Senin, 08 Desember 2014

Seandainya Dulu



“Melupakan tidak semudah mencintai”, ucap seorang penumpang bus yang duduk di sebelahku dengan tiba-tiba. Aku tersentak, kemudian menoleh ke arahnya. Terlihat tangan kirinya tengah menggenggam handphone dengan posisi menggantung pada telinga kirinya. Oh, sedang menelpon. Aku kira dia sedang mengajakku bicara tadi.
“Aku udah berusaha semaksimal mungkin. Cuekin dia, abaikan semua pesan singkat dari dia, selalu nolak kalau dia minta ketemuan, bahkan sekarang aku udah nggak punya akun media sosial biar benar-benar putus komunikasi sama dia, Ki. Aku kurang usaha apa lagi?”, ucap gadis yang duduk di sebelahku itu dengan nada putus asa. Berkali terdengar helaan nafasnya yang berat.
Oke, kenapa aku malah jadi nguping begini? Tapi mau gimana lagi, aku punya dua telinga untuk mendengar, dan dia bicara tepat di sebelahku. Lalu apa harusnya aku pindah tempat duduk lain? Kayaknya nggak mungkin, bus ini sudah penuh dilihat dari banyaknya penumpang yang tidak kebagian kursi. Wajar saja sih, karena saat ini adalah jam pulang kantor. Ya mau tidak mau aku telingaku ini harus mendengar curahan hati seorang gadis-yang-tidak-aku-kenal-dan-tengah-galau-ini.
Gadis berjilbab pink yang kalau dilihat dari wajahnya seumuran denganku ini mendongakkan kepalanya dan terlihat ada tetesan air mata yang jatuh.
Plis deh, sempe-sempetnya dia nangis di dalam bus yang sesak begini.
“Aku capek kalau harus begini terus, Ki. Aku nggak kuat. Hati aku tersiksa kalau dia muncul dan ngilang seenaknya aja. Yang lebih nyakitin lagi ketika aku sadar kalau aku masih terlalu sayang sama dia.”, gadis itu mulai terisak pelan. Sepertinya dia cuek dengan kondisi bus sesak dan tidak peduli ada aku yang duduk di sampingnya yang tengah menatapnya dengan iba.
“Cuma dia yang berhasil bikin aku tersiksa sampai 4 tahun lamanya, Kirana. Cuma dia!”, tukasnya lantang. “Cinta aku ke dia udah terlalu dalam, aku udah banyak berkorban sampai kayak orang bego tau nggak. Saking begonya aku sampai nggak ngerti harus gimana lagi ngadepin dia”, gadis itu mengusap pipinya yang basah. Tapi beberapa detik kemudian dia menoleh padaku, sepertinya dia sadar kalau tengah aku pandangi.
Seketika aku salting, tapi gadis itu Cuma tersenyum tipis padaku. Aku balas dengan senyum canggung.
“Tapi aku sadar aku nggak bisa kayak gini terus, pokoknya aku harus ngelakuin sesuatu.”, terdengar nada bicaranya kini mulai tenang. “Aku sekarang lagi di perjalanan mau ke rumah Sammy, aku mau menyudahi semuanya hari ini juga. Aku mau kami benar-benar selesai, aku nggak mau berurusan sama orang yang udah nyiksa aku itu lagi.”
Ooh, jadi dia yang dari tadi di sebut itu namanya Sammy.
“Seandainya dulu aku nggak jatuh cinta sama dia, aku nggak akan tersiksa kayak gini. Seandainya dulu aku nggak berharap apapun sama orang itu, aku nggak akan ngerasain pahitnya dijatuhin sekeras ini, Ki. Aku kapok, aku nggak mau lagi ngerasain begini.”, gadis itu menghela napas panjang seraya menekan tombol handphonenya mengakhiri pembicaraan kemudian memasukan handphonenya ke dalam tas. Setelah itu dia hanya diam sambil memandang keluar jendela bus.
Ada perasaan canggung selepas menguping pembicaraan orang yang tidak aku kenal ini. Apa harus aku ajak bicara ya?
“Maaf ya, Mbak, kalau barusan saya mengganggu kenyamanan Mbak”, ucap gadis itu tiba-tiba dengan wajah tersenyum. Seolah dia bisa membaca isi hatiku saja.
Aku sedikit tersentak, “Oh? Ah, enggak kok, saya nggak merasa terganggu.”
Gadis itu mengangguk pelan, “Tujuan ke mana, Mbak?”, tanyanya.
“Perum Griya Asri. Mbak sendiri?”
“Loh? Saya juga mau ke sana, Mbak. Mbak tempat tinggalnya di sana?”,
“Iya, saya ngekost di sana. Tepatnya di blok H, komplek kost-kostannya mahasiswa.”
Gadis itu terperanjat, “Blok H? Berarti kenal sama yang namanya Sammy Prastia dong?”
