Hari Senin
kembali menyapaku. Dan entah kenapa aku memiliki firasat buruk pada hari
ini. Aku tidak tau apa sebabnya, aku
Cuma merasa ada yang aneh. Jujur saja aku sedikit was-was, karena selama ini
firasatku sering terbukti ketepatannya. Aku pun berangkat ke kampus dengan
meredam perasaan aneh itu sendiri, dan berharap hari ini akan berjalan
baik-baik saja.
Namun begitu
sesampainya di kelas..
“Kamu kenapa
Ris? Matamu kok agak bengkak gitu?”, tanyaku saat melihat Riris yang duduk
dengan lesu. Terlihat ada lingkaran hitam di kelopak matanya, tatapannya pun
sendu, seperti orang yang kurang tidur gara-gara menangis semalaman.
Aku
mengernyitkan dahi, “Kamu abis nangis?”
Riris tidak
menyahut, dia beranjak dari bangku kemudian memelukku erat. Aku tersentak.
“Eh, eh,
kenapa Ris?”, tanyaku lagi. Kali ini aku mendengar Riris mulai terisak.
“Ris..”,
panggilku seraya membelai rambutnya. “Hei, ada apa? Coba kamu cerita sama aku.”
Riris pun
melepas pelukannya padaku, dan memperlihatkan matanya yang basah karena air
mata.
Aku
tercengang melihatnya. Di depanku ini bukanlah Riris yang biasa aku kenal.
Sahabatku yang satu itu tidak pernah terlihat sedih ataupun menangis. Bukannya
tidak pernah menangis sama sekali, namun rasanya jarang sekali. Yang aku tau
dia hanya menangis jika sedang menonton film drama Korea. Namun selain itu, aku
tidak pernah melihatnya sesedih ini.
“Ris,
kenapa?”, tanyaku sekali lagi seraya mengusap air mata yang makin mengucur
deras dari matanya.
“A-Aldi...
Aldi, La.”, ucap Riris sesenggukan.
“Aldi
kenapa?”
Riris
mengusap pipinya, “Kemaren dia kecelakaan mobil sama Fabian. Mereka berdua
kritis, dan tadi malam jantung Aldi udah lemah banget. Dokter bahkan sampai
bilang kalau harapan hidup Aldi tipis. Aku takut banget, La. Aku nggak mau
kehilangan dia.”,
Aku menutup
mulutku sendiri, terhenyak kaget luar biasa. “Ya Allah! Serius? Kenapa kamu
ngga bilang kemarin?”
“Kemarin aku
terlalu fokus sama Aldi sampai aku nggak sempat ngehubungin kamu, La. Kemarin
aku panik banget, aku nggak tau harus gimana. Mendengar Aldi kritis aja
jantungku udah kayak mau copot.”, ucap Riris masih dengan sesenggukan. Air
matanya masih deras membanjiri pipinya.
“Aku takut
banget La, sumpah. Aku sayang banget sama Aldi, aku nggak mau dia
kenapa-kenapa. Dia selama ini yang jagain aku setelah Kakak aku nggak ada. Aku
udah kehilangan Kakak aku 3 tahun lalu, dan aku nggak mau kehilangan orang yang
aku sayang lagi, La.”, Riris kembali memelukku dan terisak.
“Kamu harus
doain Aldi terus ya. Kamu harus kuat, biar kamu bisa menguatkan Aldi dan
keluarganya juga. Nanti sepulang kuliah kita jenguk Aldi ya,”.
Ya, pada
akhirnya firasat burukku terbukti kebenarannya sekarang.
*
“La..”,
Riris menolehku yang berdiri di belakangnya.
“Kenapa?”
“Kamu nggak
ke kamarnya Fabian? Dia udah dipindahin dari ruang ICU tadi,”.
Aku tidak
menyahut. Mendengar nama Fabian aku jadi teringat kejadian minggu lalu ketika
orang itu mengajakku makan malam disebuah restaurant yang kurasa cukup elit.
Namun pada akhirnya kami tidak jadi makan malam bersam. Lebih tepatnya aku yang
secara sepihak membatalkan acara makan malam itu dan meninggalkannya di
restauran saat menu baru saja dipesan. Ya, aku terpaksa melakukannya karena
saat itu aku merasa tidak ada kenyamanan yang aku rasa saat bersama dia. Yang
ada justru aku minder karena merasa beda kasta dengannya. Anak dari konglomerat
yang setiap hari membawa mobil sportnya itu mana serasi dengan aku, si anak kost
yang setia dengan motor matic.
