Minggu, 22 Oktober 2017

Tell Me Why (Part 25)

Brietta terdiam seketika setelah kalimat terakhir yang Rado ucapkan. Dadanya berdebar kencang dan rasanya ingin melompat saja saking terkejutnya. Padahal harusnya tidak begitu, padahal Brietta sudah sekuat tenaga menghilangkan debaran menjengkelkan itu. Namun akhirnya tetap saja tidak berhasil sama sekali. Rado masih ada di sana, di hatinya. Sebenarnya Brietta sudah menduga alasan Rado tidak mau pergi adalah dirinya, namun dia sangkal berkali-kali demi menjaga perasaannya sendiri agar tidak terluka dan merasa bersalah. Ah, ternyata percuma saja menyangkal toh akhirnya dia merasa demikian juga.
"Gue?", ulang Brietta setelah diam cukup lama. "Yakin lo kalau gue adalah alasannya?"
Terdengar di sana Rado terkekeh pelan, 'Iyalah, Princess Bee. Kalau bukan elo siapa lagi?'
"Namira?", tanya Brietta spontan, terdengar ragu.
'Kok bisa sampe ke Namira sih? Jauh amat neng?'
"Bukannya lo suka sama dia?"
'Ya ampun Bi, perasaan itu udah lama banget hilangnya kali. Kenapa pada suka mikir kalau gue masih nyimpen rasa buat Namira sih?'
Brietta menggigit bibir bawahnya, mendadak dia menyesal sudah bertanya soal Namira padanya.
'Bi, lo ngga apa-apa kan kalo gue pergi?', tanya Rado.
"Kalau gue merasa apa-apa, ngga bakalan mengubah keputusan lo juga kan?", jawab Brietta diiringi genangan yang mulai mengumpul di pelupuk matanya. Brietta kesal kenapa dia kali ini begitu emosional. Ah memalukan, padahal sudah setengah mati menjaga imej cool girlnya di depan Rado selama ini.
'Bi, are you okay?' tanya Rado lagi.
Brietta menghela napas pendek, "Ngga apa-apa. Lo bisa pergi, Do. Jangan mikirin gue."
'Bi..'
"Udah ya Do, sampai ketemu besok. Bye."
Sambungan telpon terputus diikuti air mata yang menetes perlahan di pipi Brietta.
Gadis itu menghela napas panjang berusaha untuk tenang. Namun akhirnya tetesan kecil itu berubah menjadi hujan yang sangat deras.
*
Baim baru saja hendak membuka gerbang rumahnya saat matanya menangkap sosok Namira yang baru keluar dari taksi. Keduanya saling beradu pandang tanpa sapaan atau senyuman. Canggung sekali, berhubung pertemuan terakhir mereka menyisakan perasaan yang makin tidak karuan dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah yang ada.
"Baru pulang?", sapa Baim akhirnya, seraya mencoba memasang senyumnya.
Namira hanya mengangguk pelan seraya menekan bel rumahnya, meminta dibukakan gerbang karena sudah terkunci dari dalam.
Baim melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Malam banget, tumben.", ucap lelaki berkulit putih dan berambut hitam tebal itu.
"Iya, ngurusin acara buat besok.", jawab Namira sekenanya.
"Ada yang ulang tahun?"
"Lo sebenarnya tau atau pura-pura ngga tau?", Namira mendengus, sedikit kesal karena Baim mengajaknya bicara terus seakan-akan tidak punya masalah apapun dengannya. Tidak ingatkah dia bahwa sebelumnya Baimlah yang mengabaikan Namira terus. Menyebalkan, batin Namira.
"Ah? Gue.."
Terdengar suara pintu gerbang terbuka, itu Mama Namira.
"Loh, kalian pulang bareng?", tanya wanita itu dengan ekspresi takjub.
"Engga, Ma. Cuma kebetulan nyampenya barengan.", jawab Namira sekenanya kemudian masuk ke dalam rumahnya tanpa berucap apapun lagi ke Baim.
Mama Namira menatap anaknya bingung, lalu balik menoleh Baim yang masih dalam posisi hendak membuka gerbang rumahnya sendiri.
"Im", panggil Mama Namira pelan, "Kalian berdua baik-baik aja kan?"
Baim mengangguk seraya tersenyum tipis, "Iya Tante, kami baik kok."
"Semenjak kalian putus, Namira jadi beda banget loh. Tante cuma ngga mau kalian jadi musuhan atau semacamnya. Kalian masih bisa jadi sahabat baik kayak dulu."
"Tante tenang aja, kami tetap berteman kok. Cuma ya emang ngga bisa sedekat dulu, susah buat memperbaikinya, Tante.", ucap Baim getir. Ada rasa tidak enak yang menyerangnya saat ini.
Mama Namira menghampiri Baim, mengusap bahunya pelan. "Ada yang perlu kamu tahu dari Namira, Im. Tapi kamu harus tanya sendiri ke anaknya langsung."
"Soal apa, Tan?"
"Cari jawabannya sendiri lewat Namira langsung ya. Itu saran dari Tante biar kamu tau apa yang bikin Namira jadi begitu."
Jadi begitu maksud Mama Namira adalah soal Namira yang enggan untuk berkomitmen.
"Tapi, apa itu penting lagi sekarang?"
"Lho, kamu nganggap Namira ini ngga penting buat kamu?"
Baim menggeleng, "Bukan begitu, cuma Baim ngga yakin kalau Namira mau cerita, Tante."
Mama Namira tersenyum, "Makanya kamu dekatin dia baik-baik, pasti Namira mau cerita sama kamu. Percaya deh, karena di dalam hatinya, dia masih sayang banget dan peduli sama kamu."
Baim tertegun. Entah kenapa ucapan Mama Namira membuat hatinya menghangat. Sedikit tidak menyangka bahwa Mama Namira begitu  mempedulikannya meskipun dia telah mengakhiri hubungan dengan putri sematawayangnya itu.
"Makasih banyak Tante."


