Selasa, 21 Februari 2017

Tell Me Why (Part 7)

Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, dan Rado masih saja sibuk mengeluarkan satu pakaian dari lemari, mencocokannya dengan celana, menggeleng, kemudian melempar kemeja itu ke tempat tidurnya yang sudah penuh dengan bermacam-macam pakaian. Rado menggeleng lagi, kali ini lebih keras.
"Kenapa ngga ada yang cocok? Ngga ada yang pas? Gue harus pakai apaan, anjrit!", keluh Rado, panik. Dia melihat ke arah jam dinding di kamarnya, jarum jam berjalan tanpa iba makin membuatnya pusing tujuh keliling.
"Oke, ini aja!", ucapnya mantap mengambil keputusan. Diambilnya kemeja batik warna beige yang dipadukannya dengan blue jeans kesukaannya.
Rado tersenyum seraya menganggukan kepalanya berkal-kali. "Gue oke, gue keren, gue kharismatik!", gumamnya sambil melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.
Krieett! Rado tersentak begitu mendengar suara pintu kamarnya terbuka.
"Mas mau ke mana? Kondangan?", tanya Mamanya heran melihat Rado begitu tumben berpakaian rapi.Di  mata Mamanya, Rado hanya akan berpakaian rapi jika hendak pergi ke pengajian, Masjid, atau kondangan saja. Selain itu, dia akan memakai baju seadanya, bahkan cenderung berantakan dan tidak pernah matching.
"Eh tapi itu harusnya jangan pakai celana jin dong, pakai celana bahan warna hitam biar lebih pas.", tunjuk Mamanya yang disambut gelengan dari Rado.
"Umi, Mas lagi buru-buru. Kayak gini aja deh ya, kan udah bagus juga."
"Emang temen Mas yang nikahan yang mana? Baim atau siapa itu yang bandel banget. Ah, Andra."
"Bukan keduanya, Mi. Lagian Mas bukan mau kondangan kok."
"Lah terus ke mana?"
Rado terdiam sejenak, bola matanya memutar, memikirkan jawaban apa yang paling tepat untuk dikatakan pada Mamanya.
'Yang bener aja, masa gue harus jujur ke Umi kalo gue pergi undangan makan malam orangtua gebetan? Yang ada bisa panjang nih diinterogasi dulu.', ujarnya membatin.
Tak lama sebuah 'panggilan' menyelamatkan Rado. Brietta menelpon di saat yang tepat.
"Umi, Mas berangkat dulu ya. Ini udah ditungguin temen.", Rado meraih tangan Mamanya dan mengecupnya lembut.
"Emang mau ke mana sih, ah? Umi penasaran ini, Mas."
"Nanti aja kalo udah balik Mas ceritanya. Oke, Mi? Assalamualaikum."
Dengan cepat Rado mengambil kunci motor dan jaketnya, melesat cepat ke rumah Brietta dengan perasaan campuraduk. Panik, takut, gugup, tapi ada senangnya juga.
'Gue harus tenang, gue harus tenang', sepanjang perjalanan Rado hanya bisa berusaha menenangkan dirinya sendiri.

