Minggu, 30 November 2014

Sekali Lagi



Oke. Jadi harus bagaimana sekarang?
Aku kembali melirik handphone yang tergeletak di atas meja belajarku. Belum ada notifikasi yang masuk kembali. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan yang gemetaran. Jantungku berdebar dengan kencangnya, keringat dingin mulai membasahi dahiku. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa hal sesepele itu mampu membuatku panik setengah mati begini?
Sepuluh menit yang lalu, sebuah pesan singkat muncul di layar handphone mengejutkanku.

‘Jalan, yuk!’

Dari Irham.
Hanya seperti itu. Singkat, namun seketika berhasil membuatku kelabakan. Awalnya aku kira dia salah mengirim pesan, tapi ternyata tidak. pesan itu memang tertuju untukku.
Aku pun membalas dengan hati berdebar.

‘Ayo.’

Balasanku tak kalah singkat. Aku coba mengatur napas menantikan balasan selanjutnya. Eh, tunggu. Kenapa aku dengan mudahnya mengiyakan ajakannya? Kenapa aku bisa semudah itu?
TUNG!! Akhirnya sebuah balasan pun datang.

‘Tapi udah jam segini? Nggak apa-apa?’

Aku tercenung. Apa maksudnya dengan ‘jam segini’? Sekarang kan baru pukul setengah delapan malam. Aku pun membalas sambil mengerutkan dahi.

‘Loh, belum juga jam 8.’

Setelah aku membalas seperti itu, belum ada balasan lagi dari Irham. Berkali-kali kulihat handphone dan tidak ada notifikasi apapun disana. Ke mana orang itu? Apa dia sebenarnya sedang mengajakku bercanda? Yang benar saja, setelah dia membuatku kelabakan seperti ini dia kemudian pergi begitu saja?
Tanganku masih gemetaran, jantungku pun masih berdebar kencang. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sebisa mungkin aku harus menahan perasaan ini, aku tidak mau jika aku terlalu jauh menaruh harapan padanya lagi. Irham seringkali seperti ini, membuatku melambung kemudian menjatuhkanku seenaknya. Apa akan terjadi seperti itu lagi? Jika iya, mungkin karena dia yang hanya mencoba mengajakku bercanda. Tunggu, bukankah hal itu akan membuatku kembali menelan kecewa? Tapi kupikir lagi, kalaupun akhirnya aku kecewa, penyebabnya mungkin karena aku yang terlalu bersemangat menanggapinya.
Tapi sejujurnya, aku sangat menginginkan pertemuan ini. Karena di dalam hatiku, aku masih begitu merindukannya.
Aku kembali melihat handphoneku, dan masih tak ada notifikasi apapun. Aku tersenyum miris, mungkin dia sedang iseng saja. Ya sudahlah, aku tidak perlu menanggainya lagi jika nanti dia membalas kembali.