“La, tau
nggak..”, celetuk Riris, membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tersentak.
“Apa?”
“Fabian itu
beneran suka sama kamu. Dia serius deketin kamu, La.”, ucap Riris.
Aku mendadak
bingung harus merespon apa. Kenapa aku jadi merasa bersalah begini?
“Kamu jenguk
dia di kamarnya sana, aku nggak apa-apa kok disini sendirian jagain Aldi.
Lagian sebentar lagi Mama sama Mbaknya datang kok,”, ujarnya. Tangannya masih
erat menggenggam Aldi yang masih koma.
“Ya udah
deh, tapi kamu jangan nangis lagi ya. Harus kuat.”, ujarku sambil menepuk bahu
sahabatku itu.
Riris
mengangguk.
Aku pun
keluar dari ruang ICU dan menuju kamar rawat Fabian setelah bertanya pada
seorang suster.
“Mbak Olla
ya, “, sapa seorang anak berumur 9 tahunan begitu aku sampai di depan pintu
kamar Fabian.
Aku
tercenung, “Eh, iya. Kok tau aku?”, tanyaku sambil membungkukkan badanku agar
setinggi dengan anak itu.
“Mas Fabian
punya banyak foto Mbak Olla di kamarnya. Cantik-cantik,”, ucap anak itu dengan
senyum lebar.
“Kamu..
adiknya Fabian?”, tanyaku.
Anak itu
mengangguk, “Nama aku Farrel,”, ucapnya memperkenalkan diri. Tangannya terjulur
mengajak bersalaman. Aku balas uluran tangannya.
“Aku Olla,
salam kenal ya Farrel,”, kataku sambil memasang senyum.
Farrel
kemudian membukakan pintu kamar Fabian dan mempersilakan aku masuk.
“Ma, Pa, ini
ada Mbak Olla. Pacarnya Mas Fabian,” seru Farrel.
Sontak aku
terkejut mendengarnya. Bukan Cuma terkejut, tapi amat sangat terkejut. Kenapa
bocah ini sembarangan sekali bicaranya?!
Orangtua
Fabian yang tengah berada di dalam kamar pun kompak memandangku dengan seksama.
“Kamu pacar
anak saya?”, tanya Papa Fabian.
Kontan saja
aku menggeleng keras, “Bukan Om, bukan. Saya Cuma teman sekampusnya Fabian aja.
Nama saya Olla,”, kataku memperkenalkan diri.
“Yakin kamu
bukan pacarnya Fabian?”, kali ini sang Mama yang bertanya padaku. aku
menggeleng lagi, lebih keras.
“Bukan
Tante, Cuma teman sekampus.”, jawabku dengan senyum canggung.
“Bohong Ma,
Mas Fabian aja punya fotonya Mbak Olla di kamarnya. Banyak banget lagi,”,
celetuk Farrel.
“Keadaannya
Fabian sekarang gimana, Om, Tante?”, tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tidak
mau meneruskan perdebatan tidak bermutu seperti tadi.
Mama Fabian
mendesah pelan, “Ya beginilah, dia masih belum siuman dari kemarin siang. Tante
sempat takut soalnya dia sempat dinyatakan kritis. Tapi Alhamdulillah tadi pagi
sudah bisa keluar dari ICU.”
“Yang parah
justru si Aldi itu ya, Ma,”, timpal Papa Fabian. Mama Fabian mengangguk pelan.
“Iya, sampai
gegar otak parah begitu. Untung aja anak kita nggak masalah sama kepalanya.
Cuma ya ini, patah sana sini.”
Aku
mengangguk mengerti, “Ya semoga saja Fabian cepat siuman ya Om, Tante.”
“Makasih ya
udah mau jenguk Fabian, minta doanya ya biar dia segera diberi kesembuhan,”,
ucap Mama Fabian.
“Iya Tante,
pasti.”
*
Selasa pagi
yang mendung.
Aku baru
saja mengeluarkan motor maticku dari garasi saat melihat ada sebuah mobil
berwarna merah berhenti di depan gerbang tempat kostku. Dari mobil itu
keluarlah seorang anak laki-laki berambut ikal yang wajahnya terlihat familiar.
“Mbak
Olla!”, panggil anak itu yang tidak lain tidak bukan adalah Farrel.
