Minggu, 19 Maret 2017

Tell Me Why (Part 10)



Gadis itu sudah berdiri di depannya, matanya menatap lurus seolah tidak ada beban. Baim menelan ludahnya yang mendadak getir. Pertemuannya kali ini dengan Namira terasa begitu canggung dan aneh. Bahkan suasana tempat pertemuan mereka pun terasa begitu berbeda, ada aura aneh yang menyelimuti tidak seperti biasanya. Padahal mereka sering bertemu di tempat ini, sebuah kafe dengan nuansa Korea favorit Namira.
Namira memberi kode pada Baim agar segera duduk berhadapan dengannya. Baim hanya menghampiri tanpa memberi respon apa-apa lagi.
“Udah, ngga usah main kucing-kucingan lagi sama gue.”, tukas Namira langsung ke inti. “Sebenarnya gue malas ngeladenin sifat kekanakan lo ini tapi apa boleh buat, karena gue tau lo orangnya harus dibaik-baikin duluan biar mau ngomong.”
Baim mendengus, sedikit kesal dengan ‘salam pembukaan’ Namira yang tidak bisa berbasa-basi. Tanya kabar dulu kek apa gimana, batin Baim sebal.
“Yu, kalo lo mutusin gue karena gue yang sering bilang malas sama yang namanya komitmen, oke itu terserah lo, gue ngga berhak ngelarang dan ngatur lo buat mutusin gue. Cuma yang ngga gue suka sikap lo setelah itu, Yu. Kenapa lo jadi suka ngehindarin gue? Kalo kita putus terus kita ngga bisa balik jadi teman baik lagi apa? Kita kenal dari kecil Yu, ke mana-mana selalu sama-sama, ngga ada masalah fatal yang bikin kita kepisah dan menjauh. Ngga ada. Tapi kenapa lo sekarang jadi begini? Mentang-mentang kita putus pacaran terus putus juga hubungan pertemanan kita yang sejak kecil itu Yu? Plis lah jangan kekanakan gini, inget umur lah, udah ngga bukan masanya lagi lo bersikap childish begini.”
Baim tertegun. Semua perkataan Namira terasa begitu menusuk dadanya. Tak begitu dalam, hanya terasa banyak duri yang menempel pada kulit hingga membuat perih yang tak terkira.
“Lo mau ngasih alasan apalagi sekarang Yu?”, Tanya Namira dengan nada datar, wajahnya pun tak kalah datar. Berbeda dengan Baim yang dengan sekuat tenaga menahan perasaan yang tak karuan dalam hatinya. Ekpresi Namira membuat Baim berpikir bahwa Namira tidak benar-benar menyayanginya seperti ia menyayangi gadis itu. Atau sebenarnya Namira juga sama seperti dirinya yang tengah menahan perasaan yang setengah mati ia sembunyikan?
“Gue Cuma malas ketemu lo. Gue masih kesal sama segala tingkah dan ucapan lo yang terdengar ngga masuk akal di logika gue, itu aja.”, jawab Baim setelah menghela napas beberapa kali.
Namira berdecak heran, “Segitunya banget lo sama gue, Yu? Ngga ngerti gue.”
“Justru gue yang ngga pernah ngerti sama lo, Nam.”, Baim mendengus. “Kayaknya Cuma lo cewek yang dengan angkuhnya bilang enggan berkomitmen. Lo seakan ngga butuh adanya sosok pendamping di hidup lo. Lo pikir lo bisa hidup sendirian sampai tua apa? Pikirin juga keluarga lo, Nam. Mereka juga pasti pengin lo bisa berkeluarga, dan ngga jadi perawan sampai tua. Dan gue punya keinginan itu Nam, pengin bisa sama-sama lo sampai kita tua, punya anak cucu..tapi malah lo ngga berkeinginan yang sama seperti gue”.
“Lo juga harusnya mikir Yu, emangnya membangun rumah tangga itu segampang main ular tangga apa? Berat asal lo tau. Lo liat Tante gue yang hampir tiap hari ke rumah gara-gara berantem mulu sama suaminya, atau tetangga kita yang baru nikah setengah tahun cerai tiba-tiba, atau Ustad yang wara-wiri dakwah di masjid komplek kita, yang sering kasih nasehat soal pernikahan ujung-ujungnya ditinggalin istrinya juga. See, pernikahan itu bukan perkara ecek-ecek yang bisa lo gampangin. Apa lo pengin nikah Cuma karena penasaran rasanya making love itu gimana? Iya?”