*

"Jadi ini yang namanya Rado?", tanya Papa Brietta dengan senyum ramah.
Rado mengangguk, canggung. "Iya, Om."
"Sudah lama kenal sama Brietta?", 
"Iya lumayan lama, Om. Dari kuliah semester awal."
"Satu jurusan?"
"Engga, Om. Saya masuk teknik mesin."
Rado berkali menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Rasa tegang dan canggung begitu menyelimutinya. Brietta yang duduk disampingnya berkali memberi 'kode' agar dia tidak terlihat gugup, tapi tetap saja Rado sulit untuk menyembunyikan perasaannya.
"Nah, Nak Rado, ini masakan favorit keluarga kami, ikan cakalang bakar. Cobain deh. Nak Rado bisa makan kalo yang ini kan?", tanya Mama Brietta. Spontan Brietta mendelik ke arah Mamanya.
"Ma..", bisik Brietta seraya memberi kode agar jangan mengungkit soal bisa atau tidak Rado memakan masakannya. Namun Mamanya pura-pura tidak melihatnya.
Rado berdehem, "Iya bisa, Tante. Kebetulan saya juga suka makan ikan bakar, kok."
"Ikan apa aja yang bisa kamu makan? Biar lain kali Tante masakin."
"Apa aja bisa saya makan selagi masih lazim buat dimakan, Tante. Semua yang ada di laut boleh dikonsumsi kok sebenernya."
Mulut Mama dan Papa Brietta kompak membulat, "Oohh..."
"Nahh, berarti gampang kan kalo gitu. Ayo, ayo silahkan dimakan, dinikmati hidangannya.", ucap Mama Brietta lagi.
"Enak banget, Tante. Gurih dan sedikit pedas juga, saya suka.", ucap Rado begitu suapan pertama masuk ke dalam mulutnya.
Mama Brietta terlihat senang dengan ungkapan Rado.
"Jadi..", Papa Brietta tiba-tiba memandang serius ke arah Rado. "Kamu mau bagaimana dengan anak Om?"
Kontan saja Rado tercekat kaget, nyaris saja disemburkannya nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya. Dia terbatuk-batuk, tersedak.
"Pa..", Brietta berbisik pada Papanya. "Bisa ngga jangan bahas soal itu dulu. Kita nikmatin makan malamnya aja dulu, Pa."
"Loh, kan enak kalau makan sambil ngobrol, Bri. Yang penting dikunyah dulu makanannya, ditelan, baru bisa ngobrol.", Brietta hanya menggeleng heran mendengar jawaban nyeleneh dari Papanya.
'Di mana-mana yang namanya makan kan ngga boleh sambil ngobrol. Gimana sih ini orangtua?', batin Brietta kesal.
"Jadi gimana Nak Rado? Kamu sebenarnya sedekat apa sama Brietta?", susul Mama Brietta dengan raut wajah penuh binar penasaran.
Rado menelan ludahnya yang mendadak begitu pahit terasa.
"Saya..Saya sama Brietta cuma teman dekat, Om Tante. Ngga ada hubungan lebih dari itu.", jawab Rado senatural mungkin. Padahal hatinya begitu tidak menentu karena dia sendiripun tidak tahu akan bagaimana dan akan diapakan hubungannya ini dengan Brietta.
"Cuma teman dekat?", ulang Papa Brietta tak yakin.
"Iya, seperti layaknya teman biasa, cuma sedikit lebih dekat. Tapi cuma dekat dalam artian akrab kok, ngga lebih dari itu."
"Kamu suka ngga sama Brietta?", tanya Mama Brietta to the point.
Rado terhenyak, Brietta lebih terlihat kaget.
"A-anu.. Saya..", mendadak Rado terbata. Dipandanginya wajah Brietta yang juga telihat gugup.
Kembali Rado menarik napas dan mengembuskannya perlahan.
"Iya, saya suka sama Brietta."

Rado seketika ingat awal pertama kali dia melihat Brietta di kampus. Saat itu di koridor dia dan kedua temannya sedang berjalan santai sambil bergurau, tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya dari belakang. Seorang gadis berwajah oriental dengan postur langsing dan tinggi semampai. Rado hanya tertegun memandangnya sampai tidak menggubris ucapan 'maaf'' dari gadis itu yang kemudian buru-buru lari meninggalkannya yang termangu dan terpesona.
Rado berani menyebutnya sebagai Cinta Pada Pandangan Pertama.

