Minggu, 22 Oktober 2017

Tell Me Why (Part 25)

Brietta terdiam seketika setelah kalimat terakhir yang Rado ucapkan. Dadanya berdebar kencang dan rasanya ingin melompat saja saking terkejutnya. Padahal harusnya tidak begitu, padahal Brietta sudah sekuat tenaga menghilangkan debaran menjengkelkan itu. Namun akhirnya tetap saja tidak berhasil sama sekali. Rado masih ada di sana, di hatinya. Sebenarnya Brietta sudah menduga alasan Rado tidak mau pergi adalah dirinya, namun dia sangkal berkali-kali demi menjaga perasaannya sendiri agar tidak terluka dan merasa bersalah. Ah, ternyata percuma saja menyangkal toh akhirnya dia merasa demikian juga.
"Gue?", ulang Brietta setelah diam cukup lama. "Yakin lo kalau gue adalah alasannya?"
Terdengar di sana Rado terkekeh pelan, 'Iyalah, Princess Bee. Kalau bukan elo siapa lagi?'
"Namira?", tanya Brietta spontan, terdengar ragu.
'Kok bisa sampe ke Namira sih? Jauh amat neng?'
"Bukannya lo suka sama dia?"
'Ya ampun Bi, perasaan itu udah lama banget hilangnya kali. Kenapa pada suka mikir kalau gue masih nyimpen rasa buat Namira sih?'
Brietta menggigit bibir bawahnya, mendadak dia menyesal sudah bertanya soal Namira padanya.
'Bi, lo ngga apa-apa kan kalo gue pergi?', tanya Rado.
"Kalau gue merasa apa-apa, ngga bakalan mengubah keputusan lo juga kan?", jawab Brietta diiringi genangan yang mulai mengumpul di pelupuk matanya. Brietta kesal kenapa dia kali ini begitu emosional. Ah memalukan, padahal sudah setengah mati menjaga imej cool girlnya di depan Rado selama ini.
'Bi, are you okay?' tanya Rado lagi.
Brietta menghela napas pendek, "Ngga apa-apa. Lo bisa pergi, Do. Jangan mikirin gue."
'Bi..'
"Udah ya Do, sampai ketemu besok. Bye."
Sambungan telpon terputus diikuti air mata yang menetes perlahan di pipi Brietta.
Gadis itu menghela napas panjang berusaha untuk tenang. Namun akhirnya tetesan kecil itu berubah menjadi hujan yang sangat deras.
*
Baim baru saja hendak membuka gerbang rumahnya saat matanya menangkap sosok Namira yang baru keluar dari taksi. Keduanya saling beradu pandang tanpa sapaan atau senyuman. Canggung sekali, berhubung pertemuan terakhir mereka menyisakan perasaan yang makin tidak karuan dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah yang ada.
"Baru pulang?", sapa Baim akhirnya, seraya mencoba memasang senyumnya.
Namira hanya mengangguk pelan seraya menekan bel rumahnya, meminta dibukakan gerbang karena sudah terkunci dari dalam.
Baim melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Malam banget, tumben.", ucap lelaki berkulit putih dan berambut hitam tebal itu.
"Iya, ngurusin acara buat besok.", jawab Namira sekenanya.
"Ada yang ulang tahun?"
"Lo sebenarnya tau atau pura-pura ngga tau?", Namira mendengus, sedikit kesal karena Baim mengajaknya bicara terus seakan-akan tidak punya masalah apapun dengannya. Tidak ingatkah dia bahwa sebelumnya Baimlah yang mengabaikan Namira terus. Menyebalkan, batin Namira.
"Ah? Gue.."
Terdengar suara pintu gerbang terbuka, itu Mama Namira.
"Loh, kalian pulang bareng?", tanya wanita itu dengan ekspresi takjub.
"Engga, Ma. Cuma kebetulan nyampenya barengan.", jawab Namira sekenanya kemudian masuk ke dalam rumahnya tanpa berucap apapun lagi ke Baim.
Mama Namira menatap anaknya bingung, lalu balik menoleh Baim yang masih dalam posisi hendak membuka gerbang rumahnya sendiri.
"Im", panggil Mama Namira pelan, "Kalian berdua baik-baik aja kan?"
Baim mengangguk seraya tersenyum tipis, "Iya Tante, kami baik kok."
"Semenjak kalian putus, Namira jadi beda banget loh. Tante cuma ngga mau kalian jadi musuhan atau semacamnya. Kalian masih bisa jadi sahabat baik kayak dulu."
"Tante tenang aja, kami tetap berteman kok. Cuma ya emang ngga bisa sedekat dulu, susah buat memperbaikinya, Tante.", ucap Baim getir. Ada rasa tidak enak yang menyerangnya saat ini.
Mama Namira menghampiri Baim, mengusap bahunya pelan. "Ada yang perlu kamu tahu dari Namira, Im. Tapi kamu harus tanya sendiri ke anaknya langsung."
"Soal apa, Tan?"
"Cari jawabannya sendiri lewat Namira langsung ya. Itu saran dari Tante biar kamu tau apa yang bikin Namira jadi begitu."
Jadi begitu maksud Mama Namira adalah soal Namira yang enggan untuk berkomitmen.
"Tapi, apa itu penting lagi sekarang?"
"Lho, kamu nganggap Namira ini ngga penting buat kamu?"
Baim menggeleng, "Bukan begitu, cuma Baim ngga yakin kalau Namira mau cerita, Tante."
Mama Namira tersenyum, "Makanya kamu dekatin dia baik-baik, pasti Namira mau cerita sama kamu. Percaya deh, karena di dalam hatinya, dia masih sayang banget dan peduli sama kamu."
Baim tertegun. Entah kenapa ucapan Mama Namira membuat hatinya menghangat. Sedikit tidak menyangka bahwa Mama Namira begitu  mempedulikannya meskipun dia telah mengakhiri hubungan dengan putri sematawayangnya itu.
"Makasih banyak Tante."


to be continued..


Minggu, 15 Oktober 2017

Tell Me Why (Part 24)

Rado menyandarkan punggungnya ke tepi ranjang, memandang langit-langit kamar kos Andra sembari melirik ponsel yang sedari tadi digenggamnya. Sudah hampir setengah jam dia hanya menimang-nimang sendiri apakah akan memberi tahu Brietta soal rencana kepergiannya ke Mesir atau tidak.
Ya, akhirnya dengan berat hati Rado memutuskan untuk menuruti kehendak Ayahnya yang sejak dulu bersikeras mengirimnya ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Tiga tahun lalu tepatnya, dia menentang keras perintah Ayahnya itu dan memilih untuk tetap di Indonesia, bekerja sebagai seorang teknisi seperti apa yang diinginkannya. Selain itu mana bisa dia meninggalkan gadis pujaan hatinya dan kedua sahabat sialannya itu. 
Namun sekarang dengan mudahnya ia mengiyakan perintah Ayahnya itu. Selain karena dia sudah malas dengan aksi pembangkangannya yang ia sadari akan berdampak pada jumlah dosa yang akan ia tanggung nantinya. Juga karena alasan utama ia untuk pergi sudah tidak ada lagi. Ya, Brietta.
"Apa harus banget gue ngasih tahu Brietta soal ini? Ngga guna juga bukannya?", tanya Rado pada dua temannya yang tengah asyik dengan pertandingan sepak bola di televisi.
Baim menoleh, "Tanpa lo ngabarin juga Brietta bakal tau, Do.", timpalnya enteng.
Andra mengangguk setuju. "Tapi kalo lo mau ngasih tau sendiri ya lebih bagus juga sih."
"Gue bingung mau ngomong gimana, gue juga takut sama respon dia", Rado meletakkan ponselnya. "Ngga usah aja kali ya."
Tangan Andra melayang ke pelipis Rado, menoyornya keras sampai leher Rado rasanya mau patah.
"Kasih tau aja, nyet yaelah kebanyakan mikir amat sih lo? Urusan dia bakal respon gimana lihat nanti aja lah."
Rado menghela napas pendek. "Gue mau nyari kata-kata yang bagus dulu. Bantuin kek."
Andra menggeleng keras sembari matanya tak lepas dari layar televisi. Sedangkan Baim terlalu fokus menonton hingga mengabaikan Rado.
"Sialan lo berdua!". umpat Rado kesal kemudian kembali mengambil ponselnya, mencoba kembali menulis sesuatu sebelum akhirnya ada satu panggilan masuk.

Princess Bee is calling..

Mata Rado membulat. "MASYAALLAH!"
*
"Ah, gue jadi inget sesuatu, Im.", celetuk Andra setelah euforia hebohnya selesai karena tim andalannya menang. Baim yang tengah membereskan kaleng kosong dan sampah plastik lainnya cuma menoleh sekenanya.
"Apaan?"
"Lo masih inget Kanaya ngga?", tanya Andra mendadak antusias, semacam mengarapkan jawaban Baim adalah 'iya'.
Baim tercenung heran, kenapa tiba-tiba sahabat curutnya satu itu menanyakan soal Kanaya yang.. dua hari lalu resmi menjalin komunikasi lagi dengan Baim. Sebuah kebetulan kah?
"Ghina pernah ketemu dia tempo hari, dan ternyata dia staff HRD di perusahaan yang sama kayak kita. Lo tau?"
Baim mengangguk, ekspresi wajahnya tak menunjukkan rasa terkejut atau semacamnya. "Iya, gue udah denger sendiri dari orangnya."
Andra menaikkan alis kirinya, "Hah?"
"Gue sama dia kontek-kontekan lagi. Udah dua hari ini."
Kali ini Andra terbelalak, niat ia yang ingin membuat Baim terkejut eh malah dia sendiri yang kena batunya. "Serius lo? Kok bisa?"
Baim mendengus, "Lo tau RT di komplek gue kan yang punya sidejob sebagai makcomblang itu?"
"Aaah, iya. Yang pernah nawarin pengen ngenalin adek iparnya dia ke gue waktu itu."
"Kanaya adalah keponakan beliau."
Mata Andra membulat. "Hah?"
"Dan gue lagi coba dicomblangin sama Kanaya. Man, gue berasa balik ke masalalu lagi."
"Kok bisa kebetulan begitu?", Andra menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.
"Gue pikir gue dan Kanaya bakal sekedar say hi seadanya, tapi nyatanya sampe detik ini WhatsApp ngga pernah berhenti. Heran gue."
"Nah loh, berpaling juga kan lo akhirnya."
Baim mendengus, "Berpaling mata lo! Yang ada gue gelisah kalau begini ceritanya."
"Kenapa harus gelisah? Hei, masalalu lo sama dia dan si Rado kutu kampret itu ngga usah dibawa-bawa lagi sekarang, nyet. Lupain, pindah haluan lo, jangan malah balik mikirin Namira lagi. Nggak guna kalau yang satu itu, Im.", ujar Andra seraya memantik rokoknya. "Kalo kata gue, ngga ada salahnya lo membuka hati buat yang lain. Waktu itu lo sempet ketemu lagi sama mantan lo, siapa tuh namanya, Danisha? Gue kira lo bakal lanjut nostalgia, taunya malah iklan doang. Dan untuk yang kali ini.."
Baim menggeleng pelan, "Gue belum mau, Ndra, serius. Bukan apa-apa, gue cuma ngga mau jadiin siapapun pelarian. Perasaan gue ke Namira berkurang satu persen aja engga."
"Lo ngga mau nyoba dulu?"
"Lo pikir cewek itu bahan percobaan?"
"Ngga gitu, monyong!", sembur Andra dengan asap rokoknya ke wajah Baim yang sontak terbatuk.
"Sialan lo kampret!", umpat Baim kesal. "Terus apaan? Gimana?"
"Jangan keras kepala kenapa sih? Lagian lo mau nunggu Namira sampai kapan, hah? Toh lo juga yang udah ninggalin dia, ya udah berpaling aja lah, Im."
"Seenggaknya gue harus tau dulu perasaan dia yang sebenar-benarnya ke gue, juga apa alasan dia tetep ngotot ngga mau gue nikahin. Yang gue tunggu adalah penjelasan dia, bukan soal dia mau balik ke gue lagi apa engga."
Andra berdecak, "Gimana dia bisa ngomong dan jelasin semuanya ke lo kalau lo sendiri ngehindari dia mulu, nyet? Bego bener lo emang ya."
PLAK! 
Andra meringis kesakitan akibat dahinya ditepuk keras oleh Baim. "Sakit, setan!"
"Itu kan kemaren-kemaren, sekarang udah beda lagi ceritanya, kampret!"
"Jadi lo mau Namira njelasin semuanya ke lo. gitu?"
"Iya, manfaatin momen aja selagi ada kesempatan buat ngobrol dan ngumpul bareng."
Andra tercenung, "Pakai acara nunggu momen segala. Eh kunyuk, lo ngga bisa apa bikin momen lo sendiri apa? Man, lo mau bikin rusuh acara perpisahan Rado kayak pas pertunangan gue tempo hari, hah?"
"Rusuh apaan setan?! Gue bakal ngomong berdua kok nantinya."
"Lah lo ribet amat sih sekarang tingkahnya. Lagi masa pubertas kedua lo ya?"
"Kambing lo!", umpat Baim kesal.
*
Rado sudah berada di beranda kamar kos Andra begitu mendapat 'panggilan' dari Brietta. Secepat kilat dia mengambil tempat sendiri agar obrolannya tidak diganggu oleh kedua temannya yang seringkali otaknya error itu.
"Ya, Bi?", sapa Rado dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Tak disangkanya Brietta menelponnya di saat dia tengah bimbang akan memberi tahu Brietta tentang kepergiannya atau tidak.
'Lagi di mana?'. tanya Brietta di seberang sana.
"Di kosan Andra nih lagi ngumpul."
'Lo mau ke Mesir?', tanya Brietta lagi, kali ini langsung ke intinya.
Andra menelan ludahnya, "I-iya. Bokap gue udah siapin kepindahan gue ke sana sejak beberapa bulan lalu, sih."
'Kenapa lo ngga pernah cerita soal ini ke gue, Do?'
"Aaa..", Rado bingung mencari alasan. Jika dia mengatakan alasan yang sesungguhnya adalah karena dia tidak ingin berpisah dari Brietta akan terdengar sangat konyol dan menggelikan.
"Gue sendiri juga kaget sih karena mendadak bokap rada maksa gue buat pergi kali ini. Jadi guepun ngga bisa berkutik apa-apa lagi."
Terdengar Brietta mendengus di sana, 'Itu sama sekali ngga menjawab pertanyaan gue, Do. Yang gue tanya kenapa lo ngga pernah cerita soal rencana S2 lo di Mesir ini sama gue sebelumnya?'
Rado menghela napas pendek, mungkin sebaiknya dikatakan saja.
"Karena gue punya alasan kuat kenapa gue ngga harus pergi", jawab Andra disusul hening beberapa detik, "..waktu itu. Dan sekarang gue ngga punya alasan untuk ngga pergi."
'Apa alasan itu begitu penting buat lo?'
Rado mengangguk sendiri, seolah Brietta ada di depannya. "Banget."
'Apa itu?'
"Alasannya?"
'Iya'
Rado menarik napas panjang. "Alasannya adalah lo."

to be continued..

