Minggu, 26 Oktober 2014

Pelangi di Jumat Sore



Hari Senin kembali menyapaku. Dan entah kenapa aku memiliki firasat buruk pada hari ini.  Aku tidak tau apa sebabnya, aku Cuma merasa ada yang aneh. Jujur saja aku sedikit was-was, karena selama ini firasatku sering terbukti ketepatannya. Aku pun berangkat ke kampus dengan meredam perasaan aneh itu sendiri, dan berharap hari ini akan berjalan baik-baik saja.
Namun begitu sesampainya di kelas..
“Kamu kenapa Ris? Matamu kok agak bengkak gitu?”, tanyaku saat melihat Riris yang duduk dengan lesu. Terlihat ada lingkaran hitam di kelopak matanya, tatapannya pun sendu, seperti orang yang kurang tidur gara-gara menangis semalaman.
Aku mengernyitkan dahi, “Kamu abis nangis?”
Riris tidak menyahut, dia beranjak dari bangku kemudian memelukku erat. Aku tersentak.
“Eh, eh, kenapa Ris?”, tanyaku lagi. Kali ini aku mendengar Riris mulai terisak.
“Ris..”, panggilku seraya membelai rambutnya. “Hei, ada apa? Coba kamu cerita sama aku.”
Riris pun melepas pelukannya padaku, dan memperlihatkan matanya yang basah karena air mata.
Aku tercengang melihatnya. Di depanku ini bukanlah Riris yang biasa aku kenal. Sahabatku yang satu itu tidak pernah terlihat sedih ataupun menangis. Bukannya tidak pernah menangis sama sekali, namun rasanya jarang sekali. Yang aku tau dia hanya menangis jika sedang menonton film drama Korea. Namun selain itu, aku tidak pernah melihatnya sesedih ini.
“Ris, kenapa?”, tanyaku sekali lagi seraya mengusap air mata yang makin mengucur deras dari matanya.
“A-Aldi... Aldi, La.”, ucap Riris sesenggukan.
“Aldi kenapa?”
Riris mengusap pipinya, “Kemaren dia kecelakaan mobil sama Fabian. Mereka berdua kritis, dan tadi malam jantung Aldi udah lemah banget. Dokter bahkan sampai bilang kalau harapan hidup Aldi tipis. Aku takut banget, La. Aku nggak mau kehilangan dia.”,
Aku menutup mulutku sendiri, terhenyak kaget luar biasa. “Ya Allah! Serius? Kenapa kamu ngga bilang kemarin?”
“Kemarin aku terlalu fokus sama Aldi sampai aku nggak sempat ngehubungin kamu, La. Kemarin aku panik banget, aku nggak tau harus gimana. Mendengar Aldi kritis aja jantungku udah kayak mau copot.”, ucap Riris masih dengan sesenggukan. Air matanya masih deras membanjiri pipinya.
“Aku takut banget La, sumpah. Aku sayang banget sama Aldi, aku nggak mau dia kenapa-kenapa. Dia selama ini yang jagain aku setelah Kakak aku nggak ada. Aku udah kehilangan Kakak aku 3 tahun lalu, dan aku nggak mau kehilangan orang yang aku sayang lagi, La.”, Riris kembali memelukku dan terisak.
“Kamu harus doain Aldi terus ya. Kamu harus kuat, biar kamu bisa menguatkan Aldi dan keluarganya juga. Nanti sepulang kuliah kita jenguk Aldi ya,”.
Ya, pada akhirnya firasat burukku terbukti kebenarannya sekarang.
*
“La..”, Riris menolehku yang berdiri di belakangnya.
“Kenapa?”
“Kamu nggak ke kamarnya Fabian? Dia udah dipindahin dari ruang  ICU tadi,”.
Aku tidak menyahut. Mendengar nama Fabian aku jadi teringat kejadian minggu lalu ketika orang itu mengajakku makan malam disebuah restaurant yang kurasa cukup elit. Namun pada akhirnya kami tidak jadi makan malam bersam. Lebih tepatnya aku yang secara sepihak membatalkan acara makan malam itu dan meninggalkannya di restauran saat menu baru saja dipesan. Ya, aku terpaksa melakukannya karena saat itu aku merasa tidak ada kenyamanan yang aku rasa saat bersama dia. Yang ada justru aku minder karena merasa beda kasta dengannya. Anak dari konglomerat yang setiap hari membawa mobil sportnya itu mana serasi dengan aku, si anak kost yang setia dengan motor matic.