“Nam, jaga omongan lo ya!”, jari telunjuk Baim terangkat di depan wajah Namira. Gadis itu terlihat sedikit kaget namun berusaha tetap tenang.
“Salah? Eh kok sekarang lo udah berani bentak gue gini ya?”
Baim menghela napas, “Serius, gue bener-bener kesal sama lo kali ini. Kita udahin ajalah percakapan ngga bermutu ini. Percuma juga, ngga ada gunanya, ngga ngebalikin keadaan juga.”, Baim beranjak dari kursinya, namun tangan Namira mencegahnya.
“Gue masih sayang sama lo asal lo tau.”, ucap Namira seraya menggenggam tangan Baim. “Jadi jangan terus-terusan ngehindarin gue. Rasanya sakit tau ngga.”
Baim tertegun, dipandanginya wajah Namira yang mendadak berubah sendu.
“Tetaplah jadi sahabat gue, Yu. Cuma itu yang gue penginin.”
Baim melepas genggaman tangan Namira. “Gue ngga akan bisa ngelepas lo kalo lo begini Nam. Perasaan gue jauh lebih berat dari yang lo kira.”
“Sampai kapan lo mau ngeginiin gue, sih? Lo sadar kan kalo lo sendiri juga tersiksa?”
“Gue lebih tersiksa kalo kita masih sama-sama tapi pemikiran, keinginan dan prinsip kita ngga pernah sama. Walau begitu besarnya perasaan gue ke lo, Nam, gue ngga bisa nerima perbedaan itu.”
“Tapi gue bener-bener ngga suka pernikahan, Yu. Itu semacam momok yang bikin gue paranoid selama ini. Gue takut tau nggak.”
“Meski itu sama gue?”
Namira mengangguk pelan, terlihat sedikit ragu. “Meskipun sama lo, gue juga ngga terlalu yakin.”
Baim mendengus, “Kalaupun gue kasih waktu buat lo mikirin semua ini baik-baik, lo juga ngga akan mengubah pendirian lo kan? “
“Yu, gue Cuma pengin kita tetap jadi sahabat baik. Plis, kali ini kendalikan ego lo.”
“Lo juga, Nam. Kendalikan ego ngga masuk akal lo itu. Gue pulang dulu, gue capek.”, Baim tak peduli lagi, dia pun berjalan keluar kafe meninggalkan Namira yang termangu.
Di tempat duduknya, Namira menatap kepergian Baim dengan perasaan yang kacau. Di satu sisi dia tidak ingin ditinggalkan oleh orang yang begitu dia sayangi itu, namun di sisi lain dia masih belum bisa menyembuhkan phobia pernikahan yang dideritanya sejak kedua orangtuanya bercerai saat dia baru kelas 2 SMP.
Namira merasa sesak jika kembali diingatkan oleh kejadian itu, ketika dia pulang ke rumah namun tak lagi melihat Papanya. Yang dia lihat hanya Mamanya yang tengah membersihkan lemari dari barang-barang milik Papanya. Saat itu Namira masih belum mengerti apa yang tengah terjadi sampai akhirnya dia bertanya pada Mamanya dengan takut-takut.
“Papa ke mana, Ma? Kenapa Mama buang semua barang-barang Papa?”
Mamanya hanya menjawab dengan wajah sendu yang ia tutupi dengan senyum, “Mama sama Papa udah ngga bisa sama-sama lagi, Sayang. Papa sekarang udah punya kehidupannya sendiri. Dan kita pun akan menjalani hidup kita berdua.”
“Kenapa?”, Tanya Namira kecil lagi. “Apa Mama dan Papa udah ngga saling sayang lagi?”
Mama menggeleng, “Enggak sayang. Justru Mama sama Papa berpisah karena saling menyayangi. Ini semua juga demi Namira kok.”
“Tapi Namira lebih suka kalau Mama dan Papa tetap sama-sama, Ma. Jangan pisah begini.”
Mamanya hanya menariknya dalam pelukan tanpa menjawab lagi. Membagi kesedihannya secara tidak langsung pada Namira yang juga ternyata mengakibatkan adanya phobia pada anak gadisnya tersebut.
Namun sampai saat ini Mama Namira tidak pernah tau kalau Namira mengidap phobia pernikahan. Karena Namira menutupinya dari siapapun, bahkan dari kedua sahabatnya sekalipun.
Namira menghela napas yang terasa begitu berat. Diusapnya kedua pipi yang basah oleh air mata yang sedari tadi menetes tanpa henti. Namira meringis, dia tidak pernah menyangka bahwa sakitnya akan sedalam dan separah ini.
Namira tidak bisa menahannya lagi, air matanya jatuh lebih deras kali ini.

