Sabtu, 22 April 2017

Tell Me Why (Part 12)

Klik! 
Andra mengunci lokernya dan bersiap untuk pulang. Pikirannya sudah tidak karuan hari ini, dan yang dia ingin segera lakukan adalah pulang ke kosannya dan tidur tanpa melakukan apa-apa lagi. Terlebih meladeni kebawelan Ghina yang makin menuntutnya macam-macam. Sebenarnya bukan hanya Ghina saja yang menjadi bebannya sekarang, tapi Mama Ghinalah faktor utamanya, Andra mengehela napas berat. Kepalanya terasa pusing jika Ghina dan Mamanya memenuhi pikirannya.
"Bajirut!", seru Andra kaget begitu berbalik ada sesosok makhluk berwajah jahil di belakangnya. "Kaget gue oncom!", kontan saja Andra melayangnkan tinju ke arah orang itu. Baim.
"Lagian lo ngapain ngelamun di depan loker, nyet?", tanya Baim sembari tertawa geli melihat ekspresi kaget Andra yang menurutnya sangat konyol.
"Rado lembur? Kok ngga bareng?", Andra balik bertanya. Baim mengangguk seraya membuka lokernya, menyimpan sepatu kerja dan mengambil minibackpacknya.
"Lagi niat kerja tuh dia. Sama bayar hutang cuti empat harinya tempo hari itu."
"Baguslah kalau dia udah semangat lagi buat kerja."
"Lo sendiri kenapa lesu mulu belakangan ini?"
Andra mengangkat bahu, "Ngga ngerti. Capek aja pokoknya, capek segalanya."
"Kurang kopi kali lo."
"Kurang bir, iya."
"Kapan tobatnya sih lo ah!", Baim berdecak heran.
*
Andra mendadak terbangun dari tidurnya begitu terdengar suara ketukan pintu bertubi-tubi. Apa mungkin ibu Kos? Bukannya bulan ini sudah dibayar ya? Andra menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.
Masih setengah mengantuk, Andra membuka pintu kosnya, dan..
"Sayaaangg!", seru seorang gadis berambut hitam sebahu beserta satu kotak kue di tangannya. "Happy 6th Anniversary darliiinggg!"
Andra tertegun dan memasang ekspresi bingung. "Ha? Apaan?"
"Hari ini kita tepat 6 tahun sayang! Masa kamu ngga inget sih hari ini tanggal berapa?", Ghina menepuk dahinya sendiri. "Daaaann, hari ini aku mau bikin perayaan khusus buat anniv kita makanya kamu buruan mandi terus siap-siap. C'mon babe, udah siang ini!", segera Ghina meletakkan kotak kuenya di meja dan mendorong Andra ke kamar mandi. Andra yang masih terkantuk hanya pasrah dan menurut saja.

