Jumat, 29 Agustus 2014

Terjebak Friendzone 2



Akhir pekan yang membosankan. Seharian ini aku Cuma menghabiskan waktu dengan berbaring di tempat tidur, mendengarkan musik lewat laptop yang kubiarkan menyala, berkali-kali mengecek handphone yang sunyi senyap tiada bunyi. Kemana semua temanku? Kenapa tidak ada satupun yang mengajakku pergi keluar atau sekedar mengirimiku pesan. Menyebalkan.
Aku kembali membuka akun Facebook dan melihat lihat isi timeline. Ternyata banyak juga yang mengalami hal serupa sepertiku. Kulihat banyak status yang berisi keluhan karena akhir pekan yang dilalui sendiri, tanpa pacar, tanpa teman karena sibuk dengan pacar. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah postingan foto dari sebuah akun yang aku kenal. Aku sedikit tercengang melihat itu. Foto sepasang cincin lengkap dengan caption ‘Tinggal menghitung hari saja. Sah!’ oleh akun bernama Adi Hariawan. Aku tersenyum sendiri. Akhirnya dia benar-benar menemukan jodohnya sekarang.
Melihat postingan foto itu mendadak ingatanku seperti kembali ke masalalu, ke masa SMA ku lima tahun lalu. Masa dimana aku pernah menyukai orang bernama Adi Hariawan.

Agustus 2009.

‘Oke. Kita ketemu hari ini sepulang sekolah ya!’

Aku melonjak kegirangan begitu membaca pesan singkat dari Awan. Tidak kusangka akhirnya dia mau bertemu denganku setelah cukup lama berkenalan lewat dunia maya.
Aku pun membalas dengan cepat.

‘Oke! Aku tunggu kamu dirumah aku!’ klik send.

Aku pun bergegas lari keluar kelas tanpa menghiraukan panggilan temanku. Aku ingin cepat cepat sampai dirumah dan mempersiapkan diri untuk pertemuan pertamaku dengan Awan. Dan begitu sampai dirumah aku langsung membasuh mukaku, mengganti seragam sekolahku dengan pakaian yang menurutku paling bagus, dan menyiapkan camilan untuk dia. Ya ampun, kenapa aku begitu bersemangat begini? Aku sampai heran sendiri.
Ketika aku sedang menyapu ruang tamu handphone ku berbunyi menandakan ada SMS masuk.

‘Kamu dimana dek? Aku udah di deket gang komplek kamu. Kesini dong!’

Aku terperanjat kaget. Cepat sekali dia sampai? Padahal jarak sekolahnya dengan rumahku cukup jauh. Apakah dia membawa motornya dengan kecepatan tinggi agar bisa segera bertemu aku? Aku tersipu sendiri.
Aku pun membalas

‘Tunggu ya Mas, aku kesana.’

