Minggu, 30 Juli 2017

Tell Me Why (Part 16)

"Kamu..serius dengan yang barusan kamu bilang?", tanya Mama dengan tajam menatap Namira. Gadis itu akhirnya mengangguk dengan perasaan yang begitu berat.
Mama menghela napas pendek, "Emangnya kamu lagi dekat sama orang lain sampai si Baim kamu tinggalin begitu?"
Namira tercekat, entah kenapa dia merasa Mamanya mengira dialah yang memutuskan secara sepihak dengan Baim.
"Ma, ngga ada orang lain buat Namira, selama ini cuma ada Baim doang.", jawab Namira.
"Lalu kenapa putus? Atau dia yang.."
Namira buru-buru menggeleng, "Baim juga ngga punya orang lain, Ma Justru kami putus karena masih saling sayang dan menghargai pilihan masing-masing."
Kening Mama berkerut, tidak paham. "Pilihan soal apa? Kita kan ngga lagi ikutan pilkada, Neng."
"Ngga gitu, Ma. Bukan itu, yang ini lebih rumit daripada masalah pilkada."
Namira menarik napas panjang, mungkin sekarang saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya.
"Ma, maafin kalau alasan aku terdengar aneh dan ngga masuk akal atau yang lebih parah malah bikin Mama marah dan kecewa."
Mama memajukan posisi duduknya, merapatkan pada anaknya. "Ya udah, Mama dengarkan."
"Sebenarnya Baim yang mutusin aku, Ma. Dia yang udah terlalu kecewa sama aku karena aku..aku ngga pernah mau kalau diajak nikah..", Namira memandang Mamanya dengan sedikit takut. Dan sudah terlihat raut wajah Mamanya yang kaget dan bingung dengan apa yang sudah dikatakannya.
"Aku ngga suka kalau dia ngajakin aku buat tunangan apalagi nikah, Ma."
"Tapi kenapa? Bukannya Baim anak yang baik, mandiri dan soleh?"
"Masalahnya bukan ada di Baim, Ma. Tapi semua masalah ada di aku. Aku yang pemikirannya lain dengan dia, aku ngga sependapat sama dia, prinsip kami beda. Maka itu.."
"Bentar, Mama ngga ngerti sebenarnya kamu ini kenapa deh, Neng? Memangnya ada apa sama kamu? Jangan-jangan kamu sakit ya? Ha?"
"Aku cuma ngga mau kayak Mama dan Papa. Aku takut kalau berkomitmen ujung-ujungnya malah pisah. Aku ngga mau. Aku takut, Ma!", seru Namira diiringi tetesan kecil yang jatuh di pipinya.
Mama terhenyak. Tidak menyangka bahwa anaknya ternyata memendam luka lama yang harusnya hanya dia saja yang merasakan.
"Namira.."
"Maaf Ma, aku cuma terlalu takut kehilangan orang yang aku sayangi aja. Maka itu aku ngga bisa nerima ajakan Baim untuk berkomitmen lebih jauh karena aku tau soal pernikahan itu ngga segampang dan ngga seindah di drama televisi. Aku tau kalau kenyaataannya jauh lebih rumit dan butuh banyak pertimbangan ini itu. Aku ngga siap buat ngadepin ini, Ma. Aku ngga mau ngerasain perpisahan yang lebih nyakitin lagi. Putus sama Baim aja aku udah tersiksa, apalagi kalau sampe.."
"Cerai seperti Mama dan Papa?"
Mama membelai kepala Namira dengan penuh sayang, "Mama minta maaf ya udah bikin kamu ikut ngerasain luka dan beban yang harusnya Mama aja yang nanggung. Tapi kamu ngga harusnya mikir begitu untuk kehidupan kamu sendiri Nam, pikirkan saja yang senang-senang, yang selayaknya bikin kamu bahagia. Jangan biarkan diri kamu larut dalam ketakutan atas mindset yang kamu ciptakan sendiri. Pengalaman Mama jangan kamu jadikan contoh, tapi kamu bisa lihat banyak pernikahan yang berhasil, yang bahagia sampai maut memisahkan."
"Aku ngga bisa Ma, rasa takut itu selalu ada bahkan pada saat aku ngga keingetan soal Mama dan Papa. Justru karena Baim selalu ada di depan mata aku makanya aku makin takut, Ma. Aku sayang banget sama Baim, aku ngga mau kehilangan dia sebagai sahabat aku Ma."
"Nam, dengar Mama deh..", Mama menepuk bahu Namira pelan, "Coba kamu berusaha untuk mengubah mindset kamu itu dan melawan ketakutan kamu sekeras mungkin. Mama ngga rela kalau sampai kamu begini terus sampai tua. Mama juga ingin melihat kamu berjodoh dan dipinang oleh seseorang. Mama pengin gendong cucu Mama, melihatnya tumbuh dewasa. Pengin lihat kamu bahagia dengan suami kamu, sebagai pengganti kisah Mama yang ngga layak untuk dijadikan panutan. Tolong Namira, kali ini dengarkan Mama. Mama ngga mau kamu larut dalam ketakutan yang konyol. Pernikahan itu untuk diikrarkan lalu dijalani, bukan untuk ditakuti. Hadapilah, Nak."
"Tapi Ma, semua itu terlalu sulit dan berat buat aku. Aku.."
"Perlahan cobalah untuk mengubahnya, Nam. Demi kebaikan kamu, demi masa depan kamu juga. Kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan Mama juga."
"Tapi gimana kalau aku cukup ngerasa bahagia kalau hanya dengan begini?"
"Seenggaknya Mama lihat dulu seberapa besar usaha kamu. Selanjutnya, kamu yang memutuskan."
Namira terlihat berpikir sebentar, tak lama ia mengangguk pelan.
"Oke, aku akan nyoba. Demi Mama."
"Dan demi diri kamu sendiri."
Mamanya tersenyum lantas memeluknya erat dan penuh kasih sayang.
*
TING!
Baim membuka sebuah pesan yang masuk di handphonenya. Pikirnya mungkin Namira atau Andra yang iseng curhat lantaran bosan menunggu Ghina di salon. Tapi ternyata dia salah, justru ada nomor asing yang mengiriminya pesan.

