“Melupakan
tidak semudah mencintai”, ucap seorang penumpang bus yang duduk di sebelahku
dengan tiba-tiba. Aku tersentak, kemudian menoleh ke arahnya. Terlihat tangan
kirinya tengah menggenggam handphone dengan posisi menggantung pada telinga
kirinya. Oh, sedang menelpon. Aku kira dia sedang mengajakku bicara tadi.
“Aku udah
berusaha semaksimal mungkin. Cuekin dia, abaikan semua pesan singkat dari dia,
selalu nolak kalau dia minta ketemuan, bahkan sekarang aku udah nggak punya
akun media sosial biar benar-benar putus komunikasi sama dia, Ki. Aku kurang
usaha apa lagi?”, ucap gadis yang duduk di sebelahku itu dengan nada putus asa.
Berkali terdengar helaan nafasnya yang berat.
Oke, kenapa
aku malah jadi nguping begini? Tapi mau gimana lagi, aku punya dua telinga
untuk mendengar, dan dia bicara tepat di sebelahku. Lalu apa harusnya aku
pindah tempat duduk lain? Kayaknya nggak mungkin, bus ini sudah penuh dilihat
dari banyaknya penumpang yang tidak kebagian kursi. Wajar saja sih, karena saat
ini adalah jam pulang kantor. Ya mau tidak mau aku telingaku ini harus
mendengar curahan hati seorang gadis-yang-tidak-aku-kenal-dan-tengah-galau-ini.
Gadis
berjilbab pink yang kalau dilihat dari wajahnya seumuran denganku ini
mendongakkan kepalanya dan terlihat ada tetesan air mata yang jatuh.
Plis deh,
sempe-sempetnya dia nangis di dalam bus yang sesak begini.
“Aku capek
kalau harus begini terus, Ki. Aku nggak kuat. Hati aku tersiksa kalau dia
muncul dan ngilang seenaknya aja. Yang lebih nyakitin lagi ketika aku sadar
kalau aku masih terlalu sayang sama dia.”, gadis itu mulai terisak pelan.
Sepertinya dia cuek dengan kondisi bus sesak dan tidak peduli ada aku yang
duduk di sampingnya yang tengah menatapnya dengan iba.
“Cuma dia
yang berhasil bikin aku tersiksa sampai 4 tahun lamanya, Kirana. Cuma dia!”,
tukasnya lantang. “Cinta aku ke dia udah terlalu dalam, aku udah banyak
berkorban sampai kayak orang bego tau nggak. Saking begonya aku sampai nggak ngerti
harus gimana lagi ngadepin dia”, gadis itu mengusap pipinya yang basah. Tapi
beberapa detik kemudian dia menoleh padaku, sepertinya dia sadar kalau tengah
aku pandangi.
Seketika aku
salting, tapi gadis itu Cuma tersenyum tipis padaku. Aku balas dengan senyum
canggung.
“Tapi aku
sadar aku nggak bisa kayak gini terus, pokoknya aku harus ngelakuin sesuatu.”,
terdengar nada bicaranya kini mulai tenang. “Aku sekarang lagi di perjalanan
mau ke rumah Sammy, aku mau menyudahi semuanya hari ini juga. Aku mau kami
benar-benar selesai, aku nggak mau berurusan sama orang yang udah nyiksa aku
itu lagi.”
Ooh, jadi dia yang dari tadi di sebut itu namanya
Sammy.
“Seandainya
dulu aku nggak jatuh cinta sama dia, aku nggak akan tersiksa kayak gini.
Seandainya dulu aku nggak berharap apapun sama orang itu, aku nggak akan
ngerasain pahitnya dijatuhin sekeras ini, Ki. Aku kapok, aku nggak mau lagi
ngerasain begini.”, gadis itu menghela napas panjang seraya menekan tombol handphonenya
mengakhiri pembicaraan kemudian memasukan handphonenya ke dalam tas. Setelah
itu dia hanya diam sambil memandang keluar jendela bus.
Ada perasaan
canggung selepas menguping pembicaraan orang yang tidak aku kenal ini. Apa
harus aku ajak bicara ya?
“Maaf ya,
Mbak, kalau barusan saya mengganggu kenyamanan Mbak”, ucap gadis itu tiba-tiba
dengan wajah tersenyum. Seolah dia bisa membaca isi hatiku saja.
Aku sedikit
tersentak, “Oh? Ah, enggak kok, saya nggak merasa terganggu.”
Gadis itu
mengangguk pelan, “Tujuan ke mana, Mbak?”, tanyanya.
“Perum Griya
Asri. Mbak sendiri?”
“Loh? Saya
juga mau ke sana, Mbak. Mbak tempat tinggalnya di sana?”,
“Iya, saya
ngekost di sana. Tepatnya di blok H, komplek kost-kostannya mahasiswa.”
Gadis itu
terperanjat, “Blok H? Berarti kenal sama yang namanya Sammy Prastia dong?”
