Minggu, 20 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 20)

Namira menelan ludah. Semua pasang mata menyorotinya dengan tatapan meminta penjelasan setelah celetukan Baim yang seketika menyudutkannya, berdua dengan Rado.
"Lho? Yang bener gimana nih?", Ghina menoleh ke arah Rado, "Jadi sekarang lo ke Namira nih, Do?"
"Seriusan?", susul Andra bertanya pada Rado yang mendadak pucat.
"G-gue kan cuma ngobrol biasa doang, Ndra. Ngga gimana-gimana.", jawab Rado akhirnya. Matanya tak berani menatap Baim yang sedari tadi menyorotinya tanpa jeda.
Namira menoleh Baim, "Lo apaan sih, Yu? Ngga usah kekanakan gitu deh. Nyantai aja cemburunya."
Baim tercekat mendengar ucapan Namira, "Gue? Cemburu?"
"Kalau ngga cemburu ngapain lo ngomong pake nada ketus begitu? Emang kenapa kalo gue ngobrolnya sama Rado? Dia temen gue juga kayak yang lain, dia enak diajak ngobrol apa aja, toh Brietta aja santai kok. Kenapa lo yang kedengarannya ngga terima gitu sih?", entah energi dari mana yang membuat Namira secara spontan bicara membabi buta seperti itu.
Baim tercengang, tidak menyangka respon Namira akan seperti itu. Rado yang tepat di sebelah Namira kontan menepuk bahu Namira, mengisyaratkan agar ia tenang dan jangan terbawa emosi.
"Eh, udah deh kok malah jadi ketus-ketusan gini. Please, guys, today is my day, waktunya buat hepi-hepi.", Ghina angkat bicara, menengahi.
"Kayaknya gue perlu ngomong berdua sama lo deh, Do.", ucap Baim pada Rado.
"Gue?", ulang Rado sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Apaan sih, Yu?", tanya Namira ke Baim.
"Gue mau ngomongin sesuatu sama Rado, ngga usah ikut campur lo."
"Gaaeeess, kalian ini apaan deh kenapa jadi gini ah!", Brietta yang sedari tadi diam ikut berkomentar.
"Mendingan kita makan aja yuk,yuk!", ajak Ghina antusias seraya menarik Andra. "Come one, babe! Kita aja deh yang ngalah, situasi lagi ngga enak banget ini. Aku ngga mau terbawa suasana.", bisik Ghina pada Andra yang enggan beranjak dari kursi.
"Ngga, aku kayaknya harus ikut Baim sama Rado deh. Takut mereka berantem ngga ada yang ngelerai.", balas Andra juga sambil berbisik.
"Beebbb!", rengek Ghina seraya menggelengkan kepalanya.
"Kamu ajak Brietta aja ya.", Andra menoleh Brietta, "Bri, temenin Ghina makan ya."
Brietta langsung mengerti maksud Andra, Ia mengangguk kemudian menggandeng lengan Ghina menuju meja prasmanan.
"Jangan di sini, di luar aja.", ucap Baim seraya beranjak dari kursinya lalu diikuti Rado.
"Gue ikut.", Namira berdiri.
Baim menggeleng. "Lo di sini aja sama Andra."
"Sebenernya masalah lo sama Rado apaan sih?", tanya Andra sambil berkacak pinggang. "Mendadak kok jadi aneh banget begini?"
"Gue juga ngga ngerti, Ndra. Baim jadi rada beda sama gue belakangan ini.", jawab Rado.
"Lo tuh yang kenapa? Kenapa lo dari dulu masih gini-gini aja ke gue?", tanya Baim ke Rado.
"Maksud lo apaan? Emang gue gimana?"
"Ikut gue ke luar, jangan di sini."
*
Di teras rumah Ghina, Baim, Rado, Andra dan Namira berdiri secara tak beraturan. Baim dan Andra saling berhadapan, Andra menyandar pada tiang bangunan, sedangkan Namira berdiri di dekat pintu.
"Kenapa lo masih munafik aja sih sama perasaan lo sendiri, Do?"
Rado tertegun mendengar pertanyaan Baim. "Gue munafik dari segi mananya Im?"
"Gue tau kalo dari awal perasaan lo ke Brietta cuma buat pelarian doang kan? Sebenernya hati lo masih berat buat ngelepas..", Baim menghela napas pendek. Matanya menunjuk ke arah Namira.
"Dia kan?"
Kontan terdengar pekikan Andra yang pelan namun tajam. Namira sendiri hanya tercengang tanpa kata.
Rado terbelalak, dia tidak menyangka Baim semudah itu membaca isi hatinya.
"Men, gue ke Namira cuma nyaman sebagai temen. Lain ke Brietta, gue jatuh cinta sama dia, bahkan sampai saat ini."
"Masih inget ngga lo sama kasus Kanaya jaman kita masih kuliah dulu?"
Rado mengangguk.
"Lo ngorbanin perasaan lo dan ngelepas Kanaya gitu aja setelah tau kalau dia suka sama gue. Dan saat itu gue minta lo janji ngga bakal begitu lagi ke gue kan, Do?"
"Lah, gue udah tepatin, Im."
Baim menggeleng. "Lo ngga jujur soal Namira ke gue dari dulu, Do. Kenapa lo ngga bilang terus terang kalau sebenarnya lo mau sama Namira sejak dulu?"
"Wah, lo kayaknya salah paham deh, Im. Gue ngga pernah bilang begitu. Tanya Andra sana, justru dia yang pernah bilang kalau dia ketemu Namira dulu sebelum Ghina..."
"Wey, kenapa jadi bawa nama guaaa?", Andra lantas menghampiri Rado kemudian mendorong bahunya pelan. "Bohong dia, Im. Jangan percaya!"
"Halah ngga usah sok bego, lo. Gue masih inget nyet dulu lo bilang kalau aja belum ketemu Ghina lo bakal ngejar Namira.", cibir Rado yang seketika membuat Andra menoleh Namira seraya menggleng keras.