Ya, aku memang memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’ karena umurnya memang selisih dua tahun lebih tua dariku. Dia sudah duduk di kelas 3 SMA, sedangkan aku masih di kelas 1 SMA.
Aku pun berlari kecil menuju gang komplek rumahku, dan menemukan dia berdiri tak jauh dari bengkel mobil. Aku melambaikan tangan padanya, dia melihatku lalu menghampiriku.
Dan inilah Adi Hariawan atau yang akrab dipanggil Awan. Postur tinggi dengan kulit hitam manis, rambut hitam yang tebal, mata bulat, dan sebuah tai lalat kecil diatas bibir mungilnya yang semakin membuatku terpesona. Rasanya senang sekali begitu melihat sosoknya langsung dengan kedua mataku.  Namun ada rasa sedikit kecewa karena dia datang tidak seorang diri.
“Nggak apa-apa kan aku sama temanku? Habisnya aku nggak bawa motor sendiri sih, jadi nebeng sama dia. Sekalian mau kenalan sama kamu juga tuh, Dek.”, ucapnya setelah kami saling berjabat tangan. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum.
“Nggak apa-apa Mas, santai aja. Ya udah ayok kerumah aku.”, ajakku kemudian.
“Ada peyek nggak, Dek?”, tanya Awan sambil berjalan beriringan denganku.
“Mas Awan suka banget peyek ya? Duh, sayang banget lagi nggak ada tuh.”, jawabku.
Dia mengangguk mengerti. “Kalo opak?” tanyanya lagi.
“Nggak ada juga.”
“Kalo rengginang?”
“Enggak juga.”
“Ketan? Dodol? Wajik?”
Aku tertawa kecil menanggapinya. Dia mencubit lenganku.
“Kok malah ketawa?”
“Kamu kayaknya kebanyakan main di tempat orang hajatan deh, sukanya makanan begitu.”, kataku sambil menahan tawa.
“Lah, kamu sih nggak gaul. Itu baru namanya makanan enak, dari pada apa tuh namanya, Burger, Pizza. Lebih enak peyek sama opak, apalagi kalau dimakan sama nasi. Nah kalau burger emang bisa dimakan sama nasi?”
“Tapi kalau ada yang nawarin burger gratis ke kamu juga nggak bakal nolak kan, Wan?”. Celetuk Rendi, temannya dengan setengah mengejek.
Awan tersipu. “Iya sih, hehehee.”
Aku tertawa lagi.
*
Setelah pertemuan pertama itu hubunganku dengan Awan semakin dekat. Dia jadi lebih sering mengirimiku pesan, memberi perhatian, bahkan dia sudah beberapa kali menyambangi rumahku. Pernah suatu hari dia mengirimiku pesan ketika menjelang Magrib, dia ingin bertemu denganku sebentar dengan alasan bosan dirumah karena sedang ada acara. Aku agak terkesima melihatnya, dia mengorbankan waktu kumpul keluarganya demi menemuiku? Aku langsung berpikir kalau ini adalah sebuah sinyal untuk kelanjutan hubungan kami ke depan. Mungkin tak akan lama lagi Awan akan menunjukkan perasaannya yang sebenarnya padaku.

‘Selamat pagi Mami. Selamat belajar ya!’

Sebuah pesan dari Awan yang langsung menggetarkan hatiku pagi itu. Apa artinya ini? Dia sudah mulai berani memanggilku dengan sebutan seperti itu. Bukankah sebutan itu biasanya dipakai oleh sepasang kekasih? Lalu apa artinya.. Ah sudahlah. Aku tunggu saja apa yang akan terjadi berikutnya. Semoga harapku tidak meleset.
Ketika hendak membalas aku baru ingat kalau pulsaku belum kuisi ulang semalam. Aku menepuk jidatku sendiri. Kenapa bisa sampai lupa begini?
“Olla, PR Matik kamu udah kelar belom?”, tanya Nindy teman sebangku yang baru datang di kelas.
“Udah. Nih.”, jawabku sekenanya seraya melempar buku Matematikaku padanya. Aku tau persis jika Nindy bertanya demikian, artinya dia mau menyalin PRku. Kemudian muncul ide dibenakku.
“Eh, Nin, pinjem hapemu bentar dong. Aku mau bales SMS gebetan aku tapi pulsanya abis.”, kataku sambil merogoh saku roknya.
“Ih Olla sabar napa sih! Lagian itu hapeku ada di tas tuh.”, kata Nindy sambil tetap menyalin PR Matematikaku.
Aku pun mengambil handphone Nindy dari tasnya dan segera menggunakannya untuk membalas SMS dari Awan.

‘Mas, Ini Olla pake nomornya temen. Pulsa aku abis, nanti aku SMS lagi kalau udah beli pulsa ya. Mas jangan balas lagi ke nomor ini. oke? Selamat belajar juga Papi.’

Aku menggigit bibir bawahku. Ya ampun, apa yang kuketik barusan? Kira-kira akan seperti apa reaksinya membaca SMSku tadi?
“Kamu barusan SMS siapa sih?”, tanya Nindy begitu selesai menyalin PR.
“Cowok. Hihi.”, jawabku sambil terkikik.
“Ciyee, udah jadian?”, Nindy mengambil handphonenya yang tergeletak diatas meja. “Eh dia bakal balas lagi nggak nih? Kalau masih SMSan pake aja dulu.”
“Ah udah nggak usah. Eh makasih ya Nin.”, kataku.
“Eh, udah jadian belom? Kayak gimana sih orangnya? Cakep?”, Nindy bertanya dengan lebih antusias.
“Ya belom sih, tapi udah suka sukaan gitu. Orangnya nggak terlalu cakep, tapi imut-imut, kulitnya hitam manis.”
“Coba mana liat fotonya sini? Ada nggak?”
“Ada sih tapi di Facebook. Kalau mau lihat ya cek aja sendiri. Tapi jangan sampai naksir ya, awas lo!”
“Duh, iya iya deh. Apa nama Facebooknya?”
*
Ada yang aneh. Ini sudah hari kedelapan Awan tidak menghubungiku secara intens seperti sebelumnya. Aku ingin bertanya apa ada sesuatu yang terjadi padanya, namun aku terlalu canggung untuk mengiriminya pesan dulu. Karena selama ini dialah yang selalu mengirimiku pesan dengan rutin. Namun kali ini berbeda sekali.
Tak lama kemudian handphoneku berdering. Ada sebuah pesan masuk. Jangan-jangan dari dia!

