Sabtu, 20 Mei 2017

Tell Me Why (Part 15)

Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, Namira masih belum  beranjak dari tempat tidurnya padahal harusnya hari ini dia membuka kedai dan melayani pelanggan. Bahkan dia lupa bahwa hari ini ada pertemuan dengan salah seorang kenalannya yang seorang arsitek untuk membahas soal renovasi kedainya. Namira baru ingat ketika Ghina menelponnya untuk menanyakan soal itu.
"Mira,lo lagi kenapa coba? Ini meeting penting loh harusnya lo inget. Kan gue udah minta lo yang nemuin dia, gue kan mau pergi sama Andra dan nyokap. Aduh gimana sih lo?", keluh Ghina di seberang sana.
Namira terkekeh pelan, "Gue mager banget sumpah Ghin. Ya udah ntar gue telpon orangnya aja deh, meetingnya ditunda dulu."
"Mir, plis deh. Lo mentingin kegiatan mager lo itu daripada meeting yang jauh lebih penting? Tau ah, terserah lo aja. Sisanya lo yang urus ya, tugas gue cuma ngingetin lo doang. Pokoknya gue mau denger kabar itu kedai bakal direnovasi dalam waktu dekat. Oke?"
"Iya iya, serahin aja sama gue.", balas Namira sekenanya seraya menutup telpon.
Dia menghela napas dalam. Entah apa yang sedang mengusik pikirannya hingga rasanya malas untuk melakukan apapun akhir-akhir ini. Yang dia ingat hanya pertemuan terakhirnya dengan Baim dua hari lalu saat dia baru pulang dari rumah Ghina. Dia tak sengaja berpapasan dengan sahabatnya dari kecil itu di depan rumahnya. Baim yang hendak membuang sampah hanya tersenyum tipis saat Namira menyapanya. Senyum yang tidak biasa, terlihat canggung dan sedikit memaksa. Namira begitu asing melihat Baim yang sekarang, kenapa begitu besar perubahan hubungan diantara mereka, pikir Namira.
Baim masih belum tahu alasan Namira tidak pernah tertarik dengan komitmen adalah karena trauma dan phobianya. Rasanya Namira belum sanggup menceritakannya pada orang lain. Ah, kecuali pada Brietta. Kalau saja waktu itu dia tidak keceplosan bicara dan Brietta tidak mendesaknya mengaku, Namira akan tetap tutup mulut dan menjaga rahasianya rapat-rapat.
"Lo harus ngomong soal ini sama Baim, Nam! Sampai kapan lo bakal ngerahasiakan soal ini?", tanya Brietta pasca Namira menceritakan soal phobia pernikahan yang dideritanya.
Namira menggeleng, "Gue ngga bisa bilangnya, Bri. Berat tau rasanya, dan gue juga takut sama respon dia selanjutnya bakal gimana. Gue takut dia malah makin jauh dari gue.", jawabnya lesu.
"Astaga, Namira. Lo lebih kenal Baim dari siapapun, dia pasti bisa menerima kondisi lo.Kebiasaan lo yang suka sendawa atau nguap ngga pake nutup mulut pake tangan aja dia maklumin kok."
Namira spontan menepuk dahinya sendiri, "Brietta masalah ini tuh ngga sesepele itu. Selama 26 tahun hidup gue, yang paling ngeganggu gue adalah soal phobia ini dan ngga gampang buat ngerasainnya sendirian, tapi juga nggak fair kalo gue bagi masalah ini sama orang lain. Gue ngga mau yang lain terbebani."
"Gue? Gue gimana? Setelah lo cerita semuanya, gue fine-fine aja kan?"
"Beda orang beda respon, Bri. Ngga semua bisa menerima dan memaklumi."
"Kenapa lo bisa mikir kalo Baim ngga akan bisa memaklumi?"
"Pertama, dia pasti akan kecewa dan marah banget karena gue ngerahasiakan ini begitu lama dari dia. Kedua, kalaupun gue cerita ngga akan mengubah apa-apa, gue tetep ngga akan bisa sama dia. Ketiga, setelah dia tau, yang ada dia makin jauh dari gue. Karena dia terlalu sayang sama gue, dia ngga bisa lagi jadi sahabat gue. Makin sering ketemu, makin berat dia ngelepas gue. Itu yang pernah dia bilang ke gue, Bri. Gue bisa apa kalau akhirnya bakal seperti itu?"