Aku
tercengang, “Kamu ngap.. Eh, Om.”, aku spontan menundukan kepala begitu Papa
Fabian keluar dari mobil.
“Maaf ya
kalau kedatangan kami bikin kamu kaget. Mau berangkat kuliah ya?”, tanya lelaki
paruh baya itu ramah.
Aku
mengangguk sopan, “Iya, Om. Tapi ada apa ya Om datang kesini?”, tanyaku bingung.
“Bisa ikut
ke rumah sakit sebentar? Fabian sudah siuman, dia ingin melihat kamu.”
Aku
tercengang kaget. “S-saya?”
“Iya, kamu.
Sebentar saja, setelah itu baru kami antar kamu ke kampus. Gimana?,”, tawarnya.
“A-anu, Om.
Mendingan saya bawa motor sendiri aja,”, tolakku halus.
“Oh, gitu?
Ya sudah.”
*
Fabian
memandangku dengan senyum lebar begitu aku duduk di hadapannya. Aku balas
dengan senyum tipis.
“Udah kayak mummy ya?”, Fabian menunjukkan perban
yang menyelimuti tangan dan kakinya dengan canda.
“Kayaknya kemaren
yang aku liat kamu keliatan nggak berdaya banget. Kenapa sekarang bisa
cengengesan begitu? Pura-pura pingsan kamu ya?”, tanyaku meledek. Fabian
tersenyum simpul.
“Ngapain
harus pura-pura?”
“Siapa tau
kamu lagi nyari perhatian aja.”
“Duh, jangan
gitu dong. Beneran lagi sakit nih, kayak nggak ada simpatinya sama sekali,”,
tukas Fabian.
Aku
mendengus, “Kamu ngapain sih minta Papa kamu njemput aku biar kesini? Nggak tau
ya kalo hari ini aku ada kelas jam 10?”
Fabian
terkekeh, “Bukan aku yang minta, La. Tapi adik aku tuh, si Farrel. Dia kayaknya
pengin nyomblangin aku sama kamu deh.”
Aku
terbelalak, “Farrel yang minta? Ya Tuhaan.”, aku menepuk dahiku sendiri.
“Tapi
makasih banget ya kamu udah bersedia datang kesini pagi-pagi. Maaf kalau
kerjaan adik aku mengganggu kamu.”, ucap Fabian lembut.
“Ah,
udahlah, namanya juga anak kecil,”, aku mengibaskan tangan di depan muka. “Ya
udah kalau gitu aku ke kampus sekarang ya, takut telat. Moga cepat baikan ya.”,
kataku sambil menepuk lengan Fabian.
“Makasih
banyak La, hati-hati ya di jalan,”
Aku
mengangguk kemudian bersiap melangkahkan kakiku pergi. Namun tiba-tiba aku
teringat sesuatu yang membuatku kembali berbalik badan.
“Eh,
bentar,”.
“Kenapa,
La?”
“Farrel
bilang kamu punya banyak foto aku di kamar kamu. Itu.. bener?”, tanyaku yang
disambut ekspresi Fabian yang salah tingkah.
“A-anu, La..
i-itu..”, Fabian gelagapan menjawab pertanyaan aku.
Aku
tersenyum tipis, “Udah udah, nggak perlu dijawab. Aku pergi ya.”, aku pun
keluar dari kamar Fabian dengan membawa tawaku yang tertahan.
Jujur saja,
mengetahui dia menyimpan fotoku saja aku merasa begitu senang. Ini aneh, tapi
itulah yang kurasakan. Padahal aku tidak memiliki perasaan apapun pada Fabian,
aku hanya menganggapnya teman biasa. Namun yang terjadi sekarang, aku merasa
begitu senang meski hanya karena melihat jawaban tersirat dari Fabian.
Rupanya
benar begitu?
*
Rabu siang
aku kembali menemani Riris menjaga Aldi di ruang ICU. Berbeda dengan Fabian,
kondisi Aldi jauh lebih parah dan sampai hari ini dia belum juga siuman. Namun
menurut Dokter keadaannya sekarang sudah mulai membaik pasca operasi kemarin
malam.
“Kamu tenang
aja, dia pasti segera siuman kok. Dengar sendiri kan Dokter bilang apa tadi.”,
kataku mencoba menenangkan Riris yang masih gelisah dengan kondisi Aldi.
“Aku takut,
La. Takut!”
“Nak,
Riris..”, Mama Aldi menghampiri aku dan Riris yang duduk di ruang tunggu. “Kita
berdoa sama-sama ya buat kesembuhan Aldi. Nak Olla juga minta doanya ya,”.