‘Olla aku mau minta ijin ketemuan sama Awan. boleh kan?’ Nindy.

Aku tercengang membacanya. Apa maksudnya?

‘Kok kamu kenal Awan?’ balasku.

‘Iya udah lama juga aku sama dia SMSan. Dan dia mau ketemuan sama aku hari ini. Tapi aku nggak enak sama kamu, makanya aku minta ijin.’

Aku semakin tercengang membacanya. Jadi selama ini mereka saling berkirim pesan? Kenapa aku baru tau? Otakku merespon cepat, jangan-jangan alasan kenapa Awan jadi jarang menghubungiku karena ada Nindy?

‘Ya udah sana ketemuan. Titip salam ya buat dia.’, balasku dengan perasaan campur aduk.

Aku merasa bingung dengan perasaanku sekarang. Sebenarnya aku tidak ingin Nindy bertemu dengan Awan, namun apa hakku melarangnya? Aku bukan siapa-siapanya Awan. Aku hanya seorang yang menyukainya diam-diam. Namun aku juga takut jika akhirnya Awan memiliki perasaan pada Nindy atau sebaliknya. Aku takut jika pada akhirnya Awan meninggalkan aku yang sudah terlalu menyukainya ini.
*
Suatu siang di tanggal 16, Awan akhirnya mengirimiku pesan.

‘Dek, kita ketemu yuk. Tapi jangan dirumah kamu. Kita janjian di alun-alun aja gimana?’

Aku membalasnya dengan singkat . ‘Oke.’
Entah kenapa ada firasat buruk. Aku merasa kali ini Awan bukanlah Awan yang kukenal dulu. Bukan Awan yang perhatian dan suka melucu di depanku. Bukan Awan yang suka menggombal dan membuatku tersipu malu. Entah apa yang membuat suasana ini berubah. Atau aku yang sudah terlalu tinggi berharap?

30 menit kemudian aku menghampirinya di salah satu bangku kafe tak jauh dari alun-alun kota. Dia tersenyum melihatku. Senyum  yang sama seperti saat pertemuan pertama kami dulu.
“Kamu sehat kan?”, tanyanya seraya mengulurkan tangannya padaku. Aku balas uluran tangannya.
“Sehat kok. Kamu juga keliatannya sehat terus ya.”, Aku pun mengambil kursi dan duduk disebelahnya. “Ada apa nih ngajak aku ketemu disini? Tumben.”
Awan seperti tahu maksudku, dia pun memandangku dengan mata serius.
“Aku jadian sama Nindy, La.”
Mendengar itu aku seperti tersambar petir di siang bolong. Dadaku sesak, jantungku berdebar tidak menentu. Sekujur tubuhku kaku, lidahku ngilu. Dan mulai kurasakan ada genangan kecil di pelupuk mataku.
“Maaf ya baru bilang ke kamu, habisnya Nindy nggak berani bilang sih. Katanya nggak enak.”, Awan berucap dengan santai, seolah diantara kami tidak pernah terjadi apa-apa. Dia terlihat tenang, berbeda denganku yang terlihat sangat kacau.
“Kamu.. kenapa tega?”, tanyaku dengan suara lirih. Mencoba menahan genangan di pelupuk mataku yang tinggal menunggu waktu untuk menetes.
Awan menaikkan alisnya. “Aku tega? Tega gimana ya?”
Aku mendengus. “Masih tanya kenapa? Kamu nggak mikirin perasaan aku gimana, hah?”
“La..”
“Aku tuh suka sama kamu, Mas! Aku suka kamu sebelum kamu kenal Nindy. Tapi kenapa kamu malah jadian sama dia?!”, aku tak lagi mampu menahan emosiku yang meninggi. Air mataku jatuh saat itu juga.
Awan terlihat kaget mendengar pengakuanku. Dia memandangku dengan tatapan tak percaya.
“Aku pikir kita teman biasa, La.”, ucapnya pelan.
“Teman biasa? kalau Cuma teman biasa kenapa kamu memperlakukan aku dengan spesial?”, tanyaku ketus sambil menyeka air mata dipipiku.
“Olla, kayaknya kamu salah paham. Selama ini aku Cuma menganggap kamu sebagai adikku. Bukan berarti aku nggak suka sama kamu, aku suka kok. Tapi sama Nindy aku punya perasaan lebih.”
Aku bergeming. Mencoba mencerna setiap kalimat yang diucapkannya dengan baik. Hanya dianggap adik? Jadi selama ini aku menunggunya dengan sia-sia? Selama ini aku salah menaruh harap padanya? Tapi kenapa dia harus memperlakukan aku begitu baik kalau pada akhirnya terjadi seperti ini?
“Aku minta kamu jangan marah sama Nindy ya. Kalau kamu mau marah, marah aja sama aku. Kamu harus tetap baik-baik sama dia. Oke?”, pintanya sambil memandangku, kali ini dengan senyum tipis.
Aku menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang.
“Makasih buat kejujuran kamu, aku pulang dulu.”
Aku pun bangkit dari tempat dudukku, berlalu meninggalkannya dengan membawa segala sesak menumpuk di dada.
*
Agustus 2014