Sabtu, 18 Maret 2017

Tell Me Why (Part 9)

10 missed calls from Namira Ramadhina.
Baim menghela napas pendek. Entah kenapa dia masih ingin terus mengabaikan gadis itu dengan cara apapun. Tidak mengangkat telponnya, tidak membalas pesan-pesannya, menghindari agar tidak bertemu dengannya, padahal mereka bertetangga. Dan sudah cukup sering Namira datang ke rumahnya untuk bertemu, tapi Baim selalu mencari alasan agar tidak menemuinya atau sengaja pergi ke rumah Rado atau kos Andra dan menginap di sana.
Dan yang membuat heran, Namira tidak pernah lelah untuk terus mencoba menghubunginya.
Baim bingung, sebenarnya apa yang diinginkan oleh gadis itu? Kenapa dia bersikap seolah tidak ingin Baim memutuskan dirinya seperti itu sedangkan dia sendiri tidak ingin berkomitmen secara serius dengan Baim. Aneh.
Baim mengambil tasnya dari loker kemudian menghampiri Andra yang juga baru mengunci lokernya.
"Si Rado mau cuti berapa hari itu? Gila aja empat hari ngga masuk kerja.", celetuk Andra begitu melihat Baim menghampirinya. Baim mengangkat bahu.
"Jenguk aja yuk, kali aja dia sakit parah atau apa gitu."
"Dia bukannya sakit parah Im, tapi depresi gara-gara ditolak mentah-mentah sama orangtuanya Brietta."
"Ngga mentah-mentah juga kali, Ndra.", ralat Baim. "Cuma cara mereka aja yang terlalu blak-blakan. Kalo gue yang digituin ya juga pasti shock lah."
"Ya udah mending kita ke rumahnya aja dah daripada penasaran.", ujar Andra.
Begitu mereka keluar dari pabrik menuju tempat parkiran motor, sebuah panggilan dari orang yang sama untuk Baim pun datang lagi.
Namira.
Baim mendengus, "Dia kok jadi nelponin gue mulu ya, Ndra?", tanya Baim pada Andra yang sudah siap dengan motornya.
"Itu tandanya dia kangen sama lo, Im. Udahlah angkat aja, ngapain sih lo ngehindar lama-lama begitu? Untungnya apa coba?", ujar Andra enteng. "Jangan suka melihara gengsi lo, kayak cewek aja sih ah."
Baim termenung sesaat. Seolah termakan oleh ucapan Andra, jemarinya secara spontan menekan tombol hijau pada layar handphonenya.
"Lo di mana sekarang? Udah balik kerja?", suara lantang terdengar begitu Baim mengangkatnya.
"Mau ke rumah Rado.", jawab Baim seadanya. Dadanya berdesir kencang tiba-tiba. Apakah ini efek sudah terlalu lama dia tidak berbicara dengan Namira? Baim tidak terlalu yakin.
"Nanti temuin gue kalo balik dari sana. Kita perlu bicara, penting. Dan tolong kali ini lo jangan ngehindarin gue, Im."
Baim tidak merespon, ditekannya tombol merah pada layar handphonenya, memutuskan pembicaraannya dengan Namira.
"Ngomong apaan dia?", tanya Andra penasaran.
Baim menggeleng pelan, "Bukan hal penting."
"Serius lo?", tanya Andra lagi yang tak yakin dengan jawaban Baim.
"Udahlah, bahas ntar aja. Urus si Rado dulu ayo lah.", tukas Baim seraya menstater motornya lalu melaju meninggalkan parkiran pabrik.
*
Sesampainya di rumah Rado...
Andra dan Baim saling pandang, suasana canggung begitu menyelimuti ruang tamu rumah ini. Di depan mereka sudah ada orangtua Rado yang menyambut mereka dengan aura yang kurang menyenangkan. Sedangkan Rado masih mengurung diri di kamar, enggan keluar menemui kedua temannya.
"Sebenarnya sudah dari awal saya mengingatkan anak itu agar selalu berpikir dahulu sebelum bertindak. Buat apa dia selama sembilan tahun di pesantren kalau segala ilmunya tidak pernah dia gunakan?", ucap Haji Hanafi, Papa Rado dengan wajah kesal.
"Saya sudah pernah melihat gadis itu sewaktu datang ke acara syukuran rumah baru ini, secara visual memang enak dipandang, tapi bagi kami tampang saja tidak cukup. Akhlaklah yang paling utama. Bagaimana kami bisa melepaskan anak bungsu kami dengan seorang gadis yang pakai jilbab saja tidak, eh malah pakai kalung salib. Tentu saja kami menolak dengan keras!"
Baim menelan ludah. Andra lebih kelihatan tegang juga bingung harus bagaimana. Masalah ini terasa begitu berat jika sudah menyeret kedua orangtua Rado yang notabene dari keluarga muslim yang taat.