"Mau ke mana kita emangnya?", tanya Andra begitu Ghina menyerahkan kunci mobilnya padanya.
"Ke restaurant barunya teman Mama, baru aja buka satu mingguan gitu. Tadinya waktu acara pembukaan restaurant aku mau ngajak kamu ikut, eh malah kamu terima lemburan minggu kemaren."
"Di mana?"
"Ngga terlalu jauh kok dari kampus kita, masih di satu jalan yang sama."
"Ngerayainnya di situ?"
Ghina mengangguk sembari tersenyum lebar, "Tentu aja! Soalnya  aku juga ngajakin Mama sama Papa datang ke sana juga. Sama Brietta dan Namira juga sih biar tambah rame."
Andra tercenung, "Ghin, kamu ngga salah tanggal itu? Ini anniv kita kan bukan perayaan ulangtahun kamu?"
"Sayangku ya ampun kamu masih ngantuk apa gimana sih?", Ghina berdecak heran, "Aku sengaja ngajakin mereka biar sekalian kamu bisa ngomongin soal kelanjutan hubungan kita."
"Apa?!", Andra sontak menginjak pedal rem mendadak.
"Ndra! Gila kamu ya!", tukas Ghina kesal karena rem dadakan Rado membuatnya kaget bukan main.
"Kamu tuh yang gila!", balas Andra, kali ini nadanya meninggi.
"Kok aku sih?"
"Ngapain kamu bikin acara beginian sih, ha? Kenapa ngga cukup kita berdua aja yang ngerayain? Kenapa harus pake undang orangtua sama teman segala?", tukas Andra dengan nada kesal.
"Kok kamu marah sih? Aku ngga akan begini kalau kamu gerak cepat, Ndra. Lagian apa salahnya sih kamu ngomongin soal kita lebih lanjut dihadapan banyak orang apalagi ini orangtuaku dan teman-temanku. Remember, this is our anniversary, Babe!"
"Ya tapi kan ngga mendadak gini juga lah, Ghin. Aku kan belum siap apa-apa. Aku masih perlu waktu!"
Ghina mendengus, "Kenapa sih selalu aja begitu alasan kamu? Mau sampai kapan kamu begitu terus, Ndra? Kamu mau biarin aku nunggu sampai kapan, sampai berapa tahun lagi? Aku ngga bisa digiinin terus tau ngga, aku butuh kepastian yang jelas, orangtuaku pun sama, Ndra. Mereka udah berharap banyak sama kamu, plis lah jangan kecewain mereka."
"Justru karena aku ngga mau ngecewain mereka makanya aku masih perlu waktu buat mempersiapkan semuanya Ghina. Kamu pikir kita punya masalah ini sepele apa? Aku cowok, dan aku yang paling banyak memikul tanggung jawab, dan kamu tugasnya nunggu sampai aku mampu..."
"Omong kosong!", Ghina menepis tangan Andra yang hendak menggenggamnya. "Lama-lama aku bosan dengerin kamu begini terus, Ndra. Kamu pikir nunggu itu ngga capek, apa? Ngga jenuh ngga jemu, apa? Aku cuma pengin kamu bilang sama orangtuaku soal kita, ngga lagi minta kamu buat nyari materi. Oke kalo kamu bermasalah sama materi aku bisa nutupin semua itu, kamu bisa pake uang aku dulu, tabunganku cukup kok buat..."
"Ghin!", potong Andra cepat. Berkali ia menghela napas, berat.
"Sadar atau ngga, ucapan kamu barusan seakan ngga ngehargai aku sebagai laki-laki ya. Kamu pikir aku ngga mampu biayain segala keperluan ini itu, apa? Aku bisa kalau aku mau, aku bisa nyari dan aku sekarang lagi sibuk cari tambahan buat semuanya. Tapi kamu..", Andra mencibir, "Mentang-mentang kamu lahir dari keluarga kaya terus bisa seenaknya begitu sama aku? Oke, fine. Aku memang bukan anak dari orang kaya seperti keluarga kamu, Bapak aku cuma pensiunan Guru, semua Kakak aku cuma karyawan kantoran biasa, Ibuku cuma seorang penjahit langganan ibu-ibu komplek yang hobi nunggak bayar pesanan. Aku nggak kayak kamu yang begitu lahir ngga pusing buat beli susu, popok, bayar sekolah, beli jajanan mahal, main ke mall..aku harus usaha keras dulu supaya segala kemauan aku kebeli. Dan itu pake hasil jerih payah aku sendiri, ngga ngemis sama orangtua seenak jidat!"
Ghina tertegun, sadar bahwa ucapannya menyakiti hati Andra. "Ndra, maksud aku ngga gitu.."
"Kalau kamu masih ngga sabaran dan bosan nunggu aku, ya sudah terserah kamu aja. Aku ngga akan nuntut macam-macam dari kamu.", ucap Andra seraya melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu mobil, "Maaf aku udah ngga mood, kamu pergi ngerayain sendiri aja."
"Ndra..", Ghina mencoba mencegah Andra namun Andra dengan cepat mencegat taksi dan berlalu.
Ghina hanya termangu sendiri di mobilnya. Pikirannya kacau. Hatinya seakan teriris pisau tajam, sakit. Dan beberapa detik terlewati, hujan deras pun membasahi wajahnya.

kling!

From: Fransisca Brietta Assa
Lama amat jemput sang kekasihnya? Nyeleweng ke mana dulu lo?

To: Fransisca Brietta Assa
Batal. Andra pergi.

to be contiunued..

