Gadis itu
sudah berdiri di depannya, matanya menatap lurus seolah tidak ada beban. Baim
menelan ludahnya yang mendadak getir. Pertemuannya kali ini dengan Namira
terasa begitu canggung dan aneh. Bahkan suasana tempat pertemuan mereka pun
terasa begitu berbeda, ada aura aneh yang menyelimuti tidak seperti biasanya.
Padahal mereka sering bertemu di tempat ini, sebuah kafe dengan nuansa Korea
favorit Namira.
Namira
memberi kode pada Baim agar segera duduk berhadapan dengannya. Baim hanya
menghampiri tanpa memberi respon apa-apa lagi.
“Udah,
ngga usah main kucing-kucingan lagi sama gue.”, tukas Namira langsung ke inti.
“Sebenarnya gue malas ngeladenin sifat kekanakan lo ini tapi apa boleh buat,
karena gue tau lo orangnya harus dibaik-baikin duluan biar mau ngomong.”
Baim
mendengus, sedikit kesal dengan ‘salam pembukaan’ Namira yang tidak bisa
berbasa-basi. Tanya kabar dulu kek apa gimana, batin Baim sebal.
“Yu, kalo
lo mutusin gue karena gue yang sering bilang malas sama yang namanya komitmen,
oke itu terserah lo, gue ngga berhak ngelarang dan ngatur lo buat mutusin gue.
Cuma yang ngga gue suka sikap lo setelah itu, Yu. Kenapa lo jadi suka
ngehindarin gue? Kalo kita putus terus kita ngga bisa balik jadi teman baik
lagi apa? Kita kenal dari kecil Yu, ke mana-mana selalu sama-sama, ngga ada
masalah fatal yang bikin kita kepisah dan menjauh. Ngga ada. Tapi kenapa lo
sekarang jadi begini? Mentang-mentang kita putus pacaran terus putus juga
hubungan pertemanan kita yang sejak kecil itu Yu? Plis lah jangan kekanakan
gini, inget umur lah, udah ngga bukan masanya lagi lo bersikap childish begini.”
Baim tertegun.
Semua perkataan Namira terasa begitu menusuk dadanya. Tak begitu dalam, hanya
terasa banyak duri yang menempel pada kulit hingga membuat perih yang tak
terkira.
“Lo mau
ngasih alasan apalagi sekarang Yu?”, Tanya Namira dengan nada datar, wajahnya
pun tak kalah datar. Berbeda dengan Baim yang dengan sekuat tenaga menahan
perasaan yang tak karuan dalam hatinya. Ekpresi Namira membuat Baim berpikir
bahwa Namira tidak benar-benar menyayanginya seperti ia menyayangi gadis itu. Atau
sebenarnya Namira juga sama seperti dirinya yang tengah menahan perasaan yang setengah
mati ia sembunyikan?
“Gue Cuma
malas ketemu lo. Gue masih kesal sama segala tingkah dan ucapan lo yang
terdengar ngga masuk akal di logika gue, itu aja.”, jawab Baim setelah menghela
napas beberapa kali.
Namira berdecak
heran, “Segitunya banget lo sama gue, Yu? Ngga ngerti gue.”
“Justru
gue yang ngga pernah ngerti sama lo, Nam.”, Baim mendengus. “Kayaknya Cuma lo
cewek yang dengan angkuhnya bilang enggan berkomitmen. Lo seakan ngga butuh adanya
sosok pendamping di hidup lo. Lo pikir lo bisa hidup sendirian sampai tua apa? Pikirin
juga keluarga lo, Nam. Mereka juga pasti pengin lo bisa berkeluarga, dan ngga
jadi perawan sampai tua. Dan gue punya keinginan itu Nam, pengin bisa sama-sama
lo sampai kita tua, punya anak cucu..tapi malah lo ngga berkeinginan yang sama
seperti gue”.
“Lo juga
harusnya mikir Yu, emangnya membangun rumah tangga itu segampang main ular
tangga apa? Berat asal lo tau. Lo liat Tante gue yang hampir tiap hari ke rumah
gara-gara berantem mulu sama suaminya, atau tetangga kita yang baru nikah
setengah tahun cerai tiba-tiba, atau Ustad yang wara-wiri dakwah di masjid komplek
kita, yang sering kasih nasehat soal pernikahan ujung-ujungnya ditinggalin
istrinya juga. See, pernikahan itu
bukan perkara ecek-ecek yang bisa lo gampangin. Apa lo pengin nikah Cuma karena
penasaran rasanya making love itu
gimana? Iya?”
“Nam, jaga
omongan lo ya!”, jari telunjuk Baim terangkat di depan wajah Namira. Gadis itu
terlihat sedikit kaget namun berusaha tetap tenang.
