Sabtu, 23 September 2017

Tell Me Why (Part 22)

Andra menutup lokernya sembari mendesah pelan. Tangannya memijat keningnya sendiri, pening melanda sejak pagi hingga malam begini. Dilirknya arloji di pergelangan tangan kirinya, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menghela napas panjang.
Lelah sekali, setelah dua hari kemarin disibukkan dengan acara pertunangannya dengan Ghina, tanpa diberi jeda untuk libur dia kembali ke medan permesinan. Sialnya, dia langsung diberi tanggungan begitu banyak karena atasannya merasa dia yang paling mahir dalam pekerjaan ini. Andra mengeluh dalam hati, harusnya dia ditempatkan satu bagian dengan Rado atau Baim agar bisa melempar atau sekedar membagi pekerjaannya dengan temannya itu. Namun sayangnya kali ini dia diharuskan keluar dari zonanya dan mengerjakan semuanya sendirian. Ah sial. Terlalu mahir dalam permesinan ternyata kurang menguntungkan juga. Andra sedang tidak memikirkan soal materi sekarang, yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya dia bisa ambil cuti untuk melakukan hibernasi panjang.
Tiba-tiba terdengar dering ponselnya, di sana tertulis 'Ghina's calling'. Ya, hanya Andra saja mungkin satu-satunya lelaki di Indonesia yang hanya menamai tunangannya seperti itu, hanya 'Ghina' tidak ada embel-embel 'sayang', atau 'baby' atau yang lainnya.
"Halo?", Andra menerima panggilan itu dengan nada lesu. Berharap Ghina bisa mendengar suara lemahnya dan tidak mengajaknya ngobrol panjang lebar atau meminta hal yang aneh-aneh.
"Yang, kamu belom pulang?", tanya Ghina, Terdengar ada nada khawatir di sana.
"Iya, dikasih lembur sama si Boss."
"Ah, ya udah kalau gitu kamu langsung pulang aja. Kita batalin aja dinner kita ya."
Andra tertegun. Dinner? Ah, Andra menepuk dahinya sendiri. Dia bahkan sampai lupa ada janji makan malam dengan Ghina.
"Duh, maaf ya sayang. Aku lupa ngga ngasih tau kalau aku lembur hari ini."
"It's okay babe, aku tuh tadi khawatir takutnya kamu kenapa-kenapa. Soalnya aku tadi papasan sama Baim yang baru pulang kerja. Dia cuma bilang kalo kamu dipindahin ke bagian lain makanya dia ga ketemu kamu."
Andra tersenyum sendiri mendengarnya.Hal inilah yang paling disukai dari Ghina, dia tidak mudah ngambek hanya karena persoalan sepele. Namun kalau ada sesuatu hal penting yang mendesak, pasti dia akan rewel dan tidak setenang ini. Intinya Andra suka sikap Ghina yang tidak kekanakan, meskipun dia tau kalau tunangannya itu sewaktu-waktu bisa jadi berubah sangat menyebalkan karena tuntutan pentingnya tidak segera dikabulkan. Menikahinya, salah satunya.
"Tapi kamu udah makan kan?", tanya Andra seraya mengunci lokernya dan berjalan ke luar ruangan itu.
"Ini baru kelar makan. Tadi aku papasan sama temen kuliah kita, Yang. Terus dia ngajakin ngopi ya sekalian makan juga."
"Cowo?", tanya Andra dengan nada retoris.
"Cewek kok."
"Namanya?"
"Kanaya. Dia satu jurusan sama kamu, Yang. Anak mesin juga."
Andra tercengung. Sebentar, sepertinya nama itu tidak asing baginya. Sepertinya dia juga kenal tapi tidak begitu ingat yang mana orangnya.
Namun tak lama akhirnya Andra tersadar akan sesuatu. Ya ampun!
*
Brietta melempar clutch bagnya asal disusul badannya sendiri ke tempat tidurnya. Melepas sepatu hak tingginya dan menelentangkan tubuhnya agar nyaman. Dia menghela napas panjang. Pikirannya kembali pada Rado yang entah kenapa sejak acara pertunangan Ghina dan Andra kembali mengusiknya yang belakangan ini disibukan oleh acara kencan buta yang didalangi oleh Sang Mama. Sejujurnya Brietta sama sekali tidak berminat dengan kencan buta itu sama sekali, dia mau melakukannya karena orangtuanya yang mendesaknya terus-terusan. Tujuannya hanya satu, agar Brietta mendapatkan jodoh yang sesuai dengan keluarga mereka dan tidak lagi coba-coba menjalin hubungan yang salah.