"Saya sudah memendam rasa sama Brietta sejak pertama kali bertemu, Tante, Om.", ungkap Rado jujur. Entah kenapa tiba-tiba ada hasrat yang memaksanya untuk jujur seperti ini, ada bisikan kuat yang mendorongnya untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan selama ini. Dan Rado tidak bisa memungkiri, dia lega setelah mengucapkannya.
Brietta tertegun, dia sebenarnya sudah sadar sejak lama soal perasaan Rado terhadapnya. Brietta tahu kalau Rado menyukainya, bahkan sebenarnya perasaan Brietta terhadapnya juga tak biasa. Hanya saja Brietta tahu, bahwa mereka tidak akan berhasil. Mungkin.
Papa Brietta mengangguk mengerti, "Om menghargai perasaan kamu terhadap Brietta. Om juga senang karena Brietta disukai oleh laki-laki yang baik seperti kamu. Tapi kamu tahu sendiri kan, Brietta, keluarga kami dengan kamu itu berbeda.",
Rado mengangguk pelan. Mendadak telinganya sakit mendengar kalimat barusan.
"Tante sama Om cuma mau yang terbaik buat Brietta. Jujur saja Tante suka sama Rado, karena Tante lihat Rado anak yang baik dan sopan. Tapi kami sepakat untuk mencegah kalian agar tidak lebih jauh lagi."
Rado tercekat mendengar ucapan Mama Brietta yang blak-blakan seperti itu. Dia sama sekali tidak menyiapkan mental untuk mendengar hal seperti ini.
"Ma, Pa, kan tadi Rado udah bilang kalau kami cuma teman dekat, ngga lebih dari itu. Soal perasaannya terhadap Brietta juga cuma rasa suka sebagai teman kok. Kami sama sekali ngga kepikiran soal yang lebih dari itu.", Brietta tidak mau tinggal diam. Mau tak mau dia harus 'menyelamatkan' Rado dengan cara seperti ini.
"Kamu sendiri bagaimana dengan Rado? Maksud Papa, perasaan kamu?", tanya Papa Brietta.
Kembali Brietta tertegun. Diapun sendiri tidak begitu paham dengan apa yang dirasakannya pada Rado.
"Aku cuma nganggap dia teman biasa, Pa."
Rado merasa matanya panas. Entah karena sebab apa. Tapi yang dirasakannya hanyalah perasaan yang sakit luar biasa.

to be continued..



Rabu, 15 Februari 2017

Tell Me Why (part 6)

