia terlihat ragu saat memandangku.
"Aku masih belum tahu, aku masih belum siap seratus persen",ucapnya tanpa mengacuhkan ekspresi bahagiaku yang seketika kembali murung berkat sikapnya barusan.
Apa-apaan sih orang ini?
"Andra, baru aja kamu bilang okay loh. Aku pikir kamu udah siap dengan semuanya. Tapi kamu kok..", aku berdecak heran. "Aku butuh ketegasan kamu ya. Kita udah berapa lama pacaran sih? Masa iya kita mau gini-gini aja?"
"Iya aku tahu, tahu banget maunya kamu apa makanya aku bilang okay tadi. Ya tapi kan ngga secepat itu juga kali, Ghina.", Andra menghela napas pendek. Terdengar lelah, sepertinya.
"Modal aku belum cukup, Ghin. Rumah aja belum kebeli sampai sekarang. Masa iya aku biarin kamu tinggal di kontrakan sempit sama aku?"
Aku mendengus, "Kenapa masalah materi terus sih yang jadi alasan?"
"Ya karena kita memang membutuhkannya. Sangat. Emang kamu pikir sewa gedung, katering, pelaminan, penghulu, mau dibayar pake kata Terima Kasih doang?"
"Ndra, aku cuma minta kamu ke rumah, bilang soal semua rencana kita ke orangtuaku, dan mereka akan ikut membantu, kok. Toh Papa dan Mama sudah merestui kita sejak awal kita pacaran. Kamu cuma perlu bilang tentang niat baik kita biar ngga ada lagi keresahan buat semua orang."
"Keresahan semua orang? Ini cuma kamu doang yang merasakan, Ghin."
"Mama selalu tanya kapan kamu bakal ngelamar aku, Ndra. Selalu. Aku mesti jawab gimana lagi selain 'belum tahu'? Aku cuma ngga mau kamu kehilangan kepercayaan orangtua aku, Ndra. Makanya aku minta kamu tegas sama hubungan kita. Kasih aku kepastian segera, jangan biarin aku gelisah terus dong!", aku mengusap pipiku yang mendadak basah oleh air mata.
"Iya, oke, aku udah menyanggupinya, Ghina. Cuma masalahnya di sini aku belum siap untuk sesegera mungkin menyiapkan semuanya. Aku akan bilang ke orangtua kamu kalau semuanya sudah siap. Sabar dong, sayang. Kamu ngga usah gelisah dan mikirin yang enggak-enggak. Kamu percaya aja sama aku, ya."
Aku menghela napas pendek.
"Okay."

