Aku merasa
ada yang salah pada perasaanku ini. Awalnya aku kira sudah berhasil
mengenyahkan Remy dari pikiranku, aku bahkan yakin sudah benar-benar
melupakannya. Tapi ternyata aku keliru, perasaan yang kupunya ini ternyata
terlalu dalam, terlalu berat untuk dilepaskan. Bertemu kembali dengannya tempo
hari, telah membuktikan kenyataan perasaanku yang sebenarnya, apalagi ketika
kulihat dia bersama kekasihnya. Hatiku seperti teriris belati. Aku merasa sakit
kembali.
Perasaan ini
sungguh menyebalkan.
“Kamu tuh
ya..”, Riris berdecak heran setelah mendengar ceritaku ketika bertemu Remy dan
kekasihnya. “Jangan terlalu dimasukin ke hati kenapa sih? Biarin aja gitu dia
lewat sama pacarnya, cuek aja. Dia aja nggak peduliin mau gimana perasaan kamu
saat itu.”
Aku mendesah.
“Ternyata beneran nggak gampang, Ris. Dia bener-bener susah dilupain.”
“Kamunya aja
yang kurang usaha, La. Kamu cari cowok kek biar nggak kebayang Remy terus. Kasian
tau ngeliat kamu begini merananya gara-gara satu cowok yang udah jelas-jelas
hatinya bukan buat kamu.”
“Kamu kira
cari cowok segampang bikin telor dadar apa?”, aku mendengus, “Selama aku belum
bisa meyakini diri aku sendiri kalau udah benar-benar lupain Remy, aku nggak
mau nyari cowok lain.”
Riris menepuk
pipiku pelan. “Ribet kamu ya jadi cewek. Lemah, tau nggak. Dulu waktu masih
galau-galau soal Irham juga begini ribetnya. Eh tunggu..”, Riris menerawang. “Kalau
dipikir, Remy itu kayak Irham ya?”
Aku tercenung.
“Hah? Apanya?”
“Iya, kamu
dulu suka banget sama Irham, tapi dianya nggantungin kamu dan akhirnya jadian
sama cewek lain. Remy juga gitu, kesannya dia ngasih harapan tapi
ujung-ujungnya dia juga jadiannya sama cewek lain.”
Aku tercengang
mendengar ucapan Riris. Aku kok baru ngeh ya?
“Kamu kok
nasib asmaranya sial banget begini sih, La? Ya ampun, kenapa tiap kamu suka
sama cowok selalu aja bertepuk sebelah tangan, sih?”, Riris memasang muka
prihatin. Dia merangkul bahuku dan menepuknya pelan.
Aku Cuma tersenyum
tipis. Ya, kuakui kalau aku memang tidak pernah beruntung dalam hal ini.
*
Jam dinding
menunjukkan pukul 9 malam. Aku menguap lebar, sementara jemariku masih terus
menari diatas keyboard. Menyibukkan diri dengan tumpukan tugas kuliah yang
tidak pernah ada habisnya. Kurasa dengan mengerjakan tugas begini akan jauh
lebih baik daripada aku terus merenungi nasib asmaraku yang tidak pernah
beruntung.
Tanganku meraih
cangkir kopi moccaku yang mulai dingin dan meneguknya pelan. Bersamaan dengan
itu, radio yang kubiarkan menyala untuk menemaniku malam ini, tengah memutar
sebuah lagu.
Saatnya ku berkata
Mungkin yang terakhir kalinya
Sudahlah lepaskan semua
Kuyakin inilah waktunya
Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi
Mungkin saja rasa itu telah pergi
Aku tersentak.
Lagu dari Peterpan itu langsung mengingatkanku pada Irham. Spontan aku menepuk
dahiku sendiri. Kenapa disaat seperti ini malah yang teringat adalah orang itu?
Kenapa disaat seperti ini malah yang terdengar lagu favoritnya?
Aku menjatuhkan
kepalaku di meja. Memandangi radio yang masih memutar lagu itu. Ya, bisa
dibilang lagu ‘Mungkin Nanti’ itu adalah lagu kenanganku bersama Irham. Dia
adalah orang yang membuatku begitu menyukai lagu ini. Aku kembali teringat
ketika dia menyanyikan lagu itu untukku. Dan aku kembali teringat pada momen
dimana aku benar-benar merasa jatuh cinta padanya.
Mei, 3 tahun
lalu.
Aku memandangi
Irham yang meneguk es jeruknya dengan brutal hingga membuat tetesan air jeruk
itu menetesi dagunya.
“Haus, Mas?”,
tanyaku dengan nada meledek. Irham cuek, dia kemudian menyeka mulut dan dagunya
dengan ujung kemeja putihnya.
“Gila diluar
panas banget. Kipasin kek.”, ujarnya. Aku menggelengkan kepalaku.
“Lagian kamu
ngapain nekat kesini tau cuacanya lagi panas begini.”
Irham terkekeh.