Sayangnya acara kencan buta itu tidak pernah berjalan sesuai harapannya. Sudah empat pria yang bertemu dengannya tapi sama sekali tidak ada yang cocok dengannya baik secara penampilan atau perilakunya. Pria pertama seorang arsitek muda, anak dari pengusaha properti, secara materi sudah menjanjikan, namun Britta tidak melihat adanya ketertarikan satu sama lain. Bahkan dengan terang-terangan menilai Brietta hanyalah seorang gadis manja yang tidak bisa mandiri.
Pria kedua secara penampilan sangat menarik, tampan, tinggi juga wangi. Namun dia mengakui kalau dia sudah bertunangan dengan gadis pilihannya sendiri secara diam-diam tanpa sepengetahuan orangtuanya.Yang ketiga, sebenarnya termasuk kategori idaman Brietta; tsundere. Di luar begitu dingin namun begitu menghanyutkan. Sayangnya komunikasi mereka tidak berjalan baik, hingga mendadak hilang kontak begitu saja. Dan pria keempat adalah pria yang pernah diceritakannya saat acara pertunangan Ghina dan Andra. Seorang pria dewasa, pengusaha mapan namun tampangnya seperti seorang duda beranak lima yang anak pertamanya sudah kuliah semester dua. Atau dengan kata lain, dia nyaris dijodohkan dengan perjaka tua usia 39 tahun.
Astaga! Brietta menutup wajahnya sendiri. Memikirkan betapa rumit hidupnya sekarang. Betapa tidak rileks dirinya belakangan ini. Dia membutuhkan seseorang yang bersedia menemaninya, mengisi waktu luangnya hanya untuk makan dan berbincang bersama. Tapi siapa orang itu? Brietta tidak punya teman dekat di kantornya. Rata-rata teman laki-lakinya sudah berpasangan dan tidak menyisakan seorang jomblo untuknya. Sedangkan teman sekolah, teman kuliah, ah, Brietta bukan termasuk gadis yang supel sehingga tidak terlalu dekat dengan laki-laki. Namun berbeda rasanya ketika Ia bertemu Rado. Seketika saja pandangan laki-laki itu langsung menghunus tepat di jantungnya.
Brietta menghela napas panjang seraya menggelengkan kepalanya keras. Menyadarkan diri agar tidak terlarut kembali memikirkan seorang Rachmadi Dulhazan yang kini masih setia bertengger dalam hati dan pikirannya itu.
"Bri..", Brietta tersentak dengan sebuah panggilan di balik pintu kamarnya. Suara Sang Mama.
"Pintunya ngga dikunci, Ma.", sahut Brietta.
"Kamu ngga jadi ketemu Albert hari ini?", tanya Mamanya sembari menghampirinya di tempat tidur.
Brietta berdecak, "Ma, sampai kapan sih Mama mau begini ke aku? Ngga nyaman tau rasanya, Ma."
Mamanya menggeleng pelan, "Ini semua kan Mama lakukan buat kamu juga. Mama cuma mau yang terbaik buat kamu."
"Dengan tidak membiarkan aku menentukan masa depan aku sendiri?", tanya Brietta retoris, "Udahlah, Ma, aku capek dengan acara kencan buta begini. Toh sama sekali ga ada gunanya, sia-sia, buang waktu."
"Apa cuma si Rado saja yang ada di kepalamu, Bri?"
DEG! Brietta merasa ada yang lompat secara mendadak di dadanya. Matanya berpaling ke arah lain, sungkan menatap Mamanya.
"Lupakan dia, Brietta. Masih banyak laki-laki yang satu agama dengan kita, masih banyak yang lebih baik dari pada dia."
"Masalahnya Ma.. siapa laki-laki itu? Mana laki-laki itu? Sampai saat ini Brietta belum juga ketemu sama yang Mama maksud. Dan yang selama ini aku temuin atas dasar perintah Mama itu semuanya freak, aneh, gila, ngga waras. Mama mau punya mantu macam begitu?", Brietta mendengus lagi. Lalu beranjak dari tempat tidurnya, mengambil handuk dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi.
"Jadi kamu mau melawan Mama sekarang?", pertanyaan keras dari Sang Mama membuat tangan Brietta menggantung di atas kenop pintu kamar mandinya.
"Maaf, Ma. Tapi aku juga capek kalau disuruh begini terus. Aku ngerasa Mama dan Papa udah ngga percaya sama anaknya sendiri sama sekali.",
Brietta menoleh Mamanya yang memandangnya dengan tatapan emosi yang ditahan begitu dalam.
"Biarin aku menentukan apa yang terbaik buat aku sendiri, Ma. Tolong. Aku cuma mau kalian percaya sama aku."