"Umi sih ngga masalah Mas mau berteman dengan siapa saja, dari suku mana saja, dari agama apa saja, cuma yang Umi ngga suka, kenapa Mas malah menjalin hubungan khusus dengan gadis yang tidak seagama dengan dia, dengan kami. Harusnya dia bisa mengenalkan seorang gadis muslim yang solehah, mengkhitbahnya, lalu menikah segera. Tapi yang terjadi malah seperti ini, Umi ngga habis pikir sama dia.", Hajah Siti Syarifah, Mama Rado ikut ambil suara.
"Dan sekarang anak itu mengurung diri di kamar merenungi nasibnya yang ditolak oleh keluarga gadis itu? Benar-benar anak dungu! Buat apa dia sia-siakan waktu yang berharga untuk ibadah demi seorang kafir!"
Baim dan Andra kompak tersentak kaget. Mereka tidak menyangka bahwa Papa Rado begitu marah mengenai masalah ini. Sempat terpikir oleh Baim, Rado akan segera dijodohkan dengan gadis yang dulu sempat dikenalkan oleh orangtuanya. Baim ingat sekitar tiga bulan yang lalu ketika mereka bertiga sedang berkumpul di rumah Rado, teman Papa Rado datang beserta Istri dan anak gadisnya. Dan gadis itulah yang rencananya akan dijodohkan dengan Rado. Tapi Rado menolaknya dengan alasan dia ingin mencari pasangan hidupnya sendiri tanpa acara perjodohan. Kontan saja Papanya sangat marah padanya, karena dia merasa sudah mencarikan sosok yang paling tepat untuk Rado tapi Rado malah menolaknya mentah-mentah.
Sejak itu, hubungan Rado dan Papanya sedikit renggang. Bahkan Rado sampai keluar rumah dan menempati kos yang tak jauh dari kos Andra. Tapi belakangan ini, Mama Rado selalu menyuruhnya untuk pulang ke rumah dan tidak perlu kos lagi. Rado pun menurutinya meskipun sesekali dia tetap pulang ke kosnya.
Setelah mendengarkan keluh kesah orangtua Rado, Baim dan Andra pun izin untuk menemui Rado di kamarnya. Tak disangka, Rado menyambut kedua sahabatnya dengan tangan terbuka.
"Bau lo! Ngga mandi berapa hari buset dah?!", tanya Andra seraya melepas pelukan Rado sambil tangannya menutup hidung.
Baim pun merasakan ada aroma tidak sedap dari Rado yang seperti tidak mandi selama empat hari.
"Serius Do lo ngga mandi empat hari?", susul Baim.
Rado menggeleng keras. "Gue mandi, cuma ngga pake sabun aja."
"Buset dah!" Andra melempar bantal ke arah Rado. "Parah banget sih ini anak!"
"Kayaknya bentar lagi gue bakal dikirim ke Mesir nih nyusulin kakak sulung gue. Atau ngga gue dilempar lagi ke pesantren biar diurusin kakak kedua gue. Njrit, sial bener gue.", celoteh Rado dengan wajah kuyu.
Andra terbelalak, "Serius lo, Do? Eh terus kerjaan lo di sini gimana, Nyet? Masa iya lo mau resign gitu aja? Sayang banget kali, Men."
"Kalo bokap gue udah ngomong gue bisa apa, curut? Mana bisa gue nentang bokap gue terus-terusan. Yang ada ntar gue dikutuk jadi batu cobek." Rado menghela napas pendek, "Lagian gue sama Brietta udah tamat, Ndra. Ngga ada harapan sama sekali."
Baim menepuk bahu Rado pelan, "Seenggaknya lo udah berusaha untuk mencoba sebisa lo. Ngga ada yang salah soal itu, apalagi soal perasaan lo."
"Dan Brietta udah tau kalau lo suka sama dia tuh udah cukup, Do. Paling enggak, kejujuran lo ke dia bisa bikin perasaan lo lega dan ngga ngerasa ngegantungin dia lagi. So, dia jadi ngga bertanya-tanya lagi kan?", susul Andra. "Soal lo bakal dilempar ke Mesir atau pesantren lo yang di Surakarta itu kita ngga bisa bantu apa-apa, Men. Ini udah jadi masalah intern keluarga lo. Kita sih maunya apa aja dah yang terbaik buat lo. Yah, ambil hikmahnya aja lah, Do, kali aja di sana lo bisa ketemu jodoh lo."
Rado tersenyum simpul mendengar celotehan Andra yang menurutnya sedikit waras.
"Tumben omongan lo lagi rada bener, Ndra? Biasanya lo yang paling sesat di antara kita bertiga."
"Anjrit, lo. Gue berusaha ngehibur malah dicengin! Bukannya bilang makasih lo!", tukas Andra mengomel.
Rado terkekeh, "Thanks berat, Bray. Lo berdua emang yang terbaik deh buat gue. Sayang lo berdua batangan, coba kalo ngga, udah gue kawinin lo berdua dah."
Kontan saja Rado segera diserbu jitakan maut dari kedua temannya kemudian disusul tawa lepas mereka dengan serempak.