Sabtu, 01 April 2017

Tell Me Why (Part 11)

Sepi. Mata Namira menjelajahi seisi ruangan kedainya. Sudah pukul tujuh malam tapi pelanggannya masih belum berdatangan. Namira tercenung, bukankah ini Sabtu malam? pikirnya. Tapi segera ia bangkit dari kursinya dan kembali merapikan juga membersihkan area kedainya.
Namun tak lama kemudian Namira mendengar suara decitan mobil tepat di depan kedainya. Mobil Honda Jazz pink terparkir di sana.
"Sehat?", sapa si pengemudi mobil dengan semringah. Matanya yang kecil makin tidak terlihat sebab senyumnya yang merekah.
Namira mendengus, "Harusnya gue yang nanya ke lo, Brietta. Lo sehat udah bikin anak orang patah hati separah itu?"
Senyum Brietta memudar, ekspresinya berubah sendu seketika. "Nam, gue baru dateng udah lo cengin aja? Ngga mau biarin gue duduk dulu dengan tenang ditemani secangkir hot lemon tea yang dibuat oleh pemilik kedai nan cantik rupawan ini, ha?"
Brietta tak peduli dengan ekspresi Namira yang cengo mendengar celotehan tak pentingnya, segera ia duduk di tempat favoritnya di sudut kedai itu.
"One cup hot lemon tea, please?", pinta Brietta dengan berseru pada Namira yang baru hendak ke dapur.
"Yes, Ma'am", sahut Namira seraya melengos pergi.
*
Sudah lima suapan, padahal Brietta janji pada dirinya sendiri akan teguh pada prinsip saat menyantap kue. Paling banyak adalah tiga sendok kecil suapan. Nyatanya kali ini dia melanggar janjinya sendiri.
Namira hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
"Cakenya ngga manis ya, Bri?", tanya Namira iseng.
Brietta mengangguk seraya mengunyah kuenya perlahan, "Mungkin karena lo ngasih krimnya cuma dikit makanya ngga kemanisan."
"Lo udah ngga diet lagi?"
"Masih, masih kok."
"Itu udah lebih dari tiga suapan loh, gue ngingetin aja nih."
Brietta tersenyum simpul, "Kali ini gue mau puas-puasin makan kue lo. But next time, ngga lagi-lagi pokoknya."
"Enak ngga?"
Brietta mengangguk cepat, "Banget. red velvet cake ini kue terenak kedua setelah brownies kukus lo itu. Serius enak banget. Nambah boleh?"
"Bri, inget sama diet lo, oke? Gue ngga mau dibilang provokator atas kegiatan diet lo yang sebenarnya ga perlu-perlu banget itu."
Brietta tercenung, "Ngga perlu-perlu banget mata lo. Berat badan gue udah 48 kilogram sekarang!"
"Tapi tinggi lo 164 sentimeter Princess. Lo itu kurus ngapain diet?!", tanya Namira setengah ngotot.
"Yeh, lonya aja yang kontet. Eh, tinggi 160 berat 55. Iya bener, kontet.", celoteh Brietta asal diikuti tawa lantang.
"Bangke lo!", umpat Namira sembari melempar tisu bekas ke arah Brietta.