Mataku tertuju pada layar ponselku. Lima belas panggilan tak terjawab. Aku menghela napas pendek. Apakah aku pantas mengabaikannya seperti ini? Apakah tidak terlihat kekanakan? Ah sudahlah.
Aku menutup wajahku dengan bantal, berusaha untuk tidur. Namun sebuah ketukan pintu mengurungkan niatku.
"Siapa?", tanyaku dengan nada malas.
"Gue, Bang.", suara Mail, adikku menyahut.
Ah, paling dia mau mengambil stik PS yang kupinjam semalam. "Masuk aja, gak dikunci."
Begitu dia masuk, dia tak langsung mengambil stik PSnya, dia malah menghampiriku ke tempat tidur.
"Bang.."
"Apaan? Gue mau tidur ah, tuh stik lo di atas meja."
"Tau ngga sih lo kalo lo dicariin mulu sama Namira?"
Aku tersentak, sedikit terkejut. "Ngapain dia nyariin gue?",
"Ya mana gue tau. Lagian lo beberapa hari ini kayak lagi main kucing-kucingan sama dia. Kenapa lagi sih lo?"
"Ngga kenapa-napa. Udah ah sana lo ganggu gue mau tidur aja", aku berusaha mengusir Mail.
Tangan Mail merebut bantalku secara kilat. "Putus ya lo berdua?"
Aku mendengus. Itu sebuah pertanyaan retoris, Adikku.
"Siapa yang mutusin?", Mail mulai bawel, "Dia ya?"
"Gue", jawabku singkat.
Mail diam, dia memandangku dengan dahi berkerut.
"Ke mana perginya semua cinta yang selalu lo utarakan itu, ha?"
"Apaan sih lo? Kenapa jadi sok puitis begitu ngomongnya? Baru aja main drama, lo?", aku terkikik pelan mendengar celotehan Mail, adik sematawayangku yang baru duduk di kelas 2 SMA itu.
"Jawab gue, Bang!"
"Gue putus bukan berarti udah ngga cinta lagi, Nyet. Ada banyak alasan."
Mail mencibir, "Aneh lo. Dulu aja pas ditanya kenapa bisa suka sama Namira lo bilang ngga perlu alasan buat suka sama seseorang. Eh pas udah putus aja baru ada alasannya. Ngga jelas emang lo pada."
Aku tertegun. Kenapa aku merasa ucapannya terdengar begitu tepat?
"Bang, gue juga baru putus sama cewek gue.."
"Lo putus lagi?", aku melotot. "Buset dah! Sebulan lo ganti pacar berapa kali, Ismail?!"
Mail menepis tanganku yang memegang bahunya. "Bukan saatnya bahas soal gue. Kita kan lagi ngomongin soal lo!"
"Iya oke, terus kenapa?"
"Gue akhirnya nyesel Bang, kenapa gue biarin dia mutusin gue. Harusnya gue pertahanin orang kayak dia, yang baik, sabar dan sayang banget sama gue. Tapi malah gue nyia-nyiain dia."
"Jadi lo yang diputusin?"
"Deandra itu Bang, baik banget orangnya, cantik, banyak yang suka sama dia, banyak yang ngejar-ngejar dia dan cari perhatian dia. Tapi dia malah milih gue yang nilai matematika sama fisikanya aja selalu masuk bottom three."
Aku menahan tawa saat dia menyebut dua kata terakhir.
"Dia mutusin gue karena dia bilang gue ngga bener-bener sayang sama dia, Bang. Padahal gue aslinya sayang, cuma gue ngga tau aja gimana cara buat nunjukinnya. Lo tau kan Bang kalo gue orangnya rada kaku kalo sama cewe?"
"Rada kaku tapi bisa gampang dapetin cewe dalam jangka waktu yang singkat. Pake jurus apaan lo?"
"Anjrit jangan ngalihin issue dulu ah! Itu karena gue emang kharismatik di mata cewe-cewe, Bang."
"Tapi aslinya lo cuma anak manja cengeng."
"Kenapa malah jadi ngomongin gue?", Mail meninju bahuku cukup keras.
"Okay okay! Set dah, sakit, Nyet!"
"Gue sekarang mau memperbaiki hubungan gue sama Deandra, Bang. Gue sadar kalo dia emang yang terbaik buat gue."
Aku mendengus. "Yakin bener kedengarannya. Tau dari mana lo kalo dialah yang terbaik buat lo?"
Mail mengangkat bahunya, "Gue sih cuma ikutin kata hati aja. Lagian selagi ada yang kelihatan tulus sayang sama gue kenapa ngga gue pertahanin? Gue cuma takut ngga ada lagi yang kayak dia, Bang."
Gue takut ngga ada lagi yang kayak dia.
Kalimat itu terkunci otomatis dalam otakku. Kembali aku menghela napas.
"Tapi hubungan gue sama Namira ngga sesimpel itu. Kami udah sama-sama dewasa, harus lebih mikir jauh ke depan. Kalau salah satu di antara kami ada yang ngga serius dengan itu, buat apa terus diupayakan agar terus bersama? Bukannya itu jadi sesuatu yang sia-sia doang?"
"Serumit apa sih sebenarnya? Dia udah ngga suka sama lo lagi?"