“La, tau nggak..”, celetuk Riris, membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tersentak.
“Apa?”
“Fabian itu beneran suka sama kamu. Dia serius deketin kamu, La.”, ucap Riris.
Aku mendadak bingung harus merespon apa. Kenapa aku jadi merasa bersalah begini?
“Kamu jenguk dia di kamarnya sana, aku nggak apa-apa kok disini sendirian jagain Aldi. Lagian sebentar lagi Mama sama Mbaknya datang kok,”, ujarnya. Tangannya masih erat menggenggam Aldi yang masih koma.
“Ya udah deh, tapi kamu jangan nangis lagi ya. Harus kuat.”, ujarku sambil menepuk bahu sahabatku itu.
Riris mengangguk.
Aku pun keluar dari ruang ICU dan menuju kamar rawat Fabian setelah bertanya pada seorang suster.

“Mbak Olla ya, “, sapa seorang anak berumur 9 tahunan begitu aku sampai di depan pintu kamar Fabian.
Aku tercenung, “Eh, iya. Kok tau aku?”, tanyaku sambil membungkukkan badanku agar setinggi dengan anak itu.
“Mas Fabian punya banyak foto Mbak Olla di kamarnya. Cantik-cantik,”, ucap anak itu dengan senyum lebar.
“Kamu.. adiknya Fabian?”, tanyaku.
Anak itu mengangguk, “Nama aku Farrel,”, ucapnya memperkenalkan diri. Tangannya terjulur mengajak bersalaman. Aku balas uluran tangannya.
“Aku Olla, salam kenal ya Farrel,”, kataku sambil memasang senyum.
Farrel kemudian membukakan pintu kamar Fabian dan mempersilakan aku masuk.
“Ma, Pa, ini ada Mbak Olla. Pacarnya Mas Fabian,” seru Farrel.
Sontak aku terkejut mendengarnya. Bukan Cuma terkejut, tapi amat sangat terkejut. Kenapa bocah ini sembarangan sekali bicaranya?!
Orangtua Fabian yang tengah berada di dalam kamar pun kompak memandangku dengan seksama.
“Kamu pacar anak saya?”, tanya Papa Fabian.
Kontan saja aku menggeleng keras, “Bukan Om, bukan. Saya Cuma teman sekampusnya Fabian aja. Nama saya Olla,”, kataku memperkenalkan diri.
“Yakin kamu bukan pacarnya Fabian?”, kali ini sang Mama yang bertanya padaku. aku menggeleng lagi, lebih keras.
“Bukan Tante, Cuma teman sekampus.”, jawabku dengan senyum canggung.
“Bohong Ma, Mas Fabian aja punya fotonya Mbak Olla di kamarnya. Banyak banget lagi,”, celetuk Farrel.
“Keadaannya Fabian sekarang gimana, Om, Tante?”, tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tidak mau meneruskan perdebatan tidak bermutu seperti tadi.
Mama Fabian mendesah pelan, “Ya beginilah, dia masih belum siuman dari kemarin siang. Tante sempat takut soalnya dia sempat dinyatakan kritis. Tapi Alhamdulillah tadi pagi sudah bisa keluar dari ICU.”
“Yang parah justru si Aldi itu ya, Ma,”, timpal Papa Fabian. Mama Fabian mengangguk pelan.
“Iya, sampai gegar otak parah begitu. Untung aja anak kita nggak masalah sama kepalanya. Cuma ya ini, patah sana sini.”
Aku mengangguk mengerti, “Ya semoga saja Fabian cepat siuman ya Om, Tante.”
“Makasih ya udah mau jenguk Fabian, minta doanya ya biar dia segera diberi kesembuhan,”, ucap Mama Fabian.
“Iya Tante, pasti.”
*
Selasa pagi yang mendung.
Aku baru saja mengeluarkan motor maticku dari garasi saat melihat ada sebuah mobil berwarna merah berhenti di depan gerbang tempat kostku. Dari mobil itu keluarlah seorang anak laki-laki berambut ikal yang wajahnya terlihat familiar.
“Mbak Olla!”, panggil anak itu yang tidak lain tidak bukan adalah Farrel.
Aku tercengang, “Kamu ngap.. Eh, Om.”, aku spontan menundukan kepala begitu Papa Fabian keluar dari mobil.
“Maaf ya kalau kedatangan kami bikin kamu kaget. Mau berangkat kuliah ya?”, tanya lelaki paruh baya itu ramah.
Aku mengangguk sopan, “Iya, Om. Tapi ada apa ya Om datang kesini?”, tanyaku bingung.