Aku
tersentuh melihat betapa kuatnya hati Mama Aldi. “Iya Tante, pasti.”, kataku yang
kemudian diiyakan Riris.
*
Hujan turun
pada Kamis sore.
“Ris maaf ya
aku nggak bisa nemenin kamu di rumah sakit. Hujannya lumayan deras nih,”,
kataku pada Riris lewat telepon.
“Iya nggak
apa-apa, La. Tapi tadi Fabian nanyain kamu tuh, karena dari kemarin kamu nggak
jenguk dia,”
Aku menghela
napas pendek. Apa iya aku harus menjenguk orang itu setiap hari?
“Bilang aja
sama dia kalau aku lagi banyak kerjaan jadi nggak bisa jenguk,”, tukasku.
“Besok
katanya dia keluar dari rumah sakit loh.”
“Oh ya?
Syukur deh kalau gitu. Terus Aldi gimana sekarang keadaannya?”
“Masih belum
siuman, mohon doanya terus ya, La.”
“Oke. Kamu
yang kuat ya.”
*
Jumat siang
aku kembali menyambangi rumah sakit bersama Riris sepulang dari kampus. Begitu
sampai disana terlihat banyak orang berkumpul di ruang ICU. Aku dan Riris
saling pandang. Tiba-tiba kembali kurasakan ada perasaan tidak beres.
“I-itu.. kok
rame ya Ris?”, tanyaku.
Namun
prasangka buruk itu hilang begitu telingaku mendengar lantunan ayat-ayat suci
Al-Quran dari ruang Aldi.
“Oh, itu
keluarga Mamanya Aldi yang dari Bandung. Udah jadi kebiasaan dikeluarganya
kalau hari Jumat ngadain pengajian.”, kata Riris menjelaskan. Aku pun
mengangguk mengerti.
“Ayok ikutan
ngaji juga, aku bawa Al-Quran kecil nih,”, ajak Riris.
Aku menggeleng,
“Aku nggak ikutan deh, Ris. Lagi dapet,”.
“Oh iya,
sekarang pertengahan bulan ya. Ya udah, kamu jenguk Fabian aja,”
“Oke.”
“Eh, ada
Olla. Masuk sini,”, aku pun Cuma mengangguk sambil memasang senyum pada Papa
Fabian yang membukakan pintu kamar untukku.
“Dari
kemaren kemana aja Neng? Ini aku udah mau pulang malah jenguk,”, tukas Fabian
dengan nada ketus begitu melihatku masuk ke kamarnya.
“Eh, Mas
jangan bilang gitu dong. Olla kesini kan niatnya baik.”, tegur Mama Fabian
dengan sedikit melotot pada anaknya itu.
“Ya maaf,
orang aku sibuk mau gimana dong?”, ujarku beralasan. Padahal sebenarnya aku
tidak sesibuk itu. Aku hanya merasa malas saja jika harus menjenguknya setiap
hari padahal keadaannya sudah jauh lebih baik.
“Olla temani
Fabian sebentar ya, Om sama Tante mau ketemu Dokter dulu,”, kata Papa Fabian.
“Iya, Om,”,
aku mengangguk sopan.
Fabian
kembali sibuk dengan buku ditangannya. Matanya enggan memandangku seperti
biasanya. Apa-apaan nih? Dia beneran marah karena aku tidak menjenguknya?
“Kamu
ngambek?”, tanyaku seraya duduk di tepi tempat tidurnya.
“Iya.”,
jawabnya tanpa memandangku.
“Kamu kan
udah baikan, nggak perlu lagi buat dijenguk kan? Buktinya hari ini kamu udah
dibolehin pulang. Lain ceritanya kalau kondisimu itu parah kayak Aldi, mungkin
bisa aja aku jenguk kamu tiap hari.”
“Jadi aku
harus kritis dulu biar kamu lebih perhatian sama aku?”
Aku
mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Fabian.
“Maksudnya
apaan tuh?”
Fabian
menggeleng, “Lupain aja. Ya udah, kamu tengokin Aldi aja sana.”, katanya dengan
setengah mengusir.
Aku memandanginya
dengan seksama, “Yan.. kamu.. nggak lagi cemburu kan?”, tanyaku.
Oke, aku
benar-benar sok tau sekali. Kenapa aku harus bertanya apakah dia cemburu atau
tidak? Memang hubungan kami ini apa?