Sabtu, 07 Oktober 2017

Tell Me Why (Part 23)

Belum sempat Namira meneguk teh hijau hangat favoritnya, sebuah lengkingan tajam memekik telinganya secara tiba-tiba.
"HELP ME GOOOOODDD!!", seru seorang gadis berwajah oriental yang baru saja memasuki kedai dengan begitu lantang. Tanpa basa-basi dia segera menghampiri Namira dan merebut cangkir yang tengah dipegang oleh sahabatnya itu, meneguknya dengan brutal.
Namira hanya bisa tercengang melihat kelakuan Brietta yang seperti orang kesurupan itu.
"Lo ngga mau nanya kenapa gue sampe begini? Lo ngga penasaran sama keadaan gue saat ini?", tanya Brietta pelan setelah meneguk habis teh hijau Namira yang direbutnya secara paksa.
"Ngga perlu gue tanya, gue udah tau jawabannya apaan, Bri.", jawab Namira dengan tenang seakan dia sudah terbiasa menghadapi tingkah Brietta yang mendadak suka nyeleneh begini.
"Nyokap lo bawel dan terlalu ngatur hidup lo banget ngga? Kalo engga, tukeran nyokap sama gue yuk, Nam!", celetuk Brietta ngaco. Dia mengusap wajahnya sendiri yang sudah terlihat lusuh seperti belum mandi dua hari.
Namira menggeleng penuh simpati, "Jangan suka ngomong begitu, lo. Durhaka namanya."
"I don't care. Gue kesel banget asli sama nyokap. Kenapa dia ngebet banget jodoh-jodohin gue sama laki-laki yang pada absurd ngga danta banget gitu sih? Dia ngga rela banget kayaknya kalo gue nyari yang sesuai pilihan gue sendiri.", keluh Brietta. "Oke gue tau dia nyoba menghindarkan gue dari situasi tidak menyenangkan seperti insiden Rado dulu, dia ngga mau hal itu terulang lagi gue tahu. Tapi ngga gini juga caranya kali!"
Brietta menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Maaf, Bri,untuk soal itu gue ngga bisa bantu.", ucap Namira tidak tertarik. Karena menurutnya, masalahnya sendiri juga rumit. Belum selesai dengan Baim, Rado kini masuk dalam putaran masalahnya.
"It's okay, Nam. Gue juga tau lo sendiri punya problem yang lebih ribet dari gue."
Mendadak Namira tersadar akan sesuatu. "Bri, gue.."
Brietta mengangguk, "Gue tau, Rado suka sama lo, kan? Gue udah sadar dari dulu sebenarnya, cuma gue emang ngga mau memusingkan soal itu karena Rado sendiri cuma fokus ke gue saat itu.", ungkap Brietta yang sontak membuat mata Namira membulat, kaget.
"Lo tau dari mana?"
"Hmmm, awalnya cuma nebak aja waktu Rado dengan ngga sengaja bilang kalau sebenarnya di antara gue, lo dan Ghina, yang paling menarik perhatian adalah lo meski dia juga bilang wajah gue yang paling proporsional.", Brietta terkekeh pelan. "Ngga tau kenapa cuma gara-gara denger itu perasaan gue ngga enak. Gue ngerasa ada something di balik ucapan Rado itu. Dan jujur aja gue agak kesel sih."
"Maaf, Bri."
Brietta menggeleng, "Ngga apa-apa kali, toh udah lewat. Perasaan gue ke Rado pun udah selesai. Ngga ada yang perlu dipermasalahkan lagi."
Namira tercenung, "Lo..udah ngga suka lagi sama Rado?"
"Kenapa? Kalo gue ngga suka lagi lo bakal nerima dia?", tanya Brietta dengan nada meledek.
"Apaan sih? Ya ngga mungkin lah, lo sendiri kan tau gue ngga bakal bisa nerima siapa-siapa."
"Gue cuma ngga mau memusingkan perasaan ini lagi, Nam. Udah sia-sia aja buat gue, ngga ada gunanya mempertahankan perasaan yang sama sekali ngga bakal membuahkan hasil akhir yang bahagia."
Namira mendengus, "Ya sama kalo gitu."
"Tapi lo masih punya kesempatan buat memperbaikinya, Nam. Lo cuma tinggal yakinin diri lo sendiri kalau lo bisa terbebas dari phobia konyol lo itu. Lo liat sendiri kan gimana sayangnya Baim sama lo?"
"Sesayang apapun dia ke gue, gue ke dia, ngga akan mengubah apapun, Brietta. Gue ngga bisa, sama sekali ngga bisa. Lo masih bisa ketemu cowok dan jatuh cinta lagi, tapi gue udah ngga ada harapan apapun. Karena hasil akhirnya bakalan sama aja, gue ngga bisa berkomitmen."
Brietta menghela napas kembali. "Jadi selanjutnya lo mau gimana sama Baim dan Rado?"
"Mau ngga mau gue harus jujur soal phobia gue ini, Bri. Ngga ada cara lain."
"Kayaknya cuma kita aja yang hasil akhirnya ngga bahagia begini ya?", Brietta meringis.
"Kenapa lo ngomongnya begitu? Lo masih punya kesempatan buat ketemu orang dan jatuh cinta lagi kan gue billang?"
"Dan gue juga udah bilang kalau masalah gue sekarang terletak di nyokap gue sendiri, Namira."
"Lo ngga punya gebetan atau teman yang cukup dekat gitu?"
"Siapa? Teman cowok yang dekat sama gue selama ini ya cuma Rado, ngga ada yang lain lagi. Duh, plis deh Nam, lo juga udah tau kan kalau gue ini ngga punya banyak teman cowok dari jaman kuliah. Kebanyakan cuma sekedar kenal doang, ngga ada yang bener-bener deket."
Namira mengangguk pelan, "Iya juga ya, kalo diinget-inget lo ngga terlalu deket sama teman cowok di kampus, padahal banyak yang nyoba deketin lo, kan?"
"Justru karena mereka tujuannya cuma nyepikin gue dan ngegombalin gue, jadi mendingan gue menghindar aja. Gue ngga mau baper, gue ngga mau sakit hati."
"Tapi kenapa sama Rado lo mau?"
"Karena dari awal gue ngelihat dia bukan tipikal cowok yang demen nyepik. Gue perhatiin cuma sama gue doang dia bisa luwes, sama temen cewek yang lain dia cuek-cuek aja.", Mata Brietta melirik ke arah Namira, "Ah, sama lo juga. Dia bisa luwes sama lo juga."
"Ah, jangan bawa-bawa gue kenapa sih?", Namira beranjak dari bangkunya, mengambil dua gelas dan botol air mineral ukuran besar.
"Lo sama Rado sebenarnya gimana, Nam?", tanya Brietta setelah meneguk airnya hingga tandas.
"Gue ke Rado ya biasa aja, yang gue rasain justru ngga enak sama Baim, apa lagi sama lo, Bri. Gue ngerasa bersalah banget."
"Lah, buat apa lo merasa bersalah? Lo sama sekali ngga salah soal ini, Namira."
"Karena lo punya perasaan ke Rado. Dia pun begitu ke lo."
"Ah, udahlah, udah ngga penting lagi."
KLING! Sebuah notifikasi pesan masuk muncul di layar ponsel Namira.

From: Ghina's Fiancee
Kedai lo besok malam free nggak? Bikin mini party yuk! Si Rado kupret jadi dikirim ortunya ke Mesir nih!

Namira tertegun membaca pesan dari Andra itu. Sedetik, dua detik, tiga detik, dia hanya bisa menatap layar ponsel dengan nanar. Membuat Brietta yang melihatnya bertanya-tanya.
"Kenapa, Nam?"
"Bri..Rado mau ke Mesir."
Brietta mendelik kaget. "Seriously?"
*
"Lo aja dah yang bilang langsung ke Namira, masa harus gue.", keluh Andra pada Rado yang semenjak tadi mendesaknya agar mau memberi info soal rencana kepergiannya pada Namira. "Kalau ngga minta Baim sana!"
Rado berdecak, "Yaelah, bro, kali ini aja lo ngga bisa bantuin gue apa? Lagian lo tau sendiri hubungan Baim sama Namira lagi gimana sekarang. Gue ngga sanggup ngomong langsung ke dia, jadi lo aja ya yang ngasih tau. Bilang aja lo mau nyewa kedai buat acara perpisahan gue atau gimana kek."
"Eh, monyong, kalau mau nyewa kedai gue bisa ngomong ke Ghina ngga pake ke Namira juga."
"Eh, kampret, misi sebenarnya kan mau ngasih tau dia kalau gue mau ke Mesir bukan mau party beneran. Lo ngga peka banget sih, Ndra, masyaallah!"
"Ribet amat lo jadi orang dah!", cibir Andra, bete.
"Tinggal ngirim pesan WhatsApp aja susah amat sih, Nyet!", balas Rado mulai sewot.
"Kalo menurut lo gampang kenapa ngga lakuin sendiri?", sebuah suara yang terdengar tak asing mendadak masuk dalam obrolan mereka. Andra dan Rado menoleh serempak ke arah pintu kamar kos Andra.
Baim berdiri di sana dengan wajah tersenyum simpul.
"Lo dari kapan di situ? Baru nyadar gue.", sapa Rado sedikit canggung mengingat terakhir mereka bertemu dalam situasi yang kurang mengenakan.
"Lo ngga mau nanyain kabar gue, Nyet? Sombong ya mentang-mentang mau cabut dari Indonesia.",tukas Baim dengan nada bercanda. Andra tertawa geli melihat kecanggungan di antara dua temannya itu.
Rado melirik Andra, "Yang ngasih tau dia..elo?", tanyanya sambil berbisik. Andra mengangguk sembari terkekeh.
"Mau ngabarin Namira?",tanya Baim seraya menghampiri Andra dan Rado di atas tempat tidur. "Perlu bantuan gue?", Baim menawarkan diri.
"Ah, gue udah minta tolong Andra. Baru mau dikirimin WhatsApp. Ya kan?"
"Gue heran dah sama ini bocah, mendadak tingkahnya kayak baru masuk masa puber." Andra menggelengkan kepalanya.
"Gue udah ngga heran lagi malahan." timpal Baim enteng.
Rado menatap Baim canggung, "Maafin gue Im, gue ngga ada maksud.."
Baim mengibaskan tangannya di depan wajah, "Ngga perlu, lo ngga salah juga lagian. Guenya aja yang rada sensi sama sikap lo yang begitu mulu dari dulu. Bikin gue ngga enak sendiri."
"Soal gue sama Namira..", Rado menelan ludahnya, "Udah gue lupain. Gue ngga mau bikin masalah baru. Toh gue juga mau pergi."
"Serius banget ngomongnya."
"Ya masa gue bercanda di saat begini, Im?"
"Lo perginya ngga bercanda?"
"Emangnya gue keliatan lagi bercanda sekarang?"
"Gue kangen candaan lo dan bakal kangen seterusnya, Do."
Andra melirik geli pada Baim dan seketika tawanya menggema tanpa permisi menyisakan suasana aneh di antara Baim dan Rado.
"Udah mending lo berdua pelukan dah sekarang!", ujar Andra di tengah tawanya yang tak kunjung berhenti.
"Bajingan, merinding gue bego!" Rado melempar bantal ke muka Andra, gemas.
"Goblok, gue yang paling merinding ini!", timpal Baim sembari terkekeh pelan.
"Geli najis!", umpat Rado pada Baim.
"Tapi serius dah, gue bakal kangen sama lo nanti."
"Pelukan aja ayoo pelukaann!!" Andra makin mengompori.
"TAEEE UDAH WOY GUE GELI ANJRIT!"

to be continued..



Sabtu, 23 September 2017

Tell Me Why (Part 22)