“Bisa ikut ke rumah sakit sebentar? Fabian sudah siuman, dia ingin melihat kamu.”
Aku tercengang kaget. “S-saya?”
“Iya, kamu. Sebentar saja, setelah itu baru kami antar kamu ke kampus. Gimana?,”, tawarnya.
“A-anu, Om. Mendingan saya bawa motor sendiri aja,”, tolakku halus.
“Oh, gitu? Ya sudah.”
*
Fabian memandangku dengan senyum lebar begitu aku duduk di hadapannya. Aku balas dengan senyum tipis.
“Udah kayak mummy ya?”, Fabian menunjukkan perban yang menyelimuti tangan dan kakinya dengan canda.
“Kayaknya kemaren yang aku liat kamu keliatan nggak berdaya banget. Kenapa sekarang bisa cengengesan begitu? Pura-pura pingsan kamu ya?”, tanyaku meledek. Fabian tersenyum simpul.
“Ngapain harus pura-pura?”
“Siapa tau kamu lagi nyari perhatian aja.”
“Duh, jangan gitu dong. Beneran lagi sakit nih, kayak nggak ada simpatinya sama sekali,”, tukas Fabian.
Aku mendengus, “Kamu ngapain sih minta Papa kamu njemput aku biar kesini? Nggak tau ya kalo hari ini aku ada kelas jam 10?”
Fabian terkekeh, “Bukan aku yang minta, La. Tapi adik aku tuh, si Farrel. Dia kayaknya pengin nyomblangin aku sama kamu deh.”
Aku terbelalak, “Farrel yang minta? Ya Tuhaan.”, aku menepuk dahiku sendiri.
“Tapi makasih banget ya kamu udah bersedia datang kesini pagi-pagi. Maaf kalau kerjaan adik aku mengganggu kamu.”, ucap Fabian lembut.
“Ah, udahlah, namanya juga anak kecil,”, aku mengibaskan tangan di depan muka. “Ya udah kalau gitu aku ke kampus sekarang ya, takut telat. Moga cepat baikan ya.”, kataku sambil menepuk lengan Fabian.
“Makasih banyak La, hati-hati ya di jalan,”
Aku mengangguk kemudian bersiap melangkahkan kakiku pergi. Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu yang membuatku kembali berbalik badan.
“Eh, bentar,”.
“Kenapa, La?”
“Farrel bilang kamu punya banyak foto aku di kamar kamu. Itu.. bener?”, tanyaku yang disambut ekspresi Fabian yang salah tingkah.
“A-anu, La.. i-itu..”, Fabian gelagapan menjawab pertanyaan aku.
Aku tersenyum tipis, “Udah udah, nggak perlu dijawab. Aku pergi ya.”, aku pun keluar dari kamar Fabian dengan membawa tawaku yang tertahan.
Jujur saja, mengetahui dia menyimpan fotoku saja aku merasa begitu senang. Ini aneh, tapi itulah yang kurasakan. Padahal aku tidak memiliki perasaan apapun pada Fabian, aku hanya menganggapnya teman biasa. Namun yang terjadi sekarang, aku merasa begitu senang meski hanya karena melihat jawaban tersirat dari Fabian.
Rupanya benar begitu?
*
Rabu siang aku kembali menemani Riris menjaga Aldi di ruang ICU. Berbeda dengan Fabian, kondisi Aldi jauh lebih parah dan sampai hari ini dia belum juga siuman. Namun menurut Dokter keadaannya sekarang sudah mulai membaik pasca operasi kemarin malam.
“Kamu tenang aja, dia pasti segera siuman kok. Dengar sendiri kan Dokter bilang apa tadi.”, kataku mencoba menenangkan Riris yang masih gelisah dengan kondisi Aldi.
“Aku takut, La. Takut!”
“Nak, Riris..”, Mama Aldi menghampiri aku dan Riris yang duduk di ruang tunggu. “Kita berdoa sama-sama ya buat kesembuhan Aldi. Nak Olla juga minta doanya ya,”.
Aku tersentuh melihat betapa kuatnya hati Mama Aldi. “Iya Tante, pasti.”, kataku yang kemudian diiyakan Riris.
*
Hujan turun pada Kamis sore.
“Ris maaf ya aku nggak bisa nemenin kamu di rumah sakit. Hujannya lumayan deras nih,”, kataku pada Riris lewat telepon.