"Jangan percaya, Mir. Sialan lo emang!", Andra membuat gerakan ingin menghantam Rado tapi ditariknya kembali.
Baim mendengus, "Kalau soal Andra gue ngga yakin dia serius sama omongannya. Tapi beda sama lo, Do. Tanpa bilang apapun udah ketahuan banget dan kelihatan jelas gimana cara lo ngeliatin Namira, ngobrol sama dia, dan gue tau banget hampir tiap hari lo stalkingin semua medsosnya kan?"
"Iya gue akuin kalau soal itu bener. Tapi gue kan udah bilang kalau gue ke Namira ini cuma.."
"Jaket pink yang lo beli di mall sama gue itu aslinya bukan buat Brietta kan? Tadinya lo mau ngasih kado ulangtahun buat Namira tapi setelah gue bilang kalau Namira paling ngga suka sama pink, lo akhirnya ngasih tuh jaket ke Brietta kan?"
Namira tercengang, "Do, lo serius?"
"Gue juga kayaknya pernah denger soal jaket itu deh. Dan sebelum itu Rado nanya ke gue butuh jaket cewek apa ngga soalnya dia mau jual.", Andra mengingat-ingat.
"Ya, i-itu kan.."
"Gue baru kepikiran dan keingetan semua itu belakangan ini, Do. Setelah gue perhatiin beberapa hari ini motor lo sering ada di depan rumah Namira. Kemaren juga lo ke kedai kan?"
"Ya terus kenapa sih, Yu, kalau Rado main ke kedai gue? Toh dia ngga gue traktir, dia makan, minum, bayar sendiri.", Namira melipat kedua tangannya, menghampiri Rado dan Baim, berdiri di antaranya.
"Gue ngga masalah soal itu. Yang gue masalahin kenapa dia ngga mau ngaku dan jujur ke gue."
"Gini deh, dari pada bikin salah paham mendingan lo jelasin aja semuanya deh, Do. Asli gue puyeng banget ngeliatnya kayak lagi nonton FTV siang bolong yang alay minta ampun itu tau ngga. Lagian lo kenapa jadi drama banget gini sih, Im?", Andra mengerutkan dahinya, bingung.
"Gue cuma mau minta Rado jujur."
"Terus kalaupun iya, dia ngaku kalau suka sama Namira, lalu apa? Lo mau ngapain?", tanya Andra lagi.
Baim terdiam sebentar, menarik napas dalam-dalam.
"Gue ikhlasin kalau lo emang mau sama Namira, Do."
"Sumpah lo?!", seru Andra. "Sekalipun dulu dia ngaku suka sama Namira sebelum lo, lo juga.."
"Ngga apa-apa, seenggaknya dia ngga ngorbanin perasaannya lagi."
Rado melotot. "Im, gila lo ya!"
"Haaah??! Apaan sih lo?!", Namira mendorong bahu Baim. "Dikira gue barang apa lo lempar lalu ikhlasin gitu aja? Nggak!", seru Namira kesal.
"Kalau Radonya mau sama lo giimana?", tanya Baim.
"Ya jelas enggak lah!"
Rado tersentak. Andra memekik pelan, seperti biasa. Baim tertegun sambil terus menatap Namira yang dengan tegas menolak perasaan Rado.
"Wayu lo jangan aneh-aneh lah. Sama lo yang gue sayang setengah mati aja nggak bakalan bisa jadi. Apa lagi sama Rado yang gue ngga punya perasaan apa-apa."
"See, Namira bilang dia ngga ada perasaan apapun ke gue. Gue pun begitu, Im. Cuma nyaman sebagai teman. Lagian dia cuma sayang sama lo, Im walaupun udah putus juga", ujar Rado tenang.
"Lo bisa bilang begitu karena udah denger langsung Namira bakal nolak lo kan?"
"Im, plis lah jangan menyudutkan gue begitu. Gue udah bicara sejujur-jujurnya ini kenapa masih tetep aja.."
Baim menggeleng, "Gue tahu lo bohong."
"Gue ngga bohong, Im!"
"Harusnya gue dulu lebih peka sama lo ya daripada akhirnya lo munafikin perasaan lo sendiri."
"Eh, apaan sih?"
"Dan soal Kanaya, gue ngga pernah jadian sama dia. Menaruh hati aja enggak."
Rado mengangguk, "Iya gue tahu."
"Tapi soal Namira lain ceritanya. Dan lo masih aja..udahlah ngaku aja Do!"
"Gue ngaku kalau gue nyaman sama Namira sebagai teman!"
"Gue tahu kalau sebenernya lebih dari itu!"
"Lah, kenapa jadi lo yang sotoy?"
"Hey, hey, calm broo!", Andra menengahi. "Lo juga aneh sih Im, maksa banget Rado buat ngakuin yang sebenernya buat apa dia akuin. Ngga penting banget Im, asli!"
"Kan udah gue bilang, gue mau Rado jujur sama perasaannya. Seenggaknya dia berani ngakuin ke gue, bilang terus  terang."
Rado mendengus, "Muka gue kayak penipu banget apa sampe bikin lo ngotot ngga percaya gitu sama gue?"
Namira menepuk Rado, "Udahlah Do, perdebatan ngga penting gini mendingan udahin aja. Si Wayu emang alay banget sekarang. Drama!"
Baim menghela napas, "Bela Rado banget?"
"Ih, ngga usah drama kenapa!"
"Mendingan udahan aja yuk terus masuk ke dalam, kita makan..", ujar Andra yang kemudian ditepis Baim.
"Ngaku aja kenapa sih?"
"Ngaku apa lagi yaelah, nyet!"
"Akuin aja perasaan lo ke Namira, setan!"
"Kalaupun gue ngaku untungnya apaan buat gue?! Ngga ada kan?! Namira udah bilang ngga akan bisa sama gue. Terus buat apa gue ngaku, setan!"
Baim tertegun. Namira tercekat. Andra menutup mulutnya sendiri agar tidak memekik dengan lantang.
Secara tidak langsung Rado sudah mengakui perasaannya terhadap Namira.
Rado mengutuk dirinya sendiri dalam hati.