“Aku kan kangen sama kamu, Olla jelek.”, tangannya meraih hidungku, mencubitnya
gemas.
Aku menampik
tangannya. “Sakit tau!”
“Duh,
juteknya!”, tangannya gantian mencubit pipiku. “Kenapa belom ganti seragam? Besok
masih dipake kan?”, tanyanya begitu melihatku masih mengenakan seragam
putih-abu.
“Lah, mau
ganti baju gimana, kamu aja langsung dateng begitu aku baru sampai rumah. Kamu juga
nggak pulang dulu kek, ganti seragam kamu tuh baru sorenya main kesini.”.
“Sebenernya
aku udah pulang sekolah dari tadi sih. Tadi ke sekolah Cuma main doang.”
Aku berdecak
heran. “Mentang-mentang ujiannya udah selesai jadi seenaknya ya masuk sekolah.”
“Lah, kamu
kan juga udah selesai ujiannya. Sama aja dong.”
“Tapi kan
aku masih perlu mengurus keperluan buat daftar kuliah, bukan sekedar main doang
kayak kamu.”, aku menjewer telinganya pelan. Irham meringis.
“Eh, punya
siapa tuh?”, tanya Irham begitu matanya menangkap ada bayangan gitar tergeletak
disamping lemari. “Aku yakin sih bukan punya kamu, kamu mana bisa main gitar.”,
ejeknya seraya mengambil gitar itu.
Spontan aku
menepuk pahanya keras. “Emang kamu bisa? Coba mainin satu lagu buat aku. Cepet!”
Irham memonyongkan
bibirnya. “Bisa doong. Kecil ini mah. Kamu mau aku nyanyiin lagu apa?”
“Eeeng..”,
aku memutar otak. Memikirkan lagu bagus apa yang sekiranya Irham tau dan bisa
membawakannya.
“Ah,
kelamaan mikirnya.”, Irham mengibaskan tangannya di depan wajahku.
“Ya sabar
kek, aku kan lagi nyari lagu yang bagus.”
“Udah udah,
sini aku aja yang pilihin lagunya. Salah satu lagu favorit aku nih.”
“Oh ya?”,
aku mencibir, “Lagu apa emang? Jangan bilang kalau lagu dangdut!”
Irham terkekeh.
“Bukan kok, ini lagunya abang aku. Hehe.”
Aku tercenung.
“Abang?”
Irham tersenyum
tipis kemudian mulai memetik gitarnya dan bersenandung. Aku tercengang. Suaranya
ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan.
Dan mungkin bila nanti
Kita kan bertemu lagi
Satu pintaku jangan kau coba
Tanyakan kembali
Rasa yang kutinggal mati
Seperti hari kemarin
Saat semua disini
Irham menyanyikan
bagian reff lagu itu dengan sempurna. Aku sampai tidak bisa berkata apa-apa
saat mendengarnya. Mungkin jika dibandingkan dengan penyanyi lain, dia
terbilang masih sangat amatir. Tapi ada sesuatu di dalam suaranya yang
membuatku begitu terkesima. Dia menyanyikannya penuh dengan penghayatan, hingga
ikut membuatku larut dalam iramanya.
Dan dalam
sekejap saja, aku merasa langsung jatuh cinta. Jatuh cinta pada lagu itu, dan
jatuh cinta padanya. Pada Irham.
“Tepuk
tangannya mana?”, tanya Irham membuyarkan lamunanku. Aku tersentak.
“Oh? Hah? Apa?”
“Kamu
ngelamun ya? Aku nyanyi dari tadi kamu dengerin nggak sih?”
Aku menggaruk
kepalaku yang mendadak gatal. “I-iya, aku dengerin kok.”, jawabku salah tingkah.
Irham tersenyum
lebar, “Kamu terpana ya denger aku nyanyi begini merdunya? Hayoo ngaku!”
“Hah? Ih,
pede banget! Enggak lah.”, sanggahku. Padahal nyatanya memang begitu adanya.
“Huu, dasar
jelek nggak mau ngaku!”, tangan Irham kembali mencubit hidungku.
“Kamu tuh
yang jelek!”, aku balas mencubit pipi dengan kedua tanganku.
Irham kontan
memegangi kedua tanganku, menggenggamnya dengan erat. Aku mendadak bergeming.
Namun tak
lama Irham melepasnya kemudian menjatuhkan kepalanya dipangkuanku.
“Eh ngapain
nih?!”, aku kontan mendorong kepalanya agar bangun dari pangkuanku.
“Mau
tiduran, ngantuk.”, ucapnya cuek. Dia meletakan lenganya diatas wajahnya,
memejamkan matanya.
Aku tercengang.
“Eh, jelek! Jangan tidur disini ah!”
“Bentar
doang.”
“Ih, ini
anak!”, sungutku kesal. Akhirnya aku membiarkannya tidur dipangkuanku, entah
dia tidur sungguhan atau Cuma main-main. Biarlah.
