Akhir pekan
yang membosankan. Seharian ini aku Cuma menghabiskan waktu dengan berbaring di
tempat tidur, mendengarkan musik lewat laptop yang kubiarkan menyala,
berkali-kali mengecek handphone yang sunyi senyap tiada bunyi. Kemana semua
temanku? Kenapa tidak ada satupun yang mengajakku pergi keluar atau sekedar
mengirimiku pesan. Menyebalkan.
Aku kembali
membuka akun Facebook dan melihat lihat isi timeline. Ternyata banyak juga yang
mengalami hal serupa sepertiku. Kulihat banyak status yang berisi keluhan
karena akhir pekan yang dilalui sendiri, tanpa pacar, tanpa teman karena sibuk
dengan pacar. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah postingan foto dari sebuah
akun yang aku kenal. Aku sedikit tercengang melihat itu. Foto sepasang cincin
lengkap dengan caption ‘Tinggal menghitung hari saja. Sah!’ oleh akun bernama
Adi Hariawan. Aku tersenyum sendiri. Akhirnya dia benar-benar menemukan
jodohnya sekarang.
Melihat postingan
foto itu mendadak ingatanku seperti kembali ke masalalu, ke masa SMA ku lima
tahun lalu. Masa dimana aku pernah menyukai orang bernama Adi Hariawan.
Agustus
2009.
‘Oke. Kita ketemu
hari ini sepulang sekolah ya!’
Aku melonjak
kegirangan begitu membaca pesan singkat dari Awan. Tidak kusangka akhirnya dia
mau bertemu denganku setelah cukup lama berkenalan lewat dunia maya.
Aku pun
membalas dengan cepat.
‘Oke! Aku tunggu
kamu dirumah aku!’ klik send.
Aku pun
bergegas lari keluar kelas tanpa menghiraukan panggilan temanku. Aku ingin
cepat cepat sampai dirumah dan mempersiapkan diri untuk pertemuan pertamaku
dengan Awan. Dan begitu sampai dirumah aku langsung membasuh mukaku, mengganti
seragam sekolahku dengan pakaian yang menurutku paling bagus, dan menyiapkan
camilan untuk dia. Ya ampun, kenapa aku begitu bersemangat begini? Aku sampai
heran sendiri.
Ketika aku
sedang menyapu ruang tamu handphone ku berbunyi menandakan ada SMS masuk.
‘Kamu dimana
dek? Aku udah di deket gang komplek kamu. Kesini dong!’
Aku terperanjat
kaget. Cepat sekali dia sampai? Padahal jarak sekolahnya dengan rumahku cukup
jauh. Apakah dia membawa motornya dengan kecepatan tinggi agar bisa segera
bertemu aku? Aku tersipu sendiri.
Aku pun
membalas
‘Tunggu ya
Mas, aku kesana.’
Ya, aku
memang memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’ karena umurnya memang selisih dua
tahun lebih tua dariku. Dia sudah duduk di kelas 3 SMA, sedangkan aku masih di
kelas 1 SMA.
Aku pun
berlari kecil menuju gang komplek rumahku, dan menemukan dia berdiri tak jauh
dari bengkel mobil. Aku melambaikan tangan padanya, dia melihatku lalu
menghampiriku.
Dan inilah
Adi Hariawan atau yang akrab dipanggil Awan. Postur tinggi dengan kulit hitam
manis, rambut hitam yang tebal, mata bulat, dan sebuah tai lalat kecil diatas
bibir mungilnya yang semakin membuatku terpesona. Rasanya senang sekali begitu
melihat sosoknya langsung dengan kedua mataku. Namun ada rasa sedikit kecewa karena dia
datang tidak seorang diri.
“Nggak
apa-apa kan aku sama temanku? Habisnya aku nggak bawa motor sendiri sih, jadi
nebeng sama dia. Sekalian mau kenalan sama kamu juga tuh, Dek.”, ucapnya setelah
kami saling berjabat tangan. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum.
“Nggak
apa-apa Mas, santai aja. Ya udah ayok kerumah aku.”, ajakku kemudian.
“Ada peyek
nggak, Dek?”, tanya Awan sambil berjalan beriringan denganku.
“Mas Awan
suka banget peyek ya? Duh, sayang banget lagi nggak ada tuh.”, jawabku.
Dia mengangguk
mengerti. “Kalo opak?” tanyanya lagi.
“Nggak ada
juga.”
“Kalo
rengginang?”
“Enggak
juga.”
“Ketan?
Dodol? Wajik?”