'Dasar goblok!'

to be contiunued..

Minggu, 13 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 19)

Jakarta, 2010
Baim melirik kalender yang berada di atas mejanya. Sudah memasuki bulan November, hujan mulai sering mengguyur jalanan Ibukota. Baim mengeluh, padahal baru semester awal kuliah tapi semangatnya mendadak lenyap bak tersapu oleh hujan deras yang hampir setiap hari turun. Dia meletakkan kembali buku dan penanya dan berjalan menuju balkon kamarnya. Memandang hujan yang semenjak pagi tak kunjung reda.
"Bang! Ada Bang Rado tuh di bawah!", seru Mail, adiknya tiba-tiba.
Baim tercenung, tumben sekali teman barunya itu datang ke rumahnya di kala hujan begini, mana mendadak pula.
Ya, Rado adalah salah dua teman Baim yang seketika langsung bisa akrab dengannya, sedangkan yang pertama adalah Andra. Entah sifat Baim yang mana yang membuat Rado betah menjadi teman baik Baim yang cenderung kaku dan kurang supel. Mereka beretemu pertamakali saat masa Ospek dan berada dalam satu regu yang sama, bersama Andra juga. Awalnya Baim merasa partnernya tidak ada yang cocok dengannya, karena Rado yang kelihatan sotoy dan Andra yang pemalas dan urakan. Namun beruntung karena ada dua teman lagi yang cukup membuatnya nyaman karena sepaham dengannya. Saat itu Baim merasa bahwa kedua temannya itu akan menjadi teman baiknya kelak saat kuliah, nyatanya mereka malah pisah kelas. Sialnya, Baim bertemu lagi dengan Rado dan Andra di kelas yang sama.
Namun seiring berjalannya waktu, Baim akhirnya bisa melihat sisi lain dari Rado yang sotoy juga Andra yang urakan. Rupanya mereka tidak seburuk yang Baim bayangkan. Rado yang ternyata anak dari seorang pendiri pesantren, punya sifat dermawan dan rajin beribadah. Dia juga termasuk anak yang pandai dan cepat tanggap dalam belajar. Andra yang terlihat begitu urakan, tampilannya bak preman jarang mandi, tapi dia sangat solid dalam berteman, tidak memandang apapun dalam pertemanan. Andra yang dikira Baim seorang playboy, ternyata sangat menghormati perempuan. Dan lucunya dia malah baru pernah pacaran satu kali, itupun saat dia masih SMP.
Begitupun Rado dan Andra yang memaklumi sifat kaku dan canggung dari Baim yang menurut mereka justru unik karena tidak sesuai dengan wajahnya yang manis dengan perawakan yang begitu manly.