Dan kini, setelah duapuluh menit berlalu, tak ada balasan lagi. Aku pun memutuskan untuk tidur.
*
Keesokan harinya di kafetaria kampus.
Riris mengembalikan handphoneku sambil tertawa mengejek. “Makanya La, jangan kegeeran dulu. Siapa tau dia salah kirim pesan.”
Aku mengangkat bahu, “Iya kali. Atau dia mungkin Cuma lagi ngajakin bercanda.”
Riris tertawa lagi, “Baru dikirim pesan begitu aja udah kegirangan, gimana kalau dia beneran muncul tepat di depan mata kamu. Bisa pingsan kali.”
Aku mendengus, “Nggak bakal gitu juga kali. Aku Cuma kaget aja dapet pesan begitu dari dia. Tau sendiri kan dia hobinya muncul tiba-tiba terus ngilang gitu aja.”
“Nah, kamu kan udah tau sifatnya dia gimana, ya harusnya jangan dianggap serius dong, La. Gampang banget dikadalin sih kamunya, terlalu baper pula.”
“Baper?”, aku mengangkat alisku.
“Bawa perasaan.”, Riris meneguk colanya. “Lain kali jangan gampang kegirangan dulu, santai aja nanggepinnya. Atau bagusnya sih mencing cuekin aja.”
“Penginnya sih gitu Ris, tapi kok aku.. nggak bisa ya?”
Riris menggeleng, “Bukan nggak bisa, La. Lebih tepatnya kamu nggak mau nyuekin dia. Selama ini bukannya kamu udah berusaha nyuekin dia dan berhasil kan? Tapi belakangan kamu jadi mikirin dia lagi, mulai mau nanggepin pesan dari dia, dan ngerasa nggak tega kalau nyuekin. Semacam kamu nggak mau kehilangan kesempatan buat komunikasi sama dia lagi setelah sekian lama kalian lost contact. Bener nggak analisis aku?”
Aku sadar jika mulutku menganga sepanjang Riris berceloteh, “Ternyata kamu segitu pedulinya sama aku ya sampai tau persis apa yang sebenarnya aku rasain.”, kataku sedikit takjub sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lebih tepatnya, aku menduga kalau sebenarnya Riris ini adalah seorang cenayang.
“Lah, sikap kamu tuh gampang ditebak La. Dari dulu juga selalu begitu, nggak pernah berubah sedikitpun.”
Aku mengangguk, “Iya juga ya, aku emang dari dulu nggak pernah berubah.”
“Makanya berubah dong!”
“Jadi apa? Jadi Sailormoon?”
*
Sebuah pesan muncul di layar handphoneku ketika aku tengah fokus mendengarkan dosen mengajar.

‘Udah pulang kuliah?’

Irham. Dia lagi. Ulang sekali lagi, IRHAM LAGI!

‘Belum. Ada apa?’ balasku dengan sedikit berdebar. Seperti biasa.

Tak lama dia membalas ‘Aku barusan lewat di depan kampusmu.’

Hah? Dia barusan lewat di depan kampus? Memangnya dia dari mana? Bukannya tempat kerjanya bukan di daerah sini?

‘Ooh.’ Entah kenapa Cuma itu yang aku ketik di layar handphoneku, bukan menanyakan dia baru dari mana. Padahal di dalam hati aku begitu penasaran.

‘Kamu pulang jam berapa?’

‘Jam dua. Kenapa?’

‘Aku jemput ya.’

Oke. Aku benar-benar gemetaran sekarang. Jantungku berdebar lebih kencang dari sebelumnya.
Aku menoleh Riris yang duduk di sebelahku, kebetulan mata Riris tengah memandang kearahku. Sepertinya dia memperhatikan aku yang sibuk dengan handphone.
“Siapa?”, tanya Riris dengan berbisik.
“Irham Ris, dia katanya mau jemput aku. Gimana dong?”
“Hah?!”, pekik Riris pelan seraya melirik dosen. “Seriusan?”
Aku menunjukkan pesan yang Irham kirim pada Riris. “Sumpah aku gugup Ris. Aku mesti balas apa?”
“Jangan kegeeran dulu, siapa tau dia Cuma iseng aja kayak kemarin.”
Benar juga, mungkin dia Cuma iseng. Tapi bagaimana kalau beneran? Aku pun membalas pesan Irham.

‘Oke.’