to be continued..


Minggu, 15 Oktober 2017

Tell Me Why (Part 24)

Rado menyandarkan punggungnya ke tepi ranjang, memandang langit-langit kamar kos Andra sembari melirik ponsel yang sedari tadi digenggamnya. Sudah hampir setengah jam dia hanya menimang-nimang sendiri apakah akan memberi tahu Brietta soal rencana kepergiannya ke Mesir atau tidak.
Ya, akhirnya dengan berat hati Rado memutuskan untuk menuruti kehendak Ayahnya yang sejak dulu bersikeras mengirimnya ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Tiga tahun lalu tepatnya, dia menentang keras perintah Ayahnya itu dan memilih untuk tetap di Indonesia, bekerja sebagai seorang teknisi seperti apa yang diinginkannya. Selain itu mana bisa dia meninggalkan gadis pujaan hatinya dan kedua sahabat sialannya itu. 
Namun sekarang dengan mudahnya ia mengiyakan perintah Ayahnya itu. Selain karena dia sudah malas dengan aksi pembangkangannya yang ia sadari akan berdampak pada jumlah dosa yang akan ia tanggung nantinya. Juga karena alasan utama ia untuk pergi sudah tidak ada lagi. Ya, Brietta.
"Apa harus banget gue ngasih tahu Brietta soal ini? Ngga guna juga bukannya?", tanya Rado pada dua temannya yang tengah asyik dengan pertandingan sepak bola di televisi.
Baim menoleh, "Tanpa lo ngabarin juga Brietta bakal tau, Do.", timpalnya enteng.
Andra mengangguk setuju. "Tapi kalo lo mau ngasih tau sendiri ya lebih bagus juga sih."
"Gue bingung mau ngomong gimana, gue juga takut sama respon dia", Rado meletakkan ponselnya. "Ngga usah aja kali ya."
Tangan Andra melayang ke pelipis Rado, menoyornya keras sampai leher Rado rasanya mau patah.
"Kasih tau aja, nyet yaelah kebanyakan mikir amat sih lo? Urusan dia bakal respon gimana lihat nanti aja lah."
Rado menghela napas pendek. "Gue mau nyari kata-kata yang bagus dulu. Bantuin kek."
Andra menggeleng keras sembari matanya tak lepas dari layar televisi. Sedangkan Baim terlalu fokus menonton hingga mengabaikan Rado.
"Sialan lo berdua!". umpat Rado kesal kemudian kembali mengambil ponselnya, mencoba kembali menulis sesuatu sebelum akhirnya ada satu panggilan masuk.