Baim pun turun dari kamarnya dan menghampiri Rado di ruang tamu.
"Ada apa, mas? Ke kamar gue aja.", ucap Baim pada Rado yang lantas menggeleng saat mendengar Baim masih memanggilnya mas.
"Ahelah gue udah bilang berapa kali kalo panggil gue Rado aja ngga usah pake mas-mas segala.", tukas Rado.
"Ya tapi tetep aja lo lebih tua dari gue setengah tahun, Mas."
Rado mendengus, "Geli ah gue lo panggil begitu. Eh gue ngga lama kok, ke sini cuma mau ngasih titipan buat lo. Dikasih amanah nih suruh dianterin sekarang juga ke rumah lo."
Baim memandang bingung ketika Rado menyodorkan kantong plastik berisi kotak berukuran sedang.
"Apaan nih? Dari siapa?"
"Dari Kanaya. Ngefans berat sama lo katanya."
Baim tercengang. Mendengar nama Kanaya dia teringat saat Rado pernah cerita soal gadis yang disukainya. Mereka satu jurusan namun beda kelas. Dan kalau tidak salah namanya..Kanaya.
"Bentar..", Baim memegang dagunya, sedikit mengingat-ingat. "Dia ini Kanya yang lo pernah ceritain itu bukan sih?"
Rado mengangguk pelan.
"Dia cewek inceran lo kan, Mas?"
Rado mengangguk lagi. "Tapi udah gue lepas, gue mau cari yang lain aja."
Baim terdiam, bingung hendak menanggapi apa setelah tau gadis yang disukai temannya malah menyukainya.
"Ya mau gimana lagi, Im. Dia maunya sama lo. Lo gimana nih ke dia, mau juga?", tanya Rado dengan senyum yang dipaksakan. "Tadi gue disuruh nemenin dia beli sepatu cowok dan suruh milihin mana yang cocok dengan selera cowok. Ya gue pilihin aja yang menurut gue sesuai dengan gaya gue. Ah tapi guenya yang udah kegeeran duluan kali ya. Mentang-mentang hampir tiap hari anter-jemput dia ke kampus, nemenin jalan, ngerjain tugas bareng, gue mikirnya dia ada feeling ke gue. Sayangnya ekspektasi gue ketinggian."
Mendengar itu spontan Baim menyodorkan kembali kotak itu ke Rado. "Sori, Mas, gue ngga bisa nerima ini."
"Lah, kenapa? Ini kan diamanahkan buat dikasihin ke lo."
"Tapi gue ngga bisa nerima. Perasaan lo ada di sini, di kotak ini."
Rado mendengus, "Im, plis lah jangan sok dramatik. Gue ngga apa-apa kok beneran, gue udah ngelepas dia sepenuhnya."
"Tapi kan tetep aja ini.."
"Ini bukan hak gue, Im. Kanaya beliin ini buat lo."
"Sumpah ini parah banget. Gue balikin aja ke orangnya ya!"
"Baim! Plis, tolong diterima. Kalo lo ngga bisa nerima karena Kanaya yang beliin, anggep aja ini dari gue yang dikasih tapi ukurannya ga pas di kaki gue lalu gue kasihin ke lo."
Rado menyodorkan kembali kotak itu pada Baim yang setelah berpikir lama akhirnya menerimanya.
"Oke, gue terima tapi sumpah demi apapun ya lo jangan begini lagi sama gue."
"Maksud lo gimana?"
Baim menghela napas pendek, "Mas, kalo lo suka sama cewek tapi cewek itu ada perasaan ke gue, lo harus pura-pura ngga tau dan ngga peduli. Lo harus perjuangin dia yang lo mau, jangan nyerah gitu aja karena perasaannya yang berbeda ke lo. Seiring berjalannya waktu yang namanya perasaan itu bisa berubah, asalkan lo tetep ada di sisi dia, dan lo ngga gampang buat nyerah. Bukannya cinta memang butuh perjuangan ya?"
Rado tercengang mendengar ucapan Baim.
"Lo ngomong apaan sih, Im?", tanya Rado dengan dahi berkerut.
"Ih, gini maksud gue.."
Seketika Rado terbahak saat Baim hendak mengulang ucapannya lagi. "Iya iya gue ngerti kok maksud lo gimana."
"Beneran ngerti?"
Rado mengangguk, "Oke gue sepakat. Cuma ada satu syarat."
"Apaan?", tanya Baim antusias.
"Jangan panggil gue Mas!"
*
Jakarta, penghujung 2010
Mata Rado terbelalak ketika melihat seorang gadis berambut panjang sebahu dan berkulit kuning langsat menghampirinya dengan pandangan bingung.
"Situ siapa? Wayu mana?", tanya gadis itu sambil memandang sekeliling.
Rado tercenung, "Wa-wayu? Wayu itu siapa, Mbak?", Rado bertanya balik.
Gadis itu menepuk dahinya sendiri, "Ah, lupa gue kalo cuma gue yang panggil dia Wayu. Maksud gue si Baim. Mana dia?", tanyanya lagi.
Bibir Rado membulat, "Ooh, Baim. Lagi keluar sama Andra, cari rokok sama pulsa."
"Udah lama perginya?"
"Engga, baru aja kok."
"Dih, gue lagi mudik gini bukannya nemuin ke rumah malah asik sendiri. Sebel!", gerutu gadis itu sembari memanyunkan bibirnya. Rado tersentak melihatnya.
"Mbaknya..siapa?", tanya Rado kemudian.
Gadis itu lantas duduk di sebelah Rado, mengulurkan tangannya.
"Namira. Jangan panggil Nanam, panggil Mira aja."
Rado menerima uluran tangan Namira sembari tersenyum lebar. "Namanya bagus. Gue Rado, temen sekelasnya Baim."
"Gue temen dari bayi.", ceplos Namira seraya mengambil toples berisi keripik kentang. "Bagi ya."
Rado hanya mengangguk sopan kemudian matanya kembali ke layar laptop.
"Ngerjain tugas?", tanya Namira basa-basi.
"Nggak, lagi cari free download."
Namira memasang tampang bingung, Rado tersenyum geli.
Tak lama kemudian Baim dan Andra kembali.
"Lah, lo mudik?", tanya Baim begitu menemukan Namira sudah berada di teras belakang rumahnya, bersama Rado.
"Gue udah telpon elo kemaren ya heloo plis deh, Yu!"
"Masa? Lupa gue.", ucap Baim cuek kemudian duduk di sebelah Rado yang masih asik dengan laptop.
Andra yang berada di belakangnya mengikutinya duduk di sebelahnya.
"Eh, lo Namira yang dari kecil jadi pacarnya Baim ya?", tanya Andra asal. Baim sontak meninju lengan Andra.
"Pacar pacar, palalubau!", umpat Baim dengan wajah yang memerah.
"Gue pacaran sama dia mah rugi lahir batin, Bang. Kagak level.", tukas Namira tak kalah asal.
"Siapa juga yang mau jadi pacar cewek super bawel kayak lo!", balas Baim.
"Tapi menurut gue kalian cocok loh.", ceplos Andra sok menganalisa. "Si Baim kan kaku banget nih kayak kanebo kering, sedangkan lo orangnya banyak omong dan sedikit hiperaktif, jadi ya.."
"Jangan sok tau, Nyet!", Baim melemparkan kotak rokok ke arah Andra.
"Wah, pas. Sekalian koreknya mana sini?"
"Ahh, engga engga. Ngga bakalan dah gue pacaran sama yang begini ini. Ngga minat.", Namira menggelengkan kepalanya keras.
"Terus lo maunya yang gimana, Mir?", tanya Rado yang sejak tadi hanya menyimak.
"Gue? Maunya yang ngga kayak Baim lah. Dia apaan coba bagusnya?", ucap Namira yang disambut tatapan tajam Baim.
"Kalau yang macam gue ini, bersedia ngga?", tanya Rado seakan menawarkan dirinya sendiri.
Seketika Baim dan Andra memandang ke arah Rado dengan pandangan heran. Namira tak kalah herannya.
"Serius lo, Do?", tanya Baim setengah tidak menyangka.
"Ya, usaha dulu boleh lah ya, Mir.", ucap Rado sambil tersenyum pada Namira yang membalasnya dengan tatapan enggan.
"Sukurin lo ngga ditanggepin!", olok Andra seraya tertawa.
Baim terdiam, matanya mengamati ekspresi Rado saat membicarakan soal Namira. Entah kenapa dalam hatinya dia merasa gelisah. Ada yang tidak beres, ada sesuatu yang mengganjal tapi tidak tahu apa.
Dan setelah Namira pulang ke rumahnya, Baim memberanikan diri untuk bertanya serius ke Rado.
"Do, bentar dah,", Baim menarik Rado agar jangan dulu mengikuti Andra meninggalkan teras.
"Kenapa?"
Baim menarik napas panjang, "Lo..serius soal yang tadi?"
"Yang mana?"
"Soal mau deketin Namira."
Rado tertegun. Tiba-tiba saja dia merasa tidak enak hati pada Baim. Karena awalnya dia memang hanya iseng menggoda Namira saja, namun dia juga merasa tidak ada salahnya jika mendekati gadis itu secara serius.Tapi begitu melihat Baim yang bertanya seserius ini dan kedengarannya ada nada cemas mengiringinya, Rado akhirnya mengubah jawabannya.
"Ngga kok, Im. Becanda doang gue tadi."
Baim tidak begitu yakin dengan jawaban Rado, ada keraguan dibalik kalimatnya.

