Selasa, 30 September 2014

Di Penghujung September



Pada tanggal 29 September pukul 19:46 WITA, aku mendapat sebuah pesan yang kurasa begitu menusuk dalam hatiku. Pesan yang dikirim oleh seseorang yang pernah menjadi dambaan hatiku dulu. Seseorang yang pernah berhasil mencuri segala perhatianku dan akhirnya menjatuhkan segala harapku dengan sempurna.

‘Aku hanya bercanda. Lagipula siapa juga yang sedang menunggumu? PD sekali kamu ini ya..’

Aku membaca pesan itu sambil tersenyum miris. Ada perasaan aneh yang seketika menyeruak dalam dada. Bukan karena aku tidak terima dengan perkataannya, namun aku hanya merasa aneh pada diriku sendiri. Ya, karena selama ini jujur saja aku merasa dia selalu menungguku untuk kembali. Aku selalu beranggapan dia masih ingin bertemu denganku sekali lagi. Karena sejujurnya akupun merasa demikian.
Namun nyatanya dia telah berubah, salah, mungkin aku yang terlalu mendramatisir ini semua. Adalah hal yang wajar jika dia tidak lagi berkeinginan untuk menunggu atau berpikir untuk menemuiku jika aku kembali ke kota dimana kami berkenalan dan bertemu. Kota yang menjadi kampung halaman kami berdua. Kota yang selama dua tahun ini kutinggalkan dan kini aku berniat untuk kembali kesana.
Ya, kurasa dia benar-benar dia memang tidak pernah menungguku untuk kembali selama ini. lagipula menunggu untuk apa? Toh diantara kami memang tidak ada sesuatu yang spesial. Tepatnya sudah tidak ada hubungan spesial lagi seperti dulu.

Masih di hari yang sama, tiba-tiba pikiranku melayang pada satu orang lagi yang sempat menjadi dambaan hatiku beberapa bulan belakangan ini. Ya, aku memang tengah menyukai seseorang namun dia tidak merasakan hal yang sama. disaat itu aku teringat padanya yang pernah mengatakan dalam pesannya;

‘Tidak sabar untuk bertemu denganmu. Can’t wait..’

Aneh, disaat ada yang dengan lugasnya mengatakan dia tidak menungguku, ada orang lain yang mengatakan sebaliknya. Apa artinya? Apa memang orang itu ditakdirkan untuk memberiku kebahagiaan? Ah, kurasa tidak. dia hanya seorang teman baik yang ingin bertemu denganku, gadis yang belum pernah ditemuinya selama empat tahun berteman ini. Kurasa itu hal yang wajar.
Namun ada hal yang membuatku merasa aneh. Ketika dia mengatakan itu, di satu sisi aku merasa sangat tersanjung dan bahagia tiada terkira. Namun di sisi lain aku merasa kebahagiaanku runtuh seketika, begitu ingat jika dia telah memiliki kekasih.
Aku membayangkan jika pada akhirnya nanti kami dipertemukan, mungkin aku akan merasa kacau dan bingung harus berbuat apa. Mungkin aku akan dengan sekuat tenaga menahan perasaan kacau dalam hati. Memasang senyum yang dipaksakan agar dia tidak tau jika aku sedih tiada terkira.
Ya, semua itu mungkin saja terjadi suatu hari nanti.

30 September pukul 20:38 WITA.
Aku merasa perasaan aneh itu datang kembali. Pikiranku melayang pada dia yang jauh disana. Dia yang selama ini tidak pernah mengacuhkan aku, dia yang tidak lagi mau peduli denganku. Dia yang pernah kuakui menjadi kekasih, dia yang selama ini paling ingin kutemui.
Namun apakah dia juga (masih) ingin menemuiku, seperti apa yang pernah dia katakan dulu? Entahlah. Dia tidak pernah mengatakan apapun padaku, jangankan mengatakan menungguku kembali, menanyakan kabarku pun tidak pernah.
Ya, disaat ada satu orang yang mengatakan jika tidak menungguku, satu orang lagi mengatakan menungguku, ada satu orang lain lagi yang tidak kuketahui isi hatinya. Mirisnya, justru orang itulah yang sangat ingin kutemui.
Aku merasa semua ini begitu aneh.