Aku tercenung, “Sammy Prastia? Dia kuliah di Dharma Jaya juga nggak? Yang saya tau sih di komplek itu yang ngekost rata-rata teman sekampus saya doang. Dan saya nggak paham sama yang namanya Sammy Prastia.”, jawabku seadanya.
“Bukan, dia itu bukan mahasiswa. Tapi dia anaknya pemilik kost yang ada di blok H.”
“Yah, saya nggak paham tuh Mbak. Dia temannya Mbak?”
Oke Olla, kamu udah mulai sok akrab sekarang.
“Yaa, bisa dibilang begitu.”, gadis itu menjawab tanpa ekspresi.
Melihat dia begitu aku jadi bingung harus menanggapi bagaimana lagi. Nggak mungkin kan aku nanya-nanya soal si Sammy Sammy itu.
“Mbak namanya siapa?”, tanya gadis itu seraya mengulurkan tangan.
“Olla”, aku membalas uluran tangannya.
“Saya Ardina. Jadi Olla ini mahasisiwi?”
Aku mengangguk pelan seraya berpikir, memangnya dari tampangku ini nggak keliatan wajah-wajah anak kuliahan ya?
“Ambil fakultas apa?”, tanyanya lagi.
“Fakultas Bahasa dan Seni semester lima. Memangnya Mbak Ardina ini..”
“Masih muda ya?”
Aku tersentak. Hah? Masih muda? Lah emang dia sendiri nggak ngerasa kalau masih muda juga ya?
“Saya udah lulus kuliah 3 tahun lalu, dan Alhamdulilah sekarang udah kerja sebagai akuntan di bank swasta.”
Aku tersentak lagi, kali ini dengan sedikit melongo. Jadi, itu artinya..
“Kok kayaknya Olla kaget gitu?”, sepertinya dia menyadari ekspresi mukaku yang kayak orang cengo.
Aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal, “Oh, anu, saya kira Mbak ini seumuran sama saya. Dilihat dari mukanya masih kayak anak kuliahan sih.”, ujarku dengan senyum canggung.
Mbak Ardina tertawa pelan, “Banyak kok yang bilang begitu. Tapi aslinya saya ini udah umur 26 tahun loh. Udah tua, tapi masih aja sibuk menggalau.”
Aku tertawa garing. Bener juga, udah tua masih aja ngegalau di dalam bus.
“Saya juga kadang bingung kenapa saya masih kayak anak SMA begini kalau udah berurusan soal asmara. Temen-temen saya juga pada bilang kalau ketidakdewasaan saya terlihat kalau sedang patah hati. Ya kayak sekarang ini. Kamu lihat sendiri kan tadi saya nangisin cowok?”, Mbak Ardina tertawa pelan, seolah menertawai ketidakdewasaannya sendiri.
“Yah, namanya juga urusan hati, Mbak. Kadang emang susah untuk dikontrol”, ujarku dengan sotoy.
“Olla pernah patah hati?”
Aku mengangguk, “Bukan pernah lagi, sering.”
“Patah hatinya bukan karena putus cinta, tapi karena cowok yang kamu sayangi setengah mati ninggalin kamu demi cewek lain. Pernah?”
Aku mengangguk, kali ini lebih keras. “Pernah. Banget.”
Oh, okay. Mbak Ardina membuatku kembali teringat pada sosok Irham.
Mbak Ardina meringis, “Sakit banget ya?”
“Bukan ‘banget’ lagi Mbak. Rasanya udah kayak nggak tertolong lagi lah. Seolah nggak ada obat buat nyembuhinnya.”
Yak! Resmilah aku curhat dengan orang yang baru aku kenal. Kenapa aku tiba-tiba jadi tertular sifat extrovert orang ini?
“Griya Asri! Griya Asri!”, tiba-tiba terdengar suara kernet bus yang membuat percakapanku dengan Mbak Ardina terhenti.
“Udah sampai, yuk turun”, kata Mbak Ardina. Kami berdua pun beranjak dari kursi penumpang kemudian turun dari bus.
Percakapan pun berlanjut di sepanjang jalan menuju blok H.
“Jadi Mbak bela-belain pulang kerja langsung ke sini demi ketemu orang itu?”, tanyaku sambil berjalan beriringan dengan Mbak Ardina.
Dia mengangguk, “Ya selagi ada kesempatan kenapa enggak? Saya Cuma takut bakal lebih menyesal karena nggak menyelesaikannya sekarang.”
“Mbak menyesal karena udah mencintai dia atau..”
Olla, plis jangan sotoy!
Mbak Ardina mengangkat bahu, “Kadang saya bingung sendiri, sebenarnya saya ini menyesal karena udah dipertemukan dengan dia atau saya menyesali perbuatan saya sendiri. Saya nggak bisa membedakan itu, rasanya sama aja. Yang saya rasakan ya hanya itu, penyesalan yang entah karena apa.”
“Lalu, apa yang bakal Mbak lakukan kalau udah bertemu sama dia?”