Brietta menghela napas pendek, "Oke, biarin lo mikir aneh kayak gitu. Tapi seadainya Baim tau dan dia malah bersikekeuh mempertahankan lo dan tetep ngajakin lo nikah, gimana? Apa lo bisa mengubah mindset lo soal pernikahan itu?"
"Kan gue udah bilang, kalaupun gue cerita ngga akan ngubah apapun. Jadi buat apa gue ceritain?"
"Terus lo maunya gimana sama Baim sekarang?"
Namira menggigit bibir bawahnya, "Gue cuma mau kami bersahabat lagi seperti dulu. Bagi gue itu udah cukup, dan gue akan ngerasa baik-baik aja setelah itu."
"Itu kan elo, kalo Baim? Duh, Nam, gue tau lo juga sayang banget sama Baim, tapi lo malah cuma pengen sahabatan aja sama dia. Emang lo rela apa kalo someday dia bakal ketemu sama orang lain dan berjodoh sama orang itu?"
Namira terhenyak. Dia belum terpikir soal itu,
"Gue..gue ngga tahu, Bri. Ngebayanginnya aja gue ngga mampu."
*
Namira tersentak begitu mendengar ketukan pintu kamarnya. Tersadar dia melamun begitu lama.
"Bentar," sahut Namira seraya membuka kunci pintu. Terlihat Mamanya yang berdiri di balik pintu sembari membawa nampan berisi camilan dan buah-buahan.
"Ngga laper, Neng? Ngamar mulu seharian ini. Kedai siapa yang ngurusin?", tanya sang Mama dengan nada menyindir.
Namira terkekeh, "Lagi mager, Ma. Males ke kedai, lagian Ghina juga lagi pergi."
"Lho, harusnya kamu yang jaga kedai dong kalo Ghinanya pergi. Kan kalian yang ngurus itu kedai sama-sama, kalo yang satu berhalangan, yang satunya yang menghandle dong. Bukannya malah dibiarin tutup.", ucap Mama seraya meletakkan nampan di atas meja. 
"Baim kok lama ngga ke sini ya?", tanya Mama tiba-tiba yang sontak  saja membuat Namira tersedak.
"Uhuk!"
"Kalian masih baik-baik aja kan?"
Aduh, mau jawab gimana ya? pikir Namira dalam hati. 
"I-itu, Ma. Baim kan sibuk kerja, lembur terus, jadi ngga sempet main. Aku juga.."
"Halah, sesibuk apapun dia pasti nyempetin main ke rumah kok. Kemaren Mama ketemu Mail di toko, dia bilang Baim juga lagi seneng menyendiri di kamarnya waktu Mama nanyain Baim ke mana aja ngga pernah ke rumah lagi. Kalian kompakan amat sih? Mama jadi penasaran sama kalian deh, ada yang ngga Mama tau ya?"
Aduh, mau jawab gimana lagi ya? Pikir Namira dalam hati, lagi.
"Mungkin Baimnya lagi capek, Ma. Makanya.."
"Tapi kok Mama sering lihat motornya Andra parkir di depan ya, sama Rado juga tuh belakangan ini. Heran, mereka sering main ke sebelah tapi ngga pernah ke rumah. Toh biasanya kalo geng cowok itu pada kumpul, kamu juga ikutan nimbrung. Kok sekarang udah ngga lagi?"
Pertanyaan demi pertanyaan dari Mama makin membuat Namira gugup dan bingung hendak menjawab apa. Namira bimbang, apakah akan terus terang saja pada Mamanya kalau dia dan Baim sudah lama putus dan kini Baim menjauhinya. Atau tetap berusaha menutupinya dan membuat anggapan mereka baik-baik saja?
"A-anu, Ma.."
"Tapi Mama pikir kok Baim santai banget ya. Si Andra yang badungnya minta ampun gitu aja udah siap seriusan sama Ghina, kok dia ngga bertindak ke kamu juga sih?"
Namira terhenyak, "M-maksud Mama?"
"Dia belum ada omongan mau nikahin kamu atau gimana gitu?"
DEG! Seketika ada sebuah dorongan kuat dalam diri Namira yang entah darimana datangnya. Mulutnya terbuka, dan..
"Nikah gimana Mama, yang ada aku putus sama Baim."
Mama tersentak. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi tidak biasa.
Spontan Namira menutup mulutnya.
Ah. Kelepasan bicara lagi.

to be continued..