Aku
tercenung, “Sammy Prastia? Dia kuliah di Dharma Jaya juga nggak? Yang saya tau
sih di komplek itu yang ngekost rata-rata teman sekampus saya doang. Dan saya
nggak paham sama yang namanya Sammy Prastia.”, jawabku seadanya.
“Bukan, dia
itu bukan mahasiswa. Tapi dia anaknya pemilik kost yang ada di blok H.”
“Yah, saya
nggak paham tuh Mbak. Dia temannya Mbak?”
Oke Olla,
kamu udah mulai sok akrab sekarang.
“Yaa, bisa
dibilang begitu.”, gadis itu menjawab tanpa ekspresi.
Melihat dia
begitu aku jadi bingung harus menanggapi bagaimana lagi. Nggak mungkin kan aku
nanya-nanya soal si Sammy Sammy itu.
“Mbak
namanya siapa?”, tanya gadis itu seraya mengulurkan tangan.
“Olla”, aku
membalas uluran tangannya.
“Saya Ardina.
Jadi Olla ini mahasisiwi?”
Aku
mengangguk pelan seraya berpikir, memangnya dari tampangku ini nggak keliatan
wajah-wajah anak kuliahan ya?
“Ambil
fakultas apa?”, tanyanya lagi.
“Fakultas
Bahasa dan Seni semester lima. Memangnya Mbak Ardina ini..”
“Masih muda
ya?”
Aku
tersentak. Hah? Masih muda? Lah emang dia sendiri nggak ngerasa kalau masih
muda juga ya?
“Saya udah
lulus kuliah 3 tahun lalu, dan Alhamdulilah sekarang udah kerja sebagai akuntan
di bank swasta.”
Aku
tersentak lagi, kali ini dengan sedikit melongo. Jadi, itu artinya..
“Kok
kayaknya Olla kaget gitu?”, sepertinya dia menyadari ekspresi mukaku yang kayak
orang cengo.
Aku
menggaruk kepalaku yang mendadak gatal, “Oh, anu, saya kira Mbak ini seumuran
sama saya. Dilihat dari mukanya masih kayak anak kuliahan sih.”, ujarku dengan
senyum canggung.
Mbak Ardina
tertawa pelan, “Banyak kok yang bilang begitu. Tapi aslinya saya ini udah umur
26 tahun loh. Udah tua, tapi masih aja sibuk menggalau.”
Aku tertawa
garing. Bener juga, udah tua masih aja ngegalau di dalam bus.
“Saya juga
kadang bingung kenapa saya masih kayak anak SMA begini kalau udah berurusan
soal asmara. Temen-temen saya juga pada bilang kalau ketidakdewasaan saya
terlihat kalau sedang patah hati. Ya kayak sekarang ini. Kamu lihat sendiri kan
tadi saya nangisin cowok?”, Mbak Ardina tertawa pelan, seolah menertawai
ketidakdewasaannya sendiri.
“Yah,
namanya juga urusan hati, Mbak. Kadang emang susah untuk dikontrol”, ujarku
dengan sotoy.
“Olla pernah
patah hati?”
Aku
mengangguk, “Bukan pernah lagi, sering.”
“Patah
hatinya bukan karena putus cinta, tapi karena cowok yang kamu sayangi setengah
mati ninggalin kamu demi cewek lain. Pernah?”
Aku
mengangguk, kali ini lebih keras. “Pernah. Banget.”
Oh, okay.
Mbak Ardina membuatku kembali teringat pada sosok Irham.
Mbak Ardina
meringis, “Sakit banget ya?”
“Bukan
‘banget’ lagi Mbak. Rasanya udah kayak nggak tertolong lagi lah. Seolah nggak
ada obat buat nyembuhinnya.”
Yak!
Resmilah aku curhat dengan orang yang baru aku kenal. Kenapa aku tiba-tiba jadi
tertular sifat extrovert orang ini?
“Griya Asri!
Griya Asri!”, tiba-tiba terdengar suara kernet bus yang membuat percakapanku
dengan Mbak Ardina terhenti.
“Udah
sampai, yuk turun”, kata Mbak Ardina. Kami berdua pun beranjak dari kursi
penumpang kemudian turun dari bus.
Percakapan
pun berlanjut di sepanjang jalan menuju blok H.
“Jadi Mbak
bela-belain pulang kerja langsung ke sini demi ketemu orang itu?”, tanyaku
sambil berjalan beriringan dengan Mbak Ardina.
Dia
mengangguk, “Ya selagi ada kesempatan kenapa enggak? Saya Cuma takut bakal
lebih menyesal karena nggak menyelesaikannya sekarang.”
“Mbak
menyesal karena udah mencintai dia atau..”
Olla, plis
jangan sotoy!
Mbak Ardina
mengangkat bahu, “Kadang saya bingung sendiri, sebenarnya saya ini menyesal karena
udah dipertemukan dengan dia atau saya menyesali perbuatan saya sendiri. Saya
nggak bisa membedakan itu, rasanya sama aja. Yang saya rasakan ya hanya itu,
penyesalan yang entah karena apa.”
“Lalu, apa
yang bakal Mbak lakukan kalau udah bertemu sama dia?”