“Saya bakal ungkapin apapun yang saya rasakan selama ini sama dia. Saya pengin dia tahu kalau saya benar-benar tersiksa karena dia. Saya pengin nunjukin betapa capeknya saya berusaha lupain dia tapi dia malah datang dan pergi seenaknya saja. Saya pengin dia sadar kalau dia udah terlalu jahat mempermainkan saya. Pokoknya saya nggak mau berurusan lagi dengan dia, saya mau kami benar-benar selesai.”, kata Mbak Ardina tegas.
“Mbak mau putus komunikasi selamanya sama dia?”
Mbak Ardina mengangguk, “Iya. Cuma ini satu-satunya cara biar saya nggak merasa tersiksa lagi.”
“Apa nantinya Mbak nggak akan menyesal?”
Gadis berjilbab itu tersenyum tipis, “Kenapa harus menyesal? Justru kalau saya nggak melakukan ini, baru saya menyesal.”
*
Aku melempar kunci kamar kostku ke meja belajar seraya merebahkan badan ke tempat tidur. Mataku memandang langit-langit kamar dengan nanar. Entah kenapa ada perasaan aneh yang menyelimuti semenjak pertemuanku dengan Mbak Ardina. Mendengar kisahnya yang tak jauh beda denganku, melihat sikapnya yang tegas pada keputusannya, membuatku seketika berpikir tentang masalahku sendiri.
Ya, tentu saja masalah perasaanku pada Irham yang tak pernah ada habisnya.
Jika Mbak Ardina berani memutuskan untuk menyudahi masalah dengan cara mengutarakan semua yang dia rasakan pada orang yang begitu ia sayang, lalu apakah aku harus melakukan hal yang sama? Ah, jujur saja aku tidak memiliki keberanian untuk memutuskan seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika akhirnya aku benar-benar kehilangan kontak dengan Irham. Meski rasanya tersiksa, tapi aku tidak pernah terpikir untuk memutuskan tali silaturahmi diantara kami. Aku hanya bersikap cuek di depannya, bersikap seolah aku tidak peduli padanya lagi, namun di dalam hati aku begitu peduli. Iya, terdengar munafik memang.
Selama ini aku tidak pernah menghubungi Irham lebih dulu, selalu dia yang menanyakan bagaimana kabarku. Dan aku tidak pernah lagi meminta Irham untuk tidak lagi menghubungiku seperti dulu saat aku masih bersama Odie. Kini yang aku lakukan hanyalah membiarkannya datang dan pergi seenaknya.
Karena aku sadar, aku tidak punya hak apapun untuk melarangnya ini itu. Siapalah aku ini baginya?
Aku mengambil handphone yang tergeletak di tepi bantal dan segera membuka aplikasi BBM. Ada personal messenger dari Irham yang tertulis ‘biar aku jaga rasa ini meski tanpamu..’.
Aku tercenung, apa maksudnya ini? Apa berarti Irham sudah berpisah dengan pacarnya? Eh, lalu kenapa kalau dia putus, apa berarti aku dan dia bisa dekat lagi seperti dulu?
Ah, aku rasa tidak. Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menaruh harap apapun pada dia.
Aku memandangi display picture Irham, foto dirinya yang tengah tersenyum lebar. Tampan sekali. Pantas saja aku tidak bisa melupakan wajahnya. Payah!
Tiba-tiba aku teringat ucapan Mbak Ardina saat menelpon temannya sewaktu di bus tadi. ‘Seandainya dulu aku nggak jatuh cinta sama dia, aku nggak akan tersiksa kayak gini. Seandainya dulu aku nggak berharap apapun sama orang itu, aku nggak akan ngerasain pahitnya dijatuhin sekeras ini’.
Aku tersenyum miris mengingatnya. Ya, mungkin ucapan Mbak Ardina benar.
Seandainya dulu aku tidak menerima friend request dari Irham di Facebook, mungkin aku tak akan berkenalan dengannya. Seandainya dulu aku tidak memberikan nomor teleponku pada Irham, aku tidak akan menjalin kedekatan dengannya. Seandainya dulu aku tidak mengajak Irham bertemu, aku tidak akan jatuh cinta padanya. Seandainya dulu aku tidak dicampakkan oleh Irham, pasti aku tidak akan merasakan sakit yang teramat dalam ini. Seandainya dulu aku tidak membiarkan Irham terus-menerus menghubungiku, mungkin saat ini aku telah kehilangan kontak dengannya. Seandainya dulu Irham bisa membalas perasaanku, mungkin saat ini aku menjadi gadis yang paling bahagia sedunia.
Oke, Mbak Ardina boleh merasa menyesal atas cintanya pada Sammy, tapi aku tidak bisa seperti itu. Meski pada akhirnya aku dijatuhkan dengan keras oleh Irham, meski luka membekas tiga tahun lamanya.
Aku tidak pernah menyesal karena sudah dipertemukan dan jatuh cinta dengannya.