Andra menutup lokernya sembari mendesah pelan. Tangannya memijat keningnya sendiri, pening melanda sejak pagi hingga malam begini. Dilirknya arloji di pergelangan tangan kirinya, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menghela napas panjang.
Lelah sekali, setelah dua hari kemarin disibukkan dengan acara pertunangannya dengan Ghina, tanpa diberi jeda untuk libur dia kembali ke medan permesinan. Sialnya, dia langsung diberi tanggungan begitu banyak karena atasannya merasa dia yang paling mahir dalam pekerjaan ini. Andra mengeluh dalam hati, harusnya dia ditempatkan satu bagian dengan Rado atau Baim agar bisa melempar atau sekedar membagi pekerjaannya dengan temannya itu. Namun sayangnya kali ini dia diharuskan keluar dari zonanya dan mengerjakan semuanya sendirian. Ah sial. Terlalu mahir dalam permesinan ternyata kurang menguntungkan juga. Andra sedang tidak memikirkan soal materi sekarang, yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya dia bisa ambil cuti untuk melakukan hibernasi panjang.
Tiba-tiba terdengar dering ponselnya, di sana tertulis 'Ghina's calling'. Ya, hanya Andra saja mungkin satu-satunya lelaki di Indonesia yang hanya menamai tunangannya seperti itu, hanya 'Ghina' tidak ada embel-embel 'sayang', atau 'baby' atau yang lainnya.
"Halo?", Andra menerima panggilan itu dengan nada lesu. Berharap Ghina bisa mendengar suara lemahnya dan tidak mengajaknya ngobrol panjang lebar atau meminta hal yang aneh-aneh.
"Yang, kamu belom pulang?", tanya Ghina, Terdengar ada nada khawatir di sana.
"Iya, dikasih lembur sama si Boss."
"Ah, ya udah kalau gitu kamu langsung pulang aja. Kita batalin aja dinner kita ya."
Andra tertegun. Dinner? Ah, Andra menepuk dahinya sendiri. Dia bahkan sampai lupa ada janji makan malam dengan Ghina.
"Duh, maaf ya sayang. Aku lupa ngga ngasih tau kalau aku lembur hari ini."
"It's okay babe, aku tuh tadi khawatir takutnya kamu kenapa-kenapa. Soalnya aku tadi papasan sama Baim yang baru pulang kerja. Dia cuma bilang kalo kamu dipindahin ke bagian lain makanya dia ga ketemu kamu."
Andra tersenyum sendiri mendengarnya.Hal inilah yang paling disukai dari Ghina, dia tidak mudah ngambek hanya karena persoalan sepele. Namun kalau ada sesuatu hal penting yang mendesak, pasti dia akan rewel dan tidak setenang ini. Intinya Andra suka sikap Ghina yang tidak kekanakan, meskipun dia tau kalau tunangannya itu sewaktu-waktu bisa jadi berubah sangat menyebalkan karena tuntutan pentingnya tidak segera dikabulkan. Menikahinya, salah satunya.
"Tapi kamu udah makan kan?", tanya Andra seraya mengunci lokernya dan berjalan ke luar ruangan itu.
"Ini baru kelar makan. Tadi aku papasan sama temen kuliah kita, Yang. Terus dia ngajakin ngopi ya sekalian makan juga."
"Cowo?", tanya Andra dengan nada retoris.
"Cewek kok."
"Namanya?"
"Kanaya. Dia satu jurusan sama kamu, Yang. Anak mesin juga."
Andra tercengung. Sebentar, sepertinya nama itu tidak asing baginya. Sepertinya dia juga kenal tapi tidak begitu ingat yang mana orangnya.
Namun tak lama akhirnya Andra tersadar akan sesuatu. Ya ampun!
*
Brietta melempar clutch bagnya asal disusul badannya sendiri ke tempat tidurnya. Melepas sepatu hak tingginya dan menelentangkan tubuhnya agar nyaman. Dia menghela napas panjang. Pikirannya kembali pada Rado yang entah kenapa sejak acara pertunangan Ghina dan Andra kembali mengusiknya yang belakangan ini disibukan oleh acara kencan buta yang didalangi oleh Sang Mama. Sejujurnya Brietta sama sekali tidak berminat dengan kencan buta itu sama sekali, dia mau melakukannya karena orangtuanya yang mendesaknya terus-terusan. Tujuannya hanya satu, agar Brietta mendapatkan jodoh yang sesuai dengan keluarga mereka dan tidak lagi coba-coba menjalin hubungan yang salah.
Sayangnya acara kencan buta itu tidak pernah berjalan sesuai harapannya. Sudah empat pria yang bertemu dengannya tapi sama sekali tidak ada yang cocok dengannya baik secara penampilan atau perilakunya. Pria pertama seorang arsitek muda, anak dari pengusaha properti, secara materi sudah menjanjikan, namun Britta tidak melihat adanya ketertarikan satu sama lain. Bahkan dengan terang-terangan menilai Brietta hanyalah seorang gadis manja yang tidak bisa mandiri.
Pria kedua secara penampilan sangat menarik, tampan, tinggi juga wangi. Namun dia mengakui kalau dia sudah bertunangan dengan gadis pilihannya sendiri secara diam-diam tanpa sepengetahuan orangtuanya.Yang ketiga, sebenarnya termasuk kategori idaman Brietta; tsundere. Di luar begitu dingin namun begitu menghanyutkan. Sayangnya komunikasi mereka tidak berjalan baik, hingga mendadak hilang kontak begitu saja. Dan pria keempat adalah pria yang pernah diceritakannya saat acara pertunangan Ghina dan Andra. Seorang pria dewasa, pengusaha mapan namun tampangnya seperti seorang duda beranak lima yang anak pertamanya sudah kuliah semester dua. Atau dengan kata lain, dia nyaris dijodohkan dengan perjaka tua usia 39 tahun.
Astaga! Brietta menutup wajahnya sendiri. Memikirkan betapa rumit hidupnya sekarang. Betapa tidak rileks dirinya belakangan ini. Dia membutuhkan seseorang yang bersedia menemaninya, mengisi waktu luangnya hanya untuk makan dan berbincang bersama. Tapi siapa orang itu? Brietta tidak punya teman dekat di kantornya. Rata-rata teman laki-lakinya sudah berpasangan dan tidak menyisakan seorang jomblo untuknya. Sedangkan teman sekolah, teman kuliah, ah, Brietta bukan termasuk gadis yang supel sehingga tidak terlalu dekat dengan laki-laki. Namun berbeda rasanya ketika Ia bertemu Rado. Seketika saja pandangan laki-laki itu langsung menghunus tepat di jantungnya.
Brietta menghela napas panjang seraya menggelengkan kepalanya keras. Menyadarkan diri agar tidak terlarut kembali memikirkan seorang Rachmadi Dulhazan yang kini masih setia bertengger dalam hati dan pikirannya itu.
"Bri..", Brietta tersentak dengan sebuah panggilan di balik pintu kamarnya. Suara Sang Mama.
"Pintunya ngga dikunci, Ma.", sahut Brietta.
"Kamu ngga jadi ketemu Albert hari ini?", tanya Mamanya sembari menghampirinya di tempat tidur.
Brietta berdecak, "Ma, sampai kapan sih Mama mau begini ke aku? Ngga nyaman tau rasanya, Ma."
Mamanya menggeleng pelan, "Ini semua kan Mama lakukan buat kamu juga. Mama cuma mau yang terbaik buat kamu."
"Dengan tidak membiarkan aku menentukan masa depan aku sendiri?", tanya Brietta retoris, "Udahlah, Ma, aku capek dengan acara kencan buta begini. Toh sama sekali ga ada gunanya, sia-sia, buang waktu."
"Apa cuma si Rado saja yang ada di kepalamu, Bri?"
DEG! Brietta merasa ada yang lompat secara mendadak di dadanya. Matanya berpaling ke arah lain, sungkan menatap Mamanya.
"Lupakan dia, Brietta. Masih banyak laki-laki yang satu agama dengan kita, masih banyak yang lebih baik dari pada dia."
"Masalahnya Ma.. siapa laki-laki itu? Mana laki-laki itu? Sampai saat ini Brietta belum juga ketemu sama yang Mama maksud. Dan yang selama ini aku temuin atas dasar perintah Mama itu semuanya freak, aneh, gila, ngga waras. Mama mau punya mantu macam begitu?", Brietta mendengus lagi. Lalu beranjak dari tempat tidurnya, mengambil handuk dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi.
"Jadi kamu mau melawan Mama sekarang?", pertanyaan keras dari Sang Mama membuat tangan Brietta menggantung di atas kenop pintu kamar mandinya.
"Maaf, Ma. Tapi aku juga capek kalau disuruh begini terus. Aku ngerasa Mama dan Papa udah ngga percaya sama anaknya sendiri sama sekali.",
Brietta menoleh Mamanya yang memandangnya dengan tatapan emosi yang ditahan begitu dalam.
"Biarin aku menentukan apa yang terbaik buat aku sendiri, Ma. Tolong. Aku cuma mau kalian percaya sama aku."

to be continued..

Sabtu, 16 September 2017

Tell Me Why (Part 21)

Sudah lewat pukul dua pagi, dan sudah tiga bungkus Sampoerna Mild habis terisap sendiri. Rado menghela napas yang terasa begitu berat, dan juga sesak. Karena selama ini dia tidak pernah merokok sebanyak ini. Setengah bungkus saja dia sudah menyerah karena paru-parunya lemah dan saat masih kecil dia pernah terserang asma. Tapi malam ini dia mampu menghabiskannya sendiri, tanpa ada yang mengusik. Musik hip-hop ballad mengalun pelan menemaninya di balkon kamarnya. Matanya melirik jam dinding, lalu mendesah pelan.
'Harusnya gue ambil air wudhu, solat istikharah, bukannya malah begadang sambil merokok begini. Kurang alkohol aja nih, dan juga Andra buat nemenin.' batinnya seraya menghisap rokoknya kembali. Ia meringis.
Diambilnya ponsel di atas tempat tidurnya, tertera duapuluh panggilan tidak terjawab dari Andra. Sejak Ia kabur dari acara pertunangan Ghina dan Andra, Andralah yang paling sibuk mencarinya. Baim? Sepertinya dia terlalu canggung untuk mengejarnya.
Rado melemparkan ponselnya kembali ke atas tempat tidurnya dan kembali duduk di balkon. Matanya memandang langit yang gelap, berawan, tak berbintang. Suasana malam seakan mendukung perasaannya kali ini.
*
"Jawab gue", Namira menarik lengan Rado yang hendak menaiki motornya. Rado menepis tangan Namira kasar.
"Apa? Lo mau nuntut jawaban apa lagi dari gue? Udah gue jelasin semuanya Mir, mau apa lagi sih lo?", Rado menstater motornya. Kembali Namira menarik lengannya.
"Kenapa ngga bilang dari dulu?"
"Mau bilang dari dulu kek, mau bilang sekarang, bedanya apa?"
"Bedanya dulu gue naruh perhatian ke lo tapi lo terlalu buta buat melihatnya!", Namira mendengus. "Gue sadar kalau lo beda, lo ngga seperti Baim yang ngga bisa nunjukin kepeduliannya langsung ke gue. Bisa aja gue balas perasaan lo, tapi.."
Rado terpaku, perasaannya mendadak kacau mendengar pernyataan Namira yang mengejutkannya.
"Tapi apa?",
"Gue ngga bisa nyakitin lo, gue ngga mau mainin perasaan orang sebaik lo. Makanya gue ngga terlalu merespon lo lagi saat itu.", Namira menarik napas panjang, "Karena gue sadar bahwa gue ngga akan bisa sama lo, kalaupun bisa bakal sampe berapa lama? Gue bener-bener ngga mau nyakitin lo, Do."
"Kenapa lo gampang banget mikir kalau lo ngga akan bisa sama gue sedangkan sama Baim.."
"Karena Baim sahabat gue dari kecil, mau gimana juga dia adalah sahabat gue. Sedangkan lo adalah orang lain, gue ngga tau bakal gimana akhirnya kalau sampai hal itu terjadi. Pikiran gue dulu terlalu sederhana, gue ngga tau kalau kenyataannya sekarang lebih runyam dari itu."
Rado menghela napas, "Ya udahlah, udah lewat juga. Mau kita bahas juga percuma, Mir."
"Bahkan sama Baimpun gue ngga akan bisa sebenarnya Do asal lo tau."
"M-maksud lo?",tanya Rado
"Gamophobia.", jawab Namira tanpa menatap wajah Rado. Ia menghela napas kembali. "Bukan sebuah penyakit mematikan sebenarnya, tapi tetap aja menyiksa hidup gue. Gue jadi ngga bisa berkomitmen dengan siapapun sekalipun gue cinta sama orang itu. Gue baru bilang soal ini ke Brietta dan lo, Do. Baim belum tau soal ini. Gue ngga minta lo buat ngertiin gue, tapi gue minta lo jangan cerita soal ini ke Baim dulu ya."
Rado tertegun. Ia menatap Namira tanpa mengucapkan apapun.
*
Pukul 4:35 pagi, suara azan Subuh berkumandang dan mata Baim masih terjaga sejak semalam. Iapun beranjak dari tempat tidurnya, mengambil air wudhu, mengenakan pecinya kemudian berjalan menuju masjid dekat rumahnya. Ada sebuah dorongan kuat yang menyuruhnya untuk melakukan sebuah kewajiban yang sudah cukup lama ia tinggalkan itu. Sewaktu kecil hingga SMP dia masih rajin datang ke masjid untuk salat berjamaah, namun setelah beranjak dewasa dia malah melalaikannya. Ia lebih memilih salat sendiri atau berjamaah dengan adiknya saja di rumah.
"Lho, Mas Baim?", sapa seseorang di tengah perjalanannya ke masjid. Baim menoleh.
"Eh, Pak RT.Kabar baik, Pak?", sapa Baim ramah.
Sebenarnya Pak RT di kompleknya ini adalah salah satu orang yang membuat Baim canggung saat bertemu atau sekedar berpapasan. Karena hobinya yang unik tapi terkadang bikin tak nyaman juga; menjodoh-jodohkan warganya yang lajang alias makcomblang. Pernah Baim hampir dicomblangkan dengan adik teman Pak RT yang usianya tiga tahun lebih tua darinya. Beruntungnya hal itu tidak sempat terjadi lantaran si perempuan mendadak dilamar orang lain.
Dan kali ini, Baim berharap dalam hati semoga tidak ada tanda-tanda percomblangan lagi.
"Baik alhamdulillah. Udah lama nih ngga lihat mas Baim ke masjid, dulu biasanya setiap hari ke masjid terus kalau Subuh begini."
Baim tersenyum simpul, "Ya gitulah Pak, dulu masih belum kerja, belum ngerasain jaga malam di tempat kerja."
"Masih kerja di Bekasi, Mas?", tanya Pak RT lagi. Baim mengangguk.
"Wah, Jakarta-Bekasi kan lumayan jaraknya, Mas. Lintas galaksi kalau anak sekarang bilangnya. Ndak pengin kos saja Mas di sana?"
Baim terkekeh, "Ngga jauh juga kok, Pak. Lagian lumayan bisa buat jalan-jalan ngabisin bensin."
"Ngabisin bensinnya ngajak temen dong, Mas. Teman cewek lebih asyik."
"Jangan lah, kasian kalau diajak naik motor nanti bedaknya luntur."
"Ah, saya ada nih teman buat Mas Baim ngabisin bensin.", celetuk Pak RT dengan wajah semringah. Baim bisa menebak ke mana arah percakapan ini.
"Ngomong-ngomong, Mas Baim dulu satu kampus sama keponakan saya kan ya?"
"Wah, kurang tau Pak. Memang keponakan Pak RT yang mana, namanya siapa?"
"Iya kayaknya, sekarang juga kerja di Bekasi, di perusahan elektronik juga jadi staf administrasi kalau ndak salah. Dulu fakultas teknik, namanya Kanaya Nugraha."
Baim tercengang.
"M-maaf, siapa pak?"
"Kanaya Nugraha, kenal toh?".
Sebuah kebetulan yang sedikit mengejutkan. Ah, tidak, ini  sudah terencana oleh semesta.
Baim mengangguk. "Iya, Pak. Dulu satu fakultas."
"Dia baru aja putus sama tunangannya, Mas. Dan saya rasa sekarang dia butuh seseorang yang mau menemani. Mas Baim.. bersedia?"

Baim tercengang.

WHAT ON EARTH IS THAT?!

to be continued..