Sabtu, 13 Mei 2017

Tell Me Why (Part 14)

Sudah hampir dua jam Ghina hanya termenung di kamarnya. Ia mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dan meminta kepada orangtuanya agar membiarkannya sendiri dulu. Tentu saja hal ini membuat Mama Ghina bingung dan panik bukan kepalang, karena beberapa jam sebelumnya Ghina sangat bersemangat menyelenggarakan hari jadiannya dengan Andra, namun setelah Ia pamit untuk menjemput Andra,Ia kembali dengan wajah kusut, lesu, dan mata yang sedikit sembab. Melihat Ghina seperti itu, orangtua serta kedua sahabatnya pun bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah terjadi?
Brietta segera menelpon Andra, Namirapun ancang-ancang untuk mengomeli laki-laki yang dipacari oleh sahabatnya selama enam tahun itu.
"Lo apain Ghina, Nyet?! Lo ngga inget apa sekarang hari penting buat kalian? Seenaknya aja lo ngerusak momen indah begini! Lihat tuh, si Ghina sampe sembab gitu matanya! Tanggung jawab lo, kampret!", Brietta spontan ngomel membabi buta ketika telepon diangkat.
"Eng, bentar. Ini Brietta apa Namira ya?",Brietta sontak mengangkat alisnya. Kenapa ini orang malah menanyakan siapa dirinya?
"Ngga penting gue Brietta apa Namira, yang penting sekarang lo dateng ke rumah Ghina sekarang! Tanggung jawab lo!", tukas Brietta masih mencak-mencak.
"Bilangin dia suruh bawa bunga mawar seratus tangkai sebagai permintaan maaf, Bri. Buruan!", bisik Namira pada Brietta.
"Oh iya, bawa juga seratus tangkai mawar sebagai tanda permintaan maaf lo buat Ghina. Harus kudu musti seratus, ngga pake nawar!"
"Buset, beneran ngga boleh nawar tuh? Lima tangkai aja gimana?"
"Heh! Ngelawan lagi lo! Lo yang salah kok ngga ngerasa sama sekali sih?"
Terdengar suara tawa renyah di seberang sana. Brietta melotot, kesal.
"Malah ketawa lagi!"
"Hahaha sorry, sorry Bi. Lagian kocak banget sih permintaan kalian. Anyway, gue bukan Andra. Gue Rado, kebetulan lagi di rumah Baim. Tadi Andra juga di sini sih, tapi lagi on the way rumah Ghina kok. Tinggal ditunggu aja."
Brietta sontak terhenyak. Kok Rado sih? batinnya bingung.
"Ng-ngapain lo yang angkat sih?",tanya Brietta, salting.
"Tadi Andra perginya buru-buru, lupa deh sama handphonenya.", jawab Rado diikuti tawa kecil. "Lama ya rasanya ngga denger suara lo, Bri. Lo apa kabar?"
Deg! Brietta merasa ada yang berdebar di dadanya mendengar ucapan itu. 
"Bangke, malah nanyain soal Brietta. Modus amat lo, Nyet?", terdengar suara orang lain di seberang sana. Brietta tersentak.
"Yeehh! Nanya doang, Im! Eh, maaf ya Bri, gue lagi sama Baim nih. Lo di rumah Ghina sekarang? Gimana, Andra udah nyampe belom?"
"Ah? Itu kayaknya ada suara motor diparkir deh. Mungkin si Andra kali ya. Ya udah kalo gitu ya, Do. Bye."
Klik! Brietta memutuskan sambungan telpon.
"Mati gue..", desah Brietta sembari memegang dadanya. Ia merasa ada desiran keras di dalamnya.
Namira memandangnya dengan bingung, "Yang tadi bukan Andra?"
Brietta mengangguk, "Rado yang ngangkat. Sia-sia banget dong gue ngomel-ngomelnya tadi?"
"Andranya mana?"
"Lagi ke sini katanya."
"Lo baper gara-gara akhirnya bisa ngobrol lagi sama Rado?", Namira mengerlingkan matanya, menggoda Brietta.
Sontak Brietta menepuk bahu Namira keras, "Ya enggak lah!", bantahnya.
Namira mencibir, dia paham bahwa sahabatnya itu jelas berbohong. Karena Namira tahu, perasaan Brietta pada Rado sesungguhnya masih terlalu kuat.
***