Kamis, 04 Desember 2014

Apa Kabar, Kamu?



Apa kabar kamu, wahai pemilik hatiku di masa lalu?
Masih ingatkah dengan nama dan rupaku, yang pernah kau sebut sebagai cintamu?
Masih ingatkah pada tanggal, hari, bulan, tahun di mana pertama kali kau menatap mataku seraya berkata, ‘Maukah kau jadi kekasihku?’
Alangkah senangnya jika kau menjawab dengan satu anggukan kecil yang disertai senyum mengembang di wajahmu.

Apa kabar kamu, wahai kekasih masa laluku?
Masih ingatkah bagaimana aku menertawaimu yang tak pandai merangkai kata gombal untukku?
Masih ingatkah berapa banyak tulisan bukti tanda sayangku yang aku persembahkan untukmu?
Ingatkah karena pada akhirnya kau mampu merangkai kalimat penuh cintamu dan seketika membuatku terharu?
Alangkah gembiranya jika kau masih tetap ada di sini, di sampingku. Menuliskan puluhan bahkan ratusan kalimat ‘Aku Mencintaimu’ tanpa ragu.
Akan terasa sangat menyenangkan jika kita mampu merangkainya bersama, juga mewujudkannya di masa depan.

Apa kabarmu, wahai cintaku yang telah menghilang setahun lalu?
Masih ingatkah pertengkaran-pertengkaran kecil penyedap rasa hubungan kita?
Masih ingatkah tawa kita yang meledak setelahnya?
Tawa penuh ejekan tentang percekcokan kita yang harusnya tidak terjadi karena hal sepele.
Namun ingatkah juga ketika pada akhirnya kita tidak bisa menahan segala emosi yang membara, hingga membuat segalanya berbeda?
Ketika dinding hati yang kita bangun bersama tak mampu lagi menahan terpaan badai yang datang di hari itu, akhirnya menyerah karena rapuh.
Dinding yang kita bangun atas nama cinta, kepercayaan, kesetiaan yang selalu kita banggakan dengan angkuhnya, runtuh begitu saja.
Aku tak bisa menahannya. Kau pun hanya membiarkannya.