Aku menghela napas pendek. Apakah hal yang benar aku membalas seperti itu? Bagaimana kalau ternyata Irham Cuma main-main dan tidak serius dengan ucapannya? Baiklah, mau tak mau aku harus berjudi. Kalaupun dia serius, berarti hari ini akan jadi hari keberuntunganku. Tapi kalau tidak..
Pluk! Sebuah kertas mendarat di mejaku. Riris.
“Kamu balas apa?”, tanya Riris, masih dengan berbisik.
“Aku balas ‘Oke’”, jawabku.
“Bego!!”, pekik Riris lantang. Selepas itu terdengar suara jangkrik. Krik.. Krik.. Krik.
Kontan saja seisi kelas menoleh Riris dengan serempak termasuk dosen. Riris spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya merah padam.
“Siapa yang kamu bilang ‘bego’ Marissa?”, tanya dosen sambil memandang Riris tajam.
Riris menggeleng kaku, “B-bukan siapa-siapa, Pak. He. He.”
Aku menepuk dahiku sendiri. Dan jujur saja aku sedikit merasa bersalah pada Riris.
*
Beberapa hari ini aku jarang mengendarai motor karena berbagai hal, salah satunya hujan yang terus mengguyur dalam dua bulan belakangan. Seringkali aku menebeng mobil Aldi, pacar Riris yang dengan baik hati bersedia menerima tumpangan. Tapi sudah dua hari ini aku lebih memilih naik bus, lama kelamaan tidak enak juga sama Aldi.
Dan hari ini, Irham akan menjemputku. Katanya.
Kita memang tidak pernah tau dengan rencana yang sudah digariskan Tuhan. Ya, beruntung aku tidak sedang membawa kendaraan sendiri, sudah pasti aku menerima tawaran dari orang yang begitu aku rindukan itu. Tapi yang aku khawatirkan sekarang adalah tentang keseriusan ucapannya. Apakah dia bersungguh-sungguh ingin menjemputku di kampus?
Jujur saja aku sudah terlanjur kegirangan dan menerima tawarannya. Tapi di sisi lain aku sedikit takut jika dia tidak jadi menjemputku nanti. Aku takut jika harus menelan kecewa kembali.
Ah, lihat saja nanti. Semoga ketakutanku tidak terjadi.

“Yakin nih kamu mau nungguin Irham?”, tanya Riris begitu kami berjalan menuju parkiran.
Aku mengangguk. “Ya seenggaknya aku mencoba membuktikan ucapannya dia aja sih. Kalau dia beneran datang ya baguslah.”
“Tapi kalau enggak?”
Aku mengangkat bahu. “Tau deh, mungkin aku bakal cuekin dia seumur hidup.”, ucapku sekenanya.
Riris mengacungkan telunjuknya di depan hidungku, “Beneran? Cuekin seumur hidup?”
Aku tersentak, “Y-ya.. eng-enggak...”
“Aku pegang kata-katamu ya! Kalau Irham nggak jadi datang, kamu harus cuekin dia seumur hidup!”
“T-tap..”
“Seorang wanita nggak akan menjilat ludahnya sendiri, Olla Mikhaila!”, ucap Riris tegas seraya membuka pintu mobil Aldi.
Aldi yang tidak mengerti topik pembicaraan hanya tercenung melihat aku dan Riris.
“Kenapa Yang?”, tanya Aldi pada Riris.
“Bukan apa-apa, Cintaku. Ayok pulang!”
“Olla gak ikut?”, Aldi menoleh kearahku.
Aku menggeleng pelan, “Enggak, kalian duluan aja.”
*
Lima menit berlalu setelah aku mengirimkan pesan pada Irham jika aku sudah keluar dari kelas dan tengah menunggu di halte kampus. Sepuluh menit berlalu, belum juga ada balasan dari orang itu, dan aku mulai cemas sekarang. Aku menyandarkan punggungku pada bangku halte, mataku terpejam. Dalam diam aku berdoa agar Irham segera datang, atau paling tidak membalas pesanku dengan mengatakan ‘Iya, aku sedang dalam perjalan’.
Tapi kemudian aku merasa ada sesuatu yang salah. Aku baru menyadari jika semalam Irham tak serius dengan ucapannya yang mengajakku jalan. Lalu kenapa aku kembali menerima tawarannya kali ini? Bukankah itu terdengar begitu tolol? Kenapa aku tidak bisa belajar dari pengalaman? Yang kulakukan hanyalah mengikuti egoku sendiri, dan biasanya berakhir dengan kekecewaan.
Ada sisi lain dari hatiku yang menjawab argumen logikaku barusan. Oke, setidaknya aku mencoba untuk kembali menjalin hubungan baik dengannya setelah lama tidak ada kontak apapun. Aku tidak lagi mengabaikannya seperti beberapa bulan lalu. Jika dia tidak benar-benar serius dengan ucapannya, mau tidak mau aku harus menerimanya. Karena sudah dari awal aku percaya padanya, sudah dari awal aku mengingkan pertemuan ini terjadi. Tidak sedikitpun terlintas dalam benakku untuk menolak tawarannya. Dan jika aku harus kembali menelan kecewa,  itu adalah resiko yang harus aku terima.
Limabelas menit berlalu. Akhirnya sebuah pesan muncul.