"Rado udah ngga pernah ngehubungin lo lagi setelah itu?", kali ini pertanyaan Namira sontak membuat Brietta meletakkan garpunya di atas meja. Diseruputnya teh lemon perlahan.
"Untung gue bisa stay cool dan ngga keselek waktu pertanyaan konyol itu keluar dari mulut lo." Brietta mencibir.
"Jadi jawabannya iya atau nggak?"
"Iya, Rado udah ngga pernah ngehubungin gue lagi sekarang. Tepatnya udah seminggu namanya ngilang dari display henpon gue.", jawab Brietta mencoba untuk sesantai mungkin.
"Lo ngga ada niatan buat ngehubungin dia duluan, apa?"
"Dih, buat apa gue ngehubungin dia duluan? Yang sering bilang kangen kan dia, yang sering sepik kan dia, yang sering ngajakin pergi kan dia. Kenapa harus gue?"
Namira terkikik pelan, "Lo sampe kapan sih melihara gengsi lo yang luar biasa batunya itu, ha? Plis lah, Bri. Gengsi lo itu yang justru bikin rugi lo sendiri tau ngga?"
"Nam, plis ya. Gue ngga ngrasa rugi sedikitpun asal lo tau. Ada dia atau ngga ada dia hidup gue bakal baik-baik aja. Yang bikin beda sekarang cuma ngga ada lagi cowo tengil juga usil yang nyepikin gue mulu tiap harinya. Itu doang. Dan gue malah ngerasa lega, akhirnya hidup gue tenang kembali."
"Yakin, lo?"
"Lah, kenapa gue harus ngga yakin?", Brietta mengangkat kedua tangannya.
"Lo ngga ngerasa kangen sama dia?
"What? No! Big No! Gue fine-fine  aja tuh ngga ada dia selama ini."
Namira mencibir, "Omong kosong. Gengsi doang digedein, badan tuh digedein, udah kayak lidi aja masih sok mau diet segala."
"Omong kosong badan lo kontet!", Brietta melempar tisu bekas ke arah Namira.
"Nam, gue udah pernah ceritain masa lalu gue yang lumayan pahit itu kan? Gue cuma ngga mau hal yang sama terulang lagi. Untuk itu gue berusaha sebisa mungkin untuk..."
"Menghindar?", terka Namira yang membuat Brietta mematung. "Ya kan? Lo cuma takut sama perasaan lo sendiri makanya lo ngehindarin Rado kan?"
"Ngga git.."
"Padahal lo tau dari awal kalo Rado ngga pernah peduli sama kalung lo, sama agama lo, sama ras lo. Dia tau lo Katholik, dia tau lo makan babi, dia tau lo campuran Tionghoa-Minahasa sedangkan dia anak Jawa dari keluarga muslim yang taat, mana pernah masuk pesantren pula. Tapi dia tetep mau deketin lo terus, ngusilin lo terus, biar apa coba? Karena apa coba?"
"Ya itu kan..."
"Gue cuma ngga mau lo nyesel berat kayak gue Bri. Makanya tolong lah, hilangin tuh gengsi lo yang segede gunung."
"Ngga akan nyesel gue janji!"
"Lo aja hari ini ngelanggar janji diet lo sendiri. Apa gue masih harus percaya sama kelabilan lo itu?"
"Gue nyoba untuk bersikap realistis, Namira. Realistis! Kita ngga lagi main drama, apa lagi drama Korea favorit gue!"
Namira menepuk dahinya sendiri, "Brietta, please.."
Brietta mendengus, "Kalaupun gue ngakuin soal perasaan gue yang sebenarnya ke Radopun ngga akan berefek apapun, Nam. Ngga akan mengubah keadaan sama sekali. Keluarga gue udah blak-blakan nolak dia, keluarga dia udah sinis duluan pas ngeliat kalung gue. Yang kayak gini apa harus gue pertahanin, Nam?"
"Do you like him? Answer me.", tanya Namira kali ini to the point.
"Nam, gue.."
 "Apa? Suka kan?"
Brietta tak menjawab, namun Namira tahu jawabannya hanya dengan melihat raut muka Brietta.
"Bri.."
"What?"
"Seenggaknya lo jujur sama dia tentang perasaan lo. Bilang terus terang."
"Then...what? "
"Lo bikin Rado jadi lega dan ngga menyesali perasaannya yang dia kasih buat lo. Bikin dia ngga ngerasa sia-sia berusaha dapetin hati lo selama ini."
Brietta menghela napas pendek. "Bagi gue semuanya udah terlambat, Nam. Ngapain juga gue harus ngelakuin hal yang udah jelas ngga ada gunanya, ngga berefek apa-apa kayak gitu."
"Tapi, Bri.."
"Pikirin juga soal Baim, Namira. Dia butuh kejelasan juga soal hubungan kalian."
"Kenapa lo jadi lari ke Baim? Kita kan lagi bahas lo sama Rado, anak pinter."
"Karena lo sendiri juga lagi bermasalah, dan masalahnya ada di diri lo."
"Masalahnya dia ngga tau soal kondisi gue yang sebenarnya, Brietta."
"Kondisi lo?", alis Brietta terangkat, tatapannya penuh selidik pada Namira yang spontan menutup mulutnya sendiri.
"Emang lo kenapa Nam? Hei, lo punya rahasia pasti ya! Cerita ngga!"

Mampus. Rutuk Namira pada dirinya sendiri.

to be continued..