Fabian
meletakkan bukunya, kali ini matanya kembali mengarah padaku.
“Bukannya
kamu udah tau kalau aku suka sama kamu?”, tanya Fabian yang kontan membuatku
terbengong seperti orang idiot.
Sebenarnya
memang aku sudah tau tentang perasaannya padaku, tapi entah kenapa aku merasa
pertanyaannya itu terdengar begitu mendadak. Apakah saat ini waktu yang tepat
untuk membicarakan soal cinta?
“Maaf untuk
kejadian tempo hari, aku sadar aku yang sedikit keterlaluan sama kamu. Tapi
bukan karena itu kamu jadi ilfeel sama aku kan, La?”
Aku
menggaruk dahiku, “Eeng, gini ya Yan. Aku tuh... Eh, kok hujan?”, aku
terbelalak saat memandang jendela, hujan turun dengan derasnya.
“Jangan suka
mengalihkan pembicaraan.”, tukas Fabian sedikit ketus. “Lagian Cuma hujan air,
bukan hujan duit.”
Aku
berdecak, “Ya ampun, kamu kalau lagi jutek nakutin juga ya ternyata. Oke, gini
ya Fabian, jujur aja aku memang dari awal udah nggak merasa nyaman. Aku merasa
terlalu beda sama kamu dari segi manapun. Mungkin sekarang memang bukan
waktunya kita..”
“Kamu nggak
suka sama aku?”
“Yan..”
“Jawab aja,”
Aku mendesah
pelan, “Saat ini aku belum punya perasaan itu. Maaf,”, ucapku pelan.
Raut wajah
Fabian berubah, dia tidak terlihat sedih atau kecewa. Yang ada dia justru
tersenyum lebar.
Aku
tercenung melihatnya. “Kok kamu senyum?”
“Itulah yang
aku suka dari kamu, La. Kamu itu orangnya apa adanya, nggak seperti cewek-cewek
yang pernah aku dekati. Yang mereka lihat cuma mobil sama isi dompet aku doang,
mereka nggak punya perasaan tulus yang selama ini aku cari.”
“Yaelah,
Yan, harusnya kamu bisa bedakan mana yang kelihatan matre sama yang enggak,”
“Itulah
begonya aku, aku selalu ketipu sama tampang manis mereka doang.”
“Makanya
lain kali kamu jangan sampai ketipu lagi,”
“Ini..”,
Fabian menunjuk mukaku, “Kali ini aku nggak ketipu. Tapi dianya yang nggak mau
sama aku, ataupun uangku.”
Aku
tersenyum seraya menepuk punggung tangan Fabian, “Ya udah kalau gitu kamu cari
cewek yang tipenya kayak gini aja, biar nggak ketipu lagi.”
Fabian
tertawa pelan. “Kamu tuh ya, bener-bener cewek yang nyenengin.”
“Sekaligus
nyebelin,”, sambungku diiringi tawa. “Udah nggak ngambek nih?”, gurauku. Fabian
menggeleng.
“Olla..boleh
minta satu hal ngga?”, pinta Fabian.
“Apaan tuh?”
“Boleh aku
peluk kamu? Sebentar aja.”
Aku
tersentak kaget. “Yan..”
Belum sempat
aku menjawab, Fabian menarik tanganku agar terhempas ke pelukannya. Aku
bergeming, yang kurasakan hanya debar jantung yang tak seirama. Tunggu, debar
jantung siapa ini?
Hanya
beberapa detik Fabian melepas pelukannya. Dia lantas terdiam, aku pun bingung
harus berkata apa. Mataku tak sanggung memandangnya, aku pun mengalihkannya
keluar jendela.
Dan terlihat
pelangi muncul dengan indahnya setelah hujan reda.
“Pelangi..
ada pelangi..”, ucapku lirih sambil terus memandang ke langit. Fabian mengikuti
pandanganku.
“Bagus ya?”
Aku
mengangguk. Tak sengaja kami saling pandang beberapa detik. Namun kemudian
saling diam lagi. Suasana menjadi terasa begitu canggung.
Namun tak
lama handphoneku berdering memecah kecanggungan. Riris.
“Kenapa
Ris?”
“Aldi
siuman, La! Alhamdulillah!”, seru Riris bahagia.
Aku tercengang,
“Serius? Suruh cepat lihat ke jendela, Ris. Ada pelangi menyambut kesembuhan
dia!”