Aku tertawa
kecil menanggapinya. Dia mencubit lenganku.
“Kok malah
ketawa?”
“Kamu kayaknya
kebanyakan main di tempat orang hajatan deh, sukanya makanan begitu.”, kataku
sambil menahan tawa.
“Lah, kamu
sih nggak gaul. Itu baru namanya makanan enak, dari pada apa tuh namanya,
Burger, Pizza. Lebih enak peyek sama opak, apalagi kalau dimakan sama nasi. Nah
kalau burger emang bisa dimakan sama nasi?”
“Tapi kalau
ada yang nawarin burger gratis ke kamu juga nggak bakal nolak kan, Wan?”. Celetuk
Rendi, temannya dengan setengah mengejek.
Awan tersipu.
“Iya sih, hehehee.”
Aku tertawa
lagi.
*
Setelah
pertemuan pertama itu hubunganku dengan Awan semakin dekat. Dia jadi lebih
sering mengirimiku pesan, memberi perhatian, bahkan dia sudah beberapa kali
menyambangi rumahku. Pernah suatu hari dia mengirimiku pesan ketika menjelang Magrib,
dia ingin bertemu denganku sebentar dengan alasan bosan dirumah karena sedang
ada acara. Aku agak terkesima melihatnya, dia mengorbankan waktu kumpul
keluarganya demi menemuiku? Aku langsung berpikir kalau ini adalah sebuah
sinyal untuk kelanjutan hubungan kami ke depan. Mungkin tak akan lama lagi Awan
akan menunjukkan perasaannya yang sebenarnya padaku.
‘Selamat
pagi Mami. Selamat belajar ya!’
Sebuah pesan
dari Awan yang langsung menggetarkan hatiku pagi itu. Apa artinya ini? Dia
sudah mulai berani memanggilku dengan sebutan seperti itu. Bukankah sebutan itu
biasanya dipakai oleh sepasang kekasih? Lalu apa artinya.. Ah sudahlah. Aku tunggu
saja apa yang akan terjadi berikutnya. Semoga harapku tidak meleset.
Ketika hendak
membalas aku baru ingat kalau pulsaku belum kuisi ulang semalam. Aku menepuk
jidatku sendiri. Kenapa bisa sampai lupa begini?
“Olla, PR
Matik kamu udah kelar belom?”, tanya Nindy teman sebangku yang baru datang di
kelas.
“Udah. Nih.”,
jawabku sekenanya seraya melempar buku Matematikaku padanya. Aku tau persis jika
Nindy bertanya demikian, artinya dia mau menyalin PRku. Kemudian muncul ide
dibenakku.
“Eh, Nin,
pinjem hapemu bentar dong. Aku mau bales SMS gebetan aku tapi pulsanya abis.”,
kataku sambil merogoh saku roknya.
“Ih Olla
sabar napa sih! Lagian itu hapeku ada di tas tuh.”, kata Nindy sambil tetap
menyalin PR Matematikaku.
Aku pun
mengambil handphone Nindy dari tasnya dan segera menggunakannya untuk membalas
SMS dari Awan.
‘Mas, Ini
Olla pake nomornya temen. Pulsa aku abis, nanti aku SMS lagi kalau udah beli
pulsa ya. Mas jangan balas lagi ke nomor ini. oke? Selamat belajar juga Papi.’
Aku menggigit
bibir bawahku. Ya ampun, apa yang kuketik barusan? Kira-kira akan seperti apa
reaksinya membaca SMSku tadi?
“Kamu
barusan SMS siapa sih?”, tanya Nindy begitu selesai menyalin PR.
“Cowok. Hihi.”,
jawabku sambil terkikik.
“Ciyee, udah
jadian?”, Nindy mengambil handphonenya yang tergeletak diatas meja. “Eh dia
bakal balas lagi nggak nih? Kalau masih SMSan pake aja dulu.”
“Ah udah
nggak usah. Eh makasih ya Nin.”, kataku.
“Eh, udah
jadian belom? Kayak gimana sih orangnya? Cakep?”, Nindy bertanya dengan lebih
antusias.
“Ya belom
sih, tapi udah suka sukaan gitu. Orangnya nggak terlalu cakep, tapi imut-imut,
kulitnya hitam manis.”
“Coba mana
liat fotonya sini? Ada nggak?”
“Ada sih
tapi di Facebook. Kalau mau lihat ya cek aja sendiri. Tapi jangan sampai naksir
ya, awas lo!”
“Duh, iya
iya deh. Apa nama Facebooknya?”