From: +628234456xxx
Hai, Im. Ini gue Danisha. Masih inget gue kan?

Baim tercengang membaca pesan itu. Danisha yang diingatnya adalah adik tingkatnya di kampus dulu. Yang juga sekaligus mantan kekasihnya.

'Kenapa harus muncul di saat begini sih?', batin Baim seraya memikirkan balasan apa yang akan dia dikirimkan pada gadis bernama Danisha itu.
Ya, dia adalah mantan kekasih Baim saat kuliah dulu. Mereka berpacaran hanya sekitar dua bulan dan putus secara sepihak. Danisha memutuskan untuk berpisah karena ia lebih memilih kembali dengan mantan kekasihnya juga menjadikan Namira sebagai alasannya untuk putus. Saat itu, Baim tidak menceritakan soal sahabatnya dari kecil yang selalu bersama-sama dengannya hingga akhirnya berpisah saat kuliah. Dan pada suatu hari Danisha berniat menemui Baim di studio band rentalan seraya membawakan makanan yang dia masak sendiri dengan penuh cinta. Tapi begitu sampai di sana dia melihat Baim tengah bersama seorang gadis berkulit kuning langsat dengan potongan rambut shaggy sebahu tertawa-tawa entah sebab apa.
Ya, gadis itu adalah Namira yang tengah mudik dari kuliahnya di Semarang.
Baim menjelaskan bahwa Namira adalah sahabatnya dari kecil, Danisha pun mengerti namun tetap saja ada perasaan tidak suka ketika melihat Baim asyik dengan perempuan lain, sekalipun ia tau hanya sekedar sahabat.
Tak lama setelah kejadian itu, Danisha pun memutuskan Baim. Baim bukannya sedih tapi justru bersyukur, karena ia jadi tau bahwa Danisha bukanlah seorang yang baik untuknya dan pasti ada orang lain yang lebih baik dari Danisha. Baim pun berharap agar Danisha kelak bahagia dengan pilihannya untuk kembali dengan mantannya itu.
Tak disangkanya, hari ini gadis itu kembali menghubunginya setelah sekian lama. Sudah lebih dari enam tahun semenjak mereka putus Baim tak lagi berkontak dengan Danisha, bukan karena saling memendam benci tapi karena Baim tau pacar Danisha saat itu terlalu overprotektif dan insecure terhadapnya. Maka itu Baim memilih untuk putus kontak saja dengan Danisha.
Baim pun membalas pesan dari Danisha setelah memikirkannya cukup lama.

'Iya gue masih inget sama lo. Sehat?'

Secepat kilat balasan dari Danisha pun datang.

'Kebetulan gue lagi ngga sehat, pengin cari hiburan biar fresh'

'Terus lo jadiin gue hiburan itu?' Baim membalasnya dengan perasaan sedikit kesal.

'Iya, gue mau manfaatin lo buat jadi hiburan gue. hehehehe. ngga deng becanda, Im.
Gue kangen Im, mau ketemu. Bisa ngga?'

Baim mendengus, ternyata Danisha masih sama saja seperti dulu, tidak suka bertele-tele dan lugas. Sedikit mirip dengan Namira hanya beda pada cara mengatur gengsi. Dan Namira lebih menjaga gengsinya daripada Danisha yang cuek dan tidak tau caranya untuk jaim.

'Oke. Mau ketemu kapan?'

"Nanti sorean bisa? Jam 4 gue baru keluar kantor'

'Deuh, anak kantoran nih sekarang. Oke deh. Mekdi deket kampus aja gimana?'

'Deal! See u soon, Pleee'

'Bangke!', Baim mengumpat pada dirinya sendiri. Masih ingat saja Danisha dengan 'panggilan sayang'nya untuk Baim; Juple. Dia tersenyum sendiri mengingatnya.
Ada perasaan senang yang menyelimuti Baim dengan tiba-tiba. Namun tak lama senyumnya memudar saat sebuah pesan masuk di handphonenya.

From: Namira Ramadhina
Di rumah ngga?Gue ke rumah lo sekarang ya. Jangan cari alasan buat kabur lo!

'YA ALLAH YA TUHANKU..!' Baim berseru seraya memegang keningnya sendiri, tiba-tiba terasa pening.

to be continued..