to be continued..

Sabtu, 16 September 2017

Tell Me Why (Part 21)

Sudah lewat pukul dua pagi, dan sudah tiga bungkus Sampoerna Mild habis terisap sendiri. Rado menghela napas yang terasa begitu berat, dan juga sesak. Karena selama ini dia tidak pernah merokok sebanyak ini. Setengah bungkus saja dia sudah menyerah karena paru-parunya lemah dan saat masih kecil dia pernah terserang asma. Tapi malam ini dia mampu menghabiskannya sendiri, tanpa ada yang mengusik. Musik hip-hop ballad mengalun pelan menemaninya di balkon kamarnya. Matanya melirik jam dinding, lalu mendesah pelan.
'Harusnya gue ambil air wudhu, solat istikharah, bukannya malah begadang sambil merokok begini. Kurang alkohol aja nih, dan juga Andra buat nemenin.' batinnya seraya menghisap rokoknya kembali. Ia meringis.
Diambilnya ponsel di atas tempat tidurnya, tertera duapuluh panggilan tidak terjawab dari Andra. Sejak Ia kabur dari acara pertunangan Ghina dan Andra, Andralah yang paling sibuk mencarinya. Baim? Sepertinya dia terlalu canggung untuk mengejarnya.
Rado melemparkan ponselnya kembali ke atas tempat tidurnya dan kembali duduk di balkon. Matanya memandang langit yang gelap, berawan, tak berbintang. Suasana malam seakan mendukung perasaannya kali ini.
*
"Jawab gue", Namira menarik lengan Rado yang hendak menaiki motornya. Rado menepis tangan Namira kasar.
"Apa? Lo mau nuntut jawaban apa lagi dari gue? Udah gue jelasin semuanya Mir, mau apa lagi sih lo?", Rado menstater motornya. Kembali Namira menarik lengannya.
"Kenapa ngga bilang dari dulu?"
"Mau bilang dari dulu kek, mau bilang sekarang, bedanya apa?"
"Bedanya dulu gue naruh perhatian ke lo tapi lo terlalu buta buat melihatnya!", Namira mendengus. "Gue sadar kalau lo beda, lo ngga seperti Baim yang ngga bisa nunjukin kepeduliannya langsung ke gue. Bisa aja gue balas perasaan lo, tapi.."
Rado terpaku, perasaannya mendadak kacau mendengar pernyataan Namira yang mengejutkannya.
"Tapi apa?",
"Gue ngga bisa nyakitin lo, gue ngga mau mainin perasaan orang sebaik lo. Makanya gue ngga terlalu merespon lo lagi saat itu.", Namira menarik napas panjang, "Karena gue sadar bahwa gue ngga akan bisa sama lo, kalaupun bisa bakal sampe berapa lama? Gue bener-bener ngga mau nyakitin lo, Do."
"Kenapa lo gampang banget mikir kalau lo ngga akan bisa sama gue sedangkan sama Baim.."
"Karena Baim sahabat gue dari kecil, mau gimana juga dia adalah sahabat gue. Sedangkan lo adalah orang lain, gue ngga tau bakal gimana akhirnya kalau sampai hal itu terjadi. Pikiran gue dulu terlalu sederhana, gue ngga tau kalau kenyataannya sekarang lebih runyam dari itu."
Rado menghela napas, "Ya udahlah, udah lewat juga. Mau kita bahas juga percuma, Mir."
"Bahkan sama Baimpun gue ngga akan bisa sebenarnya Do asal lo tau."
"M-maksud lo?",tanya Rado