Dan Baim menyimpan keraguannya itu hingga kini. Hingga tujuh tahun berlalu. Dia masih meragukan jawaban Rado soal perasaannya terhadap Namira.
*
Jakarta, 2017

"Yeee! Akhirnya kita berenam kumpul lagi komplit begini! Hey hey, semua ini ngga akan kejadian kalo bukan karena Andra yang akhirnya berani ngasih cincin ke gueeee!!", seru Ghina dengan wajah semringah karena setengah jam yang lalu barus saja menjalani prosesi tunangannya dengan Andra.
Baim, Rado, Namira dan Brietta hanya terkekeh pelan sembari bertepuk tangan.
"Yaangg, jangan lebay ah.", Andra menarik kekasihnya agar duduk dengan tenang.
"Okeeee, makasih ya Ghina dan Andra udah bikin kita semua kumpul di sini, di meja bundar ini, dalam suasana malam yang sendu ini..", ucap Brietta yang lantas ditampik oleh Namira.
"Kok malam yang sendu sih? Bukannya harusnya jadi malam yang bahagia ya?", timpal Namira
Brietta menghela napas, "Buat kalian aja, buat gue engga."
"Eh, kenapa lo? Tolong ya, di hari bahagia Neng Ghina Putri Arbani ini jangan ada sendu-senduan! Plis ya Brietta jangan ngerusak momen!", omel Ghina.
"Nyokap berulah lagi setelah gue kasih tau lo berdua tunangan."
"Yaelah..", Namira mendengus. "Siapa lagi sekarang??"
"Namanya Alex Wu. Gue kira bakalan cakep gitu ya kayak mantan member EXO; Kris Wu. Eh taunya malah kayak duda anak lima!"
Cerita Brietta disambut gelak tawa oleh teman-temannya.
"Cakepan mana sama Rado, Bri?", tanya Andra menggoda. Kontan saja suasana berubah menjadi canggung.
"Duuhh, iya iya sori deh. Lagian kalian kok betah amat diem-dieman. Ngobrol ngapa.", ucap Andra kemudian.
"Lah tadi kita ngobrol emang lo ngga lihat?", tanya Rado diiringi tawa kecil, yang canggung.
Brietta membaca situasi yang dibuat Rado agar tidak terlihat kikuk lagi. "Iya tadi kita ngobrol kok, Ndra. Ya kan, Do?"
Rado mengangguk cepat. Padahal nyatanya mereka hanya menyapa seadanya, tidak ada obrolan lain.
"Apaan, dari tadi Rado ngobrolnya sama Namira kok bukan sama Brietta.", celetuk Baim tiba-tiba, membuyarkan drama Rado dan Brietta.
Seketika semuanya diam dan serempak memandanginya.
"Iya kan, Nam?", Baim menoleh ke arah Namira meminta konfirmasi.
Namira terpaku. Bingung hendak menjawab apa. Rado yang merasa berada di tengah-tengah mereka, kembali merasakan apa yang telah dirasakannya tujuh tahun lalu.
Perasaan ini kenapa harus terjadi lagi? Sial.

Kali ini lo ngga bisa lari, Do. Ngga bisa..

to be continued..






Minggu, 06 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 18)

Seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang melambaikan tangannya ke arah Baim. Dia tercengang sebentar lantas menghampiri gadis itu. Sembari berjalan Baim hanya bertanya-tanya dalam hati, benarkah gadis itu adalah Danisha? Kenapa terlihat sedikit berbeda? Seingat Baim dulu Danisha berpenampilan sangat cuek dan jauh dari kata modis namun tidak tomboy juga. Hanya saja gaya berpakaiannya agak berbeda dengan gadis-gadis kekinian. Biasanya Danisha hanya mengenakan kaus, blue jeans, dan kardigan warna hitam atau abu-abu. Sesekali saja mengenakan kemeja lengan pendek yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam atau biru tua. Terlihat begitu simpel dan apa adanya, seolah-olah dia tidak suka mengikuti tren masa kini.
Namun yang dilihat Baim sekarang, sungguh berbeda dengan yang dilihatnya dulu. Baim hanya tertegun sembari mengamati penampilan Danisha dari ujung kepala sampai ujung kaki; rambut hitam panjang bergelombang yang dulu sering dikuncir cepol kini terurai dengan indahnya, kaus dan kardigannya diganti dengan sepotong mini dress berwarna pastel, sepatu sneakersnya telah berubah menjadi sepasang chunky heels yang sangat cocok dengan kakiknya yang jenjang.
Baim menelan ludahnya.Terperangah.
"Apa lo lihat-lihat begitu? Baru sadar kalau gue ini cantik banget ya?", tanya Danisha dengan nada menggoda Baim yang masih memasang tampang cengo.
"Lima tahun lebih ngga ketemu masih cupu aja lo, Im. Ngga berubah sama sekali. Payah!", ejek Danisha diiringi tawa renyah. Lagi-lagi Baim tertegun melihatnya.
"Jangan bengong aja, ayo pesen makanannya.", ditariknya lengan Baim menuju counter untuk memesan burger dan soda.
Baim lagi-lagi hanya bisa tertegun sembari matanya tak lepas dari Danisha yang begitu...ah, cantiknya!
*
"Jujur aja gue sedikit kaget ngelihat lo yang sekarang. Bikin pangling aja.", ucap Baim dengan wajah memerah begitu Danisha menanyakan kenapa sejak tadi dia hanya memandangnya tanpa kedip.
Danisha terkekeh dan meletakkan burgernya di atas nampan, "Kayaknya semua temen kuliah yang ketemu gue mengatakan hal yang sama ya. Lagian kenapa sih pada heran banget sama penampilan gue sekarang?", Danisha menyeruput colanya, "Emang gue dulu keliatan cupu banget apa ya, Im?"
Baim mengerlingkan matanya, mencari jawaban yang paling tepat.
"Cupu sih engga, cuma engga modis dan kekinian aja sih. Tapi ngga cupu kok, menurut gue dandanan lo oke oke aja."
"Jadi ngga salah juga dong kalo gue mengubah sedikit penampilan gue ini?"
"Ya engga, itu kan hak lo, Cha."
Danisha tercekat mendengar cara Baim memanggilnya.
"Lo masih inget aja panggilan gue di rumah."
"Lo juga masih inget suka manggil gue Juple.", Baim terkekeh.
"Karena cuma itu yang ngingetin gue sama lo, Im. Ngga ada orang lain yang gue panggil dengan nama itu selain lo."
"Dan gue lebih suka manggil lo Cicha dari pada Danish atau Nisha kayak temen-temen lo yang lain."
Wajah Danisha terlihat sedikit memerah. Baginya panggilan Cicha terdengar begitu spesial karena hanya orang terdekatnya yang memanggilnya begitu. Hanya orangtuanya, saudara-saudaranya, dan Baim, yang dulu pernah mengisi hatinya.
"Mantan pacar gue yang lain ngga ada yang manggil Cicha lho. Kebanyakan ya manggilnya Danish. Padahal gue ngga suka dipanggil begitu. Kedengarannya kayak lagi manggil cowok."
"Ngomong-ngomong soal mantan, lo masih sama yang dulu lo balikan itu?", tanya Baim mengganti topik pembicaraan.
Tanpa disangka Danisha menggeleng diiringi tampang kesal.
"Tau ngga lo, gue nyesel senyesel-nyeselnya balikan sama dia. Aselik dia ngeselin abis!", Danisha menyeruput colanya lagi.
"Dia itu bawelnya kebangetan, posesif, insecure, hobi banget mengekang gue, tapi begitu dibawelin balik dia ngamuk. Eh tapi pas gue minta putus dia mohon-mohon jangan putusin dia. Apaan coba drama banget jadi cowok. Ih, najis banget kalo inget diaaa!"
Mata Baim terbelalak, "Ngamuk? Suka mukul lo gitu?"
"Mukul sih engga, Im. Tapi omongannya itu lho ngga enak didenger. Kadang suka kelewat kasar dan ngata-ngatain gue sembarangan. Siapapun kalau digituin kan ngga ada yang betah Im, yang ada malah kesiksa lahir batin. Akhirnya dua tahun lalu gue tinggalin aja dia."
"Kenapa lo mau balikan sama dia waktu itu?", tanya Baim dengan wajah sinis karena mengingat setelah Danisha memutuskannya dia kembali pada mantannya itu.
Danisha menghela napas panjang, lantas memandang Baim dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Itulah begonya gue, Ple. Itulah yang bikin gue nyesel setengah mampus. Harusnya gue ngga percaya sama janji-janji dia yang udah kayak caleg lagi kampanye. Waktu itu gue masih terlalu labil dan buru-buru ambil keputusan untuk pisahan aja sama lo, gue keburu panas saat gue tau lo punya sahabat cewek yang menurut gue jauh lebih cantik daripada gue. Gue ngerasa ngga ada apa-apanya dibandingkan dia yang sering bikin lo ketawa, dan terlihat enjoy kalo lagi bareng dia. Gue terlalu cemburu sampai ngga mikir apa-apa lagi selain putusin lo aja terus balikan sama Reval."
Baim mendengus, "Tapi dulu lo bilangnya bakal baik-baik aja dengan adanya Namira."
"Yah, namanya juga perasaan, Ple. Gue ngga bisa nahan cemburu banget waktu itu."
"Dan kenapa lo baru putusin dia dua tahun lalu? Tiga tahunnya lo ngapain aja?", tanya Baim lagi.
"Oh, itu. Gue jalan sama orang lain di belakang Reval."
Baim tercengang, "Lo selingkuh?!"
"Ya abis gimana, Reval ngotot ngga mau putus, tapi di sisi lain gue ngga tahan sama dia dan pengen lepas dari dia. Ya udah, waktu itu ada temen sekelas yang tau masalah gue, mau dengerin semua curhatan gue, terus ngakuin kalau udah suka sama gue bahkan sebelum gue jadian sama lo, ya langsung gue terima aja perasaan dia."
Baim menggelengkan kepalanya, tidak menyangka. "Parah lo, Cha. Jangan-jangan lo begitu juga ke gue ya?"
Danisha mengangguk pelan, "Jujur aja iya waktu gue ngerasa lo lebih nyaman ngomong sama Namira dibanding gue."
"Sialan..", umpat Baim setengah berbisik, namun masih terdengar oleh Danisha.
"Maaf ya baru ngaku sekarang. Hehehehe.", Danisha terkekeh seraya tangannya hendak meraih pipi Baim namun segera ditepis laki-laki itu.
"Ngga usah pegang-pegang, tangan lo bekas mayonaise!"
Danisha tertawa lebih lantang.
"Gimana sama Namira, gue denger dulu ngga lama setelah wisuda lo jadian juga sama dia.", tanya Danisha sambil menyuap kentang goreng ke mulutnya.
Baim mendengus,entah kenapa rasanya dia enggan membahas soal ini.
"Udah putus ya?", Danisha memandang Baim lekat-lekat, seakan bisa membaca isi pikiran Baim.
Baim menghela napas panjang. "Harus banget gue jawab nih."
"Ngga perlu, raut muka lo udah bisa menjawabnya."
"Lantas apa jawabannya kalau gitu?"
"Lo masih cinta sama dia tapi oleh suatu alasan lo ngga bisa sama dia lagi. Kan?"
Seketika Baim terperangah. "Lo belajar jadi cenayang ya sekarang?"
"Hahahahaha."