‘Maaf ya, aku nggak bisa jemput kamu. Hujannya deras banget.’

Baiklah.

Sekali lagi, aku harus menegaskan pada diriku sendiri. Jika aku harus kembali menelan kecewa, itu adalah resiko yang harus aku terima.

Aku teringat ucapan Riris sewaktu di parkiran kampus tadi. Aku meringis. Ya, mau tidak mau, mulai kini aku harus berusaha kembali mengabaikan Irham seperti dulu. Dan.. itulah resiko yang harus dia terima.

Minggu, 23 November 2014

Cerita Yang Serupa



“Plis La, bantuin aku ya!”, Vega menarikku masuk ke dalam kafetaria kampus. Aku tersentak kaget.
“Eh, bentar dulu. Kamu kenapa sih?”, tanyaku seraya duduk di sebelah Vega.
Vega adalah seorang teman SMA yang berbeda fakultas denganku, aku di fakultas Bahasa dan Seni, dia Teknik Sipil. Dulu kami terbilang cukup akrab saat SMA karena selalu berada dalam satu kelas yang sama. Tapi semenjak kuliah, kami jarang sekali bertemu meski sekedar untuk mengobrol. Mungkin karena jarak gedung fakultas kami yang lumayan jauh, hingga mengurangi intensitas untuk bertemu.
Tapi siang ini aku dikejutkan dengan kemunculannya yang mendadak. Iya, mendadak tanganku ditarik-tarik olehnya dan diminta untuk membantu permasalahannya yang entah apa.
“Aku tau banget La, kamu ahli banget dalam hal ini. Makanya aku minta bantuan kamu.”, kata Vega dengan mimik wajah panik.
Aku mengernyitkan dahi, “Aku ahli dalam hal ini? Dalam hal apaan?”
“Dalam hal menghadapi mantan pacar!”, jawab Vega lantang. Aku tercengang.
“H-hah??”
“Iya! Aku punya permasalahan sama mantan aku, La. Jadi gini..”
Aku mengangkat kedua tangan di depan dada, mengisyaratkan Vega agar tidak bercerita lebih dulu.
“Kamu kesini nyamperin aku dengan terburu-buru, Cuma karena mau.. curhat soal mantan? Ya Tuhan!”
Vega menggigit bibirnya, sedikit tersipu. “Kamu bisa bantuin aku kan, La? Paling enggak dengerin cerita aku dulu.”
Aku menghela napas panjang. “Oke. Gimana?”
Vega membetulkan posisi duduknya agar lebih dekat denganku.
“Dua tahun lalu aku pacaran sama cowok bernama Kenny, dia adalah teman dari gebetan aku sebelumnya, Renno. Aku sama Kenny kenalan karena Renno yang ngasih nomerku tanpa permisi ke Kenny. Sampai sini kamu ngerti kan, La?”
Aku mengangguk, “Iya, terus?”
“Nah, sebenarnya aku nggak terlalu suka sama Kenny, tapi dia kayak ngejar aku terus. Padahal waktu itu hati aku Cuma tertuju buat Renno seorang. Tapi apalah daya, Renno Cuma nganggap aku teman curhat doang, dan akhirnya dengan terpaksa aku nerima cinta Kenny.”
Mata Vega terpejam sebentar, desahan nafasnya terdengar berat.
“Aku sayaaang banget sama Renno, La. Dia segalanya buat aku. Oke, mungkin sebagian orang yang tau soal perasaanku ke Renno nganggap ini Cuma obsesi konyol, tapi perasaanku ke dia nyata adanya, La. Aku rapuh banget tanpa dia.”
Tunggu, entah kenapa aku seperti mengenal cerita semacam ini. Tapi.. di mana aku mendengarnya?