"Lo buruan lamar si Ghina gih. Ngga takut apa lo kalo emaknya tau-tau jodohin dia sama orang lain gara-gara lo ngga bertindak juga?", ucap Rado pada Andra setelah tawa mereka reda.
"Yah, lo malah jadi bahas soal gue sama Ghina. Udahlah santai aja lo, Do. Bakal gue jadiin kok si Ghina. Tinggal tunggu waktunya aja nanti.", timpal Andra, enteng.
"Yakin lo segera dijadiin?", tanya Baim menggoda.
"Emangnya elu yang malah mutusin cewek lo sehabis ciuman di mobil?", sindir Andra lengkap dengan tatapan jahilnya.
Wajah Baim memerah.
"Geblek emang si Baim, habis ciuman tuh baiknya dikasih cincin, eh malah diputusin. Lo suka ngatain gue sama Andra gila tapi lo sendiri lebih sableng. Bego lo emang!", olok Rado sembari terkekeh.
"Brengsek! Si Ghina nih pasti yang bocorin ke lo ya! Ini lagian si Namira ngapain cerita detail banget sih ah elah bikin malu aja!", keluh Baim menahan malu.
Terdengar tawa lantang Rado dan Andra secara serempak.
"Im, lo mending balikan aja deh sama Namira. Pertahanin dia apapun rintangannya. Selagi lo ada kesempatan, selagi lo berdua ngga dibatasi perbedaan yang bikin fatal. Jangan sampe akhirnya lo nyesel belakangan, Im. Gue ngomong gini karena gue ngga pengin lo ngerasain yang semacam gue gini. Sumpah Im ngga enak banget.", ucap Rado menasehati.
Baim terdiam sesaat, berpikir.