"Kalau masih cinta, tapi ngga bisa bareng lagi emang sedih banget sih, Im.", celetuk Danisha begitu keluar dari tempat makan dan kini berjalan menuju parkiran.
Baim yang berjalan di sampingnya hanya menoleh sembari tersenyum tipis.
"Emang lo udah pernah ngerasain gimana sedihnya?", tanya Baim.
Danisha mengangguk tegas,"Pernah. Banget."
"Oh ya?"
"Iya. Sekarang ini gue lagi ngerasain gimana sedihnya."
"Oh ya?", tanya Baim lagi kali ini dengan nada menggoda namun Danisha menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Danisha meraih tangan Baim dan menggenggamnya erat.
Seketika Baim menyadari sesuatu. Ah, yang benar saja!
"Cha, lo.."
"Ngga apa-apa, Ple. Jangan merasa terbebani dengan ini.", ucap Danisha lembut seraya melepas genggamannya.  "Anyway, gue seneng banget bisa ketemu lo lagi setelah sekian lama. Mana nyari nomer telepon lo susah banget, untung gue ketemu temen kerja lo yang juga tetangga gue. Serius gue ngga pernah sesenang ini ketemu sama mantan.", Danisha berusaha tertawa dibalik matanya yang makin berkaca-kaca dan nyaris menjatuhkan dari pelupuk matanya.
"Gue balik ya, Ple. Makasih loh udah bersedia ketemu gue. Moga ngga ada penyesalan ya.", ucap Danisha seraya membuka pintu mobilnya.
Baim hanya mengangguk sambil tersenyum tanpa mengatakan apa-apa lagi sampai mobil Danisha melaju meninggalkan dirinya yang masih termangu.
'Ah, kenapa lo begini sih, Im?!', rutuk Baim pada dirinya sendiri.
Dalam hati sebenarnya Baim ingin mengatakan bahwa bisa saja dia menerima perasaan Danisha kembali, namun dia masih belum terlalu yakin dan perasaannya pada Namira juga begitu berat untuk dilepaskan.
Baim tertegun, mendadak teringat sesuatu soal Namira...ah, Rado!
'Bentar, dia ngga lagi nemenin Namira di kedai sampai selarut ini kan?', batin Baim bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Dilirknya jam tangan yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Baim meraih ponselnya, dan menekan nomor Rado.
"Halo" Rado mengangkatnya.
"Di mana lo?",tanya Baim.
"Baru balik dari kedainya Namira. Gimana kencan lo?"
Baim tercekat mendengarnya, entah kenapa tiba-tiba ada yang menganggu perasaannya. Nada bicara Rado sedikit..
"Ya udah, ini gue mau balik. Besok aja gue ceritain."
Klik. Baim mengakhiri panggilan.
Baim menghela napas panjang. 'Lo ngga bakalan kayak dulu lagi kan, Do. Engga kan?'

Setelah itu, pikiran Baim kembali ke masa lalu. Masa yang sebenarnya sangat enggan untuk ia ingat kembali.

to be continued..




Sabtu, 05 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 17)

Bingung.
Baim menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Memutar otak, mencari cara agar Namira batal datang ke rumahnya atau lebih baik dianya saja yang pergi dan bertindak seolah-olah semua itu terjadi secara mendadak. Ah, terlalu biasa, pikir Baim. Ia pun kembali memutar otak dan tiba-tiba muncul bayangan Rado dalam benaknya. Baim mengangguk pasti dan segera menekan nomor Rado, meminta pertolongan darurat.
"Plis deh, Im. Lo ada-ada aja deh ah.", keluh Rado begitu Baim mengatakan ide konyolnya. "Namira mana bisa dibohongin pake model begituan."
"Coba aja dulu, Do. Lo bilang aja mau balikin kolor gue yang lo pinjem buat renang Minggu kemaren. Dan begitu nyampe sini guenya udah ngga ada di rumah."
Terdengar Rado menghela napas, "Im, kenapa lo ngga jujur aja sih ke Namira kalo lo mau ketemuan sama mantan lo itu?"
"Gila kali lo, ntar dikiranya gue balikan lagi sama dia. Ngga ah."
"Loh, bukannya bagus kan kalo Namira mikirnya begitu? Kan jadinya lo ngga terbebani lagi sama dia yang hampir tiap hari ngajakin ketemuan."
"Masalahnya dulu gue pernah bilang ke Namira kalo sampe kapanpun ngga ada istilah kembali ke mantan. Yakali ngga lucu banget kalo gue terlihat ngejilat ludah sendiri."
"Ya tinggal bilang aja lo mau ketemu biasa, melepas rindu, reunian, atau apa kek."
"Ngga. Pokoknya lo ke sini sekarang bantuin gue!", seru Baim sedikit ngotot.
Rado sekali lagi hanya bisa menghela napas, "Kadang gue ngerasa malu jadi temen lo, Im."
*
Namira sedikit terkejut mendapati Rado keluar dari rumah Baim. Padahal aslinya Rado baru saja sampai dan segera menjalankan misi rahasia yang direncanakan Baim yang notabene masih berada di dalam rumah.
"Eh, Mira.", sapa Rado pada Namira dengan sedikit canggung. Raut wajahnya dibuat seakan-akan dia tidak menyangka akan bertemu Namira saat itu.
"Abis ngapain lo?", tanya Namira menghampiri Rado yang berdiri di depan gerbang rumah Baim.
"Ah, ini, gue abis balikin kolornya Baim, tempo hari gue pinjem buat renang di Atlantis sekalian mau ngajakin dia futsalan, eh tapi dianya ngga ada di rumah.", ujar Rado mulai berakting.
Namira mengerutkan dahinya, "Baim ngga ada di rumah? Ke mana dia?"
"Tau tuh, tadi gue cuma ketemu sama si Mbok.", tunjuk Rado ke arah rumah Baim. "Lo mau ketemu Baim?"
Raut wajah Namira terlihat kuyu mendengar Baim sedang tidak ada di rumah. Sebelumnya dia memang sudah punya firasat bahwa Baim akan menghindarinya lagi, tapi ada sedikit harapan Baim mau menemuinya.Tapi sayangnya tidak demikian.
"Dia ngehindari gue mulu, Do. Ngga capek apa ya?", tanya Namira pada dirinya sendiri namun matanya melihat ke arah Rado.
Rado tercekat, sedikit bingung karena ini tidak ada dalam skenario. Menurut Baim setelah Rado mengatakan Baim tidak ada di rumah, Namira akan langsung pergi entah balik ke rumah atau menuju kedai.
"Ah, ngga gitu kali, Mir. Mungkin dia emang ada keperluan mendadak dan mendesak.", ujar Rado asal.
"Keperluan mendadak setiap kali gue ajakin ketemu? Ngga masuk akal.", Namira mendengus. "Ya udahlah kalau dia maunya begitu."
Rado jadi kikuk sendiri melihat Namira yang begitu kecewa seperti itu. Mendadak ada sebuah hasrat yang mendorongnya agar melakukan sesuatu.
"A-anu, Mir. Lo ngga ke kedai hari ini?", tanya Rado iseng.
"Tadinya gue mau ke sana setelah ketemu Baim, tapi berhubung ngga ketemu jadinya gue mager. Mau lanjut tidur aja lah dari pada ketemu klien."
"Jadi lo mau ketemu klien hari ini?", tanya Rado lagi. Namira mengangguk.
"Iya, mau dekor kedai."
"Ya udah ayok gue temenin ke sana biar lo ngga bete."
KLANG!
Mendadak seperti ada suara kaleng jatuh dari atap rumah. Suasana seketika menjadi canggung. Namira memandang Rado dengan pandangan aneh. Dan Rado seketika mengutuk dirinya sendiri.
'LO NGOMONG APAAN SIH DOOOO??!!'
Ah tapi sudahlah, hanya itu yang terlintas dipikirannya.
Semenit berlalu, Namira kemudian terkekeh pelan. Rado berbalik menatap Namira dengan bingung.
"Jadi maksudnya lo mau nganterin gue ke kedai gitu?", ulang Namira setelah tawanya reda.
Rado mengangguk sembari tersenyum canggung, "Ya kalo lo ngga keberatan sih."
"Ya udahlah ayok.",ujar Namira akhirnya.
"Ha?"
"Lo tungguin gue bentar, mau ambil tas sama helm dulu."
Sekian detik Rado hanya melongo dan baru sadar saat menerima pesan dari Baim yang diam-diam mengawasinya dari kamarnya di lantai dua.