“Nindy!”, panggilku dengan volume pelan pada Nindy yang tengah menyalami para tamu. Dia menolehku dan langsung menghampiriku.
“Olla, aku kira kamu nggak bakal dateng ke nikahan aku.”, katanya setengah tidak percaya.
“Maaf ya aku datengnya telat. Maklum banyak tugas kuliah.”, ucapku beralasan.
Nindy tersenyum sambil merangkul lenganku, mengajakku untuk bertemu dengan suaminya.
“Acaranya kok kelar cepet banget sih, Nin? Cuma akad nikah doang?”, tanyaku sambil melirik Nindy yang belum membersihkan make-up namun masih mengenakan kebaya pengantinnya.
“Iya, baru akad nikah doang, resepsinya besok siang. Kamu harus dateng lho, La.”
“Besok siang? Wah, aku nggak janji ya Nin. Ada kelas deh kayaknya.”
“Ah, aku ngambek pokoknya kalau kamu nggak dateng!”, Nindy memasang tampang cemberut. Aku menoyor hidungnya.
“Dasar manja! Eh mana suami tercintamu? Nggak nyangka ya akhirnya kamu nikah sama dia juga.”
Nindy tersenyum. “Nah, tuh dia orangnya.”, tunjuknya pada lelaki tinggi yang tengah berbincang dengan beberapa tamu.
“Mas Afan! Sini ada yang mau kenalan sama kamu.”, panggil Nindy pada laki-laki itu. Diapun menoleh kemudian menghampiri kami.
“Nah, Olla. Ini suami aku, namanya Rifandi, tapi dipanggil Afan. Sayang, dia temen sebangku aku waktu SMA, namanya Olla.
Aku dan Afan pun bersalaman.
*
“La, kamu tau kalau mas Awan juga mau nikah?”, tanya Nindy sambil memberikan minuman padaku.
Aku sedikit tercengang. Ini agak aneh, karena dulu kami memiliki persoalan asmara dan kini dia menanyakan orang yang sama-sama kami sukai dulu.
“Iya aku udah tau dari Facebooknya. Calonnya cantik juga ya.”, jawabku seadanya. “Aku kira dia bakal nikahnya sama kamu.”
Nindy tertawa kecil. “Yaelah, jodoh mah nggak ada yang tau, La.”
Aku ikut tertawa kecil menanggapinya. Dan kini aku merasa ada kelegaan yang luar biasa. Ya, karena aku masih bisa tetap berteman baik dengan Nindy setelah semua yang terjadi. Aku pun masih sempat beberapa kali bertemu Awan, namun kami hanya sekadar menyapa seadanya. Tapi tidak masalah, perasaanku pada Awan hanyalah perasaan lama yang harusnya tidak perlu diumbar lagi. Kisahku dengan Awan dan Nindy kini hanyalah kenangan masa SMAku. Aku pun tidak perlu menoleh kebelakang lagi, aku tidak perlu mempermasalahkan apa-apa lagi. Karena nyatanya kini baik Awan maupun Nindy telah memiliki jodohnya masing-masing.
Lalu, kapan jodohku akan tiba?