TING!

From: Namira Ramadhina
Temuin gue sekarang. Bisa?
 
Baim menghela napas panjang. Kali ini dia harus kembali memutuskan, jalan keluar mana yang akan dia pilih. Anggaplah kemarin hanya sebuah try out.

to be continued..


Selasa, 07 Maret 2017

Tell Me Why (Part 8)

Canggung.
Rado menghela napas untuk kesekian kalinya. Rasa gugup sejak satu jam lalu belum juga lenyap, padahal jam makan malam sudah lewat. Matanya hanya melirik malu-malu pada Brietta yang kini duduk di sampingnya, yang juga balas meliriknya.
"Sebenernya nih ya, Do..", Brietta membuka suara, "Ada satu hal yang pengin banget gue ungkapin ke lo daritadi. Ini ganggu gue banget jujur aja."
Rado terkesiap, "Soal apa?"
"Outfit lo!", Brietta menunjuk pakaian yang dikenakan Rado. "Asli gue ngga ngerti sama lo! Lo kira mau kondangan pake kemeja batik kayak gitu? Astaga, Rado! Untung bonyok gue ngga komen soal ini loh!", omel Brietta seraya menepuk dahinya sendiri.
Rado tercekat, "Ah! I-ini, anu, gue bingung mau pake apaan, Bri. Dari pada kelamaan nyocokin baju jadi ya milih yang keliatan mata aja, hehehe", ucapnya sambil terkekeh malu.
"Lo bener-bener ngga modis sama sekali, iyuuuhhh!", Brietta melempar tatapan jijik. Tapi Rado tak tersinggung akan hal itu, di matanya sikap Brietta justru terlihat manis dan imut.
"Udah, laen kali mending lo pake baju yang kayak biasanya aja deh daripada sok formal pake batik begini. Asli ngga matching abis!"
"Lain kali?", ulang Rado, "Emang bakal ada 'lain kali'?"
Brietta mengangkat bahunya, "Ya siapa tau aja ya kan?"
Rado tidak menyahut, diseruputnya teh lemon buatan Brietta perlahan.
"Do, maafin semua ucapan orangtua gue ya," ucap Brietta tiba-tiba setelah jeda cukup lama.
"Mereka ngga salah apa-apa lagi, Bri. Wajar kalau orangtua mau ngasih yang terbaik buat anaknya. Anggap aja itu sebagai proteksi dini dari orangtua lo."
"Tetep aja gue ngga ngerasa enak sama lo. Mereka bersikap seolah kita udah ada apa-apa aja. Padahal nyatanya kan ngga gitu."
"Hmm, jadi lo emang cuma nganggap gue sebagai teman biasa aja ya."
Brietta tercenung, "Lah, lo maunya kita bisa lebih dari itu emangnya?"
Rado tidak menjawab, namun Brietta bisa membaca dari ekspresi wajahnya.
"Dulu orangtua gue pernah kayak begini juga. Waktu gue masih kelas 2 SMA." Brietta meneguk teh lemonnya, "Dan cowok yang lagi sial itu namanya Yusuf."
Rado mendengarkan Brietta antusias.
"Gue sama Yusuf teman satu kelas, bisa dibilang akrab sih karena sering dapat kelompok yang sama. Bahkan teman-teman lain sampe nyomblang-nyomblangin gue sama dia. Berhubung gue waktu itu gampang baper, jadi ya gue mulai ngerasa naksir beneran sama dia. Cuma Yusuf sendiri, gue ngga tau dia gimana sama gue.Gue ngga pernah nanya apa dia suka sama gue atau engga, yang gue tau cuma dia suka berteman sama gue.", Brietta tersenyum mengingat ceritanya.
"Sampai suatu ketika gue baru ngeh kalau ternyata dia suka sama gue. Yusuf itu orangnya super polos, masih kayak anak kecil sikapnya. Jadi dia ngga tau gimana caranya ngungkapin apa yang dia rasain ke gue. Yang dia lakuin cuma ngisengin gue, gangguin gue, ngejahilin gue, tapi di satu sisi dia bisa jadi orang yang baik dan perhatian banget sama gue. Di situlah gue tau, kalau dia punya rasa yang sama kayak gue. Tapi begonya, dia ngga pernah ngeh sama kalung gue.", Brietta menghela napas panjang.