“Akhirnya aku sama Kenny pacaran, dan saat itu perasaanku ke Kenny Cuma sebatas pelarian karena Renno pacaran sama orang lain. Kenny pun nggak tau kalau sebenarnya aku cinta banget sama Renno. Tapi melihat Kenny yang begitu baik dan sabar ngadepin aku, lama kelamaan aku luluh, La. Awalnya aku ngira ini Cuma perasaan iba, atau simpati belaka. Tapi setelah aku curhat sama sahabat aku, Tania, aku baru sadar kalau aku mulai sayang sama Kenny. Dia baik banget, La. Aku sampai merasa bersalah karena udah mengabaikan perasaan yang dia beri buat aku, dan dengan teganya aku malah Cuma jadiin dia pelarian.”
Aku merasa ada setruman mendadak yang menyerang kulit tanganku. Hei, apa ini?
“Waktu itu aku bingung La, aku nggak tau mesti gimana ngadepin perasaanku sendiri. Aku merasa serba salah. Kalau aku ngaku ke Kenny tentang perasaanku ke Renno yang gak pernah ilang, aku takut dia bakal ninggalin aku atau parahnya benci selamanya sama aku. Tapi di sisi lain aku merasa udah membohongi dia, aku mau hubungan ini berjalan tanpa ada apapun yang ditutupi.”
Tunggu, aku yakin aku pernah mendengar cerita semacam ini sebelumnya. Kenapa begitu terdengar familiar?
“Dan akhirnya, aku jujur sama Kenny kalau perasaanku  masih berat buat Renno. Tapi bukan berarti aku gak sayang sama dia, aku sayang kok. Cuma aku nggak mau nyiksa dia lebih lama lagi dengan perasaanku yang egois banget ini. Dan bisa ditebak, Kenny mutusin aku saat itu juga.”
Aku bisa melihat ada genangan di pelupuk mata Vega yang tak lama lagi akan tumpah. Dan sekali lagi, aku merasa mendapat setruman mendadak. Kali ini pada kakiku.
“Selama dua tahun sejak kejadian itu, aku dan Kenny lost contact. Aku pernah nyoba buat menghubungi dia, tapi selalu nggak dapat respon yang baik dari dia. Dia.. dia benci banget sama aku, La. Kenny benci banget sama aku.”, air mata yang semenjak tadi Vega tahan akhirnya mengucur deras.
“Padahal aku selalu berharap aku dan Kenny bisa jadi teman baik setelah putus, tapi ternyata enggak. Dia langsung menghilang dari pandangan aku, dia nggak pernah muncul sekalipun setelah itu. Terakhir aku dengar dia kerja di luar kota, dan lucunya, dia kerja satu tempat dengan Renno.”, Vega mencoba tersenyum seraya menyeka air matanya dengan tissue yang kuberikan.
“Aku lega hubungan Renno dan Kenny baik-baik aja, mereka masih tetap berteman baik. Tapi yang baru aku tau adalah, Kenny cerita tentang aku ke Renno. Dan dua minggu lalu Renno menegur aku. Oh iya, aku dan Renno masih sering chattingan lewat BBM.”
“Dia negur kamu? Soal apa?”, tanyaku.
“Soal sikapku yang keterlaluan ke Kenny. Mungkin sekarang Renno menganggap aku sebagai cewek yang jahat, atau.. entahlah. Aku nggak bisa baca isi hati dia dari dulu. Aku nggak pernah tau seperti apa Renno menganggap aku.”
Deg! Cerita ini begitu familiar. Apa aku pernah mendengarnya lewat sandiwara radio? Atau aku pernah membacanya di sebuah novel?
“Tapi yang jelas sekarang aku tau kalau Kenny benar-benar benci sama aku, La. Dia nggak bakalan sudi ketemu atau bahkan liat muka aku lagi. Aku nyesel La, sumpah. Aku nyesal kenapa bisa setega itu sama orang yang udah sayang banget sama aku. Sumpah aku nggak bisa maafin diri aku sendiri, La. Aku harus gimana?”