Minggu, 20 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 20)

Namira menelan ludah. Semua pasang mata menyorotinya dengan tatapan meminta penjelasan setelah celetukan Baim yang seketika menyudutkannya, berdua dengan Rado.
"Lho? Yang bener gimana nih?", Ghina menoleh ke arah Rado, "Jadi sekarang lo ke Namira nih, Do?"
"Seriusan?", susul Andra bertanya pada Rado yang mendadak pucat.
"G-gue kan cuma ngobrol biasa doang, Ndra. Ngga gimana-gimana.", jawab Rado akhirnya. Matanya tak berani menatap Baim yang sedari tadi menyorotinya tanpa jeda.
Namira menoleh Baim, "Lo apaan sih, Yu? Ngga usah kekanakan gitu deh. Nyantai aja cemburunya."
Baim tercekat mendengar ucapan Namira, "Gue? Cemburu?"
"Kalau ngga cemburu ngapain lo ngomong pake nada ketus begitu? Emang kenapa kalo gue ngobrolnya sama Rado? Dia temen gue juga kayak yang lain, dia enak diajak ngobrol apa aja, toh Brietta aja santai kok. Kenapa lo yang kedengarannya ngga terima gitu sih?", entah energi dari mana yang membuat Namira secara spontan bicara membabi buta seperti itu.
Baim tercengang, tidak menyangka respon Namira akan seperti itu. Rado yang tepat di sebelah Namira kontan menepuk bahu Namira, mengisyaratkan agar ia tenang dan jangan terbawa emosi.
"Eh, udah deh kok malah jadi ketus-ketusan gini. Please, guys, today is my day, waktunya buat hepi-hepi.", Ghina angkat bicara, menengahi.
"Kayaknya gue perlu ngomong berdua sama lo deh, Do.", ucap Baim pada Rado.
"Gue?", ulang Rado sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Apaan sih, Yu?", tanya Namira ke Baim.
"Gue mau ngomongin sesuatu sama Rado, ngga usah ikut campur lo."
"Gaaeeess, kalian ini apaan deh kenapa jadi gini ah!", Brietta yang sedari tadi diam ikut berkomentar.
"Mendingan kita makan aja yuk,yuk!", ajak Ghina antusias seraya menarik Andra. "Come one, babe! Kita aja deh yang ngalah, situasi lagi ngga enak banget ini. Aku ngga mau terbawa suasana.", bisik Ghina pada Andra yang enggan beranjak dari kursi.
"Ngga, aku kayaknya harus ikut Baim sama Rado deh. Takut mereka berantem ngga ada yang ngelerai.", balas Andra juga sambil berbisik.
"Beebbb!", rengek Ghina seraya menggelengkan kepalanya.
"Kamu ajak Brietta aja ya.", Andra menoleh Brietta, "Bri, temenin Ghina makan ya."
Brietta langsung mengerti maksud Andra, Ia mengangguk kemudian menggandeng lengan Ghina menuju meja prasmanan.
"Jangan di sini, di luar aja.", ucap Baim seraya beranjak dari kursinya lalu diikuti Rado.
"Gue ikut.", Namira berdiri.
Baim menggeleng. "Lo di sini aja sama Andra."
"Sebenernya masalah lo sama Rado apaan sih?", tanya Andra sambil berkacak pinggang. "Mendadak kok jadi aneh banget begini?"
"Gue juga ngga ngerti, Ndra. Baim jadi rada beda sama gue belakangan ini.", jawab Rado.
"Lo tuh yang kenapa? Kenapa lo dari dulu masih gini-gini aja ke gue?", tanya Baim ke Rado.
"Maksud lo apaan? Emang gue gimana?"
"Ikut gue ke luar, jangan di sini."
*
Di teras rumah Ghina, Baim, Rado, Andra dan Namira berdiri secara tak beraturan. Baim dan Andra saling berhadapan, Andra menyandar pada tiang bangunan, sedangkan Namira berdiri di dekat pintu.
"Kenapa lo masih munafik aja sih sama perasaan lo sendiri, Do?"
Rado tertegun mendengar pertanyaan Baim. "Gue munafik dari segi mananya Im?"
"Gue tau kalo dari awal perasaan lo ke Brietta cuma buat pelarian doang kan? Sebenernya hati lo masih berat buat ngelepas..", Baim menghela napas pendek. Matanya menunjuk ke arah Namira.
"Dia kan?"
Kontan terdengar pekikan Andra yang pelan namun tajam. Namira sendiri hanya tercengang tanpa kata.
Rado terbelalak, dia tidak menyangka Baim semudah itu membaca isi hatinya.
"Men, gue ke Namira cuma nyaman sebagai temen. Lain ke Brietta, gue jatuh cinta sama dia, bahkan sampai saat ini."
"Masih inget ngga lo sama kasus Kanaya jaman kita masih kuliah dulu?"
Rado mengangguk.
"Lo ngorbanin perasaan lo dan ngelepas Kanaya gitu aja setelah tau kalau dia suka sama gue. Dan saat itu gue minta lo janji ngga bakal begitu lagi ke gue kan, Do?"
"Lah, gue udah tepatin, Im."
Baim menggeleng. "Lo ngga jujur soal Namira ke gue dari dulu, Do. Kenapa lo ngga bilang terus terang kalau sebenarnya lo mau sama Namira sejak dulu?"
"Wah, lo kayaknya salah paham deh, Im. Gue ngga pernah bilang begitu. Tanya Andra sana, justru dia yang pernah bilang kalau dia ketemu Namira dulu sebelum Ghina..."
"Wey, kenapa jadi bawa nama guaaa?", Andra lantas menghampiri Rado kemudian mendorong bahunya pelan. "Bohong dia, Im. Jangan percaya!"
"Halah ngga usah sok bego, lo. Gue masih inget nyet dulu lo bilang kalau aja belum ketemu Ghina lo bakal ngejar Namira.", cibir Rado yang seketika membuat Andra menoleh Namira seraya menggleng keras.
"Jangan percaya, Mir. Sialan lo emang!", Andra membuat gerakan ingin menghantam Rado tapi ditariknya kembali.
Baim mendengus, "Kalau soal Andra gue ngga yakin dia serius sama omongannya. Tapi beda sama lo, Do. Tanpa bilang apapun udah ketahuan banget dan kelihatan jelas gimana cara lo ngeliatin Namira, ngobrol sama dia, dan gue tau banget hampir tiap hari lo stalkingin semua medsosnya kan?"
"Iya gue akuin kalau soal itu bener. Tapi gue kan udah bilang kalau gue ke Namira ini cuma.."
"Jaket pink yang lo beli di mall sama gue itu aslinya bukan buat Brietta kan? Tadinya lo mau ngasih kado ulangtahun buat Namira tapi setelah gue bilang kalau Namira paling ngga suka sama pink, lo akhirnya ngasih tuh jaket ke Brietta kan?"
Namira tercengang, "Do, lo serius?"
"Gue juga kayaknya pernah denger soal jaket itu deh. Dan sebelum itu Rado nanya ke gue butuh jaket cewek apa ngga soalnya dia mau jual.", Andra mengingat-ingat.
"Ya, i-itu kan.."
"Gue baru kepikiran dan keingetan semua itu belakangan ini, Do. Setelah gue perhatiin beberapa hari ini motor lo sering ada di depan rumah Namira. Kemaren juga lo ke kedai kan?"
"Ya terus kenapa sih, Yu, kalau Rado main ke kedai gue? Toh dia ngga gue traktir, dia makan, minum, bayar sendiri.", Namira melipat kedua tangannya, menghampiri Rado dan Baim, berdiri di antaranya.
"Gue ngga masalah soal itu. Yang gue masalahin kenapa dia ngga mau ngaku dan jujur ke gue."
"Gini deh, dari pada bikin salah paham mendingan lo jelasin aja semuanya deh, Do. Asli gue puyeng banget ngeliatnya kayak lagi nonton FTV siang bolong yang alay minta ampun itu tau ngga. Lagian lo kenapa jadi drama banget gini sih, Im?", Andra mengerutkan dahinya, bingung.
"Gue cuma mau minta Rado jujur."
"Terus kalaupun iya, dia ngaku kalau suka sama Namira, lalu apa? Lo mau ngapain?", tanya Andra lagi.
Baim terdiam sebentar, menarik napas dalam-dalam.
"Gue ikhlasin kalau lo emang mau sama Namira, Do."
"Sumpah lo?!", seru Andra. "Sekalipun dulu dia ngaku suka sama Namira sebelum lo, lo juga.."
"Ngga apa-apa, seenggaknya dia ngga ngorbanin perasaannya lagi."
Rado melotot. "Im, gila lo ya!"
"Haaah??! Apaan sih lo?!", Namira mendorong bahu Baim. "Dikira gue barang apa lo lempar lalu ikhlasin gitu aja? Nggak!", seru Namira kesal.
"Kalau Radonya mau sama lo giimana?", tanya Baim.
"Ya jelas enggak lah!"
Rado tersentak. Andra memekik pelan, seperti biasa. Baim tertegun sambil terus menatap Namira yang dengan tegas menolak perasaan Rado.
"Wayu lo jangan aneh-aneh lah. Sama lo yang gue sayang setengah mati aja nggak bakalan bisa jadi. Apa lagi sama Rado yang gue ngga punya perasaan apa-apa."
"See, Namira bilang dia ngga ada perasaan apapun ke gue. Gue pun begitu, Im. Cuma nyaman sebagai teman. Lagian dia cuma sayang sama lo, Im walaupun udah putus juga", ujar Rado tenang.
"Lo bisa bilang begitu karena udah denger langsung Namira bakal nolak lo kan?"
"Im, plis lah jangan menyudutkan gue begitu. Gue udah bicara sejujur-jujurnya ini kenapa masih tetep aja.."
Baim menggeleng, "Gue tahu lo bohong."
"Gue ngga bohong, Im!"
"Harusnya gue dulu lebih peka sama lo ya daripada akhirnya lo munafikin perasaan lo sendiri."
"Eh, apaan sih?"
"Dan soal Kanaya, gue ngga pernah jadian sama dia. Menaruh hati aja enggak."
Rado mengangguk, "Iya gue tahu."
"Tapi soal Namira lain ceritanya. Dan lo masih aja..udahlah ngaku aja Do!"
"Gue ngaku kalau gue nyaman sama Namira sebagai teman!"
"Gue tahu kalau sebenernya lebih dari itu!"
"Lah, kenapa jadi lo yang sotoy?"
"Hey, hey, calm broo!", Andra menengahi. "Lo juga aneh sih Im, maksa banget Rado buat ngakuin yang sebenernya buat apa dia akuin. Ngga penting banget Im, asli!"
"Kan udah gue bilang, gue mau Rado jujur sama perasaannya. Seenggaknya dia berani ngakuin ke gue, bilang terus  terang."
Rado mendengus, "Muka gue kayak penipu banget apa sampe bikin lo ngotot ngga percaya gitu sama gue?"
Namira menepuk Rado, "Udahlah Do, perdebatan ngga penting gini mendingan udahin aja. Si Wayu emang alay banget sekarang. Drama!"
Baim menghela napas, "Bela Rado banget?"
"Ih, ngga usah drama kenapa!"
"Mendingan udahan aja yuk terus masuk ke dalam, kita makan..", ujar Andra yang kemudian ditepis Baim.
"Ngaku aja kenapa sih?"
"Ngaku apa lagi yaelah, nyet!"
"Akuin aja perasaan lo ke Namira, setan!"
"Kalaupun gue ngaku untungnya apaan buat gue?! Ngga ada kan?! Namira udah bilang ngga akan bisa sama gue. Terus buat apa gue ngaku, setan!"
Baim tertegun. Namira tercekat. Andra menutup mulutnya sendiri agar tidak memekik dengan lantang.
Secara tidak langsung Rado sudah mengakui perasaannya terhadap Namira.
Rado mengutuk dirinya sendiri dalam hati.

'Dasar goblok!'

to be contiunued..

Minggu, 13 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 19)

Jakarta, 2010
Baim melirik kalender yang berada di atas mejanya. Sudah memasuki bulan November, hujan mulai sering mengguyur jalanan Ibukota. Baim mengeluh, padahal baru semester awal kuliah tapi semangatnya mendadak lenyap bak tersapu oleh hujan deras yang hampir setiap hari turun. Dia meletakkan kembali buku dan penanya dan berjalan menuju balkon kamarnya. Memandang hujan yang semenjak pagi tak kunjung reda.
"Bang! Ada Bang Rado tuh di bawah!", seru Mail, adiknya tiba-tiba.
Baim tercenung, tumben sekali teman barunya itu datang ke rumahnya di kala hujan begini, mana mendadak pula.
Ya, Rado adalah salah dua teman Baim yang seketika langsung bisa akrab dengannya, sedangkan yang pertama adalah Andra. Entah sifat Baim yang mana yang membuat Rado betah menjadi teman baik Baim yang cenderung kaku dan kurang supel. Mereka beretemu pertamakali saat masa Ospek dan berada dalam satu regu yang sama, bersama Andra juga. Awalnya Baim merasa partnernya tidak ada yang cocok dengannya, karena Rado yang kelihatan sotoy dan Andra yang pemalas dan urakan. Namun beruntung karena ada dua teman lagi yang cukup membuatnya nyaman karena sepaham dengannya. Saat itu Baim merasa bahwa kedua temannya itu akan menjadi teman baiknya kelak saat kuliah, nyatanya mereka malah pisah kelas. Sialnya, Baim bertemu lagi dengan Rado dan Andra di kelas yang sama.
Namun seiring berjalannya waktu, Baim akhirnya bisa melihat sisi lain dari Rado yang sotoy juga Andra yang urakan. Rupanya mereka tidak seburuk yang Baim bayangkan. Rado yang ternyata anak dari seorang pendiri pesantren, punya sifat dermawan dan rajin beribadah. Dia juga termasuk anak yang pandai dan cepat tanggap dalam belajar. Andra yang terlihat begitu urakan, tampilannya bak preman jarang mandi, tapi dia sangat solid dalam berteman, tidak memandang apapun dalam pertemanan. Andra yang dikira Baim seorang playboy, ternyata sangat menghormati perempuan. Dan lucunya dia malah baru pernah pacaran satu kali, itupun saat dia masih SMP.
Begitupun Rado dan Andra yang memaklumi sifat kaku dan canggung dari Baim yang menurut mereka justru unik karena tidak sesuai dengan wajahnya yang manis dengan perawakan yang begitu manly.