*

Sabtu siang yang mendung. Cuaca yang mendukung untuk tidur siang dan bersantai-santai setelah lima hari padat dengan jadwal pekerjaan. Ya, kurasa aku bisa menikmati acara tidur siangku kalau saja dua orang ini tiba-tiba mendobrak pintu kamarku seenak jidat.
"Namira, Brietta, tolong dengan sangat silakan keluar dari kamar tuan putri Ghina ini tanpa meninggalkan jejak suara apapun. Plis, kalian ganggu tidur siang gueee!", jertitku seraya melempar kedua temanku dengan bantal.
"Aw! Maygat Ghinaaaaa! Gue ke sini sengaja mau ngehibur elo hunny bunny sweety. Lo katanya abis berantem sama Andra?", tanya Brietta menyusulku ke tempat tidur.
"Lagi?",tanya Namira dengan alis terangkat satu."Dia masih belum mau buat ngelamar lo?"
Aku mendengus, kesal karena diingatkan oleh masalah yang satu itu.
"Gue kira Andra bakal berubah dan lebih berpikir dewasa. Tapi nyatanya dia masih gitu-gitu aja. Selalu aja bilang 'okay' with 'tapi'. Kesel ngga sih kalian kalau jadi gue?"
"Kesel! Gue bakal sama keselnya kayak lo, Ghin!", Brietta mengangguk keras. "He's not a gentleman I think. Kurang apaan sih lo buat dia?"
"Ya kan? Coba, hampir enam tahun pacaran kami cuma gini-gini aja. Gila lo gue tahun ini masuk 26 coy! Nyokap gue aja dulu umur segini udah masukin gue ke playgroup tau nggak?"
"Lo pake acara masuk playgroup segala, Ghin? Baru tahu loh gue.", Brietta takjub.
"Bukan itu masalahnya, Briii!"
"Lagian elo kenapa ngebet banget sih minta si Andra buat ngelamar lo? Dianya aja santai selow gitu kok. Ngga takut lo kalo si Andra malah jadi ilfeel sama lo gara-gara lo paksa mulu?"
Kontan saja aku menepuk lengan Namira keras. "Lo kok ngomongnya gitu sih, Mir? Jangan bikin parno deh. Andra tuh ngga bakalan kayak gitu ke gue. Kalian tau sendiri kan dia cintanya kayak gimana sama gue?"
"Yang namanya cinta juga bisa kadaluarsa kali, Ghin", timpal Namirah enteng.
"Lo pikir roti kali ah kadaluarsa.", balas Brietta diiringi tawa renyah.
"Namira plis jangan bikin parno! Lo mah kebiasaan banget suka begitu. Heran gue, betah-betahnya si Baim sama lo bertahun-tahun."
"Kenapa jadi beralih ke Baim,sih? Urus Andra dulu, sono."
"Lo sendiri kenapa ngga mau pas Baim nyoba ngutarain niat baiknya dia ke lo bulan kemaren?", tanyaku.
Namira berdecak, "Ya karena gue emang belum mau."
"Mir, lo tuh harusnya bisa nentuin mau dibawa ke mana hubungan lo sama Baim."
"Kayak lagunya Armada aja," timpal Brietta lantas menyanyikan bait dari lagu dari band itu.
Buru-buru aku menutup mulutnya dengan guling.
"Kalian udah pacaran dua tahun loh, Mir. Umur kalian udah 26 tahun ini, gue ingetin aja."
"Urus dulu tuh si Andra baru lo ngurusin gue sama Baim, oke?"
"Tuh kan, lo mah gitu kalau dibilangin, Keras kepala!"
"Namira tuh males sama yang namanya komitmen, Ghina sayang. Maybe dia lebih suka sama hubungannya yang kayak sekarang ini. Santai, mengalir seperti air.", Brietta menengahi.
"Ralat, bukannya males. Gue belum siap aja jadi seseorang yang terikat oleh orang lain. Kayaknya ngga bebas, gitu.", bantah Namira.
"Judulnya sama aja lo kayak Andra, nyet!", aku melempari Namira dengan bantal.
"Belom ada satu jam gue di sini elo udah lempar-lempar bantal berapa kali, Ghin?", tanya Brietta kesal. "Eh, by the way tumben banget si Rado ngga bawelin gue di WhatsApp. Biasaya chatnya bisa nyampe berkali-kali dalam sehari."
"Dan sekarang  lo nyariin Rado, gitu? Wah, ada perkembangan nih.", goda Namira sambil terkekeh.
"Lo aslinya suka kan sama Rado? Ngaku lo!", tanyaku.
"Eh, Bri, hidup lo udah kebanyakan mecin, masih aja mau ditambahin gengsi. Ngga sehat, tau.", tambah Namira lagi.
"Apaan sih kalian berdua? Kenapa malah jadi gue yang kena? Hellaawww, gue sama Rado ngga ada apa-apa and he's not my type. He is so so so.. iyeeewwwhhh. Ngeselin asli gila!" Brietta bergidig.
"Lama-lama bakal kemakan juga tuh gengsi. Gue berani taruhan dah!"
"Heh! Urusin dulu si Andra sono baru ngrempongin gue sama Rado yang so so iyeuh itu!"
"Lo ngomongin Andra mulu sih? Pusing gue ah!"
"Udahlah, Ghin mending lo biarin aja si Andra yang memutuskan bakal gimana. Jangan lo paksa gitu, nantinya dia bakal tertekan loh. Kalaupun dia mau ngelamar lo, pasti bakal dia lakuin kok.", ujar Namira.
"Seenggaknya dia udah bilang okay kan, Ghin? Ikutan kesel sih gue, cuma ya, ya udah sih. Lo yang banyakin sabar aja. Cewe kan cuma bisa nunggu, walau yang ditunggu juga belum pasti bakal gimana.", tambah Brietta. Kali ini terdengar ada nada sumbang di akhir kalimatnya.
"Lo kok jadi baper gitu?", tanyaku sedikit menggoda.
"Sebenernya lo diem-diem nungguin si Rado nembak lo atau ngelamar lo, kan?", tambah Namira.
"Gue tabok lo berdua ya!", Brietta balas melempar bantal ke arahku dan menghajar Namira dengan guling.

TING!!

Sebuah nada notifikasi pesan masuk berbunyi.

From: Rado 

Hi, Princess Bee. 

"Ciyeeeeeeeeeeeee", seru Namira dan aku serempak. Brietta kontan menutup mukanya dengan bantal, menahan malu juga bahagia yang menyeruak dalam dada.

to be continued