*
Ada yang
aneh. Ini sudah hari kedelapan Awan tidak menghubungiku secara intens seperti
sebelumnya. Aku ingin bertanya apa ada sesuatu yang terjadi padanya, namun aku
terlalu canggung untuk mengiriminya pesan dulu. Karena selama ini dialah yang
selalu mengirimiku pesan dengan rutin. Namun kali ini berbeda sekali.
Tak lama
kemudian handphoneku berdering. Ada sebuah pesan masuk. Jangan-jangan dari dia!
‘Olla aku
mau minta ijin ketemuan sama Awan. boleh kan?’ Nindy.
Aku tercengang
membacanya. Apa maksudnya?
‘Kok kamu
kenal Awan?’ balasku.
‘Iya udah
lama juga aku sama dia SMSan. Dan dia mau ketemuan sama aku hari ini. Tapi aku
nggak enak sama kamu, makanya aku minta ijin.’
Aku semakin
tercengang membacanya. Jadi selama ini mereka saling berkirim pesan? Kenapa aku
baru tau? Otakku merespon cepat, jangan-jangan alasan kenapa Awan jadi jarang
menghubungiku karena ada Nindy?
‘Ya udah
sana ketemuan. Titip salam ya buat dia.’, balasku dengan perasaan campur aduk.
Aku merasa
bingung dengan perasaanku sekarang. Sebenarnya aku tidak ingin Nindy bertemu
dengan Awan, namun apa hakku melarangnya? Aku bukan siapa-siapanya Awan. Aku
hanya seorang yang menyukainya diam-diam. Namun aku juga takut jika akhirnya
Awan memiliki perasaan pada Nindy atau sebaliknya. Aku takut jika pada akhirnya
Awan meninggalkan aku yang sudah terlalu menyukainya ini.
*
Suatu siang
di tanggal 16, Awan akhirnya mengirimiku pesan.
‘Dek, kita
ketemu yuk. Tapi jangan dirumah kamu. Kita janjian di alun-alun aja gimana?’
Aku
membalasnya dengan singkat . ‘Oke.’
Entah kenapa
ada firasat buruk. Aku merasa kali ini Awan bukanlah Awan yang kukenal dulu. Bukan
Awan yang perhatian dan suka melucu di depanku. Bukan Awan yang suka menggombal
dan membuatku tersipu malu. Entah apa yang membuat suasana ini berubah. Atau aku
yang sudah terlalu tinggi berharap?
30 menit
kemudian aku menghampirinya di salah satu bangku kafe tak jauh dari alun-alun
kota. Dia tersenyum melihatku. Senyum yang sama seperti saat pertemuan pertama kami
dulu.
“Kamu sehat
kan?”, tanyanya seraya mengulurkan tangannya padaku. Aku balas uluran
tangannya.
“Sehat kok. Kamu
juga keliatannya sehat terus ya.”, Aku pun mengambil kursi dan duduk
disebelahnya. “Ada apa nih ngajak aku ketemu disini? Tumben.”
Awan seperti
tahu maksudku, dia pun memandangku dengan mata serius.
“Aku jadian
sama Nindy, La.”
Mendengar itu
aku seperti tersambar petir di siang bolong. Dadaku sesak, jantungku berdebar
tidak menentu. Sekujur tubuhku kaku, lidahku ngilu. Dan mulai kurasakan ada
genangan kecil di pelupuk mataku.
“Maaf ya
baru bilang ke kamu, habisnya Nindy nggak berani bilang sih. Katanya nggak
enak.”, Awan berucap dengan santai, seolah diantara kami tidak pernah terjadi
apa-apa. Dia terlihat tenang, berbeda denganku yang terlihat sangat kacau.
“Kamu..
kenapa tega?”, tanyaku dengan suara lirih. Mencoba menahan genangan di pelupuk
mataku yang tinggal menunggu waktu untuk menetes.
Awan menaikkan
alisnya. “Aku tega? Tega gimana ya?”
Aku mendengus.
“Masih tanya kenapa? Kamu nggak mikirin perasaan aku gimana, hah?”
“La..”
“Aku tuh
suka sama kamu, Mas! Aku suka kamu sebelum kamu kenal Nindy. Tapi kenapa kamu
malah jadian sama dia?!”, aku tak lagi mampu menahan emosiku yang meninggi. Air
mataku jatuh saat itu juga.
Awan terlihat
kaget mendengar pengakuanku. Dia memandangku dengan tatapan tak percaya.
“Aku pikir
kita teman biasa, La.”, ucapnya pelan.