"Yusuf itu orang yang taat beribadah, dia selalu usahain salat tepat lima waktu, kayak elo. Di manapun dia berada, kalau sudah waktunya buat salat, dia pasti cari tempat buat salat. Dan begonya lagi, saat itu dia dan beberapa teman lagi main ke rumah gue. Sekitar jam setengah empat, dia izin ke belakang, waktu itu gue ngga ngeh dong dia mau ngapain. Dan ternyata dia ketemu nyokap gue yang lagi bikin cemilan di dapur, dan dia nanya ke nyokap gue di mana tempat buat salat dan di mana arah kiblatnya. Dan lo tau jawaban apa yang nyokap gue kasih waktu itu? Nyokap gue malah nanya balik, "Kiblat itu apa?"", Brietta terkikik geli mengingatnya.
"Setelah itu nyokap langsung interogasi gue. Nanya siapa Yusuf dan apa hubungannya sama gue? Ya gue jawab aja kalau kami teman dekat di sekolah. Dan lo bisa nebak sendiri gimana kelanjutannya setelah itu."
"Nyokap lo ngelarang lo deket sama Yusuf?", Rado menebak.
"Yep.", Brietta mengangguk, "Nyokap bilang kalau lebih baik gue ngga usah dekat-dekat lagi sama dia. Alasannya karena kami ini berbeda dan kami ngga akan bisa jadi sama. Nyokap takut kalau ini diterusin bakal berakibat buruk buat gue sendiri. Dia ngga mau pengalaman pahitnya terulang sama gue."
Rado tercenung, "Pengalaman pahit nyokap lo?"
"Ya, dia pernah pacaran sama mualaf. Tadinya orang itu Katolik juga, sama kayak nyokap. Cuma begitu udah pacaran selama tiga tahun, mereka putus. Kata nyokap karena tiba-tiba orang itu mutusin buat jadi mualaf. Nyokap kecewa berat, padahal dia sayang banget sama itu orang. Tadinya nyokap bersikeras mau mempertahankan hubungan di tengah perbedaan itu, cuma orangtua nyokap menentang keras. Mereka bilang buat apa menjalin hubungan dengan orang yang berbeda agama sedangkan yang satu agama aja banyak. Yah, ngga lama nyokap ketemu bokap dan nikah deh. Jadi ketauan kan kalau yang pacaran lama belum tentu berjodoh. Apalagi yang beda agama."
Rado mendengus, "Tapi banyak loh yang beda agama tetap berjodoh"
"Nah, kalau yang itu udah jadi urusan Tuhan. Kita kan sebagai manusia ngga pernah tau segala rancanganNya."
"Lo kalau kayak gini keliatan pinter loh, Bri", puji Rado setengah meledek.
"Iya, pinter nyinyir!"
"Tapi, Bri..", ucap Rado begitu tawanya reda. "Gue beneran suka sama lo asal lo tau aja."
Brietta mengangguk, "Gue tau, lo kan pernah bilang kalau lo suka sama gue karena muka gue mirip Laura Basuki, kan?"
Rado terkekeh, "Iya muka lo emang cantiknya kayak dia. Cuma bedanya di nasib doang, dia bisa jadi artis film terkenal sedangkan lo cukup jadi artis radio kampus aja."
"Dan lo kalau lebih modis dikit, lo keliatan kayak Fedi Nuril loh," Brietta terbahak.
"Lah? Katanya mirip Vino G Bastian?"
"Ah, dia kecakepan, mana muka rada bule gitu. Muka lo apanya yang bule? Bulepotan iya!"
Rado dan Brietta tertawa lepas, seakan mengabaikan segala sesak menyeruak dalam dada yang sengaja mereka sembunyikan.