“Iya nggak apa-apa, La. Tapi tadi Fabian nanyain kamu tuh, karena dari kemarin kamu nggak jenguk dia,”
Aku menghela napas pendek. Apa iya aku harus menjenguk orang itu setiap hari?
“Bilang aja sama dia kalau aku lagi banyak kerjaan jadi nggak bisa jenguk,”, tukasku.
“Besok katanya dia keluar dari rumah sakit loh.”
“Oh ya? Syukur deh kalau gitu. Terus Aldi gimana sekarang keadaannya?”
“Masih belum siuman, mohon doanya terus ya, La.”
“Oke. Kamu yang kuat ya.”
*
Jumat siang aku kembali menyambangi rumah sakit bersama Riris sepulang dari kampus. Begitu sampai disana terlihat banyak orang berkumpul di ruang ICU. Aku dan Riris saling pandang. Tiba-tiba kembali kurasakan ada perasaan tidak beres.
“I-itu.. kok rame ya Ris?”, tanyaku.
Namun prasangka buruk itu hilang begitu telingaku mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari ruang Aldi.
“Oh, itu keluarga Mamanya Aldi yang dari Bandung. Udah jadi kebiasaan dikeluarganya kalau hari Jumat ngadain pengajian.”, kata Riris menjelaskan. Aku pun mengangguk mengerti.
“Ayok ikutan ngaji juga, aku bawa Al-Quran kecil nih,”,  ajak Riris.
Aku menggeleng, “Aku nggak ikutan deh, Ris. Lagi dapet,”.
“Oh iya, sekarang pertengahan bulan ya. Ya udah, kamu jenguk Fabian aja,”
“Oke.”

“Eh, ada Olla. Masuk sini,”, aku pun Cuma mengangguk sambil memasang senyum pada Papa Fabian yang membukakan pintu kamar untukku.
“Dari kemaren kemana aja Neng? Ini aku udah mau pulang malah jenguk,”, tukas Fabian dengan nada ketus begitu melihatku masuk ke kamarnya.
“Eh, Mas jangan bilang gitu dong. Olla kesini kan niatnya baik.”, tegur Mama Fabian dengan sedikit melotot pada anaknya itu.
“Ya maaf, orang aku sibuk mau gimana dong?”, ujarku beralasan. Padahal sebenarnya aku tidak sesibuk itu. Aku hanya merasa malas saja jika harus menjenguknya setiap hari padahal keadaannya sudah jauh lebih baik.
“Olla temani Fabian sebentar ya, Om sama Tante mau ketemu Dokter dulu,”, kata Papa Fabian.
“Iya, Om,”, aku mengangguk sopan.
Fabian kembali sibuk dengan buku ditangannya. Matanya enggan memandangku seperti biasanya. Apa-apaan nih? Dia beneran marah karena aku tidak menjenguknya?
“Kamu ngambek?”, tanyaku seraya duduk di tepi tempat tidurnya.
“Iya.”, jawabnya tanpa memandangku.
“Kamu kan udah baikan, nggak perlu lagi buat dijenguk kan? Buktinya hari ini kamu udah dibolehin pulang. Lain ceritanya kalau kondisimu itu parah kayak Aldi, mungkin bisa aja aku jenguk kamu tiap hari.”
“Jadi aku harus kritis dulu biar kamu lebih perhatian sama aku?”
Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Fabian.
“Maksudnya apaan tuh?”
Fabian menggeleng, “Lupain aja. Ya udah, kamu tengokin Aldi aja sana.”, katanya dengan setengah mengusir.
Aku memandanginya dengan seksama, “Yan.. kamu.. nggak lagi cemburu kan?”, tanyaku.
Oke, aku benar-benar sok tau sekali. Kenapa aku harus bertanya apakah dia cemburu atau tidak? Memang hubungan kami ini apa?
Fabian meletakkan bukunya, kali ini matanya kembali mengarah padaku.
“Bukannya kamu udah tau kalau aku suka sama kamu?”, tanya Fabian yang kontan membuatku terbengong seperti orang idiot.
Sebenarnya memang aku sudah tau tentang perasaannya padaku, tapi entah kenapa aku merasa pertanyaannya itu terdengar begitu mendadak. Apakah saat ini waktu yang tepat untuk membicarakan soal cinta?
“Maaf untuk kejadian tempo hari, aku sadar aku yang sedikit keterlaluan sama kamu. Tapi bukan karena itu kamu jadi ilfeel sama aku kan, La?”
Aku menggaruk dahiku, “Eeng, gini ya Yan. Aku tuh... Eh, kok hujan?”, aku terbelalak saat memandang jendela, hujan turun dengan derasnya.