Pada akhirnya, aku hanya bisa membiarkan waktu berlalu perlahan. Menikmati tiap detik ini dan terus mensyukurinya. Aku tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi kemudian hari. Apakah aku akan bertemu dengan mereka? Apakah aku tidak memiliki kesempatan untuk bertemu mereka? Aku tidak tau. Yang bisa aku lakukan hanya menunggu waktu untuk menjawabnya.

Dan di penghujung September ini, aku meletakkan banyak harap untuk bulan berikutnya. Semoga saja bukan hanya sekedar harap.



Selasa, 23 September 2014

Sebuah Alasan



“Ada apa denganmu? Apa kamu baik-baik saja? Coba ceritakan padaku, aku bersedia mendengarnya.”
Ada perasaan aneh ketika dia bertanya demikian kepadaku. Terdengar begitu tiba-tiba dan sedikit mengejutkanku. Dia bertanya seolah tahu kalau aku memang sedang dalam keadaan kacau. Dia bertanya disaat yang begitu tepat hingga aku merasa terkejut sendiri. Apa dia bisa membaca isi hatiku? Jika iya, lalu apa dia juga bisa memberi solusi atas keresahanku saat ini?
Ketika dia bertanya seperti itu sebenarnya aku tidak memiliki jawaban apapun untuk kukatakan padanya. Akupun hanya tersenyum tipis dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Namun matanya menunjukkan hal lain, dia seolah tidak mempercayai ucapanku. Dia sedikit mendesakku untuk mengatakan yang sejujurnya. Namun sekali lagi aku hanya bisa mengatakan ‘aku baik-baik saja’. Diapun menyerah dan tidak bertanya lagi.

Aku menghela napas pendek. Ya, sejujurnya aku memang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Aku tengah merasa risau juga kacau. Dan sebenarnya aku memang ingin ada seseorang yang bersedia duduk disampingku dan mendengar keluh kesahku. Namun aku memiliki alasan mengapa aku tidak mengakui perasaan kacau ini padanya. Aku tidak ingin dia tahu bahwa sebenarnya dialah yang menjadi alasan atas segala kerisauanku ini. Akan terdengar sangat tolol jika aku mengatakan padanya kalau semua ini tentang dia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya nanti. Apakah dia akan terkejut dan lari menjauhiku atau tetap disampingku dan merangkulku sebagai kawan baiknya? Entahlah. Aku lebih memilih untuk menutupinya daripada terjadi sesuatu yang lebih buruk dari ini.

Ada banyak hal yang sebenarnya ingin aku katakan  padanya, aku ingin dia tau betapa kacaunya aku saat ini. Aku ingin dia tahu kalau hatiku begitu sakit ketika dia mengatakan telah memiliki kekasih. Aku ingin dia mengerti bahwa aku begitu cemburu ketika dia dengan atau tidak sengaja memamerkan kemesraannya bersama kekasihnya di media sosial. Aku ingin dia memahami sedikit perasaanku yang begitu terluka ketika melihat berbagai foto dan kalimat yang dia tujukan pada kekasihnya. Aku ingin dia sadari bahwa perasaanku padanya masih sebesar dulu. Namun semua itu tidak mampu aku ungkapkan padanya. Semuanya aku pendam dalam hati dan kututupi dengan kalimat ‘aku baik-baik saja’.

Tidak. Aku tidak sedang menyalahkan sikapnya yang seperti itu. Aku hanya tengah kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku yang harus menerima ini semua? Kenapa aku tidak diberi kesempatan untuk bisa memiliki hatinya? Dan kenapa pula aku harus menahan perasaan ini sendiri? Sejujurnya aku lelah, bahkan terlalu lelah menghadapi perasaanku yang kacau ini. Kadang aku tidak mampu mengontrolnya hingga akhirnya membuat air mataku tumpah dengan percuma. Ya, aku menangisi seseorang yang bahkan memiliki perasaan padaku pun tidak. Bukankah itu sangat konyol?