Apa kabar perasaanmu kini, wahai tokoh utama dalam kisahku di masa lalu?
Masih ingatkah dengan janji yang pernah kita ucapkan dengan lantang, dulu?
Ketika kita memutuskan untuk tetap berhubungan baik, menjadi sahabat karib, menjaga perasaan kita agar selalu ada, dan tetap sama.
Namun ternyata kau lebih memilih untuk mengenyahkan muka dari hadapanku.
Kau memutuskan untuk benar-benar menyelesaikan kisah yang tak ingin aku akhiri dengan sad ending ini.
Mulutmu terkunci, hanya matamu yang memaki penuh kecewa atas apa yang telah terjadi.
Kita selesai.
Oh ya?
Bahkan sampai detik ini aku merasa yang terjadi kini hanyalah mimpi burukku belaka.
Hei, aku tidak benar-benar kehilanganmu, kan?

Apa kabar dengan hatimu kini, wahai mantan terindahku?
Sudahkah menemukan pengganti diriku?
Siapapun dia, kencanilah dengan baik. Cintai dia dengan setulus hatimu.
Terimakasih atas cinta yang  pernah kau beri, aku bahagia kita pernah saling memiliki.
Terimakasih untuk kasih sayang tiada henti, aku harap ‘sayang’ itu tetap ada apapun yang terjadi.

Dan satu hal lagi, bisakah kau membalas suratku ini satu kali saja?

Bisakah kau membalasnya dengan sebuah pertemuan tak disengaja?

Ditulis untuk para alumni hati.

Selasa, 02 Desember 2014

Seperti Sebelumnya

Kutulis ini dalam keadaan wajah kusam, mata sembab, rambut kusut dan bau asam. Betapa buruknya diriku ini, hingga aku tak tega memandang bayanganku sendiri lewat cermin.

Kenapa aku begitu kacau?

Seperti sebelumnya, jika aku tengah merasa kacau, galau, gundah gulana, yang kulakukan hanyalah membuat tulisan seperti ini. Mencurahkan semua yang aku rasakan, menumpahkan segala emosi yang aku pendam. Apakah dengan begini masalahku akan hilang? Tidak. Hanya saja aku senang melakukannya, setidaknya aku merasa lega setelah menulis.

Lalu, masalah apalagi kali ini?

Seperti sebelumnya, aku selalu bermasalah pada hati dan logikaku sendiri. Mereka selalu bertentangan dan membingungkanku. Seketika aku menjadi dungu gara-gara pertentangan mereka. Siapa yang baiknya aku ikuti? Jika aku mengikuti apa yang dikatakan hatiku, biasanya akan berakhir dengan kekecewaan. Dan jika aku mengikuti kemauan logikaku, yang terjadi biasanya aku akan menyesali perbuatanku sendiri. Karena sesungguhnya yang dikatakan hatiku adalah sesuatu yang benar-benar yang aku inginkan. Namun selalu saja logikaku melarangnya dan menyuruhku untuk mengikuti katanya. Sehingga mau tidak mau aku pun selalu mengikuti logikaku dan.. senjata makan tuan. Berakhir penyesalan.

Kenapa bisa seperti itu?

Mungkin aku harus memberi penjelasan lewat kasus seperti ini.

Ada seseorang yang aku sukai. Pada suatu ketika dia mengirimkan pesan padaku berupa ajakan jalan-jalan. Saat itu aku menuruti kata hatiku untuk mengiyakan ajakannya meski di sisi lain logikaku melarangnya. Namun yang terjadi selanjutnya adalah rencana itu gagal dengan mudahnya. Dan akhirnya akupun kecewa.
Tidak, aku tidak menyesal karena telah mengikuti kata hatiku. Jika aku menyesal, itu artinya aku menyalahkannya yang mengajakku pergi. Namun hatiku hanya melakukan tugasnya, dia bertindak sesuai keinginanku. Ya, aku ingin rencana ini berjalan, aku ingin pertemuan ini terjadi.
Logikaku pun memberontak. Dia menyalahkan hatiku yang terlalu mudah untuk dikelabuhi. Dia menekankan pada hatiku agar tak lagi mempedulikan apapun tentang orang itu.

Kemudian..