Rabu, 27 Agustus 2014

Kembali



Terkadang aku tidak paham dengan apa yang dipikirkan oleh sahabatku, Alin. Dia orang yang penuh kejutan dengan berbagai celetukannya yang terdengar begitu aneh. Apa yang sudah dia putuskan sebelumnya, tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan sekarang. Ketika awalnya dia mengatakan A, namun yang terjadi malah B. Dan dengan polosnya dia mengakui sifat plinplannya.
“Setiap orang kan bisa berubah pikiran sewaktu-waktu, Gi. Kemaren itu aku ngerasa udah mantap putus sama Bobby, tapi nyatanya dia nunjukkin perhatiannya lagi sama aku.”
“Tapi apa Cuma dengan alasan itu doang kamu akhirnya nerima dia kembali setelah segala kekecewaan yang dia kasih buat kamu, hah?”, tanyaku dengan nada kesal.
“Aku Cuma ngasih kesempatan dia untuk memperbaiki hubungan kami. Salahnya dimana?”
“Salahnya? Kamu ngasih kesempatan berkali-kali pada orang yang tidak menghargai apa arti diberi kesempatan, Lin. Pikir baik-baik, berapa kali dia minta kesempatan yang sama dan berapa kali dia ngecewakan kamu? Harusnya kamu nggak usah mempertahankannya lagi, buat apa coba?”
Alin menghela napas pelan. “Aku masih terlalu sayang sama Bobby, Gi.”
“Sayang?!”, aku menggeleng keras, “Kamu masih bisa bilang sayang setelah apa yang dia lakukan ke kamu selama ini? Buka mata kamu, Alin! Bobby mengkhianati kamu, bukan Cuma satu kali Lin, tapi berkali-kali dan dengan orang yang sama! Dan kamu masih bisa bilang sayang? Gila ya!”.
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di otaknya itu. Apa memang cinta sebuta itu? Atau logika yang terlalu lemah melawan hati? Terdengar begitu konyol.
“Kamu bisa bilang begitu karena kamu nggak pernah ada di posisi aku, Gi. Coba kalau kamu merasakannya sendiri, mungkin bakal seperti aku juga.”, ucap Alin pelan. Aku memperhatikan matanya yang berkaca-kaca. Terlihat sedih namun dia tetap berusaha bertahan dengan itu. Seolah tidak berani mencoba mencari bahagia dengan yang lain. Dia tetap terpaku pada sosok Bobby yang sudah empat tahun menemaninya, juga mengkhianati kepercayaannya.
“Kalau aku mengalami masalah yang sama, aku nggak akan seperti kamu yang mudah dibodohi dengan kata-kata manis, Lin. Nggak segampang itu ngasih kesempatan kedua untuk orang yang udah jelas-jelas mengkhianati kita. Kita sebagai cewek harusnya nggak selemah itu, kita harus pake logika kita baik-baik.”
Alin meringis, “Dimana-mana tuh antara hati sama logika tetap hati yang menang, Gi. Logika menang hanya sesaat, setelah itu yang ada malah penyesalan.”
“Hah? Siapa yang menciptakan teori itu sih? Konyol tau nggak.”
“Kamu masih ingat sama Dio?”
Aku tersentak. Kenapa tiba-tiba Alin menyebutkan nama yang dengan susah payah aku enyahkan itu?
“Apaan sih, Lin? Jangan mengalihkan pembicaraan deh.”
“Tuh, kamu masih ingat kan sama dia?”, Alin menunjuk wajahku sambil tertawa kecil. “Nggak usah bohongin diri sendiri, Gi. Kamu masih sayang kan sama dia?”
Aku bergeming. Kalimat terakhir Alin begitu menohokku.
Ya, tapi benar sih. Aku memang masih terlalu sulit untuk melupakan seorang laki-laki bernama Dio. Dia dan aku berpisah setahun yang lalu karena alasan jarak. Aku pikir semuanya akan berjalan baik meski kami terpisah jarak jauh, namun ternyata begitu kami jalani, tak semudah yang dibayangkan.