Baim pun turun dari kamarnya dan menghampiri Rado di ruang tamu.
"Ada apa, mas? Ke kamar gue aja.", ucap Baim pada Rado yang lantas menggeleng saat mendengar Baim masih memanggilnya mas.
"Ahelah gue udah bilang berapa kali kalo panggil gue Rado aja ngga usah pake mas-mas segala.", tukas Rado.
"Ya tapi tetep aja lo lebih tua dari gue setengah tahun, Mas."
Rado mendengus, "Geli ah gue lo panggil begitu. Eh gue ngga lama kok, ke sini cuma mau ngasih titipan buat lo. Dikasih amanah nih suruh dianterin sekarang juga ke rumah lo."
Baim memandang bingung ketika Rado menyodorkan kantong plastik berisi kotak berukuran sedang.
"Apaan nih? Dari siapa?"
"Dari Kanaya. Ngefans berat sama lo katanya."
Baim tercengang. Mendengar nama Kanaya dia teringat saat Rado pernah cerita soal gadis yang disukainya. Mereka satu jurusan namun beda kelas. Dan kalau tidak salah namanya..Kanaya.
"Bentar..", Baim memegang dagunya, sedikit mengingat-ingat. "Dia ini Kanya yang lo pernah ceritain itu bukan sih?"
Rado mengangguk pelan.
"Dia cewek inceran lo kan, Mas?"
Rado mengangguk lagi. "Tapi udah gue lepas, gue mau cari yang lain aja."
Baim terdiam, bingung hendak menanggapi apa setelah tau gadis yang disukai temannya malah menyukainya.
"Ya mau gimana lagi, Im. Dia maunya sama lo. Lo gimana nih ke dia, mau juga?", tanya Rado dengan senyum yang dipaksakan. "Tadi gue disuruh nemenin dia beli sepatu cowok dan suruh milihin mana yang cocok dengan selera cowok. Ya gue pilihin aja yang menurut gue sesuai dengan gaya gue. Ah tapi guenya yang udah kegeeran duluan kali ya. Mentang-mentang hampir tiap hari anter-jemput dia ke kampus, nemenin jalan, ngerjain tugas bareng, gue mikirnya dia ada feeling ke gue. Sayangnya ekspektasi gue ketinggian."
Mendengar itu spontan Baim menyodorkan kembali kotak itu ke Rado. "Sori, Mas, gue ngga bisa nerima ini."
"Lah, kenapa? Ini kan diamanahkan buat dikasihin ke lo."
"Tapi gue ngga bisa nerima. Perasaan lo ada di sini, di kotak ini."
Rado mendengus, "Im, plis lah jangan sok dramatik. Gue ngga apa-apa kok beneran, gue udah ngelepas dia sepenuhnya."
"Tapi kan tetep aja ini.."
"Ini bukan hak gue, Im. Kanaya beliin ini buat lo."
"Sumpah ini parah banget. Gue balikin aja ke orangnya ya!"
"Baim! Plis, tolong diterima. Kalo lo ngga bisa nerima karena Kanaya yang beliin, anggep aja ini dari gue yang dikasih tapi ukurannya ga pas di kaki gue lalu gue kasihin ke lo."
Rado menyodorkan kembali kotak itu pada Baim yang setelah berpikir lama akhirnya menerimanya.
"Oke, gue terima tapi sumpah demi apapun ya lo jangan begini lagi sama gue."
"Maksud lo gimana?"
Baim menghela napas pendek, "Mas, kalo lo suka sama cewek tapi cewek itu ada perasaan ke gue, lo harus pura-pura ngga tau dan ngga peduli. Lo harus perjuangin dia yang lo mau, jangan nyerah gitu aja karena perasaannya yang berbeda ke lo. Seiring berjalannya waktu yang namanya perasaan itu bisa berubah, asalkan lo tetep ada di sisi dia, dan lo ngga gampang buat nyerah. Bukannya cinta memang butuh perjuangan ya?"
Rado tercengang mendengar ucapan Baim.
"Lo ngomong apaan sih, Im?", tanya Rado dengan dahi berkerut.
"Ih, gini maksud gue.."
Seketika Rado terbahak saat Baim hendak mengulang ucapannya lagi. "Iya iya gue ngerti kok maksud lo gimana."
"Beneran ngerti?"
Rado mengangguk, "Oke gue sepakat. Cuma ada satu syarat."
"Apaan?", tanya Baim antusias.
"Jangan panggil gue Mas!"
*
Jakarta, penghujung 2010
Mata Rado terbelalak ketika melihat seorang gadis berambut panjang sebahu dan berkulit kuning langsat menghampirinya dengan pandangan bingung.
"Situ siapa? Wayu mana?", tanya gadis itu sambil memandang sekeliling.
Rado tercenung, "Wa-wayu? Wayu itu siapa, Mbak?", Rado bertanya balik.
Gadis itu menepuk dahinya sendiri, "Ah, lupa gue kalo cuma gue yang panggil dia Wayu. Maksud gue si Baim. Mana dia?", tanyanya lagi.
Bibir Rado membulat, "Ooh, Baim. Lagi keluar sama Andra, cari rokok sama pulsa."
"Udah lama perginya?"
"Engga, baru aja kok."
"Dih, gue lagi mudik gini bukannya nemuin ke rumah malah asik sendiri. Sebel!", gerutu gadis itu sembari memanyunkan bibirnya. Rado tersentak melihatnya.
"Mbaknya..siapa?", tanya Rado kemudian.
Gadis itu lantas duduk di sebelah Rado, mengulurkan tangannya.
"Namira. Jangan panggil Nanam, panggil Mira aja."
Rado menerima uluran tangan Namira sembari tersenyum lebar. "Namanya bagus. Gue Rado, temen sekelasnya Baim."
"Gue temen dari bayi.", ceplos Namira seraya mengambil toples berisi keripik kentang. "Bagi ya."
Rado hanya mengangguk sopan kemudian matanya kembali ke layar laptop.
"Ngerjain tugas?", tanya Namira basa-basi.
"Nggak, lagi cari free download."
Namira memasang tampang bingung, Rado tersenyum geli.
Tak lama kemudian Baim dan Andra kembali.
"Lah, lo mudik?", tanya Baim begitu menemukan Namira sudah berada di teras belakang rumahnya, bersama Rado.
"Gue udah telpon elo kemaren ya heloo plis deh, Yu!"
"Masa? Lupa gue.", ucap Baim cuek kemudian duduk di sebelah Rado yang masih asik dengan laptop.
Andra yang berada di belakangnya mengikutinya duduk di sebelahnya.
"Eh, lo Namira yang dari kecil jadi pacarnya Baim ya?", tanya Andra asal. Baim sontak meninju lengan Andra.
"Pacar pacar, palalubau!", umpat Baim dengan wajah yang memerah.
"Gue pacaran sama dia mah rugi lahir batin, Bang. Kagak level.", tukas Namira tak kalah asal.
"Siapa juga yang mau jadi pacar cewek super bawel kayak lo!", balas Baim.
"Tapi menurut gue kalian cocok loh.", ceplos Andra sok menganalisa. "Si Baim kan kaku banget nih kayak kanebo kering, sedangkan lo orangnya banyak omong dan sedikit hiperaktif, jadi ya.."
"Jangan sok tau, Nyet!", Baim melemparkan kotak rokok ke arah Andra.
"Wah, pas. Sekalian koreknya mana sini?"
"Ahh, engga engga. Ngga bakalan dah gue pacaran sama yang begini ini. Ngga minat.", Namira menggelengkan kepalanya keras.
"Terus lo maunya yang gimana, Mir?", tanya Rado yang sejak tadi hanya menyimak.
"Gue? Maunya yang ngga kayak Baim lah. Dia apaan coba bagusnya?", ucap Namira yang disambut tatapan tajam Baim.
"Kalau yang macam gue ini, bersedia ngga?", tanya Rado seakan menawarkan dirinya sendiri.
Seketika Baim dan Andra memandang ke arah Rado dengan pandangan heran. Namira tak kalah herannya.
"Serius lo, Do?", tanya Baim setengah tidak menyangka.
"Ya, usaha dulu boleh lah ya, Mir.", ucap Rado sambil tersenyum pada Namira yang membalasnya dengan tatapan enggan.
"Sukurin lo ngga ditanggepin!", olok Andra seraya tertawa.
Baim terdiam, matanya mengamati ekspresi Rado saat membicarakan soal Namira. Entah kenapa dalam hatinya dia merasa gelisah. Ada yang tidak beres, ada sesuatu yang mengganjal tapi tidak tahu apa.
Dan setelah Namira pulang ke rumahnya, Baim memberanikan diri untuk bertanya serius ke Rado.
"Do, bentar dah,", Baim menarik Rado agar jangan dulu mengikuti Andra meninggalkan teras.
"Kenapa?"
Baim menarik napas panjang, "Lo..serius soal yang tadi?"
"Yang mana?"
"Soal mau deketin Namira."
Rado tertegun. Tiba-tiba saja dia merasa tidak enak hati pada Baim. Karena awalnya dia memang hanya iseng menggoda Namira saja, namun dia juga merasa tidak ada salahnya jika mendekati gadis itu secara serius.Tapi begitu melihat Baim yang bertanya seserius ini dan kedengarannya ada nada cemas mengiringinya, Rado akhirnya mengubah jawabannya.
"Ngga kok, Im. Becanda doang gue tadi."
Baim tidak begitu yakin dengan jawaban Rado, ada keraguan dibalik kalimatnya.

Dan Baim menyimpan keraguannya itu hingga kini. Hingga tujuh tahun berlalu. Dia masih meragukan jawaban Rado soal perasaannya terhadap Namira.
*
Jakarta, 2017

"Yeee! Akhirnya kita berenam kumpul lagi komplit begini! Hey hey, semua ini ngga akan kejadian kalo bukan karena Andra yang akhirnya berani ngasih cincin ke gueeee!!", seru Ghina dengan wajah semringah karena setengah jam yang lalu barus saja menjalani prosesi tunangannya dengan Andra.
Baim, Rado, Namira dan Brietta hanya terkekeh pelan sembari bertepuk tangan.
"Yaangg, jangan lebay ah.", Andra menarik kekasihnya agar duduk dengan tenang.
"Okeeee, makasih ya Ghina dan Andra udah bikin kita semua kumpul di sini, di meja bundar ini, dalam suasana malam yang sendu ini..", ucap Brietta yang lantas ditampik oleh Namira.
"Kok malam yang sendu sih? Bukannya harusnya jadi malam yang bahagia ya?", timpal Namira
Brietta menghela napas, "Buat kalian aja, buat gue engga."
"Eh, kenapa lo? Tolong ya, di hari bahagia Neng Ghina Putri Arbani ini jangan ada sendu-senduan! Plis ya Brietta jangan ngerusak momen!", omel Ghina.
"Nyokap berulah lagi setelah gue kasih tau lo berdua tunangan."
"Yaelah..", Namira mendengus. "Siapa lagi sekarang??"
"Namanya Alex Wu. Gue kira bakalan cakep gitu ya kayak mantan member EXO; Kris Wu. Eh taunya malah kayak duda anak lima!"
Cerita Brietta disambut gelak tawa oleh teman-temannya.
"Cakepan mana sama Rado, Bri?", tanya Andra menggoda. Kontan saja suasana berubah menjadi canggung.
"Duuhh, iya iya sori deh. Lagian kalian kok betah amat diem-dieman. Ngobrol ngapa.", ucap Andra kemudian.
"Lah tadi kita ngobrol emang lo ngga lihat?", tanya Rado diiringi tawa kecil, yang canggung.
Brietta membaca situasi yang dibuat Rado agar tidak terlihat kikuk lagi. "Iya tadi kita ngobrol kok, Ndra. Ya kan, Do?"
Rado mengangguk cepat. Padahal nyatanya mereka hanya menyapa seadanya, tidak ada obrolan lain.
"Apaan, dari tadi Rado ngobrolnya sama Namira kok bukan sama Brietta.", celetuk Baim tiba-tiba, membuyarkan drama Rado dan Brietta.
Seketika semuanya diam dan serempak memandanginya.
"Iya kan, Nam?", Baim menoleh ke arah Namira meminta konfirmasi.
Namira terpaku. Bingung hendak menjawab apa. Rado yang merasa berada di tengah-tengah mereka, kembali merasakan apa yang telah dirasakannya tujuh tahun lalu.
Perasaan ini kenapa harus terjadi lagi? Sial.

Kali ini lo ngga bisa lari, Do. Ngga bisa..

to be continued..






Minggu, 06 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 18)

Seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang melambaikan tangannya ke arah Baim. Dia tercengang sebentar lantas menghampiri gadis itu. Sembari berjalan Baim hanya bertanya-tanya dalam hati, benarkah gadis itu adalah Danisha? Kenapa terlihat sedikit berbeda? Seingat Baim dulu Danisha berpenampilan sangat cuek dan jauh dari kata modis namun tidak tomboy juga. Hanya saja gaya berpakaiannya agak berbeda dengan gadis-gadis kekinian. Biasanya Danisha hanya mengenakan kaus, blue jeans, dan kardigan warna hitam atau abu-abu. Sesekali saja mengenakan kemeja lengan pendek yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam atau biru tua. Terlihat begitu simpel dan apa adanya, seolah-olah dia tidak suka mengikuti tren masa kini.
Namun yang dilihat Baim sekarang, sungguh berbeda dengan yang dilihatnya dulu. Baim hanya tertegun sembari mengamati penampilan Danisha dari ujung kepala sampai ujung kaki; rambut hitam panjang bergelombang yang dulu sering dikuncir cepol kini terurai dengan indahnya, kaus dan kardigannya diganti dengan sepotong mini dress berwarna pastel, sepatu sneakersnya telah berubah menjadi sepasang chunky heels yang sangat cocok dengan kakiknya yang jenjang.
Baim menelan ludahnya.Terperangah.
"Apa lo lihat-lihat begitu? Baru sadar kalau gue ini cantik banget ya?", tanya Danisha dengan nada menggoda Baim yang masih memasang tampang cengo.
"Lima tahun lebih ngga ketemu masih cupu aja lo, Im. Ngga berubah sama sekali. Payah!", ejek Danisha diiringi tawa renyah. Lagi-lagi Baim tertegun melihatnya.
"Jangan bengong aja, ayo pesen makanannya.", ditariknya lengan Baim menuju counter untuk memesan burger dan soda.
Baim lagi-lagi hanya bisa tertegun sembari matanya tak lepas dari Danisha yang begitu...ah, cantiknya!
*
"Jujur aja gue sedikit kaget ngelihat lo yang sekarang. Bikin pangling aja.", ucap Baim dengan wajah memerah begitu Danisha menanyakan kenapa sejak tadi dia hanya memandangnya tanpa kedip.
Danisha terkekeh dan meletakkan burgernya di atas nampan, "Kayaknya semua temen kuliah yang ketemu gue mengatakan hal yang sama ya. Lagian kenapa sih pada heran banget sama penampilan gue sekarang?", Danisha menyeruput colanya, "Emang gue dulu keliatan cupu banget apa ya, Im?"
Baim mengerlingkan matanya, mencari jawaban yang paling tepat.
"Cupu sih engga, cuma engga modis dan kekinian aja sih. Tapi ngga cupu kok, menurut gue dandanan lo oke oke aja."
"Jadi ngga salah juga dong kalo gue mengubah sedikit penampilan gue ini?"
"Ya engga, itu kan hak lo, Cha."
Danisha tercekat mendengar cara Baim memanggilnya.
"Lo masih inget aja panggilan gue di rumah."
"Lo juga masih inget suka manggil gue Juple.", Baim terkekeh.
"Karena cuma itu yang ngingetin gue sama lo, Im. Ngga ada orang lain yang gue panggil dengan nama itu selain lo."
"Dan gue lebih suka manggil lo Cicha dari pada Danish atau Nisha kayak temen-temen lo yang lain."
Wajah Danisha terlihat sedikit memerah. Baginya panggilan Cicha terdengar begitu spesial karena hanya orang terdekatnya yang memanggilnya begitu. Hanya orangtuanya, saudara-saudaranya, dan Baim, yang dulu pernah mengisi hatinya.
"Mantan pacar gue yang lain ngga ada yang manggil Cicha lho. Kebanyakan ya manggilnya Danish. Padahal gue ngga suka dipanggil begitu. Kedengarannya kayak lagi manggil cowok."
"Ngomong-ngomong soal mantan, lo masih sama yang dulu lo balikan itu?", tanya Baim mengganti topik pembicaraan.
Tanpa disangka Danisha menggeleng diiringi tampang kesal.
"Tau ngga lo, gue nyesel senyesel-nyeselnya balikan sama dia. Aselik dia ngeselin abis!", Danisha menyeruput colanya lagi.
"Dia itu bawelnya kebangetan, posesif, insecure, hobi banget mengekang gue, tapi begitu dibawelin balik dia ngamuk. Eh tapi pas gue minta putus dia mohon-mohon jangan putusin dia. Apaan coba drama banget jadi cowok. Ih, najis banget kalo inget diaaa!"
Mata Baim terbelalak, "Ngamuk? Suka mukul lo gitu?"
"Mukul sih engga, Im. Tapi omongannya itu lho ngga enak didenger. Kadang suka kelewat kasar dan ngata-ngatain gue sembarangan. Siapapun kalau digituin kan ngga ada yang betah Im, yang ada malah kesiksa lahir batin. Akhirnya dua tahun lalu gue tinggalin aja dia."
"Kenapa lo mau balikan sama dia waktu itu?", tanya Baim dengan wajah sinis karena mengingat setelah Danisha memutuskannya dia kembali pada mantannya itu.
Danisha menghela napas panjang, lantas memandang Baim dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Itulah begonya gue, Ple. Itulah yang bikin gue nyesel setengah mampus. Harusnya gue ngga percaya sama janji-janji dia yang udah kayak caleg lagi kampanye. Waktu itu gue masih terlalu labil dan buru-buru ambil keputusan untuk pisahan aja sama lo, gue keburu panas saat gue tau lo punya sahabat cewek yang menurut gue jauh lebih cantik daripada gue. Gue ngerasa ngga ada apa-apanya dibandingkan dia yang sering bikin lo ketawa, dan terlihat enjoy kalo lagi bareng dia. Gue terlalu cemburu sampai ngga mikir apa-apa lagi selain putusin lo aja terus balikan sama Reval."
Baim mendengus, "Tapi dulu lo bilangnya bakal baik-baik aja dengan adanya Namira."
"Yah, namanya juga perasaan, Ple. Gue ngga bisa nahan cemburu banget waktu itu."
"Dan kenapa lo baru putusin dia dua tahun lalu? Tiga tahunnya lo ngapain aja?", tanya Baim lagi.
"Oh, itu. Gue jalan sama orang lain di belakang Reval."
Baim tercengang, "Lo selingkuh?!"
"Ya abis gimana, Reval ngotot ngga mau putus, tapi di sisi lain gue ngga tahan sama dia dan pengen lepas dari dia. Ya udah, waktu itu ada temen sekelas yang tau masalah gue, mau dengerin semua curhatan gue, terus ngakuin kalau udah suka sama gue bahkan sebelum gue jadian sama lo, ya langsung gue terima aja perasaan dia."
Baim menggelengkan kepalanya, tidak menyangka. "Parah lo, Cha. Jangan-jangan lo begitu juga ke gue ya?"
Danisha mengangguk pelan, "Jujur aja iya waktu gue ngerasa lo lebih nyaman ngomong sama Namira dibanding gue."
"Sialan..", umpat Baim setengah berbisik, namun masih terdengar oleh Danisha.
"Maaf ya baru ngaku sekarang. Hehehehe.", Danisha terkekeh seraya tangannya hendak meraih pipi Baim namun segera ditepis laki-laki itu.
"Ngga usah pegang-pegang, tangan lo bekas mayonaise!"
Danisha tertawa lebih lantang.
"Gimana sama Namira, gue denger dulu ngga lama setelah wisuda lo jadian juga sama dia.", tanya Danisha sambil menyuap kentang goreng ke mulutnya.
Baim mendengus,entah kenapa rasanya dia enggan membahas soal ini.
"Udah putus ya?", Danisha memandang Baim lekat-lekat, seakan bisa membaca isi pikiran Baim.
Baim menghela napas panjang. "Harus banget gue jawab nih."
"Ngga perlu, raut muka lo udah bisa menjawabnya."
"Lantas apa jawabannya kalau gitu?"
"Lo masih cinta sama dia tapi oleh suatu alasan lo ngga bisa sama dia lagi. Kan?"
Seketika Baim terperangah. "Lo belajar jadi cenayang ya sekarang?"
"Hahahahaha."

"Kalau masih cinta, tapi ngga bisa bareng lagi emang sedih banget sih, Im.", celetuk Danisha begitu keluar dari tempat makan dan kini berjalan menuju parkiran.
Baim yang berjalan di sampingnya hanya menoleh sembari tersenyum tipis.
"Emang lo udah pernah ngerasain gimana sedihnya?", tanya Baim.
Danisha mengangguk tegas,"Pernah. Banget."
"Oh ya?"
"Iya. Sekarang ini gue lagi ngerasain gimana sedihnya."
"Oh ya?", tanya Baim lagi kali ini dengan nada menggoda namun Danisha menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Danisha meraih tangan Baim dan menggenggamnya erat.
Seketika Baim menyadari sesuatu. Ah, yang benar saja!
"Cha, lo.."
"Ngga apa-apa, Ple. Jangan merasa terbebani dengan ini.", ucap Danisha lembut seraya melepas genggamannya.  "Anyway, gue seneng banget bisa ketemu lo lagi setelah sekian lama. Mana nyari nomer telepon lo susah banget, untung gue ketemu temen kerja lo yang juga tetangga gue. Serius gue ngga pernah sesenang ini ketemu sama mantan.", Danisha berusaha tertawa dibalik matanya yang makin berkaca-kaca dan nyaris menjatuhkan dari pelupuk matanya.
"Gue balik ya, Ple. Makasih loh udah bersedia ketemu gue. Moga ngga ada penyesalan ya.", ucap Danisha seraya membuka pintu mobilnya.
Baim hanya mengangguk sambil tersenyum tanpa mengatakan apa-apa lagi sampai mobil Danisha melaju meninggalkan dirinya yang masih termangu.
'Ah, kenapa lo begini sih, Im?!', rutuk Baim pada dirinya sendiri.
Dalam hati sebenarnya Baim ingin mengatakan bahwa bisa saja dia menerima perasaan Danisha kembali, namun dia masih belum terlalu yakin dan perasaannya pada Namira juga begitu berat untuk dilepaskan.
Baim tertegun, mendadak teringat sesuatu soal Namira...ah, Rado!
'Bentar, dia ngga lagi nemenin Namira di kedai sampai selarut ini kan?', batin Baim bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Dilirknya jam tangan yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Baim meraih ponselnya, dan menekan nomor Rado.
"Halo" Rado mengangkatnya.
"Di mana lo?",tanya Baim.
"Baru balik dari kedainya Namira. Gimana kencan lo?"
Baim tercekat mendengarnya, entah kenapa tiba-tiba ada yang menganggu perasaannya. Nada bicara Rado sedikit..
"Ya udah, ini gue mau balik. Besok aja gue ceritain."
Klik. Baim mengakhiri panggilan.
Baim menghela napas panjang. 'Lo ngga bakalan kayak dulu lagi kan, Do. Engga kan?'

Setelah itu, pikiran Baim kembali ke masa lalu. Masa yang sebenarnya sangat enggan untuk ia ingat kembali.

to be continued..




Sabtu, 05 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 17)

Bingung.
Baim menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Memutar otak, mencari cara agar Namira batal datang ke rumahnya atau lebih baik dianya saja yang pergi dan bertindak seolah-olah semua itu terjadi secara mendadak. Ah, terlalu biasa, pikir Baim. Ia pun kembali memutar otak dan tiba-tiba muncul bayangan Rado dalam benaknya. Baim mengangguk pasti dan segera menekan nomor Rado, meminta pertolongan darurat.
"Plis deh, Im. Lo ada-ada aja deh ah.", keluh Rado begitu Baim mengatakan ide konyolnya. "Namira mana bisa dibohongin pake model begituan."
"Coba aja dulu, Do. Lo bilang aja mau balikin kolor gue yang lo pinjem buat renang Minggu kemaren. Dan begitu nyampe sini guenya udah ngga ada di rumah."
Terdengar Rado menghela napas, "Im, kenapa lo ngga jujur aja sih ke Namira kalo lo mau ketemuan sama mantan lo itu?"
"Gila kali lo, ntar dikiranya gue balikan lagi sama dia. Ngga ah."
"Loh, bukannya bagus kan kalo Namira mikirnya begitu? Kan jadinya lo ngga terbebani lagi sama dia yang hampir tiap hari ngajakin ketemuan."
"Masalahnya dulu gue pernah bilang ke Namira kalo sampe kapanpun ngga ada istilah kembali ke mantan. Yakali ngga lucu banget kalo gue terlihat ngejilat ludah sendiri."
"Ya tinggal bilang aja lo mau ketemu biasa, melepas rindu, reunian, atau apa kek."
"Ngga. Pokoknya lo ke sini sekarang bantuin gue!", seru Baim sedikit ngotot.
Rado sekali lagi hanya bisa menghela napas, "Kadang gue ngerasa malu jadi temen lo, Im."
*
Namira sedikit terkejut mendapati Rado keluar dari rumah Baim. Padahal aslinya Rado baru saja sampai dan segera menjalankan misi rahasia yang direncanakan Baim yang notabene masih berada di dalam rumah.
"Eh, Mira.", sapa Rado pada Namira dengan sedikit canggung. Raut wajahnya dibuat seakan-akan dia tidak menyangka akan bertemu Namira saat itu.
"Abis ngapain lo?", tanya Namira menghampiri Rado yang berdiri di depan gerbang rumah Baim.
"Ah, ini, gue abis balikin kolornya Baim, tempo hari gue pinjem buat renang di Atlantis sekalian mau ngajakin dia futsalan, eh tapi dianya ngga ada di rumah.", ujar Rado mulai berakting.
Namira mengerutkan dahinya, "Baim ngga ada di rumah? Ke mana dia?"
"Tau tuh, tadi gue cuma ketemu sama si Mbok.", tunjuk Rado ke arah rumah Baim. "Lo mau ketemu Baim?"
Raut wajah Namira terlihat kuyu mendengar Baim sedang tidak ada di rumah. Sebelumnya dia memang sudah punya firasat bahwa Baim akan menghindarinya lagi, tapi ada sedikit harapan Baim mau menemuinya.Tapi sayangnya tidak demikian.
"Dia ngehindari gue mulu, Do. Ngga capek apa ya?", tanya Namira pada dirinya sendiri namun matanya melihat ke arah Rado.
Rado tercekat, sedikit bingung karena ini tidak ada dalam skenario. Menurut Baim setelah Rado mengatakan Baim tidak ada di rumah, Namira akan langsung pergi entah balik ke rumah atau menuju kedai.
"Ah, ngga gitu kali, Mir. Mungkin dia emang ada keperluan mendadak dan mendesak.", ujar Rado asal.
"Keperluan mendadak setiap kali gue ajakin ketemu? Ngga masuk akal.", Namira mendengus. "Ya udahlah kalau dia maunya begitu."
Rado jadi kikuk sendiri melihat Namira yang begitu kecewa seperti itu. Mendadak ada sebuah hasrat yang mendorongnya agar melakukan sesuatu.
"A-anu, Mir. Lo ngga ke kedai hari ini?", tanya Rado iseng.
"Tadinya gue mau ke sana setelah ketemu Baim, tapi berhubung ngga ketemu jadinya gue mager. Mau lanjut tidur aja lah dari pada ketemu klien."
"Jadi lo mau ketemu klien hari ini?", tanya Rado lagi. Namira mengangguk.
"Iya, mau dekor kedai."
"Ya udah ayok gue temenin ke sana biar lo ngga bete."
KLANG!
Mendadak seperti ada suara kaleng jatuh dari atap rumah. Suasana seketika menjadi canggung. Namira memandang Rado dengan pandangan aneh. Dan Rado seketika mengutuk dirinya sendiri.
'LO NGOMONG APAAN SIH DOOOO??!!'
Ah tapi sudahlah, hanya itu yang terlintas dipikirannya.
Semenit berlalu, Namira kemudian terkekeh pelan. Rado berbalik menatap Namira dengan bingung.
"Jadi maksudnya lo mau nganterin gue ke kedai gitu?", ulang Namira setelah tawanya reda.
Rado mengangguk sembari tersenyum canggung, "Ya kalo lo ngga keberatan sih."
"Ya udahlah ayok.",ujar Namira akhirnya.
"Ha?"
"Lo tungguin gue bentar, mau ambil tas sama helm dulu."
Sekian detik Rado hanya melongo dan baru sadar saat menerima pesan dari Baim yang diam-diam mengawasinya dari kamarnya di lantai dua.

From: Baim Kupret
Gimana? Mission accomplished kan?