Bukannya aku tidak pernah mencoba untuk melupakan perasaanku padanya. Aku selalu berusaha untuk menyenyahkan namanya dari hatiku. Beberapa kali aku mencoba untuk tidak mengacuhkannya dan bersikap sinis padanya. Namun disaat tertentu, aku kembali diingatkan oleh wajahnya yang tiba-tiba terbayang dalam benakku. Ada juga masa dimana tiba-tiba dia datang menanyakan kabarku dan mengajakku berbincang. Atau dia sekedar lewat melalui status di akun media sosialnya. Semua itu yang membuatku terus ‘bertemu’ dengannya, seolah tidak ada ruang untuk tidak melihatnya. Dan tentu saja semua itu membuatku sulit untuk melupakannya. bukan berarti aku tidak mampu, namun aku yakin perasaan ini akan hilang secara perlahan.

Dan kini akhirnya aku berada di titik dimana aku menyadari bahwa aku tidak pantas lagi untuk memikirkannya. Aku harus pahami bahwa dia tidak menganggapku lebih dari seorang kawan. Aku harus sadari bahwa tidak sepantasnya aku masih memikirkan orang yang telah memiliki kekasih. Dan satu hal lagi yang perlu aku pahami, bahwa segala sesuatu bisa terjadi karena adanya alasan. Aku memiliki alasan mengapa aku bisa jatuh cinta padanya. Dia memiliki alasan mengapa tidak bisa membalas perasaanku. Ada alasan kuat yang membuatku akhirnya mendapat luka ini, juga ada alasan mengapa aku harus membuang perasaan ini. Dan kurasa alasan itu adalah, karena diluar sana ada orang lain yang dipersiapkan untukku yang jauh lebih baik darinya. Ada seseorang yang nantinya akan jadi jodohku yang sebenarnya, seseorang yang terpilih untuk mendampingiku hingga tua kelak.
Dan tugasku kini adalah, hanya menunggu waktu untuk dipertemukan dengan orang itu.

Kamis, 18 September 2014

Mungkin Nanti

Aku merasa ada yang salah pada perasaanku ini. Awalnya aku kira sudah berhasil mengenyahkan Remy dari pikiranku, aku bahkan yakin sudah benar-benar melupakannya. Tapi ternyata aku keliru, perasaan yang kupunya ini ternyata terlalu dalam, terlalu berat untuk dilepaskan. Bertemu kembali dengannya tempo hari, telah membuktikan kenyataan perasaanku yang sebenarnya, apalagi ketika kulihat dia bersama kekasihnya. Hatiku seperti teriris belati. Aku merasa sakit kembali.
Perasaan ini sungguh menyebalkan.

“Kamu tuh ya..”, Riris berdecak heran setelah mendengar ceritaku ketika bertemu Remy dan kekasihnya. “Jangan terlalu dimasukin ke hati kenapa sih? Biarin aja gitu dia lewat sama pacarnya, cuek aja. Dia aja nggak peduliin mau gimana perasaan kamu saat itu.”
Aku mendesah. “Ternyata beneran nggak gampang, Ris. Dia bener-bener susah dilupain.”
“Kamunya aja yang kurang usaha, La. Kamu cari cowok kek biar nggak kebayang Remy terus. Kasian tau ngeliat kamu begini merananya gara-gara satu cowok yang udah jelas-jelas hatinya bukan buat kamu.”
“Kamu kira cari cowok segampang bikin telor dadar apa?”, aku mendengus, “Selama aku belum bisa meyakini diri aku sendiri kalau udah benar-benar lupain Remy, aku nggak mau nyari cowok lain.”
Riris menepuk pipiku pelan. “Ribet kamu ya jadi cewek. Lemah, tau nggak. Dulu waktu masih galau-galau soal Irham juga begini ribetnya. Eh tunggu..”, Riris menerawang. “Kalau dipikir, Remy itu kayak Irham ya?”
Aku tercenung. “Hah? Apanya?”
“Iya, kamu dulu suka banget sama Irham, tapi dianya nggantungin kamu dan akhirnya jadian sama cewek lain. Remy juga gitu, kesannya dia ngasih harapan tapi ujung-ujungnya dia juga jadiannya sama cewek lain.”
Aku tercengang mendengar ucapan Riris. Aku kok baru ngeh ya?
“Kamu kok nasib asmaranya sial banget begini sih, La? Ya ampun, kenapa tiap kamu suka sama cowok selalu aja bertepuk sebelah tangan, sih?”, Riris memasang muka prihatin. Dia merangkul bahuku dan menepuknya pelan.
Aku Cuma tersenyum tipis. Ya, kuakui kalau aku memang tidak pernah beruntung dalam hal ini.
*
Jam dinding menunjukkan pukul 9 malam. Aku menguap lebar, sementara jemariku masih terus menari diatas keyboard. Menyibukkan diri dengan tumpukan tugas kuliah yang tidak pernah ada habisnya. Kurasa dengan mengerjakan tugas begini akan jauh lebih baik daripada aku terus merenungi nasib asmaraku yang tidak pernah beruntung.
Tanganku meraih cangkir kopi moccaku yang mulai dingin dan meneguknya pelan. Bersamaan dengan itu, radio yang kubiarkan menyala untuk menemaniku malam ini, tengah memutar sebuah lagu.