“Ve, gini..”, aku menghela napas pendek. Entah kenapa dadaku mendadak sesak.
“Aku udah berusaha minta maaf ke Kenny berkali-kali, tapi dia nggak pernah menanggapi dengan baik niat baik aku, La. oke, aku memang yang jahat, aku yang salah. Tapi aku nggak mau kalau dia sampai benci selamanya sama aku. Olla, Riris bilang kamu pernah ngalamin hal yang sama, makanya aku minta solusi dari kamu.”
Kalimat terakhir Vega akhirnya menyadarkanku. Ya. Kisah yang barusan aku dengar dari mulut Vega adalah kisah yang pernah kualami juga. Kisah itu kualami bersama Irham dan Odie.
Aku mendengus. Pantas saja terdengar familiar.
“Gini, Ve, aku nggak bisa ngasih solusi banyak. Aku Cuma minta kamu untuk menerima apapun keputusan Kenny. Oke, kamu udah berusaha untuk minta maaf sama dia, tapi dia nggak menanggapi dengan baik. Ya sudah, biarkan saja seperti itu, yang penting kamu udah nunjukin itikad baik kamu sama Kenny. Urusan dia mau memaafkan atau tidak, itu hak dia.”
“Tapi, La. Aku nggak mau dia benci selamanya sama aku.”
“Dia nggak akan benci sama kamu, Ve. Dia Cuma butuh waktu lebih lama terlepas dari bayang-bayang kamu. Dan tugasmu sekarang adalah mengikhlaskannya pergi. Kamu nggak perlu lagi ngejar dia untuk minta maaf, atau memintanya buat jadi teman kamu. Kalaupun dia bersedia berteman dengan kamu, sudah pasti dia akan menanggapi kamu dengan baik, kan? Mungkin kalau kamu terus-terusan ngejar dia buat dapetin maaf, yang ada dia malah makin jauh.”
“Jadi intinya..”
“Kini saatnya kamu benar-benar melepas dia. Cukup mendoakannya saja agar dia selalu bahagia di manapun dia berada, dengan siapapun dia. Itu udah cukup. Banget.”
Vega memandangku dengan senyum tipis, “Kamu tegar banget ya, La?”
“Hah? Tegar gimana?”
“Yaa, kisah kita ini hampir sama, dan harusnya kamu ngalamin stres yang sama kayak aku. Tapi saat aku lihat wajah kamu, seolah gak ada beban apapun, La. Kamu tegar.”
Aku terhenyak. Tegar? Aku? Aku rasa Vega salah. Aku tidak setegar yang dia kira, aku tidak pernah sekuat yang dia kira.
Aku lemah.
*
Mendengar cerita Vega yang mengalami hal serupa denganku, membuatku sekaligus berintrospeksi pada diriku sendiri. Aku sangat menyadari ketololanku dalam menghadapi perasaanku sendiri, keegoisanku yang tak pernah hilang, sikap keras kepala yang menyebalkan hingga membuat seseorang jauh dariku.
Ya, kini jarak antara aku dan Odie seolah tak bisa diukur oleh apapun. Terlalu jauh. Aku bahkan sampai hilang harapan bertemu dengannya lagi setelah kejadian waktu itu.
Namun seperti yang kukatakan pada Vega, aku akan selalu mendoakannya di manapun dia, dan dengan siapapun dia berada. Meski di sana dia tidak melakukan hal yang sama, meski dalam hatinya tersimpan berbagai cacian untukku, meski raganya enggan untuk menemuiku lagi.
Aku merasa tidak apa-apa. Aku merasa sikapnya sangat wajar dan masuk akal.