Buru-buru Rado membalas sebelum Namira keluar dari rumahnya
'Sedikit melenceng dari skenario, tapi oke kok'

'Eniwei gue mau anter Namira ke kedai. Is it okay for you?'

From:Baim Kupret
'Wait..WHAT? NGGA SALAH LO?

Rado menghela napas. 'Gue juga ngerasa ada yang salah Im,' batinnya dengan perasaan sedikit bersalah.
*
Sebenarnya hubungan pertemanan Rado dan Namira bisa dibilang cukup dekat meski perkenalan mereka juga karena Baim yang mempertemukan. Namun ketika Baim mulai melakukan pendekatan lebih serius ke Namira yang tadinya hanya sebatas sahabat dari kecil menjadi gebetan lalu pacaran, Rado tidak seintensif dulu menghubungi Namira, mengiriminya pesan dan sesekali melakukan video call karena mereka kuliah di kota yang berbeda. Dan saat itu juga Rado bertemu dengan Brietta dan jatuh cinta dengan gadis oriental tersebut.
"Udah?", tanya Rado pada Namira yang menghampirinya di teras kedai bersamaan dengan perginya si klien.
Namira mengangguk. "Sorry ya kalo rada lama, gue kira ngebahas soal dekor kedai ngga nyampe sejam begini. Lo pasti bosen nungguin ya sampe abis kopi dua cangkir?"
Rado menggeleng sembari tersenyum, "Yaelah Mir kayak sama siapa aja."
"Laper ngga? Mau brownies?", tawar Namira ,"Gue kasih cuma-cuma nih buat lo."
"Ngga lagi pengen yang manis-manis. Kripik aja ada kripik?"
"Ohh, ada tuh banyak. Kemaren Brietta yang nyumbangin stok kripik kentang..", Namira tidak melanjutkan kalimatnya setelah melihat ada aura lain pada Rado saat nama Brietta disebut.
"Lo..masih suka calling-callingan sama Brietta?", tanya Namira kemudian.
Rado mendengus, "Masih pake nanya lagi. Udahlah, gue ngga mau nambahin masalah buat dia. Buat gue sendiri juga."
"Bokap lo jadi ngirim lo ke Kairo?"
"Lo tau dari mana soal itu?", Rado mengerutkan dahi karena seingat dia, dia hanya cerita pada Baim dan Andra...ah! "Ghina ya?", tebak Rado.
Namira mengangguk. "Ya masa gue tau dari Baim. Dia diajakin ngomong dua kalimat aja susah banget."
Rado tersenyum tipis, "Lo enak masih bisa leluasa buat ngehubungin Baim, rumah sebelahan, masih bisa ngeliatin meski dari jauh. Lah gue boro-boro."
"Leluasa ngehubungin ngga ada artinya kalo si empunya ngga mau nanggepin balik, Do. Sia-sia belaka."
"Seenggaknya lo udah mencoba."
"Kadang gue ngerasa nyesel udah mencoba."
"Baim masih peduli sama lo, Mir."
"Begitupun Brietta, Do."
"Dia engga suka sama gue."
"No. She did."
"Ha?"
"Brietta cuma kegedean gengsi aja, Do."
Rado menghela napas pendek, "Percuma juga lah, Mir. Ngga ada gunanya, sia-sia belaka."
Namira mendengus, "Kenapa semuanya terdengar sia-sia aja ya?"
"Nah, iya kan. Mendingan udahan deh ngomongin hal yang sia-sia begini."
"Kan lo yang mulai."
"Lah? Lo tuh."
"Eh? Iya ya? Hehehe. Sori."
"Mana kripiknya sini keluarin!"

Namira tersenyum. Dan entah kenapa Rado tercekat melihat senyum Namira malam ini. Ada yang lain, ada sesuatu yang beda. Sesuatu yang aneh.

to be continued..


Minggu, 30 Juli 2017

Tell Me Why (Part 16)

"Kamu..serius dengan yang barusan kamu bilang?", tanya Mama dengan tajam menatap Namira. Gadis itu akhirnya mengangguk dengan perasaan yang begitu berat.
Mama menghela napas pendek, "Emangnya kamu lagi dekat sama orang lain sampai si Baim kamu tinggalin begitu?"
Namira tercekat, entah kenapa dia merasa Mamanya mengira dialah yang memutuskan secara sepihak dengan Baim.
"Ma, ngga ada orang lain buat Namira, selama ini cuma ada Baim doang.", jawab Namira.
"Lalu kenapa putus? Atau dia yang.."
Namira buru-buru menggeleng, "Baim juga ngga punya orang lain, Ma Justru kami putus karena masih saling sayang dan menghargai pilihan masing-masing."
Kening Mama berkerut, tidak paham. "Pilihan soal apa? Kita kan ngga lagi ikutan pilkada, Neng."
"Ngga gitu, Ma. Bukan itu, yang ini lebih rumit daripada masalah pilkada."
Namira menarik napas panjang, mungkin sekarang saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya.
"Ma, maafin kalau alasan aku terdengar aneh dan ngga masuk akal atau yang lebih parah malah bikin Mama marah dan kecewa."
Mama memajukan posisi duduknya, merapatkan pada anaknya. "Ya udah, Mama dengarkan."
"Sebenarnya Baim yang mutusin aku, Ma. Dia yang udah terlalu kecewa sama aku karena aku..aku ngga pernah mau kalau diajak nikah..", Namira memandang Mamanya dengan sedikit takut. Dan sudah terlihat raut wajah Mamanya yang kaget dan bingung dengan apa yang sudah dikatakannya.
"Aku ngga suka kalau dia ngajakin aku buat tunangan apalagi nikah, Ma."
"Tapi kenapa? Bukannya Baim anak yang baik, mandiri dan soleh?"
"Masalahnya bukan ada di Baim, Ma. Tapi semua masalah ada di aku. Aku yang pemikirannya lain dengan dia, aku ngga sependapat sama dia, prinsip kami beda. Maka itu.."
"Bentar, Mama ngga ngerti sebenarnya kamu ini kenapa deh, Neng? Memangnya ada apa sama kamu? Jangan-jangan kamu sakit ya? Ha?"
"Aku cuma ngga mau kayak Mama dan Papa. Aku takut kalau berkomitmen ujung-ujungnya malah pisah. Aku ngga mau. Aku takut, Ma!", seru Namira diiringi tetesan kecil yang jatuh di pipinya.
Mama terhenyak. Tidak menyangka bahwa anaknya ternyata memendam luka lama yang harusnya hanya dia saja yang merasakan.
"Namira.."
"Maaf Ma, aku cuma terlalu takut kehilangan orang yang aku sayangi aja. Maka itu aku ngga bisa nerima ajakan Baim untuk berkomitmen lebih jauh karena aku tau soal pernikahan itu ngga segampang dan ngga seindah di drama televisi. Aku tau kalau kenyaataannya jauh lebih rumit dan butuh banyak pertimbangan ini itu. Aku ngga siap buat ngadepin ini, Ma. Aku ngga mau ngerasain perpisahan yang lebih nyakitin lagi. Putus sama Baim aja aku udah tersiksa, apalagi kalau sampe.."
"Cerai seperti Mama dan Papa?"
Mama membelai kepala Namira dengan penuh sayang, "Mama minta maaf ya udah bikin kamu ikut ngerasain luka dan beban yang harusnya Mama aja yang nanggung. Tapi kamu ngga harusnya mikir begitu untuk kehidupan kamu sendiri Nam, pikirkan saja yang senang-senang, yang selayaknya bikin kamu bahagia. Jangan biarkan diri kamu larut dalam ketakutan atas mindset yang kamu ciptakan sendiri. Pengalaman Mama jangan kamu jadikan contoh, tapi kamu bisa lihat banyak pernikahan yang berhasil, yang bahagia sampai maut memisahkan."
"Aku ngga bisa Ma, rasa takut itu selalu ada bahkan pada saat aku ngga keingetan soal Mama dan Papa. Justru karena Baim selalu ada di depan mata aku makanya aku makin takut, Ma. Aku sayang banget sama Baim, aku ngga mau kehilangan dia sebagai sahabat aku Ma."
"Nam, dengar Mama deh..", Mama menepuk bahu Namira pelan, "Coba kamu berusaha untuk mengubah mindset kamu itu dan melawan ketakutan kamu sekeras mungkin. Mama ngga rela kalau sampai kamu begini terus sampai tua. Mama juga ingin melihat kamu berjodoh dan dipinang oleh seseorang. Mama pengin gendong cucu Mama, melihatnya tumbuh dewasa. Pengin lihat kamu bahagia dengan suami kamu, sebagai pengganti kisah Mama yang ngga layak untuk dijadikan panutan. Tolong Namira, kali ini dengarkan Mama. Mama ngga mau kamu larut dalam ketakutan yang konyol. Pernikahan itu untuk diikrarkan lalu dijalani, bukan untuk ditakuti. Hadapilah, Nak."
"Tapi Ma, semua itu terlalu sulit dan berat buat aku. Aku.."
"Perlahan cobalah untuk mengubahnya, Nam. Demi kebaikan kamu, demi masa depan kamu juga. Kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan Mama juga."
"Tapi gimana kalau aku cukup ngerasa bahagia kalau hanya dengan begini?"
"Seenggaknya Mama lihat dulu seberapa besar usaha kamu. Selanjutnya, kamu yang memutuskan."
Namira terlihat berpikir sebentar, tak lama ia mengangguk pelan.
"Oke, aku akan nyoba. Demi Mama."
"Dan demi diri kamu sendiri."
Mamanya tersenyum lantas memeluknya erat dan penuh kasih sayang.
*
TING!
Baim membuka sebuah pesan yang masuk di handphonenya. Pikirnya mungkin Namira atau Andra yang iseng curhat lantaran bosan menunggu Ghina di salon. Tapi ternyata dia salah, justru ada nomor asing yang mengiriminya pesan.

From: +628234456xxx
Hai, Im. Ini gue Danisha. Masih inget gue kan?

Baim tercengang membaca pesan itu. Danisha yang diingatnya adalah adik tingkatnya di kampus dulu. Yang juga sekaligus mantan kekasihnya.

'Kenapa harus muncul di saat begini sih?', batin Baim seraya memikirkan balasan apa yang akan dia dikirimkan pada gadis bernama Danisha itu.
Ya, dia adalah mantan kekasih Baim saat kuliah dulu. Mereka berpacaran hanya sekitar dua bulan dan putus secara sepihak. Danisha memutuskan untuk berpisah karena ia lebih memilih kembali dengan mantan kekasihnya juga menjadikan Namira sebagai alasannya untuk putus. Saat itu, Baim tidak menceritakan soal sahabatnya dari kecil yang selalu bersama-sama dengannya hingga akhirnya berpisah saat kuliah. Dan pada suatu hari Danisha berniat menemui Baim di studio band rentalan seraya membawakan makanan yang dia masak sendiri dengan penuh cinta. Tapi begitu sampai di sana dia melihat Baim tengah bersama seorang gadis berkulit kuning langsat dengan potongan rambut shaggy sebahu tertawa-tawa entah sebab apa.
Ya, gadis itu adalah Namira yang tengah mudik dari kuliahnya di Semarang.
Baim menjelaskan bahwa Namira adalah sahabatnya dari kecil, Danisha pun mengerti namun tetap saja ada perasaan tidak suka ketika melihat Baim asyik dengan perempuan lain, sekalipun ia tau hanya sekedar sahabat.
Tak lama setelah kejadian itu, Danisha pun memutuskan Baim. Baim bukannya sedih tapi justru bersyukur, karena ia jadi tau bahwa Danisha bukanlah seorang yang baik untuknya dan pasti ada orang lain yang lebih baik dari Danisha. Baim pun berharap agar Danisha kelak bahagia dengan pilihannya untuk kembali dengan mantannya itu.
Tak disangkanya, hari ini gadis itu kembali menghubunginya setelah sekian lama. Sudah lebih dari enam tahun semenjak mereka putus Baim tak lagi berkontak dengan Danisha, bukan karena saling memendam benci tapi karena Baim tau pacar Danisha saat itu terlalu overprotektif dan insecure terhadapnya. Maka itu Baim memilih untuk putus kontak saja dengan Danisha.
Baim pun membalas pesan dari Danisha setelah memikirkannya cukup lama.

'Iya gue masih inget sama lo. Sehat?'

Secepat kilat balasan dari Danisha pun datang.

'Kebetulan gue lagi ngga sehat, pengin cari hiburan biar fresh'

'Terus lo jadiin gue hiburan itu?' Baim membalasnya dengan perasaan sedikit kesal.

'Iya, gue mau manfaatin lo buat jadi hiburan gue. hehehehe. ngga deng becanda, Im.
Gue kangen Im, mau ketemu. Bisa ngga?'

Baim mendengus, ternyata Danisha masih sama saja seperti dulu, tidak suka bertele-tele dan lugas. Sedikit mirip dengan Namira hanya beda pada cara mengatur gengsi. Dan Namira lebih menjaga gengsinya daripada Danisha yang cuek dan tidak tau caranya untuk jaim.

'Oke. Mau ketemu kapan?'

"Nanti sorean bisa? Jam 4 gue baru keluar kantor'

'Deuh, anak kantoran nih sekarang. Oke deh. Mekdi deket kampus aja gimana?'

'Deal! See u soon, Pleee'

'Bangke!', Baim mengumpat pada dirinya sendiri. Masih ingat saja Danisha dengan 'panggilan sayang'nya untuk Baim; Juple. Dia tersenyum sendiri mengingatnya.
Ada perasaan senang yang menyelimuti Baim dengan tiba-tiba. Namun tak lama senyumnya memudar saat sebuah pesan masuk di handphonenya.

From: Namira Ramadhina
Di rumah ngga?Gue ke rumah lo sekarang ya. Jangan cari alasan buat kabur lo!

'YA ALLAH YA TUHANKU..!' Baim berseru seraya memegang keningnya sendiri, tiba-tiba terasa pening.

to be continued..