“Teman
biasa? kalau Cuma teman biasa kenapa kamu memperlakukan aku dengan spesial?”,
tanyaku ketus sambil menyeka air mata dipipiku.
“Olla,
kayaknya kamu salah paham. Selama ini aku Cuma menganggap kamu sebagai adikku. Bukan
berarti aku nggak suka sama kamu, aku suka kok. Tapi sama Nindy aku punya
perasaan lebih.”
Aku bergeming.
Mencoba mencerna setiap kalimat yang diucapkannya dengan baik. Hanya dianggap
adik? Jadi selama ini aku menunggunya dengan sia-sia? Selama ini aku salah
menaruh harap padanya? Tapi kenapa dia harus memperlakukan aku begitu baik
kalau pada akhirnya terjadi seperti ini?
“Aku minta
kamu jangan marah sama Nindy ya. Kalau kamu mau marah, marah aja sama aku. Kamu
harus tetap baik-baik sama dia. Oke?”, pintanya sambil memandangku, kali ini
dengan senyum tipis.
Aku menghela
napas panjang, mencoba untuk tetap tenang.
“Makasih
buat kejujuran kamu, aku pulang dulu.”
Aku pun
bangkit dari tempat dudukku, berlalu meninggalkannya dengan membawa segala
sesak menumpuk di dada.
*
Agustus 2014
“Nindy!”,
panggilku dengan volume pelan pada Nindy yang tengah menyalami para tamu. Dia menolehku
dan langsung menghampiriku.
“Olla, aku
kira kamu nggak bakal dateng ke nikahan aku.”, katanya setengah tidak percaya.
“Maaf ya aku
datengnya telat. Maklum banyak tugas kuliah.”, ucapku beralasan.
Nindy tersenyum
sambil merangkul lenganku, mengajakku untuk bertemu dengan suaminya.
“Acaranya
kok kelar cepet banget sih, Nin? Cuma akad nikah doang?”, tanyaku sambil
melirik Nindy yang belum membersihkan make-up namun masih mengenakan kebaya
pengantinnya.
“Iya, baru
akad nikah doang, resepsinya besok siang. Kamu harus dateng lho, La.”
“Besok
siang? Wah, aku nggak janji ya Nin. Ada kelas deh kayaknya.”
“Ah, aku
ngambek pokoknya kalau kamu nggak dateng!”, Nindy memasang tampang cemberut. Aku
menoyor hidungnya.
“Dasar
manja! Eh mana suami tercintamu? Nggak nyangka ya akhirnya kamu nikah sama dia
juga.”
Nindy tersenyum.
“Nah, tuh dia orangnya.”, tunjuknya pada lelaki tinggi yang tengah berbincang
dengan beberapa tamu.
“Mas Afan! Sini
ada yang mau kenalan sama kamu.”, panggil Nindy pada laki-laki itu. Diapun
menoleh kemudian menghampiri kami.
“Nah, Olla. Ini
suami aku, namanya Rifandi, tapi dipanggil Afan. Sayang, dia temen sebangku aku
waktu SMA, namanya Olla.
Aku dan Afan
pun bersalaman.
*
“La, kamu
tau kalau mas Awan juga mau nikah?”, tanya Nindy sambil memberikan minuman
padaku.
Aku sedikit
tercengang. Ini agak aneh, karena dulu kami memiliki persoalan asmara dan kini
dia menanyakan orang yang sama-sama kami sukai dulu.
“Iya aku
udah tau dari Facebooknya. Calonnya cantik juga ya.”, jawabku seadanya. “Aku
kira dia bakal nikahnya sama kamu.”
Nindy tertawa
kecil. “Yaelah, jodoh mah nggak ada yang tau, La.”
Aku ikut
tertawa kecil menanggapinya. Dan kini aku merasa ada kelegaan yang luar biasa.
Ya, karena aku masih bisa tetap berteman baik dengan Nindy setelah semua yang
terjadi. Aku pun masih sempat beberapa kali bertemu Awan, namun kami hanya
sekadar menyapa seadanya. Tapi tidak masalah, perasaanku pada Awan hanyalah
perasaan lama yang harusnya tidak perlu diumbar lagi. Kisahku dengan Awan dan
Nindy kini hanyalah kenangan masa SMAku. Aku pun tidak perlu menoleh kebelakang
lagi, aku tidak perlu mempermasalahkan apa-apa lagi. Karena nyatanya kini baik
Awan maupun Nindy telah memiliki jodohnya masing-masing.
Lalu, kapan
jodohku akan tiba?