Princess Bee is calling..

Mata Rado membulat. "MASYAALLAH!"
*
"Ah, gue jadi inget sesuatu, Im.", celetuk Andra setelah euforia hebohnya selesai karena tim andalannya menang. Baim yang tengah membereskan kaleng kosong dan sampah plastik lainnya cuma menoleh sekenanya.
"Apaan?"
"Lo masih inget Kanaya ngga?", tanya Andra mendadak antusias, semacam mengarapkan jawaban Baim adalah 'iya'.
Baim tercenung heran, kenapa tiba-tiba sahabat curutnya satu itu menanyakan soal Kanaya yang.. dua hari lalu resmi menjalin komunikasi lagi dengan Baim. Sebuah kebetulan kah?
"Ghina pernah ketemu dia tempo hari, dan ternyata dia staff HRD di perusahaan yang sama kayak kita. Lo tau?"
Baim mengangguk, ekspresi wajahnya tak menunjukkan rasa terkejut atau semacamnya. "Iya, gue udah denger sendiri dari orangnya."
Andra menaikkan alis kirinya, "Hah?"
"Gue sama dia kontek-kontekan lagi. Udah dua hari ini."
Kali ini Andra terbelalak, niat ia yang ingin membuat Baim terkejut eh malah dia sendiri yang kena batunya. "Serius lo? Kok bisa?"
Baim mendengus, "Lo tau RT di komplek gue kan yang punya sidejob sebagai makcomblang itu?"
"Aaah, iya. Yang pernah nawarin pengen ngenalin adek iparnya dia ke gue waktu itu."
"Kanaya adalah keponakan beliau."
Mata Andra membulat. "Hah?"
"Dan gue lagi coba dicomblangin sama Kanaya. Man, gue berasa balik ke masalalu lagi."
"Kok bisa kebetulan begitu?", Andra menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.
"Gue pikir gue dan Kanaya bakal sekedar say hi seadanya, tapi nyatanya sampe detik ini WhatsApp ngga pernah berhenti. Heran gue."
"Nah loh, berpaling juga kan lo akhirnya."
Baim mendengus, "Berpaling mata lo! Yang ada gue gelisah kalau begini ceritanya."
"Kenapa harus gelisah? Hei, masalalu lo sama dia dan si Rado kutu kampret itu ngga usah dibawa-bawa lagi sekarang, nyet. Lupain, pindah haluan lo, jangan malah balik mikirin Namira lagi. Nggak guna kalau yang satu itu, Im.", ujar Andra seraya memantik rokoknya. "Kalo kata gue, ngga ada salahnya lo membuka hati buat yang lain. Waktu itu lo sempet ketemu lagi sama mantan lo, siapa tuh namanya, Danisha? Gue kira lo bakal lanjut nostalgia, taunya malah iklan doang. Dan untuk yang kali ini.."
Baim menggeleng pelan, "Gue belum mau, Ndra, serius. Bukan apa-apa, gue cuma ngga mau jadiin siapapun pelarian. Perasaan gue ke Namira berkurang satu persen aja engga."
"Lo ngga mau nyoba dulu?"
"Lo pikir cewek itu bahan percobaan?"
"Ngga gitu, monyong!", sembur Andra dengan asap rokoknya ke wajah Baim yang sontak terbatuk.
"Sialan lo kampret!", umpat Baim kesal. "Terus apaan? Gimana?"
"Jangan keras kepala kenapa sih? Lagian lo mau nunggu Namira sampai kapan, hah? Toh lo juga yang udah ninggalin dia, ya udah berpaling aja lah, Im."