From: Baim Kupret
Gimana? Mission accomplished kan?

Buru-buru Rado membalas sebelum Namira keluar dari rumahnya
'Sedikit melenceng dari skenario, tapi oke kok'

'Eniwei gue mau anter Namira ke kedai. Is it okay for you?'

From:Baim Kupret
'Wait..WHAT? NGGA SALAH LO?

Rado menghela napas. 'Gue juga ngerasa ada yang salah Im,' batinnya dengan perasaan sedikit bersalah.
*
Sebenarnya hubungan pertemanan Rado dan Namira bisa dibilang cukup dekat meski perkenalan mereka juga karena Baim yang mempertemukan. Namun ketika Baim mulai melakukan pendekatan lebih serius ke Namira yang tadinya hanya sebatas sahabat dari kecil menjadi gebetan lalu pacaran, Rado tidak seintensif dulu menghubungi Namira, mengiriminya pesan dan sesekali melakukan video call karena mereka kuliah di kota yang berbeda. Dan saat itu juga Rado bertemu dengan Brietta dan jatuh cinta dengan gadis oriental tersebut.
"Udah?", tanya Rado pada Namira yang menghampirinya di teras kedai bersamaan dengan perginya si klien.
Namira mengangguk. "Sorry ya kalo rada lama, gue kira ngebahas soal dekor kedai ngga nyampe sejam begini. Lo pasti bosen nungguin ya sampe abis kopi dua cangkir?"
Rado menggeleng sembari tersenyum, "Yaelah Mir kayak sama siapa aja."
"Laper ngga? Mau brownies?", tawar Namira ,"Gue kasih cuma-cuma nih buat lo."
"Ngga lagi pengen yang manis-manis. Kripik aja ada kripik?"
"Ohh, ada tuh banyak. Kemaren Brietta yang nyumbangin stok kripik kentang..", Namira tidak melanjutkan kalimatnya setelah melihat ada aura lain pada Rado saat nama Brietta disebut.
"Lo..masih suka calling-callingan sama Brietta?", tanya Namira kemudian.
Rado mendengus, "Masih pake nanya lagi. Udahlah, gue ngga mau nambahin masalah buat dia. Buat gue sendiri juga."
"Bokap lo jadi ngirim lo ke Kairo?"
"Lo tau dari mana soal itu?", Rado mengerutkan dahi karena seingat dia, dia hanya cerita pada Baim dan Andra...ah! "Ghina ya?", tebak Rado.
Namira mengangguk. "Ya masa gue tau dari Baim. Dia diajakin ngomong dua kalimat aja susah banget."
Rado tersenyum tipis, "Lo enak masih bisa leluasa buat ngehubungin Baim, rumah sebelahan, masih bisa ngeliatin meski dari jauh. Lah gue boro-boro."
"Leluasa ngehubungin ngga ada artinya kalo si empunya ngga mau nanggepin balik, Do. Sia-sia belaka."
"Seenggaknya lo udah mencoba."
"Kadang gue ngerasa nyesel udah mencoba."
"Baim masih peduli sama lo, Mir."
"Begitupun Brietta, Do."
"Dia engga suka sama gue."
"No. She did."
"Ha?"
"Brietta cuma kegedean gengsi aja, Do."
Rado menghela napas pendek, "Percuma juga lah, Mir. Ngga ada gunanya, sia-sia belaka."
Namira mendengus, "Kenapa semuanya terdengar sia-sia aja ya?"
"Nah, iya kan. Mendingan udahan deh ngomongin hal yang sia-sia begini."
"Kan lo yang mulai."
"Lah? Lo tuh."
"Eh? Iya ya? Hehehe. Sori."
"Mana kripiknya sini keluarin!"

Namira tersenyum. Dan entah kenapa Rado tercekat melihat senyum Namira malam ini. Ada yang lain, ada sesuatu yang beda. Sesuatu yang aneh.

to be continued..