"Mail, ini bukan soal perasaan gue ke dia gimana atau dia ke gue gimana. Ini soal kelanjutan hubungan gue sama dia. Mau diapain nih hubungan kalau Namira diajak nikah aja ngga mau?"
Mail mendelik kaget, "Dia ngga mau nikah sama lo maksudnya? Terus dia maunya sama siapa?"
Aku menepuk dahiku sendiri. Kupikir Mail sudah cukup dewasa untuk umurnya yang sudah menginjak 17 tahun, tapi ternyata dia masih sepolos anak SD.
"Dia ngga suka sama yang namanya komitmen. Intinya, dia ngga tertark buat nikah. Dengan siapapun. Termasuk gue."
Mail tertegun, "Kok separah itu sih, Bang? Dia normal nggak sih jadi cewek?"
"Ya normal lah, cuma jalan pikirannya aja yang sedikit abnormal. Gue juga masih ngga ngerti sama dia padahal udah bertahun-tahun kenal. Meski lo kenal sama orang begitu lama, bukan berarti lo bisa tau segalanya, bahkan segala apapun yang dia pikirin. Lo belum tentu bisa mengerti."
"Tapi lo masih sayang dia kan, Bang?"
Lagi-lagi sebuah pertanyaan retoris.
"Apa masih perlu gue jawab?"
*
"Jangaaannn!", Rado merebut kotak Marlboro yang baru mau aku ambil.
"Kenapa sih? Bagi dikit kali, ah."
"Lo tuh yang kenapa?", Andra menepuk bahuku pelan, "Kenapa lo jadi demen ngerokok lagi? Dan kenapa lo putus sama Namira?"
"Gue cuma iseng.", jawabku ringan.
"Alasannya gitu mulu, lo." Rado memantik rokoknya. "Stres berat lo ya ngurusin Namira?"
"Dia beneran ngga mau diajak nikah, Men. Udah mentok nih gue, buntu banget pikiran rasanya.", ucapku sambil berusaha mengambil kotak rokok yang dimonopoli Rado.
"Bangke! Jangan ah! Kalo mau beli sendiri sono!", Rado menepis tanganku kasar.
"Eeeh, para bujangan Mama malam Jumat bukannya Yaasinan malah ngerumpi sambil bakar-bakar ya?", suara Mama Rado muncul tiba-tiba. Sontak Rado melempar kotak rokoknya ke arah Andra. Andra yang terkejut dengan kemunculan Mama Rado kontan menyembunyikan kaleng Bintang di belakang punggungnya. Aku hanya berpura-pura tidak kaget dan memasang senyum canggung.
Kami bertiga salah tingkah.
"Malam, Tante. Baru pulang dari arisan ya?", sapaku, masih dengan senyum canggung yang dipaksakan.
"Kalian udah pada makan? Kebetulan Mama bawa bolu gulung nih, teman Mama yang bawain tadi.", ucapnya seraya menghampiri kami di teras belakang dengan sekotak bolu gulung ukuran besar.
"Oh, iya makasih Tante. Jadi ngerepotin.", ucap Andra sambil terus menyembunyikan kalengnya.
"Bolu ini cocok loh kalo dimakan sambil minum soda gila."
Aku tertegun, Rado memasang tampang kaget, Andra terlihat shock.
Istilah soda gila yang sering diucapkan Mama Rado berartikan minuman keras, bir, atau dalam hal ini, Bintang yang sedari tadi digenggam Andra.
"Anjrit!", seru Rado lantang seraya meninju lengan Andra begitu Mamanya masuk kembali ke dalam rumah. "Itu kaleng lo masih keliatan, bego! Lagian lo ngapain bawa bir ke rumah gue sih? Tau sendiri keluarga gue kayak gimana! Mereka tau gue masih ngerokok aja suka disewotin!", tukas Rado mengomel.
"Iya maaf maaf, kebiasaan gue nih. Lagian di rumah Baim biasanya aman-aman aja.", Andra ngeles.
"Beda rumah beda aturan, nyet!"
"Lo juga sih, Ndra, masih aja kebiasaan ngebir. Ketauan Nyokapnya Ghina mampus lo.", timpalku.
"Ah ini buat pengusir stres gue aja, Im. Pusing gue mikirin maunya Ghina. Ngga beda kan sama lo yang pusing sama Namira?"
"Beda, Jing! Baim ngga minum kayak lo, ya!", Rado masih sewot.
"Udah-udah ah. Iya gue salah, gue minta maaf. Oke, pren?", Andra memberi V Sign pada Rado.
"Lo sendiri gimana sama Brietta, Do?", tanyaku
Rado menghela napas pelan, "Gue diajakin makan malam di rumah Brietta, Im. Belum siap mental gue."
Sontak aku dan Andra mendelik kaget.
"Udah mau seriusan aja lo sama dia?", Andra terkikik pelan.
"Wah, udah ada kemajuan pesat nih." timpalku
"Kemajuan biji lo! Ini gue takut bakal diapa-apain sama keluarga dia tau, bisa mampus gue di sana!"
"Lo suruh pindah agama jangan-jangan?", Andra usil menakut-nakuti.
Tanpa babibu lagi sebuah tinju keras dari Rado melayang mengenai paha Andra.