"Seenggaknya gue harus tau dulu perasaan dia yang sebenar-benarnya ke gue, juga apa alasan dia tetep ngotot ngga mau gue nikahin. Yang gue tunggu adalah penjelasan dia, bukan soal dia mau balik ke gue lagi apa engga."
Andra berdecak, "Gimana dia bisa ngomong dan jelasin semuanya ke lo kalau lo sendiri ngehindari dia mulu, nyet? Bego bener lo emang ya."
PLAK! 
Andra meringis kesakitan akibat dahinya ditepuk keras oleh Baim. "Sakit, setan!"
"Itu kan kemaren-kemaren, sekarang udah beda lagi ceritanya, kampret!"
"Jadi lo mau Namira njelasin semuanya ke lo. gitu?"
"Iya, manfaatin momen aja selagi ada kesempatan buat ngobrol dan ngumpul bareng."
Andra tercenung, "Pakai acara nunggu momen segala. Eh kunyuk, lo ngga bisa apa bikin momen lo sendiri apa? Man, lo mau bikin rusuh acara perpisahan Rado kayak pas pertunangan gue tempo hari, hah?"
"Rusuh apaan setan?! Gue bakal ngomong berdua kok nantinya."
"Lah lo ribet amat sih sekarang tingkahnya. Lagi masa pubertas kedua lo ya?"
"Kambing lo!", umpat Baim kesal.
*
Rado sudah berada di beranda kamar kos Andra begitu mendapat 'panggilan' dari Brietta. Secepat kilat dia mengambil tempat sendiri agar obrolannya tidak diganggu oleh kedua temannya yang seringkali otaknya error itu.
"Ya, Bi?", sapa Rado dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Tak disangkanya Brietta menelponnya di saat dia tengah bimbang akan memberi tahu Brietta tentang kepergiannya atau tidak.
'Lagi di mana?'. tanya Brietta di seberang sana.
"Di kosan Andra nih lagi ngumpul."
'Lo mau ke Mesir?', tanya Brietta lagi, kali ini langsung ke intinya.
Andra menelan ludahnya, "I-iya. Bokap gue udah siapin kepindahan gue ke sana sejak beberapa bulan lalu, sih."
'Kenapa lo ngga pernah cerita soal ini ke gue, Do?'
"Aaa..", Rado bingung mencari alasan. Jika dia mengatakan alasan yang sesungguhnya adalah karena dia tidak ingin berpisah dari Brietta akan terdengar sangat konyol dan menggelikan.
"Gue sendiri juga kaget sih karena mendadak bokap rada maksa gue buat pergi kali ini. Jadi guepun ngga bisa berkutik apa-apa lagi."
Terdengar Brietta mendengus di sana, 'Itu sama sekali ngga menjawab pertanyaan gue, Do. Yang gue tanya kenapa lo ngga pernah cerita soal rencana S2 lo di Mesir ini sama gue sebelumnya?'
Rado menghela napas pendek, mungkin sebaiknya dikatakan saja.
"Karena gue punya alasan kuat kenapa gue ngga harus pergi", jawab Andra disusul hening beberapa detik, "..waktu itu. Dan sekarang gue ngga punya alasan untuk ngga pergi."
'Apa alasan itu begitu penting buat lo?'
Rado mengangguk sendiri, seolah Brietta ada di depannya. "Banget."
'Apa itu?'
"Alasannya?"
'Iya'
Rado menarik napas panjang. "Alasannya adalah lo."

to be continued..