“Saya bakal
ungkapin apapun yang saya rasakan selama ini sama dia. Saya pengin dia tahu
kalau saya benar-benar tersiksa karena dia. Saya pengin nunjukin betapa
capeknya saya berusaha lupain dia tapi dia malah datang dan pergi seenaknya
saja. Saya pengin dia sadar kalau dia udah terlalu jahat mempermainkan saya.
Pokoknya saya nggak mau berurusan lagi dengan dia, saya mau kami benar-benar
selesai.”, kata Mbak Ardina tegas.
“Mbak mau
putus komunikasi selamanya sama dia?”
Mbak Ardina
mengangguk, “Iya. Cuma ini satu-satunya cara biar saya nggak merasa tersiksa
lagi.”
“Apa
nantinya Mbak nggak akan menyesal?”
Gadis
berjilbab itu tersenyum tipis, “Kenapa harus menyesal? Justru kalau saya nggak
melakukan ini, baru saya menyesal.”
*
Aku melempar
kunci kamar kostku ke meja belajar seraya merebahkan badan ke tempat tidur.
Mataku memandang langit-langit kamar dengan nanar. Entah kenapa ada perasaan
aneh yang menyelimuti semenjak pertemuanku dengan Mbak Ardina. Mendengar
kisahnya yang tak jauh beda denganku, melihat sikapnya yang tegas pada
keputusannya, membuatku seketika berpikir tentang masalahku sendiri.
Ya, tentu
saja masalah perasaanku pada Irham yang tak pernah ada habisnya.
Jika Mbak
Ardina berani memutuskan untuk menyudahi masalah dengan cara mengutarakan semua
yang dia rasakan pada orang yang begitu ia sayang, lalu apakah aku harus
melakukan hal yang sama? Ah, jujur saja aku tidak memiliki keberanian untuk
memutuskan seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika akhirnya aku
benar-benar kehilangan kontak dengan Irham. Meski rasanya tersiksa, tapi aku
tidak pernah terpikir untuk memutuskan tali silaturahmi diantara kami. Aku
hanya bersikap cuek di depannya, bersikap seolah aku tidak peduli padanya lagi,
namun di dalam hati aku begitu peduli. Iya, terdengar munafik memang.
Selama ini
aku tidak pernah menghubungi Irham lebih dulu, selalu dia yang menanyakan
bagaimana kabarku. Dan aku tidak pernah lagi meminta Irham untuk tidak lagi
menghubungiku seperti dulu saat aku masih bersama Odie. Kini yang aku lakukan
hanyalah membiarkannya datang dan pergi seenaknya.
Karena aku
sadar, aku tidak punya hak apapun untuk melarangnya ini itu. Siapalah aku ini
baginya?
Aku
mengambil handphone yang tergeletak di tepi bantal dan segera membuka aplikasi
BBM. Ada personal messenger dari Irham yang tertulis ‘biar aku jaga rasa ini
meski tanpamu..’.
Aku
tercenung, apa maksudnya ini? Apa berarti Irham sudah berpisah dengan pacarnya?
Eh, lalu kenapa kalau dia putus, apa berarti aku dan dia bisa dekat lagi
seperti dulu?
Ah, aku rasa
tidak. Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menaruh harap apapun pada dia.
Aku
memandangi display picture Irham, foto dirinya yang tengah tersenyum lebar.
Tampan sekali. Pantas saja aku tidak bisa melupakan wajahnya. Payah!
Tiba-tiba
aku teringat ucapan Mbak Ardina saat menelpon temannya sewaktu di bus tadi. ‘Seandainya dulu aku nggak jatuh cinta sama
dia, aku nggak akan tersiksa kayak gini. Seandainya dulu aku nggak berharap
apapun sama orang itu, aku nggak akan ngerasain pahitnya dijatuhin sekeras ini’.
Aku
tersenyum miris mengingatnya. Ya, mungkin ucapan Mbak Ardina benar.
Seandainya
dulu aku tidak menerima friend request dari
Irham di Facebook, mungkin aku tak akan berkenalan dengannya. Seandainya dulu
aku tidak memberikan nomor teleponku pada Irham, aku tidak akan menjalin
kedekatan dengannya. Seandainya dulu aku tidak mengajak Irham bertemu, aku
tidak akan jatuh cinta padanya. Seandainya dulu aku tidak dicampakkan oleh
Irham, pasti aku tidak akan merasakan sakit yang teramat dalam ini. Seandainya
dulu aku tidak membiarkan Irham terus-menerus menghubungiku, mungkin saat ini
aku telah kehilangan kontak dengannya. Seandainya dulu Irham bisa membalas
perasaanku, mungkin saat ini aku menjadi gadis yang paling bahagia sedunia.
Oke, Mbak
Ardina boleh merasa menyesal atas cintanya pada Sammy, tapi aku tidak bisa
seperti itu. Meski pada akhirnya aku dijatuhkan dengan keras oleh Irham, meski
luka membekas tiga tahun lamanya.
Aku tidak
pernah menyesal karena sudah dipertemukan dan jatuh cinta dengannya.