Ghina membuka pintu kamarnya begitu mendengar seruan Andra yang memekik telinganya. Suara laki-laki itu terlalu nyaring hingga membuatnya tidak tahan dan buru-buru ingin meneriakinya balik.
"BISA NGGAK KAMU NGGA PAKE MANGGIL-MANGGIL AKU MULU SAMBIL NYANYI-NYANYI NGGAK JELAS BEGITU?! BIKIN POLUSI SUARA TAHU,NGGAK?!", seru Ghina sembari membuka pintu kamarnya. Andra yang sudah menunggu di balik pintu sontak melemparkan tubuhnya ke arah Ghina, memeluknya erat.
"Maaf ya, sayang. Aku yang salah, malah aku yang marah ke kamu. Tahu ngga, tadi di depan aku udah diomelin sama Mama kamu, sama Namira dan Brietta juga. Jadi kamu jangan nambah-nambahin omelan ya, aku udah puas diomelin, oke?", ucap Andra lembut yang seketika membuat Ghina terharu.
"Aku tuh takut, Ndra, kalau kita bakal selesai kali ini.", ucap Ghina, menahan isak tangisnya.
Masih dalam dekapan Ghina, Andra menggeleng keras. "Ngga, sayang. Ngga akan kita selesai kali ini. Kita akan terus sama-sama sampe kita ubanan, sampe gigi kita ompong, sampai maut memisahkan."
Ghina tersenyum penuh haru, "Kamu jangan bandel lagi dong, jangan bikin aku nunggu terlalu lama."
"Iya, aku ngga akan nyuruh kamu nunggu lama kok. Aku nurut aja gimana maunya kamu sekarang, oke?"
"Tunangan dulu ya."
Andra melepas pelukannya, menatap Ghina dengan jahil. "Gimana kalo ciuman dulu?"
Ghina menepuk lengan Andra kemudian mencubitnya gemas. Andra balas mengecup bibirnya tak kalah gemas.

"Sialan, kenapa gue harus lihat part yang ini sih?", umpat Brietta berbisik pada Namira yang mengintip di balik dinding pemisah ruang tamu dan kamar Ghina.
Namira terkikik, "Kenapa, pengen kissing juga lo?"
"Sama siapa? sama guling, sering."
"Kata lo bibir Rado seksi, merah alami gitu sampe lo tergoda."
Brietta melolot, "KAPAN GUE PERNAH BILANG BEGITU, MIRAAAA?!!"

to be continued..

Minggu, 07 Mei 2017

Tell Me Why (Part 13)