"Makasih buat makan malamnya. Ternyata makanan khas Manado enak-enak juga ya?", ucap Rado begitu Brietta mengantarnya ke gerbang.
"Ah, andai lo bisa nyicipin babi panggang buatan nyokap, deuh itu masterpiecenya nyokap tuh!", Brietta mengacungkan kedua jempolnya.
"Bab..ah, okay. Kalau yang itu maaf-maaf aja nih ya", Rado terkekeh.
Brietta balas tersenyum, "Hati-hati pulangnya, ngga usah ngebut lo bawa motor."
"Lah, siapa juga yang suka ngebut?"
"Lo! Ngaku aja deh lo selama bukan gue yang bonceng motor lo, lo ngebut mulu kan bawanya?"
Rado tengsin, kebiasaan buruknya diketahui Brietta.
"Duh, iya iya. Makasih lo buat perhatiannya."
"Ya udah gih sana balik, ini udah jamnya gue nonton drama Korea nih!"
"Yaelah udah tua juga masih demen Korea-Koreaan."
"Bodo! Udah sana balik lo!"
"Duhh, iya Princess Bee yang bawel. Balik dulu ya!"

Brietta memandangi Rado yang berlalu dan menghilang di tikungan. Hatinya mendadak tak karuan. Ada sesak, begitu banyak, sampai rasanya dia tak bisa lagi menahan genangan kecil yang sedari tadi bersiap tumpah di pelupuk matanya.
Begitu dia berbalik badan, dilihatnya sang Mama memandanginya, seolah tau benar apa yang dirasakannya saat ini.
"Maafin Brietta, Ma..", bibir Brietta bergetar. Air matanya tumpah begitu sang Mama memeluknya.


Rado menghentikan motornya di sebuah trotoar sepi. Dipandanginya sekeliling, hanya ada beberapa penjual makanan dan tak banyak orang yang lewat. Tangannya merogoh kantong celanaya, diambilnya handphone dan menekan nomor Baim. Entah kenapa saat ini dia begitu ingin menghubungi temannya yang satu itu.
"Eh, ngapain lo nelpon? Gimana dinner sama camernya? Sukses ngga?", tanya Baim begitu telpon diangkat.
Rado terdiam, mendadak mulutnya terkunci.
"Halo? Rado? Eh, malah diem ini bocah. Di mana lo sekarang?", tanya Baim lagi
"Im..", ucap Rado lirih
"Apaan? Ditanyain lo ada di mana sekarang elah!"
"Im..", bibir Rado bergetar, nafasnya mendadak sesak. Dan sakit.
"Woy! Di mana lo?", kali ini suara Andra yang terdengar.
"Ndraaaaa..",
"Eh? Lo kok ngerengek kayak bayi gitu sih, Do?" tanya Andra lagi. "Di mana lo, nyet?"
"Andraaaaaaa...", tak sadar mata Rado sudah basah. Tangannya memegang dadanya sendiri, semakin air matanya keluar, dadanya terasa semakin sakit.
"Do? Eh, halo? Rado? Woy, di mana lo?"
Rado mengabaikan panggilan kedua temannya. Yang ingin dia lakukan kini hanya menumpahkan segala sesak juga sakit yang begitu luar biasa. Tak peduli jika ada orang yang memandanginya dengan penuh heran.
Malam itu, Rado menumpahkan semuanya, membuang segalanya. Menangis sejadi-jadinya.