Akhirnya kami berdua memutuskan mengakhiri hubungan tepat di bulan ketujuhbelas kami bersama. Disaat itu kami berdua berjanji untuk tetap saling menjaga komunikasi, tetap berteman baik, namun yang ada dia malah menghindariku. Dia selalu mengabaikan pesan singkat yang kukirimkan, dia enggan menerima telpon dariku, bahkan ketika dia kembali dari luar kota, dia tidak terpikir untuk menemuiku. Aku merasa kacau atas itu semua. Aku selalu bertanya pada diriku sendiri, apa salahku padanya? Apa yang membuatnya begitu tidak mengacuhkan aku? apa dia terlalu kecewa dengan perpisahan ini? Namun bukankan dia juga mengakui bahwa hubungan jarak jauh itu terlalu sulit?
Setelah dua bulan kami berpisah, aku akhirnya memutuskan untuk tidak lagi peduli apapun tentangnya. Aku pikir, untuk apa mempedulikan orang yang tidak pernah menghargai kepedulian dariku? Untuk apa masih tetap menyimpan rasa untuk orang yang jelas-jelas mengabaikan aku? Tidak peduli seberapa banyak kenangan kami berdua, tidak peduli dengan perasaan cinta yang ada, aku harus berpindah hati sesegera mungkin.
Ya, namun tetap saja, praktek tidak semudah teorinya. Sampai saat ini, setelah satu tahun aku berpisah dengan Dio, aku masih saja belum bisa benar-benar lupa padanya. Aku bahkan cenderung menutup hatiku pada laki-laki yang mencoba mendekati. Aku merasa tidak yakin jika harus menjalin hubungan kembali dengan laki-laki lain. Aku masih terlalu takut untuk merasa kecewa kembali.
Aku menghela napas panjang. Mataku kembali memandang Alin.
“Terserah lah kamu mau berbuat apa dengan hatimu itu. yang penting kalau Bobby mengkhianati kamu lagi, kamu jangan nangis dan curhat sama aku. Oke?”
“Kok gitu sih?”
“Aku malas nanggapin orang yang bandel dan keras kepala kayak kamu, Lin. Mending kalau keras kepalanya dalam hal baik, kamu ini keras kepala namun dalam hal yang keliru.”
“Gia jangan gitu kali, Gi.”, Alin menarik ujung kaosku sambil merengek.
“Bodo amat, aku nggak mau peduli lagi. Udah ya, aku pulang. Urus masalah kamu sendiri.”, aku beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu. Namun tiba-tiba tangan Alin menarikku.
“Aku ngasih kesempatan ke Bobby karena dia janji nggak akan ngulangin kesalahan yang sama lagi. Dan aku percaya sama dia.”
Aku menepis tangan Alin, “Terserah.”, tukasku kemudian berlalu.
*
Mataku menangkap sosok laki-laki berdiri di depan gerbang tempat kosku. Entah kenapa aku langsung merasa ada firasat buruk. Namun muncul seseorang dari tempat kosku, dan dia pun pergi dengan laki-laki itu. Ah, mungkin dia pacar teman satu kosku.
Aku pun melangkahkan kaki kembali, namun ketika hendak membuka gerbang aku merasa ada suara motor melaju kearahku. Aku menoleh.
Dan tepat disaat aku menoleh, si pengendara motor itu membuka helmnya. Aku tersentak.
“Hei. Aku kira kamu udah pindah kos.”, sapanya dengan senyum lebar. Dio.
Entah kenapa perasaanku jadi aneh ketika kembali bertatap muka dengannya setelah satu tahun lebih tidak bertemu. Beberapa minggu yang lalu aku sempat melihatnya di sebuah kafe, namun aku hanya melihatnya, rasanya enggan sekali menyapanya setelah apa yang sudah dia lakukan padaku.
Namun kali ini, suasananya sungguh berbeda. Apa karena cuaca hari ini cerah lalu berdampak pada perasaanku terhadap dia? Kurasa bukan begitu.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. “Ngapain pindah? Kos ini terlalu sayang untuk ditinggalkan.”
“Gitu ya?”, dia mengangguk pelan seraya menghampiriku.
“Kita ngobrol di dalam aja ya.”, ajakku seraya membuka gerbang.