“Salah? Eh
kok sekarang lo udah berani bentak gue gini ya?”
Baim menghela
napas, “Serius, gue bener-bener kesal sama lo kali ini. Kita udahin ajalah
percakapan ngga bermutu ini. Percuma juga, ngga ada gunanya, ngga ngebalikin
keadaan juga.”, Baim beranjak dari kursinya, namun tangan Namira mencegahnya.
“Gue
masih sayang sama lo asal lo tau.”, ucap Namira seraya menggenggam tangan Baim.
“Jadi jangan terus-terusan ngehindarin gue. Rasanya sakit tau ngga.”
Baim tertegun,
dipandanginya wajah Namira yang mendadak berubah sendu.
“Tetaplah
jadi sahabat gue, Yu. Cuma itu yang gue penginin.”
Baim melepas
genggaman tangan Namira. “Gue ngga akan bisa ngelepas lo kalo lo begini Nam. Perasaan
gue jauh lebih berat dari yang lo kira.”
“Sampai
kapan lo mau ngeginiin gue, sih? Lo sadar kan kalo lo sendiri juga tersiksa?”
“Gue
lebih tersiksa kalo kita masih sama-sama tapi pemikiran, keinginan dan prinsip
kita ngga pernah sama. Walau begitu besarnya perasaan gue ke lo, Nam, gue ngga
bisa nerima perbedaan itu.”
“Tapi gue
bener-bener ngga suka pernikahan, Yu. Itu semacam momok yang bikin gue paranoid
selama ini. Gue takut tau nggak.”
“Meski
itu sama gue?”
Namira mengangguk
pelan, terlihat sedikit ragu. “Meskipun sama lo, gue juga ngga terlalu yakin.”
Baim mendengus,
“Kalaupun gue kasih waktu buat lo mikirin semua ini baik-baik, lo juga ngga
akan mengubah pendirian lo kan? “
“Yu, gue Cuma
pengin kita tetap jadi sahabat baik. Plis, kali ini kendalikan ego lo.”
“Lo juga,
Nam. Kendalikan ego ngga masuk akal lo itu. Gue pulang dulu, gue capek.”, Baim
tak peduli lagi, dia pun berjalan keluar kafe meninggalkan Namira yang
termangu.
Di tempat
duduknya, Namira menatap kepergian Baim dengan perasaan yang kacau. Di satu
sisi dia tidak ingin ditinggalkan oleh orang yang begitu dia sayangi itu, namun
di sisi lain dia masih belum bisa menyembuhkan phobia pernikahan yang dideritanya sejak kedua orangtuanya bercerai
saat dia baru kelas 2 SMP.
Namira merasa
sesak jika kembali diingatkan oleh kejadian itu, ketika dia pulang ke rumah
namun tak lagi melihat Papanya. Yang dia lihat hanya Mamanya yang tengah
membersihkan lemari dari barang-barang milik Papanya. Saat itu Namira masih
belum mengerti apa yang tengah terjadi sampai akhirnya dia bertanya pada
Mamanya dengan takut-takut.
“Papa ke
mana, Ma? Kenapa Mama buang semua barang-barang Papa?”
Mamanya
hanya menjawab dengan wajah sendu yang ia tutupi dengan senyum, “Mama sama Papa
udah ngga bisa sama-sama lagi, Sayang. Papa sekarang udah punya kehidupannya
sendiri. Dan kita pun akan menjalani hidup kita berdua.”
“Kenapa?”,
Tanya Namira kecil lagi. “Apa Mama dan Papa udah ngga saling sayang lagi?”
Mama
menggeleng, “Enggak sayang. Justru Mama sama Papa berpisah karena saling
menyayangi. Ini semua juga demi Namira kok.”
“Tapi
Namira lebih suka kalau Mama dan Papa tetap sama-sama, Ma. Jangan pisah begini.”
Mamanya hanya
menariknya dalam pelukan tanpa menjawab lagi. Membagi kesedihannya secara tidak
langsung pada Namira yang juga ternyata mengakibatkan adanya phobia pada anak gadisnya tersebut.
Namun sampai
saat ini Mama Namira tidak pernah tau kalau Namira mengidap phobia pernikahan. Karena Namira
menutupinya dari siapapun, bahkan dari kedua sahabatnya sekalipun.
Namira menghela
napas yang terasa begitu berat. Diusapnya kedua pipi yang basah oleh air mata
yang sedari tadi menetes tanpa henti. Namira meringis, dia tidak pernah
menyangka bahwa sakitnya akan sedalam dan separah ini.
Namira tidak
bisa menahannya lagi, air matanya jatuh lebih deras kali ini.