“Jangan suka mengalihkan pembicaraan.”, tukas Fabian sedikit ketus. “Lagian Cuma hujan air, bukan hujan duit.”
Aku berdecak, “Ya ampun, kamu kalau lagi jutek nakutin juga ya ternyata. Oke, gini ya Fabian, jujur aja aku memang dari awal udah nggak merasa nyaman. Aku merasa terlalu beda sama kamu dari segi manapun. Mungkin sekarang memang bukan waktunya kita..”
“Kamu nggak suka sama aku?”
“Yan..”
“Jawab aja,”
Aku mendesah pelan, “Saat ini aku belum punya perasaan itu. Maaf,”, ucapku pelan.
Raut wajah Fabian berubah, dia tidak terlihat sedih atau kecewa. Yang ada dia justru tersenyum lebar.
Aku tercenung melihatnya. “Kok kamu senyum?”
“Itulah yang aku suka dari kamu, La. Kamu itu orangnya apa adanya, nggak seperti cewek-cewek yang pernah aku dekati. Yang mereka lihat cuma mobil sama isi dompet aku doang, mereka nggak punya perasaan tulus yang selama ini aku cari.”
“Yaelah, Yan, harusnya kamu bisa bedakan mana yang kelihatan matre sama yang enggak,”
“Itulah begonya aku, aku selalu ketipu sama tampang manis mereka doang.”
“Makanya lain kali kamu jangan sampai ketipu lagi,”
“Ini..”, Fabian menunjuk mukaku, “Kali ini aku nggak ketipu. Tapi dianya yang nggak mau sama aku, ataupun uangku.”
Aku tersenyum seraya menepuk punggung tangan Fabian, “Ya udah kalau gitu kamu cari cewek yang tipenya kayak gini aja, biar nggak ketipu lagi.”
Fabian tertawa pelan. “Kamu tuh ya, bener-bener cewek yang nyenengin.”
“Sekaligus nyebelin,”, sambungku diiringi tawa. “Udah nggak ngambek nih?”, gurauku. Fabian menggeleng.
“Olla..boleh minta satu hal ngga?”, pinta Fabian.
“Apaan tuh?”
“Boleh aku peluk kamu? Sebentar aja.”
Aku tersentak kaget.  “Yan..”
Belum sempat aku menjawab, Fabian menarik tanganku agar terhempas ke pelukannya. Aku bergeming, yang kurasakan hanya debar jantung yang tak seirama. Tunggu, debar jantung siapa ini?
Hanya beberapa detik Fabian melepas pelukannya. Dia lantas terdiam, aku pun bingung harus berkata apa. Mataku tak sanggung memandangnya, aku pun mengalihkannya keluar jendela.
Dan terlihat pelangi muncul dengan indahnya setelah hujan reda.
“Pelangi.. ada pelangi..”, ucapku lirih sambil terus memandang ke langit. Fabian mengikuti pandanganku.
“Bagus ya?”
Aku mengangguk. Tak sengaja kami saling pandang beberapa detik. Namun kemudian saling diam lagi. Suasana menjadi terasa begitu canggung.

Namun tak lama handphoneku berdering memecah kecanggungan. Riris.
“Kenapa Ris?”
“Aldi siuman, La! Alhamdulillah!”, seru Riris bahagia.
Aku tercengang, “Serius? Suruh cepat lihat ke jendela, Ris. Ada pelangi menyambut kesembuhan dia!”




Rabu, 22 Oktober 2014

Terjebak Friendzone 3



Satu kata buat menggambarkan muka gue sekarang; pucat. Aneh, padahal kemaren gue ngerasa sehat-sehat aja, nggak ada tanda-tanda bakal sakit atau gimana. Tapi pagi ini, gue ngerasa kepala gue kayak digetok palu berkali-kali. Sakit bener dah!
Gue udah berniat kirim SMS ke wali kelas buat ijin nggak masuk sekolah, tapi begitu inget kalau nanti ada ulangan Kimia akhirnya gue maksain diri buat berangkat. Bukan karena takut nggak dapet nilai, masalahnya guru Kimia gue orangnya killer minta ampun. Cuma sama dia doang nih gue takutnya sampai bikin badan gemetaran. Suara yang garang, tampang pun tak kalah sangar, ditambah suka ngehukum muridnya kalau telat masuk kelas pas pelajaran dia. Kebetulan jadwal pelajaran Kimia selalu diawal jam belajar, yaitu pukul 7:15 pagi. Makanya, tiap ada pelajaran Kimia, semua murid berlomba-lomba buat nggak telat masuk kelas.  Termasuk gue.