"Gamophobia.", jawab Namira tanpa menatap wajah Rado. Ia menghela napas kembali. "Bukan sebuah penyakit mematikan sebenarnya, tapi tetap aja menyiksa hidup gue. Gue jadi ngga bisa berkomitmen dengan siapapun sekalipun gue cinta sama orang itu. Gue baru bilang soal ini ke Brietta dan lo, Do. Baim belum tau soal ini. Gue ngga minta lo buat ngertiin gue, tapi gue minta lo jangan cerita soal ini ke Baim dulu ya."
Rado tertegun. Ia menatap Namira tanpa mengucapkan apapun.
*
Pukul 4:35 pagi, suara azan Subuh berkumandang dan mata Baim masih terjaga sejak semalam. Iapun beranjak dari tempat tidurnya, mengambil air wudhu, mengenakan pecinya kemudian berjalan menuju masjid dekat rumahnya. Ada sebuah dorongan kuat yang menyuruhnya untuk melakukan sebuah kewajiban yang sudah cukup lama ia tinggalkan itu. Sewaktu kecil hingga SMP dia masih rajin datang ke masjid untuk salat berjamaah, namun setelah beranjak dewasa dia malah melalaikannya. Ia lebih memilih salat sendiri atau berjamaah dengan adiknya saja di rumah.
"Lho, Mas Baim?", sapa seseorang di tengah perjalanannya ke masjid. Baim menoleh.
"Eh, Pak RT.Kabar baik, Pak?", sapa Baim ramah.
Sebenarnya Pak RT di kompleknya ini adalah salah satu orang yang membuat Baim canggung saat bertemu atau sekedar berpapasan. Karena hobinya yang unik tapi terkadang bikin tak nyaman juga; menjodoh-jodohkan warganya yang lajang alias makcomblang. Pernah Baim hampir dicomblangkan dengan adik teman Pak RT yang usianya tiga tahun lebih tua darinya. Beruntungnya hal itu tidak sempat terjadi lantaran si perempuan mendadak dilamar orang lain.
Dan kali ini, Baim berharap dalam hati semoga tidak ada tanda-tanda percomblangan lagi.
"Baik alhamdulillah. Udah lama nih ngga lihat mas Baim ke masjid, dulu biasanya setiap hari ke masjid terus kalau Subuh begini."
Baim tersenyum simpul, "Ya gitulah Pak, dulu masih belum kerja, belum ngerasain jaga malam di tempat kerja."
"Masih kerja di Bekasi, Mas?", tanya Pak RT lagi. Baim mengangguk.
"Wah, Jakarta-Bekasi kan lumayan jaraknya, Mas. Lintas galaksi kalau anak sekarang bilangnya. Ndak pengin kos saja Mas di sana?"
Baim terkekeh, "Ngga jauh juga kok, Pak. Lagian lumayan bisa buat jalan-jalan ngabisin bensin."
"Ngabisin bensinnya ngajak temen dong, Mas. Teman cewek lebih asyik."
"Jangan lah, kasian kalau diajak naik motor nanti bedaknya luntur."
"Ah, saya ada nih teman buat Mas Baim ngabisin bensin.", celetuk Pak RT dengan wajah semringah. Baim bisa menebak ke mana arah percakapan ini.
"Ngomong-ngomong, Mas Baim dulu satu kampus sama keponakan saya kan ya?"
"Wah, kurang tau Pak. Memang keponakan Pak RT yang mana, namanya siapa?"
"Iya kayaknya, sekarang juga kerja di Bekasi, di perusahan elektronik juga jadi staf administrasi kalau ndak salah. Dulu fakultas teknik, namanya Kanaya Nugraha."
Baim tercengang.
"M-maaf, siapa pak?"
"Kanaya Nugraha, kenal toh?".
Sebuah kebetulan yang sedikit mengejutkan. Ah, tidak, ini  sudah terencana oleh semesta.
Baim mengangguk. "Iya, Pak. Dulu satu fakultas."
"Dia baru aja putus sama tunangannya, Mas. Dan saya rasa sekarang dia butuh seseorang yang mau menemani. Mas Baim.. bersedia?"

Baim tercengang.

WHAT ON EARTH IS THAT?!

to be continued..