Saatnya ku berkata
Mungkin yang terakhir kalinya
Sudahlah lepaskan semua
Kuyakin inilah waktunya
Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi
Mungkin saja rasa itu telah pergi

Aku tersentak. Lagu dari Peterpan itu langsung mengingatkanku pada Irham. Spontan aku menepuk dahiku sendiri. Kenapa disaat seperti ini malah yang teringat adalah orang itu? Kenapa disaat seperti ini malah yang terdengar lagu favoritnya?
Aku menjatuhkan kepalaku di meja. Memandangi radio yang masih memutar lagu itu. Ya, bisa dibilang lagu ‘Mungkin Nanti’ itu adalah lagu kenanganku bersama Irham. Dia adalah orang yang membuatku begitu menyukai lagu ini. Aku kembali teringat ketika dia menyanyikan lagu itu untukku. Dan aku kembali teringat pada momen dimana aku benar-benar merasa jatuh cinta padanya.
Mei, 3 tahun lalu.
Aku memandangi Irham yang meneguk es jeruknya dengan brutal hingga membuat tetesan air jeruk itu menetesi dagunya.
“Haus, Mas?”, tanyaku dengan nada meledek. Irham cuek, dia kemudian menyeka mulut dan dagunya dengan ujung kemeja putihnya.
“Gila diluar panas banget. Kipasin kek.”, ujarnya. Aku menggelengkan kepalaku.
“Lagian kamu ngapain nekat kesini tau cuacanya lagi panas begini.”
Irham terkekeh. “Aku kan kangen sama kamu, Olla jelek.”, tangannya meraih hidungku, mencubitnya gemas.
Aku menampik tangannya. “Sakit tau!”
“Duh, juteknya!”, tangannya gantian mencubit pipiku. “Kenapa belom ganti seragam? Besok masih dipake kan?”, tanyanya begitu melihatku masih mengenakan seragam putih-abu.
“Lah, mau ganti baju gimana, kamu aja langsung dateng begitu aku baru sampai rumah. Kamu juga nggak pulang dulu kek, ganti seragam kamu tuh baru sorenya main kesini.”.
“Sebenernya aku udah pulang sekolah dari tadi sih. Tadi ke sekolah Cuma main doang.”
Aku berdecak heran. “Mentang-mentang ujiannya udah selesai jadi seenaknya ya masuk sekolah.”
“Lah, kamu kan juga udah selesai ujiannya. Sama aja dong.”
“Tapi kan aku masih perlu mengurus keperluan buat daftar kuliah, bukan sekedar main doang kayak kamu.”, aku menjewer telinganya pelan. Irham meringis.
“Eh, punya siapa tuh?”, tanya Irham begitu matanya menangkap ada bayangan gitar tergeletak disamping lemari. “Aku yakin sih bukan punya kamu, kamu mana bisa main gitar.”, ejeknya seraya mengambil gitar itu.
Spontan aku menepuk pahanya keras. “Emang kamu bisa? Coba mainin satu lagu buat aku. Cepet!”
Irham memonyongkan bibirnya. “Bisa doong. Kecil ini mah. Kamu mau aku nyanyiin lagu apa?”
“Eeeng..”, aku memutar otak. Memikirkan lagu bagus apa yang sekiranya Irham tau dan bisa membawakannya.
“Ah, kelamaan mikirnya.”, Irham mengibaskan tangannya di depan wajahku.
“Ya sabar kek, aku kan lagi nyari lagu yang bagus.”
“Udah udah, sini aku aja yang pilihin lagunya. Salah satu lagu favorit aku nih.”
“Oh ya?”, aku mencibir, “Lagu apa emang? Jangan bilang kalau lagu dangdut!”
Irham terkekeh. “Bukan kok, ini lagunya abang aku. Hehe.”
Aku tercenung. “Abang?”
Irham tersenyum tipis kemudian mulai memetik gitarnya dan bersenandung. Aku tercengang. Suaranya ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan.