Meskipun dalam keadaan lemes gue akhirnya sampai sekolah tepat waktu. Tapi begitu sesampainya di kelas, Nino, si jawara kelas yang juga menjabat jadi ketua kelas lagi ngumumin kalau kami semua nggak jadi ulangan Kimia karena gurunya absen. Sontak kabar itu disambut sukacita oleh teman-teman sekelas gue.
Gue yang masih berdiri di ambang pintu kelas Cuma bisa bengong. Bengong. Sampai akhirnya gue menjerit karena geram. Sial! Tau begini tadi gue nggak berangkat aja. Dengan langkah gontai gue pun menuju bangku gue dan langsung jatuhin kepala di atas meja. Makin sakit aja nih kepala gue. Kenapa ya kira-kira?
“Jaka my bro, kenapa lo?”, sapa Baim, temen sebangku gue sambil merhatiin gue yang merem melek.
Gue nunjuk kepala gue, “Sakit kepala, Im. Pening banget.”
“Lo ngapalin rumus Kimia sampai sakit kepala begini? Kerajinan bener lo.”, Baim terkekeh.
“Bukan itu, gue malah nggak belajar semalem. Eh ini beneran gurunya nggak masuk nih? Tau gini gue bolos aja tadi.”
Baim megang dahi gue, “Panas banget, Jak! Lo sakitnya beneran?”
“Ngapain juga mesti bohong?”
“Ya udah lo balik aja, ntar gue yang mintain ijin sama guru piket.”
Gue menggeleng pelan, “Udah ah nggak usah. Ntar juga baikan.”
“Jaka kenapa?”, Davina, cewek yang sekarang jadi pacar Baim itu menghampiri gue.
“Sakit kepala tuh katanya. Kebanyakan mikir apaan sih lo?”, tanya Baim seraya mijit-mijit kepala gue. Suwer deh ini anak kalau lagi perhatian, bisa nyamain perhatiannya nyokap gue.
“Kebanyakan belajar Kimia ya, Jak?”, tanya Davina.
Gue menggeleng. “Gue sendiri malah nggak tau apa sebabnya, padahal kemaren gue sehat-sehat aja. Cuma emang dari semalem agak nggak enak gitu badannya.”
“Udah minum obat? Mau aku ambilin dari UKS?”, tawar Davina. Gue tercenung, kemudian ngelirik Baim.
“Im, ini cewek lo perhatian bener sama gue. Lo nggak apa-apa?”, tanya gue dengan nada meledek.
Baim nggak menyahut, dia Cuma mengangguk pas Davina pamit ke UKS buat ngambil obat buat gue.
“Katanya kemaren sore lo ketemu sama Elsa?”, tanya Baim sambil terus jarinya mijitin kepala gue.
“Iya, Cuma bentar doang.”, jawab gue seadanya.
“Lo sebenarnya sama dia itu gimana sih, Jak? Penasaran gue.”,
Gue nggak menyahut, nggak tau kenapa rasanya malas banget bahas soal gue sama cewek itu. Ada perasaan nggak enak saat denger namanya disebut, sama seperti saat denger kalau pagi ini batal ulangan Kimia.
Melihat gue nggak merespon, Baim pun ikutan diem dan nggak nanya apapun lagi. Gue rasa bukan sekarang saat yang tepat buat cerita ini itu. Gue nggak mau nambahin rasa sakit di kepala gue.
*
Sebagai teman yang baik, Baim pun menawarkan diri untuk nganterin gue pulang. Padahal dia tau kalau gue bawa mobil sendiri. Tapi dia tetep bersikukuh buat nganterin gue, atau lebih tepatnya ngekorin gue pulang. Gue sebenarnya tau apa maksud dia, dia pasti mau ngorek-ngorek soal gue sama Elsa.
Baim emang tipikal cowok yang nggak kebanyakan omong kalau lagi sama cewek. Tapi kalau lagi sama gue, dia mendadak jadi kayak ibu-ibu yang doyan ngerumpi. Nggak masalah sih, lagian gue tau kalau dia begitu Cuma sama gue doang, sahabatnya yang nggak kalah keren dari Ariel Noah ini.
“Nyuruh gue istirahat malah ngekor gue pulang.”, tukas gue begitu turun dari mobil. Baim Cuma ngeliatin gue sambil terkekeh.