Sabtu, 07 Oktober 2017

Tell Me Why (Part 23)

Belum sempat Namira meneguk teh hijau hangat favoritnya, sebuah lengkingan tajam memekik telinganya secara tiba-tiba.
"HELP ME GOOOOODDD!!", seru seorang gadis berwajah oriental yang baru saja memasuki kedai dengan begitu lantang. Tanpa basa-basi dia segera menghampiri Namira dan merebut cangkir yang tengah dipegang oleh sahabatnya itu, meneguknya dengan brutal.
Namira hanya bisa tercengang melihat kelakuan Brietta yang seperti orang kesurupan itu.
"Lo ngga mau nanya kenapa gue sampe begini? Lo ngga penasaran sama keadaan gue saat ini?", tanya Brietta pelan setelah meneguk habis teh hijau Namira yang direbutnya secara paksa.
"Ngga perlu gue tanya, gue udah tau jawabannya apaan, Bri.", jawab Namira dengan tenang seakan dia sudah terbiasa menghadapi tingkah Brietta yang mendadak suka nyeleneh begini.
"Nyokap lo bawel dan terlalu ngatur hidup lo banget ngga? Kalo engga, tukeran nyokap sama gue yuk, Nam!", celetuk Brietta ngaco. Dia mengusap wajahnya sendiri yang sudah terlihat lusuh seperti belum mandi dua hari.
Namira menggeleng penuh simpati, "Jangan suka ngomong begitu, lo. Durhaka namanya."
"I don't care. Gue kesel banget asli sama nyokap. Kenapa dia ngebet banget jodoh-jodohin gue sama laki-laki yang pada absurd ngga danta banget gitu sih? Dia ngga rela banget kayaknya kalo gue nyari yang sesuai pilihan gue sendiri.", keluh Brietta. "Oke gue tau dia nyoba menghindarkan gue dari situasi tidak menyenangkan seperti insiden Rado dulu, dia ngga mau hal itu terulang lagi gue tahu. Tapi ngga gini juga caranya kali!"
Brietta menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Maaf, Bri,untuk soal itu gue ngga bisa bantu.", ucap Namira tidak tertarik. Karena menurutnya, masalahnya sendiri juga rumit. Belum selesai dengan Baim, Rado kini masuk dalam putaran masalahnya.
"It's okay, Nam. Gue juga tau lo sendiri punya problem yang lebih ribet dari gue."
Mendadak Namira tersadar akan sesuatu. "Bri, gue.."
Brietta mengangguk, "Gue tau, Rado suka sama lo, kan? Gue udah sadar dari dulu sebenarnya, cuma gue emang ngga mau memusingkan soal itu karena Rado sendiri cuma fokus ke gue saat itu.", ungkap Brietta yang sontak membuat mata Namira membulat, kaget.
"Lo tau dari mana?"
"Hmmm, awalnya cuma nebak aja waktu Rado dengan ngga sengaja bilang kalau sebenarnya di antara gue, lo dan Ghina, yang paling menarik perhatian adalah lo meski dia juga bilang wajah gue yang paling proporsional.", Brietta terkekeh pelan. "Ngga tau kenapa cuma gara-gara denger itu perasaan gue ngga enak. Gue ngerasa ada something di balik ucapan Rado itu. Dan jujur aja gue agak kesel sih."
"Maaf, Bri."
Brietta menggeleng, "Ngga apa-apa kali, toh udah lewat. Perasaan gue ke Rado pun udah selesai. Ngga ada yang perlu dipermasalahkan lagi."
Namira tercenung, "Lo..udah ngga suka lagi sama Rado?"