Sabtu, 20 Mei 2017

Tell Me Why (Part 15)

Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, Namira masih belum  beranjak dari tempat tidurnya padahal harusnya hari ini dia membuka kedai dan melayani pelanggan. Bahkan dia lupa bahwa hari ini ada pertemuan dengan salah seorang kenalannya yang seorang arsitek untuk membahas soal renovasi kedainya. Namira baru ingat ketika Ghina menelponnya untuk menanyakan soal itu.
"Mira,lo lagi kenapa coba? Ini meeting penting loh harusnya lo inget. Kan gue udah minta lo yang nemuin dia, gue kan mau pergi sama Andra dan nyokap. Aduh gimana sih lo?", keluh Ghina di seberang sana.
Namira terkekeh pelan, "Gue mager banget sumpah Ghin. Ya udah ntar gue telpon orangnya aja deh, meetingnya ditunda dulu."
"Mir, plis deh. Lo mentingin kegiatan mager lo itu daripada meeting yang jauh lebih penting? Tau ah, terserah lo aja. Sisanya lo yang urus ya, tugas gue cuma ngingetin lo doang. Pokoknya gue mau denger kabar itu kedai bakal direnovasi dalam waktu dekat. Oke?"
"Iya iya, serahin aja sama gue.", balas Namira sekenanya seraya menutup telpon.
Dia menghela napas dalam. Entah apa yang sedang mengusik pikirannya hingga rasanya malas untuk melakukan apapun akhir-akhir ini. Yang dia ingat hanya pertemuan terakhirnya dengan Baim dua hari lalu saat dia baru pulang dari rumah Ghina. Dia tak sengaja berpapasan dengan sahabatnya dari kecil itu di depan rumahnya. Baim yang hendak membuang sampah hanya tersenyum tipis saat Namira menyapanya. Senyum yang tidak biasa, terlihat canggung dan sedikit memaksa. Namira begitu asing melihat Baim yang sekarang, kenapa begitu besar perubahan hubungan diantara mereka, pikir Namira.
Baim masih belum tahu alasan Namira tidak pernah tertarik dengan komitmen adalah karena trauma dan phobianya. Rasanya Namira belum sanggup menceritakannya pada orang lain. Ah, kecuali pada Brietta. Kalau saja waktu itu dia tidak keceplosan bicara dan Brietta tidak mendesaknya mengaku, Namira akan tetap tutup mulut dan menjaga rahasianya rapat-rapat.
"Lo harus ngomong soal ini sama Baim, Nam! Sampai kapan lo bakal ngerahasiakan soal ini?", tanya Brietta pasca Namira menceritakan soal phobia pernikahan yang dideritanya.
Namira menggeleng, "Gue ngga bisa bilangnya, Bri. Berat tau rasanya, dan gue juga takut sama respon dia selanjutnya bakal gimana. Gue takut dia malah makin jauh dari gue.", jawabnya lesu.
"Astaga, Namira. Lo lebih kenal Baim dari siapapun, dia pasti bisa menerima kondisi lo.Kebiasaan lo yang suka sendawa atau nguap ngga pake nutup mulut pake tangan aja dia maklumin kok."
Namira spontan menepuk dahinya sendiri, "Brietta masalah ini tuh ngga sesepele itu. Selama 26 tahun hidup gue, yang paling ngeganggu gue adalah soal phobia ini dan ngga gampang buat ngerasainnya sendirian, tapi juga nggak fair kalo gue bagi masalah ini sama orang lain. Gue ngga mau yang lain terbebani."
"Gue? Gue gimana? Setelah lo cerita semuanya, gue fine-fine aja kan?"
"Beda orang beda respon, Bri. Ngga semua bisa menerima dan memaklumi."
"Kenapa lo bisa mikir kalo Baim ngga akan bisa memaklumi?"
"Pertama, dia pasti akan kecewa dan marah banget karena gue ngerahasiakan ini begitu lama dari dia. Kedua, kalaupun gue cerita ngga akan mengubah apa-apa, gue tetep ngga akan bisa sama dia. Ketiga, setelah dia tau, yang ada dia makin jauh dari gue. Karena dia terlalu sayang sama gue, dia ngga bisa lagi jadi sahabat gue. Makin sering ketemu, makin berat dia ngelepas gue. Itu yang pernah dia bilang ke gue, Bri. Gue bisa apa kalau akhirnya bakal seperti itu?"
Brietta menghela napas pendek, "Oke, biarin lo mikir aneh kayak gitu. Tapi seadainya Baim tau dan dia malah bersikekeuh mempertahankan lo dan tetep ngajakin lo nikah, gimana? Apa lo bisa mengubah mindset lo soal pernikahan itu?"
"Kan gue udah bilang, kalaupun gue cerita ngga akan ngubah apapun. Jadi buat apa gue ceritain?"
"Terus lo maunya gimana sama Baim sekarang?"
Namira menggigit bibir bawahnya, "Gue cuma mau kami bersahabat lagi seperti dulu. Bagi gue itu udah cukup, dan gue akan ngerasa baik-baik aja setelah itu."
"Itu kan elo, kalo Baim? Duh, Nam, gue tau lo juga sayang banget sama Baim, tapi lo malah cuma pengen sahabatan aja sama dia. Emang lo rela apa kalo someday dia bakal ketemu sama orang lain dan berjodoh sama orang itu?"
Namira terhenyak. Dia belum terpikir soal itu,
"Gue..gue ngga tahu, Bri. Ngebayanginnya aja gue ngga mampu."
*
Namira tersentak begitu mendengar ketukan pintu kamarnya. Tersadar dia melamun begitu lama.
"Bentar," sahut Namira seraya membuka kunci pintu. Terlihat Mamanya yang berdiri di balik pintu sembari membawa nampan berisi camilan dan buah-buahan.
"Ngga laper, Neng? Ngamar mulu seharian ini. Kedai siapa yang ngurusin?", tanya sang Mama dengan nada menyindir.
Namira terkekeh, "Lagi mager, Ma. Males ke kedai, lagian Ghina juga lagi pergi."
"Lho, harusnya kamu yang jaga kedai dong kalo Ghinanya pergi. Kan kalian yang ngurus itu kedai sama-sama, kalo yang satu berhalangan, yang satunya yang menghandle dong. Bukannya malah dibiarin tutup.", ucap Mama seraya meletakkan nampan di atas meja. 
"Baim kok lama ngga ke sini ya?", tanya Mama tiba-tiba yang sontak  saja membuat Namira tersedak.
"Uhuk!"
"Kalian masih baik-baik aja kan?"
Aduh, mau jawab gimana ya? pikir Namira dalam hati. 
"I-itu, Ma. Baim kan sibuk kerja, lembur terus, jadi ngga sempet main. Aku juga.."
"Halah, sesibuk apapun dia pasti nyempetin main ke rumah kok. Kemaren Mama ketemu Mail di toko, dia bilang Baim juga lagi seneng menyendiri di kamarnya waktu Mama nanyain Baim ke mana aja ngga pernah ke rumah lagi. Kalian kompakan amat sih? Mama jadi penasaran sama kalian deh, ada yang ngga Mama tau ya?"
Aduh, mau jawab gimana lagi ya? Pikir Namira dalam hati, lagi.
"Mungkin Baimnya lagi capek, Ma. Makanya.."
"Tapi kok Mama sering lihat motornya Andra parkir di depan ya, sama Rado juga tuh belakangan ini. Heran, mereka sering main ke sebelah tapi ngga pernah ke rumah. Toh biasanya kalo geng cowok itu pada kumpul, kamu juga ikutan nimbrung. Kok sekarang udah ngga lagi?"
Pertanyaan demi pertanyaan dari Mama makin membuat Namira gugup dan bingung hendak menjawab apa. Namira bimbang, apakah akan terus terang saja pada Mamanya kalau dia dan Baim sudah lama putus dan kini Baim menjauhinya. Atau tetap berusaha menutupinya dan membuat anggapan mereka baik-baik saja?
"A-anu, Ma.."
"Tapi Mama pikir kok Baim santai banget ya. Si Andra yang badungnya minta ampun gitu aja udah siap seriusan sama Ghina, kok dia ngga bertindak ke kamu juga sih?"
Namira terhenyak, "M-maksud Mama?"
"Dia belum ada omongan mau nikahin kamu atau gimana gitu?"
DEG! Seketika ada sebuah dorongan kuat dalam diri Namira yang entah darimana datangnya. Mulutnya terbuka, dan..
"Nikah gimana Mama, yang ada aku putus sama Baim."
Mama tersentak. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi tidak biasa.
Spontan Namira menutup mulutnya.
Ah. Kelepasan bicara lagi.

to be continued..

Sabtu, 13 Mei 2017

Tell Me Why (Part 14)

Sudah hampir dua jam Ghina hanya termenung di kamarnya. Ia mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dan meminta kepada orangtuanya agar membiarkannya sendiri dulu. Tentu saja hal ini membuat Mama Ghina bingung dan panik bukan kepalang, karena beberapa jam sebelumnya Ghina sangat bersemangat menyelenggarakan hari jadiannya dengan Andra, namun setelah Ia pamit untuk menjemput Andra,Ia kembali dengan wajah kusut, lesu, dan mata yang sedikit sembab. Melihat Ghina seperti itu, orangtua serta kedua sahabatnya pun bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah terjadi?
Brietta segera menelpon Andra, Namirapun ancang-ancang untuk mengomeli laki-laki yang dipacari oleh sahabatnya selama enam tahun itu.
"Lo apain Ghina, Nyet?! Lo ngga inget apa sekarang hari penting buat kalian? Seenaknya aja lo ngerusak momen indah begini! Lihat tuh, si Ghina sampe sembab gitu matanya! Tanggung jawab lo, kampret!", Brietta spontan ngomel membabi buta ketika telepon diangkat.
"Eng, bentar. Ini Brietta apa Namira ya?",Brietta sontak mengangkat alisnya. Kenapa ini orang malah menanyakan siapa dirinya?
"Ngga penting gue Brietta apa Namira, yang penting sekarang lo dateng ke rumah Ghina sekarang! Tanggung jawab lo!", tukas Brietta masih mencak-mencak.
"Bilangin dia suruh bawa bunga mawar seratus tangkai sebagai permintaan maaf, Bri. Buruan!", bisik Namira pada Brietta.
"Oh iya, bawa juga seratus tangkai mawar sebagai tanda permintaan maaf lo buat Ghina. Harus kudu musti seratus, ngga pake nawar!"
"Buset, beneran ngga boleh nawar tuh? Lima tangkai aja gimana?"
"Heh! Ngelawan lagi lo! Lo yang salah kok ngga ngerasa sama sekali sih?"
Terdengar suara tawa renyah di seberang sana. Brietta melotot, kesal.
"Malah ketawa lagi!"
"Hahaha sorry, sorry Bi. Lagian kocak banget sih permintaan kalian. Anyway, gue bukan Andra. Gue Rado, kebetulan lagi di rumah Baim. Tadi Andra juga di sini sih, tapi lagi on the way rumah Ghina kok. Tinggal ditunggu aja."
Brietta sontak terhenyak. Kok Rado sih? batinnya bingung.
"Ng-ngapain lo yang angkat sih?",tanya Brietta, salting.
"Tadi Andra perginya buru-buru, lupa deh sama handphonenya.", jawab Rado diikuti tawa kecil. "Lama ya rasanya ngga denger suara lo, Bri. Lo apa kabar?"
Deg! Brietta merasa ada yang berdebar di dadanya mendengar ucapan itu. 
"Bangke, malah nanyain soal Brietta. Modus amat lo, Nyet?", terdengar suara orang lain di seberang sana. Brietta tersentak.
"Yeehh! Nanya doang, Im! Eh, maaf ya Bri, gue lagi sama Baim nih. Lo di rumah Ghina sekarang? Gimana, Andra udah nyampe belom?"
"Ah? Itu kayaknya ada suara motor diparkir deh. Mungkin si Andra kali ya. Ya udah kalo gitu ya, Do. Bye."
Klik! Brietta memutuskan sambungan telpon.
"Mati gue..", desah Brietta sembari memegang dadanya. Ia merasa ada desiran keras di dalamnya.
Namira memandangnya dengan bingung, "Yang tadi bukan Andra?"
Brietta mengangguk, "Rado yang ngangkat. Sia-sia banget dong gue ngomel-ngomelnya tadi?"
"Andranya mana?"
"Lagi ke sini katanya."
"Lo baper gara-gara akhirnya bisa ngobrol lagi sama Rado?", Namira mengerlingkan matanya, menggoda Brietta.
Sontak Brietta menepuk bahu Namira keras, "Ya enggak lah!", bantahnya.
Namira mencibir, dia paham bahwa sahabatnya itu jelas berbohong. Karena Namira tahu, perasaan Brietta pada Rado sesungguhnya masih terlalu kuat.
***

Ghina membuka pintu kamarnya begitu mendengar seruan Andra yang memekik telinganya. Suara laki-laki itu terlalu nyaring hingga membuatnya tidak tahan dan buru-buru ingin meneriakinya balik.
"BISA NGGAK KAMU NGGA PAKE MANGGIL-MANGGIL AKU MULU SAMBIL NYANYI-NYANYI NGGAK JELAS BEGITU?! BIKIN POLUSI SUARA TAHU,NGGAK?!", seru Ghina sembari membuka pintu kamarnya. Andra yang sudah menunggu di balik pintu sontak melemparkan tubuhnya ke arah Ghina, memeluknya erat.
"Maaf ya, sayang. Aku yang salah, malah aku yang marah ke kamu. Tahu ngga, tadi di depan aku udah diomelin sama Mama kamu, sama Namira dan Brietta juga. Jadi kamu jangan nambah-nambahin omelan ya, aku udah puas diomelin, oke?", ucap Andra lembut yang seketika membuat Ghina terharu.
"Aku tuh takut, Ndra, kalau kita bakal selesai kali ini.", ucap Ghina, menahan isak tangisnya.
Masih dalam dekapan Ghina, Andra menggeleng keras. "Ngga, sayang. Ngga akan kita selesai kali ini. Kita akan terus sama-sama sampe kita ubanan, sampe gigi kita ompong, sampai maut memisahkan."
Ghina tersenyum penuh haru, "Kamu jangan bandel lagi dong, jangan bikin aku nunggu terlalu lama."
"Iya, aku ngga akan nyuruh kamu nunggu lama kok. Aku nurut aja gimana maunya kamu sekarang, oke?"
"Tunangan dulu ya."
Andra melepas pelukannya, menatap Ghina dengan jahil. "Gimana kalo ciuman dulu?"
Ghina menepuk lengan Andra kemudian mencubitnya gemas. Andra balas mengecup bibirnya tak kalah gemas.

"Sialan, kenapa gue harus lihat part yang ini sih?", umpat Brietta berbisik pada Namira yang mengintip di balik dinding pemisah ruang tamu dan kamar Ghina.
Namira terkikik, "Kenapa, pengen kissing juga lo?"
"Sama siapa? sama guling, sering."
"Kata lo bibir Rado seksi, merah alami gitu sampe lo tergoda."
Brietta melolot, "KAPAN GUE PERNAH BILANG BEGITU, MIRAAAA?!!"

to be continued..