Seperti sebelumnya, orang itu kembali mengirimkanku pesan. Kali ini dia mengatakan ingin singgah ke rumahku. Tentu saja dengan segera hatiku menyanggupinya dan logikaku melarang keras. Sampai detik itu aku bingung apa yang harus aku lakukan, dan untuk sementara aku membiarkan pesannya tanpa membalasnya. Logika tersenyum melihat sikapku.
Namun hatiku tidak terima, ada perasaan tak tega jika harus mengabaikan niat baiknya itu. Alhasil aku kembali mengikuti apa yang diingkan hatiku, aku membalas pesannya.

Saat itu hatiku begitu berharap dia segera datang dan melenyapkan segala kecewa atas kejadian sebelumnya. Namun logikaku mengejek, dia berujar kalau pria itu tidak akan datang dan aku tidak pantas untuk menunggunya. Dia menambahkan, sia-sia saja aku menunggunya yang biasanya hanya mengecewakanku saja.
Tapi hatiku membalas argumen logikaku, mungkin aku akan lebih menyesal jika aku tidak mengacuhkan apa yang benar-benar aku inginkan.
Logika kembali membalas, sudah bagus aku memperlakukan pria itu dengan cuek juga angkuh, kenapa pula aku harus meladeni ucapannya? Tidak seharusnya aku mempercayai ucapannya, tidak seharusnya aku menunggu kedatangannya. Bukankah selama ini dia hanya datang dan pergi seenaknya sendiri? Jika aku menuruti apa kata hati, aku akan menelan kecewa sendiri.
Hati menampik argumen logikaku kembali, menuruti apa mau logika hanya akan menyakitinya. Bersikap ketus padanya akan makin menjauhkannya dariku, dan sesungguhnya aku tidak ingin dia menjauh. Harusnya aku mengikuti hatiku agar bersikap baik dan ramah seperti dulu padanya. Tak apa jika dia kembali membuatku kecewa dengan harapan yang dia beri kemudian dia jatuhkan kembali. Sudah menjadi resiko karena telah menyukai orang menyebalkan seperti dia. Harusnya aku bisa menerima.
Logika mengomel, akan terasa sangat tolol jika aku masih memendam perasaan juga harapan pada orang itu. Tidak akan ada gunanya aku menunggu, tidak akan mengubah apapun jika aku bersikap baik dan ramah. Lebih baik mengabaikannya dan pergi untuk seseorang yang lebih baik.
Hati menepis, lalu apakah jika aku mengabaikannya, aku akan merasa lebih baik? Apakah aku akan merasa bahagia jika dia tidak ada? Oh ayolah, dia tidak memberi kabar saja aku sudah rindu. Ikuti kata hati adalah hal yang paling benar. Meski nantinya merasa terluka, setidaknya inilah yang aku inginkan. Aku menjadi diriku sendiri, aku tidak perlu memunafiki perasaanku sendiri.
Logika menjerit keras, balasan mengikuti apa kata hati adalah kekecewaan, yang juga menimbulkan penyesalan. Bodoh, dia tidak mencintaiku! Abaikan dia, bukan dia yang harus aku tunggu.
Hati menampik kembali, buat apa memaksakan diri untuk mengabaikan orang yang aku sukai selama ini? Meski dia tidak memiliki perasaan yang sama, dia tidak menaruh harap yang sama, aku tidak pernah menyesali apapun. Bagiku, luka ini adalah sebuah resiko.

Oke, aku lelah dengan perdebatan ini.

Logika tetap pada pendiriannya dan terus berkata dia tidak akan datang, dia tidak akan datang, dia tidak akan datang. Hatipun semakin berharap dia akan datang, dia akan segera datang, dia tidak akan membuatku kembali kecewa.

Aku pun menunggu. Satu menit berlalu. Lima menit berlalu. Duapuluh menit berlalu.

Pada akhirnya, dia tidak datang. Seperti sebelumnya..

Dan pada akhirnya aku marah pada diriku sendiri. Aku kesal pada hatiku sendiri. Aku benci pada logikaku sendiri. Semuanya membuatku serba salah. Aku tidak mendapatkan apapun dari mengikuti hati maupun logika, mereka semua hanya membuatku kesal dan terlihat begitu tolol.

Lalu apakah sekarang waktu yang tepat untuk menyesal?

Tidak, sekarang waktu yang tepat untuk menumpahkan air mata.

Seperti sebelumnya, aku hanya bisa menangis karena kebodohanku sendiri.

                                                                                                                Ditulis dengan perasaan kacau