Dan mungkin bila nanti
Kita kan bertemu lagi
Satu pintaku jangan kau coba
Tanyakan kembali
Rasa yang kutinggal mati
Seperti hari kemarin
Saat semua disini

Irham menyanyikan bagian reff lagu itu dengan sempurna. Aku sampai tidak bisa berkata apa-apa saat mendengarnya. Mungkin jika dibandingkan dengan penyanyi lain, dia terbilang masih sangat amatir. Tapi ada sesuatu di dalam suaranya yang membuatku begitu terkesima. Dia menyanyikannya penuh dengan penghayatan, hingga ikut membuatku larut dalam iramanya.
Dan dalam sekejap saja, aku merasa langsung jatuh cinta. Jatuh cinta pada lagu itu, dan jatuh cinta padanya. Pada Irham.

“Tepuk tangannya mana?”, tanya Irham membuyarkan lamunanku. Aku tersentak.
“Oh? Hah? Apa?”
“Kamu ngelamun ya? Aku nyanyi dari tadi kamu dengerin nggak sih?”
Aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal. “I-iya, aku dengerin kok.”, jawabku salah tingkah.
Irham tersenyum lebar, “Kamu terpana ya denger aku nyanyi begini merdunya? Hayoo ngaku!”
“Hah? Ih, pede banget! Enggak lah.”, sanggahku. Padahal nyatanya memang begitu adanya.
“Huu, dasar jelek nggak mau ngaku!”, tangan Irham kembali mencubit hidungku.
“Kamu tuh yang jelek!”, aku balas mencubit pipi dengan kedua tanganku.
Irham kontan memegangi kedua tanganku, menggenggamnya dengan erat. Aku mendadak bergeming.
Namun tak lama Irham melepasnya kemudian menjatuhkan kepalanya dipangkuanku.
“Eh ngapain nih?!”, aku kontan mendorong kepalanya agar bangun dari pangkuanku.
“Mau tiduran, ngantuk.”, ucapnya cuek. Dia meletakan lenganya diatas wajahnya, memejamkan matanya.
Aku tercengang. “Eh, jelek! Jangan tidur disini ah!”
“Bentar doang.”
“Ih, ini anak!”, sungutku kesal. Akhirnya aku membiarkannya tidur dipangkuanku, entah dia tidur sungguhan atau Cuma main-main. Biarlah.
Aku memandanginya penuh dengan tanda tanya. Sebenarnya apa yang Irham rasakan terhadapku? Apa dia punya perasaan yang sama? Apa dia merasa nyaman saat bersamaku? Apakah aku ada dihatinya? Apakah dia tidak memikirkan orang lain selain aku?
Berbagai pertanyaan itu terus berputar dalam otakku, dan entah kapan bisa terjawab. Aku hanya merasa selama ini semuanya serba menggantung. Irham sama sekali tidak pernah mengatakan suka atau benci. Dia hanya terus ada disampingku ketika aku membutuhkannya. Dan aku pun berusaha untuk terus ada disampingnya ketika dia membutuhkan teman untuk bicara.
Namun ketika memandanginya terbaring dipangkuanku ini, ada perasaan yakin menghampiriku. Aku merasa yakin bahwa selama ini Irham merasa nyaman bersamaku, dan mungkin sebentar lagi dia akan mengungkapkan perasaannya.
Aku memandanginya yang masih memejamkan matanya. Dia terlihat begitu tampan saat ini. Tanganku pun menyentuh pelan dahinya, matanya, hidungnya, dan jariku terhenti di bibirnya.