Gue melempar badan ke tempat tidur disusul Baim, kami pun tiduran berdampingan. Gue melirik ke arah dia, dia juga nengok ke arah gue. Beberapa detik kami Cuma saling tatap tanpa berkata-kata. Spontan gue dan Baim tertawa serempak lantaran geli.
“Kita kok kayak homo gini ye?”, tanya gue sambil terus tertawa. Baim nepuk perut gue, nyuruh gue berhenti.
“Rese lo, ngapain lo ikutan ngeliatin gue?”
“Muka lo, Im, asli homo banget!”
“Anjrit! Gue normal kali!”, Baim melempar bantal ke arah gue. Gue makin ngakak.

“Jadi yang kemaren itu sebenarnya gimana sih?”, tanya Baim begitu tawa mereda.
Gue mengangkat bahu, “Tau deh. Gue dibuang gitu aja sama dia.”, jawab gue seraya menyuap pil sakit kepala ke mulut.
Baim tercengang, “Hah? Maksud lo?”
“Lo kenapa sih pengen banget tau soal gue sama Elsa? Gue aja udah nggak tertarik lagi sekarang.”
“Lah, lo sendiri yang pernah cerita tempo hari kalau lo sama dia lagi masa-masa PDKT. Makanya gue nanya sekarang lo sama dia itu gimana.”
Gue mendesah pelan. Mendadak kepala terasa nyeri lagi seperti tadi pagi kalau memaksakan diri buat mengingat apa yang baru gue alami kemaren. Gue bener-bener nggak mau bahas masalah ini sama Baim, kalau dibahas yang ada kepala gue bisa-bisa pecah.
Tunggu, tapi setelah gue pikir, mungkin ini penyebab sakit kepala dahsyat yang menyerang gue sekarang. Mungkin karena gue terlalu memendam perasaan ini sendirian, dan berusaha terlalu keras buat ngelupainnya. Apaan nih? Gejala stress ringan atau apa?
“Males sebenarnya gue nyeritainnya Im, sumpah.”, tukas gue.
“Dia ninggalin lo begitu aja?”
Pertanyaan Baim kali ini begitu retoris. Kayaknya nggak perlu gue jawab pakai ‘iya’ lagi.
*
Kemarin sore gue janjian sama seorang cewek yang belakangan ini cukup dekat sama gue, namanya Elsa. Dia itu sebenarnya teman SD gue yang udah lama banget nggak pernah ketemuan. Semenjak lulus SD, dia mutusin buat pindah keluar kota sama orangtuanya. Hubungan kami pun terputus selama 6 tahun lamanya, dan baru bulan lalu kami dipertemukan lagi.
Dari dulu gue udah mengakui kecantikan Elsa yang natural. Jadi udah nggak heran lagi begitu ngelihat dia setelah 6 tahun nggak saling tatap muka, dia masih secantik dulu. Bahkan sepertinya semakin cantik saja. Gue pun akhirnya memberanikan diri buat mendekati dia setelah beberapa hari putus sama cewek gue pada saat itu. Bukan mau jadiin dia pelarian atau gimana sih, Cuma memang gue tertarik aja sama dia. Cantiknya itu men, nggak nahan!
Selama gue PDKT sama Elsa, gue nggak pernah ngorek-ngorek masalah pribadinya, seperti nanya soal keluarganya, soal dia lagi deket sama siapa, soal siapa pacarnya sekarang. Gue sama sekali nggak tau apapun soal itu. Gue Cuma tau apa yang gue lihat saat itu aja. Dan yang gue lihat dan perhatikan selama ini, dia (sepertinya) tidak sedang menjalin hubungan pacaran dengan siapapun.
Tapi yang gue lihat kemarin sore, benar-benar diluar dugaan gue.
Gue Cuma terpaku ketika melihat Elsa berdiri di depan gue sambil memasang senyum lebar dan bilang, “Jaka, kenalin ini Damar, pacar aku.”
Lelaki yang berdiri di sampingnya pun mengulurkan tangannya ke gue, sambil memperkenalkan dirinya sendiri.
Sekali lagi, gue Cuma terpaku melihat mereka berdua. Terlebih ketika gue lihat betapa lebarnya senyum Elsa saat mengenalkan lelaki itu di depan gue. Senyum yang selama ini nggak pernah gue lihat ketika Elsa sedang bersama gue. Dia benar-benar kelihatan bahagia, seolah dia telah menemukan soulmate yang akan menemaninya hingga tua. Gue tersenyum miris melihatnya.