"Ngapain lo?", tanya Baim heran begitu mendapati Andra sudah duduk lesehan di teras rumahnya. Andra membuang napas sebal.
"Bagi rokok dong. Punya gue dibuang Ghina tadi di kosan.", Andra  menadahkan tangannya pada Baim.
"Lo bukannya harusnya lagi sama Ghina sekarang? Kata Brietta kalian lagi anniversay-an.Widih yang udah enam tahun barengan mulu kayak anak kembar siam, selamat ya.", celoteh Baim tanpa menghiraukan Andra yang masih menadahkan tangannya minta rokok.
Andra mendengus, "Selamat palalu! Yang ada gue baru ribut sama dia."
Baim terhenyak, "Serius lo? Kenapa lagi sih kalian ini?"
"Im, coba lo yang ada di posisi gue, pasti lo bakal sama keselnya sama gue dah."
"Emangnya ada apaan sih?"
"Intinya Ghina nyepelein gue dan ngerendahin gue sebagai laki-laki yang notabene bakal jadi kepala keluarga yang tugasnya cari nafkah dan biayain hidup keluarga gue nantinya.", Andra menghela napas berat. "Ghina bilang kalo gue belum sanggup soal biaya nikah, dia yang bakal tanggungin dulu. Jelas aja gue kesel abis lah dengernya. Dia pikir gue ngga mampu, apa? Gue mampu, cuma belum cukup aja yang gue punya sekarang. Yang gue perluin adalah sedikit waktu lagi, tapi dia sangat tidak sabaran nunggu gue."
Baim terkikik mendengar cerita Andra. "Eh kunyuk, yang harusnya ngambek tuh Ghina bukan lo. Dia yang udah terlalu lama nungguin lo ngumpulin modal sampe cukup. Wajar lah kalo dia lama-lama gregetan sama lo yang ngga bertindak cepat juga."
"Ya tapi ngga perlu sampe ngomong gitu juga kali, Im. Harga diri gue berasa kayak diinjek-injek tau, ngga? Sumpah kesel banget gue digituin. Dia bilang begitu seolah semuanya begitu gampang buat dijalani, tapi dia kan ngga ada di posisi gue. Dia enak dari keluarga kaya raya, bokapnya pengusaha properti sukses, nyokapnya pegawai di BUMN, mana dia anak satu-satunya yang selalu dimanja sama orangtuanya. Dia bahkan ngga perlu cari-cari kerja buat biayain hidupnya sendiri, cuma modal patungan sama Namira buat bikin kedai dan taraaa, dia jadi manajer secara instan."
"Lo sebenarnya kesal sama kata-kata dia atau lo kesal karena dia terlihat jauh lebih 'mampu' daripada lo makanya lo iri?"
Andra terhenyak.
"Ndra, ngga perlu ngerasa harga diri lo diinjak-injak sama Ghina lah. Ya harusnya lo bersyukur punya pasangan yang bisa membantu lo soal materi nantinya. Toh bukannya menikahi gadis kaya dibolehkan? Coba sana tanya sama Ustad Hanafi."
"Maksud lo bokapnya Rado? Ngga, sungkan gue. Orangtua Rado ngga ada yang demen liat gue main sama anak bontotnya. Mungkin pikirnya gue bakal ngasih pengaruh negatif ke Rado kali."
"Tapi gimana dengan orangtuanya  Ghina? Mereka selalu welcome sama lo dari dulu kan? Bokapnya Ghina tau kalo lo demen ngebir meskipun ngga sering dan ngga sampe mabok. Nyokap Ghina yang kata lo cerewet, suka ngatur lo buat  ini itu, tapi tetep baik sama lo meskipun lo pernah hampir masuk penjara gara-gara berantem sama orang di klub malam. Dan Ghina, dia kurang sabar apa sama lo nyeeettt?"
"Lo kok malah ungkit soal aib gue itu sih ah. Bukannya ngehibur gue, ngebela gue, eh malah.."
"Gue mau belain lo kalo lo bersikap bener, Ndra. Tapi kali ini harusnya lo sadar kalo sabarnya Ghina ada batesnya juga. Udahlah Ndra, buang gengsi lo soal materi itu. Toh mereka ngga ngatain lo matre atau gimana kan, selama ini juga Ghina ngga pernah ngeluarin duit kalo jalan sama lo. Orangtua Ghina pasti tau persis lah gimana usaha lo, tapi ngga salah juga kalo lo nerima sedikit bantuan dari mereka. Itung-itung meringankan beban lo dikit lah, Ndra."
Andra menghela napasnya kembali, "Kenapa kali ini gue ngerasa semua kata-kata lo itu masuk akal ya?"
"Karena emang semuanya  masuk akal, kampret! Lo kapan pinternya sih astaga."
"Gue harus gimana dong sekarang? Yakali ngga lucu banget gue dateng ke acara itu setelah gue ninggalin Ghina gitu aja di jalan tadi."
"Masih gengsi aja lo?"
"Ah!", Andra mendapat ide. "Gimana kalo lo pura-pura nyeret gue ke sana biar seolah gue masih ngambek tapi dipaksa lo buat dateng? Im, bantu gue banget kali ini, oke?"
Baim ternganga mendengar ide aneh Andra yang spontan itu.
"Kadang gue suka ngerasa malu jadi temen lo, sumpah.", tukas Baim sambil geleng-geleng kepala.

to be continued..