to be contiued..

Kamis, 02 Februari 2017

Tell Me Why (part 5)

Akh!
Aku terpekik sendiri saat jariku menekan tombol send. Sial. Harusnya aku cuekin saja semua chat dari orang itu. Tapi kenapa malah aku membalasnya dengan penuh niat begini? Tapi entah kenapa diam-diam aku ingin sekali membalasnya. Tapi kalau aku membalas terus yang ada dia jadi besar kepala dan kegeeran, nanti pikirnya aku suka sama dia lagi. Aih. Pikiranku jadi semrawut ngga jelas begini kalau berhadapan dengan dia.
Rachmadi Dulhazan, atau yang akrab dipanggil Rado. Pertama kali aku tau nama lengkapnya, ketika dia berniat mengantarku pulang kuliah tiba-tiba di tengah jalan ada razia, saat Polisi memeriksa kartu identitas, SIM, dan surat lain, aku tak sengaja melihat nama lengkapnya tertulis di KTPnya. Seketika itu juga aku tertawa kencang sampai Polisi bertanya padaku apanya yang lucu. Aku hanya menjawab kalau aku baru tahu nama lengkap orang yang mengantarku ini berkat adanya razia, aku bahkan berterimakasih kepada Pak Polisi. Rado, yang saat itu hanya malu karena aku tertawakan, hanya diam saja tanpa bantahan apa-apa.
"Kenapa? Nama gue terlalu bagus buat lo sampe ketawa ngga kenal situasi begitu?", tanya Rado begitu sampai di depan rumahku, saat itu.
Aku membungkam mulutku sendiri yang masih belum bisa berhenti terkikik. "Sori, Do. Habisnya lo aneh aja sih, nama bagus begitu lo samarin jadi Rado. Biar apa coba?"
"Ini sih gara-gara dulu waktu di pesantren ada guru gue yang lumayan galak dan berkumis tebal, namanya Pak Rahmadi, sama kayak nama gue. Temen-temen gue yang jahil waktu itu suka ngejekin gue, katanya kalau udah gede bakal kayak beliau. Galak, suka ngomel, kumisnya kayak pagar istana Presiden. Gue risih lah, makanya gue bikin nama panggilan sendiri aja yang kedengaran lebih keren."
"Tapi asli gue ngga akan tahu nama lengkap lo kalo ngga ada kejadian razia kayak tadi tau ngga? Hahahahaha"
Rado mendengus, "Udah sana masuk. Langsung tidur ya, jangan kebanyakan begadang. Nanti mata panda lo tambah gede."
Kontan aku mencubit lengannya gemas. Kesal sekaligus malu karena dia tahu kalau aku bermata panda, kantung mataku memang agak besar dan kehitaman seperti panda. Tapi sekaligus senang sih, karena itu artinya dia memperhatikanku. Gadis mana yang tidak suka bila diperhatikan, iya kan?

Eits. Aku tersadar dari lamunanku begitu balasan chat dari Rado datang.

Ya udah, gimana kalau Sabtu sore?