"Kenapa? Kalo gue ngga suka lagi lo bakal nerima dia?", tanya Brietta dengan nada meledek.
"Apaan sih? Ya ngga mungkin lah, lo sendiri kan tau gue ngga bakal bisa nerima siapa-siapa."
"Gue cuma ngga mau memusingkan perasaan ini lagi, Nam. Udah sia-sia aja buat gue, ngga ada gunanya mempertahankan perasaan yang sama sekali ngga bakal membuahkan hasil akhir yang bahagia."
Namira mendengus, "Ya sama kalo gitu."
"Tapi lo masih punya kesempatan buat memperbaikinya, Nam. Lo cuma tinggal yakinin diri lo sendiri kalau lo bisa terbebas dari phobia konyol lo itu. Lo liat sendiri kan gimana sayangnya Baim sama lo?"
"Sesayang apapun dia ke gue, gue ke dia, ngga akan mengubah apapun, Brietta. Gue ngga bisa, sama sekali ngga bisa. Lo masih bisa ketemu cowok dan jatuh cinta lagi, tapi gue udah ngga ada harapan apapun. Karena hasil akhirnya bakalan sama aja, gue ngga bisa berkomitmen."
Brietta menghela napas kembali. "Jadi selanjutnya lo mau gimana sama Baim dan Rado?"
"Mau ngga mau gue harus jujur soal phobia gue ini, Bri. Ngga ada cara lain."
"Kayaknya cuma kita aja yang hasil akhirnya ngga bahagia begini ya?", Brietta meringis.
"Kenapa lo ngomongnya begitu? Lo masih punya kesempatan buat ketemu orang dan jatuh cinta lagi kan gue billang?"
"Dan gue juga udah bilang kalau masalah gue sekarang terletak di nyokap gue sendiri, Namira."
"Lo ngga punya gebetan atau teman yang cukup dekat gitu?"
"Siapa? Teman cowok yang dekat sama gue selama ini ya cuma Rado, ngga ada yang lain lagi. Duh, plis deh Nam, lo juga udah tau kan kalau gue ini ngga punya banyak teman cowok dari jaman kuliah. Kebanyakan cuma sekedar kenal doang, ngga ada yang bener-bener deket."
Namira mengangguk pelan, "Iya juga ya, kalo diinget-inget lo ngga terlalu deket sama teman cowok di kampus, padahal banyak yang nyoba deketin lo, kan?"
"Justru karena mereka tujuannya cuma nyepikin gue dan ngegombalin gue, jadi mendingan gue menghindar aja. Gue ngga mau baper, gue ngga mau sakit hati."
"Tapi kenapa sama Rado lo mau?"
"Karena dari awal gue ngelihat dia bukan tipikal cowok yang demen nyepik. Gue perhatiin cuma sama gue doang dia bisa luwes, sama temen cewek yang lain dia cuek-cuek aja.", Mata Brietta melirik ke arah Namira, "Ah, sama lo juga. Dia bisa luwes sama lo juga."
"Ah, jangan bawa-bawa gue kenapa sih?", Namira beranjak dari bangkunya, mengambil dua gelas dan botol air mineral ukuran besar.
"Lo sama Rado sebenarnya gimana, Nam?", tanya Brietta setelah meneguk airnya hingga tandas.
"Gue ke Rado ya biasa aja, yang gue rasain justru ngga enak sama Baim, apa lagi sama lo, Bri. Gue ngerasa bersalah banget."
"Lah, buat apa lo merasa bersalah? Lo sama sekali ngga salah soal ini, Namira."
"Karena lo punya perasaan ke Rado. Dia pun begitu ke lo."
"Ah, udahlah, udah ngga penting lagi."
KLING! Sebuah notifikasi pesan masuk muncul di layar ponsel Namira.