“Ternyata nggak ada yang berubah ya? Kos kamu masih kayak dulu, mirip kapal pecah. Berantakan bukan main.”, celetuk Dio begitu masuk ke kamar kos ku. Dia berjalan mengamati setiap sudut ruangan sambil berdecak heran.
Aku mendengus. Dia memang suka melebih-lebihkan kenyataan yang ada, karena nyatanya kamar kosku tidak seberantakan yang dia bilang. Aku hanya terkadang malas menyapu dan menata meja belajarku. Aku lebih suka membiarkan buku-buku tergeletak di sembarang tempat, aku malas menaruh di rak karena aku akan kembali membacanya.
“Kamu kesini Cuma mau ngomentarin kamar aku doang?”, tanyaku sambil memberikan satu kaleng Cola dingin padanya.
Dio menggeleng seraya menerima Cola dariku. “Jangan jutek gitu, lah.”
Aku memandang Dio dengan seksama. Tidak ada yang berubah dari dirinya, dia masih terlihat seperti satu tahun lalu. Tubuh kurus yang tidak terlalu tinggi, rambut ikal, kulit cokelat, bibir tebal, sepatu converse, dan jaket merah itu, entah kenapa dia suka sekali memakainya. Dulu aku sering meledeknya karena tidak pernah mengganti jaket merahnya dengan yang lain.
“Apa kamu nggak punya jaket selain ini?”, tunjukku pada jaket merahnya.
Dio tersenyum, “Kalau udah jadi favorit itu susah untuk digantikan dengan yang lain. Meski banyak jaket bagus diluar sana tapi tetap Cuma ini yang paling nyaman.”
“Padahal jaket murahan.”, timpalku.
“Eh, masih inget aja kamu.”
Ya jelas saja aku ingat. Karena jaket itu adalah kado ulangtahun dariku ketika umurnya genap 18 tahun. Aku membelinya di sebuah pasar malam tak jauh dari tempat kosku. Saat itu aku tidak terpikir untuk memberikan Dio kado karena uang sakuku mulai menipis ditanggal tua. Namun ketika melihat jaket merah itu, aku merasa yakin Dio akan cocok jika memakainya. Dan tidak kusangka, jaket itu sekarang masih saja dikenakannya.
“Lucu banget pas aku buka kado dari kamu eh ternyata label harganya masih nyangkut. Pas aku lihat ternyata harganya Cuma 30ribu.”, Dio terkekeh.
“Udah aku bilang kalau aku buru-buru waktu bungkus itu, aku nggak merhatiiin masih ada label harganya. Udahlah jangan ungkit itu lagi.”, kataku sedikit malu.
Dio mengangguk pelan kemudian mengikutiku duduk di tepi tempat tidurku.
“Kamu baik-baik aja kan, Gi?”, tanya Dio sambil memandangku.
“Kelihatannya gimana?”, tanyaku balik.
Dio mengamati wajahku dengan seksama. “Kalau dari yang aku lihat sih baik-baik aja. Malah aku rasa kamu tambah cantik lho, Gi. Lagi jatuh cinta ya?”
Aku mendengus. “Jatuh cinta? Boro-boro. Aku lagi nggak mikirin soal itu sekarang.”
“Kenapa?”
“Ya karena lagi nggak pengin mikirin itu aja.”
Dio mengangguk dan tidak bertanya lagi.
Aku memandangnya. Kenapa dia harus datang kembali? Buat apa? Setelah sekian lama aku berusaha mengenyahkan namanya dari hatiku,  dia justru datang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ini aneh. Perasaanku makin tidak menentu sekarang.
“Gia..”, ucap Dio setelah keheningan panjang.
“Kenapa?”
“Kamu masih ingat saat kita mutusin untuk pisah? Kita bicara panjang lebar, berusaha mencari jalan keluar dari permasalahan, namun pada akhirnya kita sampai di titik perpisahan.”
Aku tercengang. “Kenapa kamu tiba-tiba bicara soal itu?”
“Jujur aja Gi, aku Cuma masih merasa keputusan kita dulu terlalu sulit untuk aku terima. Bahkan sampai saat ini, aku masih berharap itu Cuma mimpi.”
“T-tunggu. Kamu kok..”
“Maaf ya, aku dulu banyak cuekin kamu, nggak menanggapi semua SMS ataupun telpon dari kamu. Saat itu aku benar-benar lagi kacau.”
“Dio..”