Hm? Sejenak aku berpikir. Akhir-akhir ini Rado sering mengajakku pergi, tapi tak selalu aku turuti. Kadang ngga enak juga sih kalau menolak terus, lagipula mau beri alasan apa lagi?
"Brietta", suara Mama terdengar di balik pintu kamar, "Ayo sayang kita berangkat, nanti kita terlambat acaranya."
"Iya bentar Ma"

Buru-buru aku membalas pesan Rado sebelum Mamaku mengomel

Gue kabarin nanti ya. Nyokap udah nungguin nih mau pergi

Oke, take care ya Princess Bee

Nafasku tercekat saat membacanya. Entah kenapa saat dia memanggilku begitu, dadaku seketika berdebar.
*
"Bri..", panggil Mama di tengah perjalanan
"Kenapa, Ma?"
"Yang suka ngantarin kamu pulang kerja itu siapa namanya? Radit?"
"Rado namanya, Ma.", ralatku. "Emang kenapa?"
"Ah engga, Mama cuma suka aja ngelihat dia. Anaknya cakep, sopan, terus kelihatannya pekerja keras ya?"
Aku mencibir, "Cakep apanya, Ma? Muka standar begitu, mana orangnya nyebelin, bawel, rese deh pokoknya."
"Tapi di mata Mama dia cakep loh, bersih gitu mukanya. Suka perawatan kali ya? Eh, Bri, kapan-kapan kamu ajak dia makan malam di rumah kita gih."
"Ha? Ya ampun, Ma.." keluhku.
"Loh, Mama mau pamer skill masak Mama loh"
"Dih, Mama ini kenapa sih ngebet banget? Akunya aja biasa aja"
"Dia doyan pork kan ya, Bri? Siang ini dia ikut misa kan?"
Eits. Mama mulai ngelantur, harus aku hentikan sebelum jadi berabe.
"Rado ngga makan babi, Ma."
Mama seketika diam, lalu menolehku yang duduk di bangku belakang.
"Rado ngga pergi ke Gereja kayak kita, Ma. Dia sholat Jumat di Masjid."
 Dan setelah itu, sepertinya Mama enggan membahas soal Rado lagi.
Yah, baguslah.
*
Sabtu sore, akhirnya aku putuskan untuk menemui Rado sepulang kerja. Dia pun mengabari akan menjemputku, tapi aku menolak dengan alasan lebih baik kita bertemu langsung saja di tempat janjian.
Sejak kemarin, moodku tiba-tiba memburuk.Ini bukan soal Mama lagi, tapi sepertinya ini sudah jadi urusan intern keluarga. Ah sial.
"Udah pesan makan?", tanya Rado begitu menghampiriku di sudut kafe.
"Ngga nafsu, males. Lo aja sana.", jawabku dengan jutek.
Rado mengamati wajahku, seolah dia mencoba meneliti apa penyebabnya, "Bri, kalo lo emang lagi sibuk atau ngga pengen ketemu gue, ya ngga apa-apa."
Aku menggeleng pelan, "Ngga. Gue emang sengaja nemuin lo di sini. Ada yang perlu gue omongin."
"Apaan?"
"Nyokap gue..", aku menatapnya lekat-lekat. "..suka sama lo"
Rado terbelalak. Kaget? Jelas iya, banget. Sebuah pernyataan yang sangat tidak terduga bukan?
"Dia mau ketemu lo besok malem. Lo mau kan makan malam di rumah gue?", tanyaku tak yakin jika Rado mau mengiyakannya.
"Be-bentar", Rado membetulkan posisi duduknya. "Dalam rangka apaan neh? Jangan bikin gue ngira yang engga-engga nih."
Aku menghela napas pendek, "Mau ngomongin soal kita."
"Ha?!"
"Iya, dia mau ngomongin soal KITA", aku menekankan kata 'kita' dengan tegas. "Dia ngiranya kita udah pacaran. Mau diseriusin kayaknya."
Rado menggeleng tak percaya, "Wait..ini mendadak banget sumpah. Gue aja belom ada persiapan apa-apa. Gu-gue harus gimana? Harus bawa apaan? Apa perlu orangtua gue juga ikutan?" Rado seketika panik.
"Do!", aku menepuk dahiku sendiri. "Lo cuma harus bawa diri lo sendiri, okay?"
"A-ah, okay.."
 Aku bisa lihat butir-butir keringat dingin yang membanjiri wajahnya.
Gugup ya? Sama.

to be continued..