From: Ghina's Fiancee
Kedai lo besok malam free nggak? Bikin mini party yuk! Si Rado kupret jadi dikirim ortunya ke Mesir nih!

Namira tertegun membaca pesan dari Andra itu. Sedetik, dua detik, tiga detik, dia hanya bisa menatap layar ponsel dengan nanar. Membuat Brietta yang melihatnya bertanya-tanya.
"Kenapa, Nam?"
"Bri..Rado mau ke Mesir."
Brietta mendelik kaget. "Seriously?"
*
"Lo aja dah yang bilang langsung ke Namira, masa harus gue.", keluh Andra pada Rado yang semenjak tadi mendesaknya agar mau memberi info soal rencana kepergiannya pada Namira. "Kalau ngga minta Baim sana!"
Rado berdecak, "Yaelah, bro, kali ini aja lo ngga bisa bantuin gue apa? Lagian lo tau sendiri hubungan Baim sama Namira lagi gimana sekarang. Gue ngga sanggup ngomong langsung ke dia, jadi lo aja ya yang ngasih tau. Bilang aja lo mau nyewa kedai buat acara perpisahan gue atau gimana kek."
"Eh, monyong, kalau mau nyewa kedai gue bisa ngomong ke Ghina ngga pake ke Namira juga."
"Eh, kampret, misi sebenarnya kan mau ngasih tau dia kalau gue mau ke Mesir bukan mau party beneran. Lo ngga peka banget sih, Ndra, masyaallah!"
"Ribet amat lo jadi orang dah!", cibir Andra, bete.
"Tinggal ngirim pesan WhatsApp aja susah amat sih, Nyet!", balas Rado mulai sewot.
"Kalo menurut lo gampang kenapa ngga lakuin sendiri?", sebuah suara yang terdengar tak asing mendadak masuk dalam obrolan mereka. Andra dan Rado menoleh serempak ke arah pintu kamar kos Andra.
Baim berdiri di sana dengan wajah tersenyum simpul.
"Lo dari kapan di situ? Baru nyadar gue.", sapa Rado sedikit canggung mengingat terakhir mereka bertemu dalam situasi yang kurang mengenakan.
"Lo ngga mau nanyain kabar gue, Nyet? Sombong ya mentang-mentang mau cabut dari Indonesia.",tukas Baim dengan nada bercanda. Andra tertawa geli melihat kecanggungan di antara dua temannya itu.
Rado melirik Andra, "Yang ngasih tau dia..elo?", tanyanya sambil berbisik. Andra mengangguk sembari terkekeh.
"Mau ngabarin Namira?",tanya Baim seraya menghampiri Andra dan Rado di atas tempat tidur. "Perlu bantuan gue?", Baim menawarkan diri.
"Ah, gue udah minta tolong Andra. Baru mau dikirimin WhatsApp. Ya kan?"
"Gue heran dah sama ini bocah, mendadak tingkahnya kayak baru masuk masa puber." Andra menggelengkan kepalanya.
"Gue udah ngga heran lagi malahan." timpal Baim enteng.
Rado menatap Baim canggung, "Maafin gue Im, gue ngga ada maksud.."
Baim mengibaskan tangannya di depan wajah, "Ngga perlu, lo ngga salah juga lagian. Guenya aja yang rada sensi sama sikap lo yang begitu mulu dari dulu. Bikin gue ngga enak sendiri."
"Soal gue sama Namira..", Rado menelan ludahnya, "Udah gue lupain. Gue ngga mau bikin masalah baru. Toh gue juga mau pergi."
"Serius banget ngomongnya."
"Ya masa gue bercanda di saat begini, Im?"
"Lo perginya ngga bercanda?"
"Emangnya gue keliatan lagi bercanda sekarang?"
"Gue kangen candaan lo dan bakal kangen seterusnya, Do."
Andra melirik geli pada Baim dan seketika tawanya menggema tanpa permisi menyisakan suasana aneh di antara Baim dan Rado.
"Udah mending lo berdua pelukan dah sekarang!", ujar Andra di tengah tawanya yang tak kunjung berhenti.
"Bajingan, merinding gue bego!" Rado melempar bantal ke muka Andra, gemas.
"Goblok, gue yang paling merinding ini!", timpal Baim sembari terkekeh pelan.
"Geli najis!", umpat Rado pada Baim.
"Tapi serius dah, gue bakal kangen sama lo nanti."
"Pelukan aja ayoo pelukaann!!" Andra makin mengompori.
"TAEEE UDAH WOY GUE GELI ANJRIT!"

to be continued..