“Kamu lihat jaket ini, aku selalu memakainya kapanpun dimanapun. Aku nggak pernah mau lepas dari dia. Aku punya banyak koleksi tapi Cuma ini yang paling nyaman buat aku.”, Dio mengehela napas pendek. “Sama seperti kamu, Gi. Aku udah terlalu nyaman sama kamu sampai aku merasa tidak bisa melepaskan kamu. Jujur aja aku menyesal atas keputusan kita dulu, harusnya kita nggak pisah secepat itu.”
Lagi-lagi aku tercengang. Apa maksudnya ini? Jadi selama ini Dio menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya? Jadi dia tidak benar-benar ingin mengabaikan aku?
“Tapi kemudian aku berpikir mungkin apa yang kita putuskan adalah yang terbaik untuk kita berdua. Mungkin jika tetap memaksakan keadaan yang ada malah akan memperkeruh suasana. Pada akhirnya aku Cuma bisa berusaha untuk merelakan kamu, Gi. Aku selalu berharap kamu bisa dapat yang lebih baik dari aku.”
“Yo..”, aku menggigit bibir bawahku.
“Hm?”
“Kamu masih punya perasaan yang sama seperti dulu sama aku?”tanyaku dengan suara yang sedikit bergetar.
Dio tercengang kaget.
“Apa kamu terpikir kita bisa kembali seperti dulu? Apa segala yang kamu rasakan dulu masih ada sampai sekarang?
“Itu.. aku nggak yakin, Gi.”
“Kenapa?”
Belum sempat Dio menjawab, terdengar dering handphone dari saku celana Dio.
“Aku angkat ini dulu ya, Gi.”, Dio pun beranjak keluar kamar kosku.
Aku mengamatinya, dan tiba-tiba ada perasaan aneh. Sekilas terlintas di kepalaku wajah Alin yang polos ketika mengatakan dia kembali pada pacarnya. Namun aku juga merasakan firasat buruk. Tunggu. Perasaan macam apa ini?
“Siapa yang telpon, Yo?”, tanyaku begitu Dio masuk ke dalam kamarku lagi.
“Ah itu. Pacar aku, Gi.”
Aku merasa ada suara petir menggelegar tepat di belakang kepalaku.
*
Alin menghampiriku di kafetaria kampus dengan wajah sumringah. Dan tanpa rasa berdosa dia mengambil cokelat yang tengah aku makan.
“Wey! Ini anak!”, aku kontan menepuk tangannya keras.
“Buat aku aja ya coklatnya, kamu beli lagi aja. Oke, aku pulang dulu ya!”, aku buru-buru menarik tangannya sebelum dia pergi.
“Eeehh! Udah ngambil cokelat orang seenaknya, langsung ngacir aja. Buru-buru amat sih? Mau kemana?”
“Bobby ngajak aku buat ketemu sama orangtuanya, Gi! Kamu percaya nggak?”
Aku tercengang. “Hah? Seriusan?!”
“Sumpah nggak bohong! Ya udah aku duluan ya Gia sayang!”, Alin pun berlalu dengan meninggalkan sisa cokelat ditanganku.
Aku meringis. Awalnya aku mengira kesempatan yang Alin beri pada pacarnya akan berakhir sia-sia, namun kurasa aku salah. Sudah hampir satu bulan mereka kembali berpacaran, dan selama itu Alin tidak pernah bercerita tentang kejelekan Bobby seperti sebelumnya. Alin justru bercerita bahwa Bobby benar-benar berubah jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahkan kali ini dia berani membawa Alin pada orangtuanya. Ya, baguslah. Aku ikut senang.
Tiba-tiba aku teringat pertemuanku dengan Dio. Saat mendengar dia mengatakan bahwa dia menyesal dengan keputusan kami dulu, aku merasa ada peluang untuk kami bisa kembali. Namun pada akhirnya dia mematahkan harapku dengan mengatakan bahwa dia telah memiliki kekasih lagi. Aku merasa kacau dan aneh pada diriku sendiri.
Mungkin aku sedang dihukum karena sudah menyepelekan sikap Alin yang memberikan kesempatan kembali pada pacarnya. Aku selalu berpikir bahwa apa yang sudah putus tidak seharusnya disatukan lagi. Namun ketika kejadian serupa terjadi padaku, ketika aku merasa harapan kembali itu ada, aku malah tidak mendapatkannya.
Apa yang salah dari semua ini? Mungkin tidak ada. Hanya saja kali ini aku tidak beruntung seperti sahabatku.