“Elsa, bisa bicara berdua sebentar?”, tanya gue setelah sekian menit Cuma diam terpaku. Elsa tidak langsung menyahut, dia bertanya pada pacarnya lebih dulu.
“Ya udah.”, ucap Elsa begitu mendapat satu anggukan dari Damar.
Gue pun mengajak Elsa keluar kafe dan duduk berdua di bangku panjang taman depan kafe itu.
Mata gue memandang Elsa nanar, berkali-kali gue menghela napas panjang. Entah kenapa dada gue terasa begitu sesak sampai buat napas pun rasanya berat.
“Jadi selama ini kamu udah punya pacar?”, tanya gue.
“Yaa,”, Elsa mengangguk canggung, “Sebenarnya baru jadian beberapa hari yang lalu sih.”
“Kenapa kamu nggak pernah bilang sebelumnya?”
“Aku kira kamu udah tau, Jak.”
Gue mendengus, “Udah tau? Tau darimana? Memangnya selama ini kamu pernah cerita soal pacar?”
“Jak, kamu marah sama aku?”, mata Elsa memandang gue dengan tatapan aneh.
“Salah?”
Elsa mengangguk, “Jelas salah. Kamu nggak ada hak buat marah sama aku.”
“Nggak ada hak?”, gue mendengus lagi, “Oke, aku memang nggak ada hak buat marah. Tapi coba kamu yang ada di posisi aku, Sa. Kamu pasti marah juga.”
Elsa kelihatan tidak mengerti sama ucapan gue. “Maksud kamu apaan sih, Jak?”
“Udahlah, nggak usah dibahas lagi. percuma, kamu nggak akan ngerti, Sa.”, gue pun beranjak dari bangku, tapi buru-buru Elsa mencegahnya.
“Seenggaknya kamu jelasin dulu apa maksud kamu bicara begitu, Jak. Jangan bertingkah seperti pengecut.”
Gue pun berbalik badan, “Makasih banyak Sa, kamu bener-bener PHP yang sempurna.”, ucap gue seraya berlalu dari hadapan Elsa.
Gue nggak memperhatikan lagi seperti apa raut wajah Elsa begitu gue pergi, gue merasa nggak perlu lagi untuk peduli. Cukup untuk segala sakit yang udah dia beri buat gue.
*
“Mungkin selama ini dia nggak ada rasa apapun sama lo, Jak. Lo aja kali yang kegeeran.”, timpal Baim setelah gue selesai cerita soal kemarin sore.
“Nggak ada rasa apapun? Bohong banget kalau dia nggak suka sama gue.”
“Lo taunya darimana?”
“Kalau selama ini dia nggak suka sama gue, ngapain dia rajin ngirim pesan ke gue, ngasih gue perhatian, nggak pernah nolak kalau gue ajak jalan. Selama ini dia selalu nunjukin betapa butuhnya dia sama gue, Im. Coba deh kalau lo digituin sama cewek, pasti lo ngerasa kalo dia tertarik sama lo kan?”
Baim mengangguk pelan, “Masuk akal juga sih. Bisa jadi dia memang ada rasa sama lo, tapi nggak jadiin lo prioritas utamanya dia aja.”
Gue tercenung. “Hah? Prioritas?”
“Iya, mungkin dia suka sama lo, tapi dia pengin orang lain yang menjadi pasangannya.”
“Lah? kenapa gitu?”, tanya gue bingung.
“Lah? Kenapa lo nanya gue?”, Baim balik tanya.
“Lah, kan elo yang bilang soal prioritas tadi.”
“Lah, tapi kan Elsa yang punya jawaban yang sebenarnya. Gue kan bilang ‘mungkin’.”
Gue mengambil bantal dan melemparnya ke muka Baim. “Sialan! Dasar sok tau lo!”
Baim tertawa lantang.

Ya, gue emang merasa sakit hati sampai kepala gue ikut jadi korban. Tapi pada akhirnya rasa sakit itu memudar dengan mudah begitu gue ceritakan semuanya pada Baim. Mungkin memang benar kalau harusnya segala persoalan nggak gue pendam sendiri. Gue sadar kalau gue dari awal memaksakan diri buat memendam semuanya sendirian. Awalnya gue pikir nggak bakal ada gunanya gue ceritakan semua ini, nggak akan merubah apapun.
Ya, memang nggak merubah apapun. Tapi setidaknya bisa membuat sakit kepala dahsyat yang gue rasakan ini menghilang dengan sendirinya.
Gue lega sekarang.