Aku
memandanginya penuh dengan tanda tanya. Sebenarnya apa yang Irham rasakan
terhadapku? Apa dia punya perasaan yang sama? Apa dia merasa nyaman saat
bersamaku? Apakah aku ada dihatinya? Apakah dia tidak memikirkan orang lain
selain aku?
Berbagai pertanyaan
itu terus berputar dalam otakku, dan entah kapan bisa terjawab. Aku hanya
merasa selama ini semuanya serba menggantung. Irham sama sekali tidak pernah
mengatakan suka atau benci. Dia hanya terus ada disampingku ketika aku
membutuhkannya. Dan aku pun berusaha untuk terus ada disampingnya ketika dia
membutuhkan teman untuk bicara.
Namun ketika
memandanginya terbaring dipangkuanku ini, ada perasaan yakin menghampiriku. Aku
merasa yakin bahwa selama ini Irham merasa nyaman bersamaku, dan mungkin
sebentar lagi dia akan mengungkapkan perasaannya.
Aku
memandanginya yang masih memejamkan matanya. Dia terlihat begitu tampan saat
ini. Tanganku pun menyentuh pelan dahinya, matanya, hidungnya, dan jariku
terhenti di bibirnya.
Aku menelan
ludahku. Entah ada dorongan dari mana agar aku mencium bibirnya. Kontan aku
menggeleng kepalaku keras. Apa ini? Konyol sekali!
Tiba-tiba kurasakan
ada yang menepuk perutku. Aku tersentak.
“Eh, udah
berapa bulan nih?”, Irham terkekeh sambil menepuk perutku.
“Udahan tidurnya?”
Irham menggeleng.
“Maunya sih belom, habisnya empuk sih.”
“Heh!”,
spontan aku menepuk pipinya. “Empuk apanya?!”
“Empuk kayak
spring bed. Hehehe.”, Irham terkekeh lagi sambil terus menepuk perutku. “Duh,
dasar jelek gendut!”
Aku mendengus.
“Bangun gih!”
“Ntar.”
“Cepetan
bangun!”
“Nggak mau.”
“Kalau nggak
bangun aku cium loh!”
Irham tersentak.
Aku spontan menutup mulutku dengan kedua tangan. Apa yang barusan aku bilang?!
Namun tak
lama kurasakan tangan Irham meraih bahuku. Matanya memandangku tajam. Aku mendadak
kikuk dan bingung harus berkata apa.
“Sini.”,
ucapnya pelan seraya menarik bahuku agar mendekat ke arahnya.
Aku
bergeming, namun kembali kurasakan dorongan untuk mencium itu. Ada pertentangan
dalam diriku. Otakku melarangnya, namun hatiku menginginkannya.
Dan pada
akhirnya aku menuruti keegoisan hatiku, kemudian memejamkan mataku dan mengecup
pelan bibirnya.
*
Aku memukul
kepalaku sendiri. Kenapa aku malah kembali mengingat kejadian yang harusnya
tidak aku ingat itu? Kembali kujatuhkan kepalaku dan menghantamnya berkali-kali
ke meja, sambil dalam hati berharap agar ingatan itu segera enyah dari
kepalaku. Betapa konyolnya aku jika terus mengingatnya. Aku tidak mau
mengingatnya lagi. Jika teringat kejadian itu, rasanya ingin kuhabisi kepalaku
sendiri dengan palu.
Aku menghela
napas panjang, bersamaan dengan air mata yang jatuh perlahan ke pipi. Ayolah Irham,
bisakah kamu menghilang dari otakku? Aku sudah bisa merelakanmu dengan yang
lain, aku sudah tidak mempermasalahkan apapun lagi denganmu. Tapi kenapa masih
saja kamu muncul dalam ingatanku?
Aku melirik
radio yang masih memutar lagu kenanganku dengan Irham itu.
Tak usah kau tanyakan lagi
Simpan untukmu sendiri
Semua sesal yang kau cari
Semua rasa yang kau beri
Aku tercenung,
memikirkan bagaimana jika aku kembali bertemu dengannya. Apa yang akan
kulakukan? Apa jika kelak aku bertemu dengannya lagi dia sudah tak bersama
kekasihnya?
Hah,
apa-apaan ini? Kenapa pikiranku mengacau begini?
Aku mengusap
air mataku. Entah kenapa sakit yang dulu kurasakan seperti datang kembali. Luka
yang sudah berhasil aku sembuhkan kini terasa lagi. Pikiranku kembali dipenuhi
oleh nama Irham, padahal selama ini aku tidak pernah dengan sengaja
memikirkannya. Ada apa ini? Apakah mungkin disana Irham tengah memikirkan dan
merindukan aku? Ah, yang benar saja. Kalaupun dia merindukan aku, kenapa dia
tidak mencoba menghubungiku?
Tiba-tiba
handphone ku berdering, menandakan ada pesan masuk.
Assalamualaikum, Olla jelek.
Aku tersentak
kaget. Irham?!