Aku menelan ludahku. Entah ada dorongan dari mana agar aku mencium bibirnya. Kontan aku menggeleng kepalaku keras. Apa ini? Konyol sekali!
Tiba-tiba kurasakan ada yang menepuk perutku. Aku tersentak.
“Eh, udah berapa bulan nih?”, Irham terkekeh sambil menepuk perutku.
“Udahan tidurnya?”
Irham menggeleng. “Maunya sih belom, habisnya empuk sih.”
“Heh!”, spontan aku menepuk pipinya. “Empuk apanya?!”
“Empuk kayak spring bed. Hehehe.”, Irham terkekeh lagi sambil terus menepuk perutku. “Duh, dasar jelek gendut!”
Aku mendengus. “Bangun gih!”
“Ntar.”
“Cepetan bangun!”
“Nggak mau.”
“Kalau nggak bangun aku cium loh!”
Irham tersentak. Aku spontan menutup mulutku dengan kedua tangan. Apa yang barusan aku bilang?!
Namun tak lama kurasakan tangan Irham meraih bahuku. Matanya memandangku tajam. Aku mendadak kikuk dan bingung harus berkata apa.
“Sini.”, ucapnya pelan seraya menarik bahuku agar mendekat ke arahnya.
Aku bergeming, namun kembali kurasakan dorongan untuk mencium itu. Ada pertentangan dalam diriku. Otakku melarangnya, namun hatiku menginginkannya.
Dan pada akhirnya aku menuruti keegoisan hatiku, kemudian memejamkan mataku dan mengecup pelan bibirnya.
*
Aku memukul kepalaku sendiri. Kenapa aku malah kembali mengingat kejadian yang harusnya tidak aku ingat itu? Kembali kujatuhkan kepalaku dan menghantamnya berkali-kali ke meja, sambil dalam hati berharap agar ingatan itu segera enyah dari kepalaku. Betapa konyolnya aku jika terus mengingatnya. Aku tidak mau mengingatnya lagi. Jika teringat kejadian itu, rasanya ingin kuhabisi kepalaku sendiri dengan palu.
Aku menghela napas panjang, bersamaan dengan air mata yang jatuh perlahan ke pipi. Ayolah Irham, bisakah kamu menghilang dari otakku? Aku sudah bisa merelakanmu dengan yang lain, aku sudah tidak mempermasalahkan apapun lagi denganmu. Tapi kenapa masih saja kamu muncul dalam ingatanku?
Aku melirik radio yang masih memutar lagu kenanganku dengan Irham itu.

Tak usah kau tanyakan lagi
Simpan untukmu sendiri
Semua sesal yang kau cari
Semua rasa yang kau beri

Aku tercenung, memikirkan bagaimana jika aku kembali bertemu dengannya. Apa yang akan kulakukan? Apa jika kelak aku bertemu dengannya lagi dia sudah tak bersama kekasihnya?
Hah, apa-apaan ini? Kenapa pikiranku mengacau begini?
Aku mengusap air mataku. Entah kenapa sakit yang dulu kurasakan seperti datang kembali. Luka yang sudah berhasil aku sembuhkan kini terasa lagi. Pikiranku kembali dipenuhi oleh nama Irham, padahal selama ini aku tidak pernah dengan sengaja memikirkannya. Ada apa ini? Apakah mungkin disana Irham tengah memikirkan dan merindukan aku? Ah, yang benar saja. Kalaupun dia merindukan aku, kenapa dia tidak mencoba menghubungiku?
Tiba-tiba handphone ku berdering, menandakan ada pesan masuk.

Assalamualaikum, Olla jelek.

Aku tersentak kaget. Irham?!