Bencilah aku sepuasmu. Caci maki aku semaumu. Aku sungguh tidak apa-apa, Odie.

Akhirnya.. Alhamdulillah!



“Belum ada telepon, le?”, tanya seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster hijau. Wajahnya terlihat begitu lelah, peluh menetes dari keningnya.
Rahman, pemuda yang dipanggil ‘le’ oleh wanita tadi hanya menggeleng lesu.
“Ndak apa-apa, berarti belum rejekimu.”, ucap wanita itu tersenyum seraya membelai rambut Rahman dengan penuh kasih sayang.
“Tapi, Bu..”, Rahman menghela napas pendek. “Apa sungguh tidak apa-apa? Sudah lebih dari 3 bulan saya menganggur, saya tidak punya penghasilan apapun untuk saya beri pada Ibu, Bapak, juga Khanif.”
Wanita paruh baya yang adalah Ibu kandung Rahman kembali memasang senyum.
“Kamu kan sudah 2 tahun lebih bekerja keras, mungkin sekarang kamu sedang disuruh beristirahat dulu sama Allah. Rejeki tidak akan lari jauh kalau kamu selalu berikhtiar, le.”
“Tapi bagaimana kalau saya tidak segera dapat pekerjaan kembali, Bu?”
“Lho, kenapa kamu jadi pesimis begitu? Sabar, le. Yang penting kamu jangan berhenti berusaha dan berdoa.”, ucap Sang Ibu kembali memasang senyum. Rahman tidak menyahut, dia hanya membalas senyum Ibunya kemudian mencium tangan wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu.

“Lho, Ibu sudah di rumah?”, terdengar suara dari pintu belakang. “Jualan pagi ini bagaimana, Bu?”, tanya seorang pria paruh baya dengan banyak peluh yang membanjiri wajahnya. Tangannya memegang sebilah parang berlumpur.
“Alhamdulillah ada peningkatan dibandingkan kemarin, Pak. Ibu dapat pelanggan baru hari ini.”, jawab Ibu sambil menuju dapur dan menyeduhkan teh hangat untuk Bapak.
Rahman memandang Bapaknya yang masih semangat bekerja mengurus sawah dan kebun meski usianya tak muda lagi. Sudah berkali-kali Rahman meminta Bapaknya untuk tidak lagi bekerja dan menyarankan agar sawah diurus oleh buruh tani. Tapi Bapak selalu menolak permintaan Rahman karena selama 2 tahun belakangan sawah mereka hampir selalu gagal panen gara-gara buruh yang bekerja asal-asalan.
“Lebih baik diurus sendiri daripada menyerahkan ke orang lain yang belum tentu bisa dipercaya, Man.”, ucap Bapak setelah Rahman kembali mengajukan permintaan yang sama.
“Saya punya banyak teman yang masih menganggur, Pak. Inshaallah mereka bisa membantu Bapak mengurus sawah. Saya tidak tega melihat Bapak dan Ibu masih bekerja begini, biarkan saya saja yang bekerja, Pak.”, ucap Rahman yang ditanggapi tawa renyah dari Sang Bapak.
“Kamu itu, jangan coba-coba meremehkan Bapakmu ini ya. Kamu kira Bapak sudah tua renta dan tidak mampu bekerja lagi? Rahman anakku, Bapak ini bukan orang yang suka bergantung dengan orang lain. Prinsip Bapak, selagi Bapak masih bisa, mampu, dan kuat bekerja, ya Bapak akan terus tetap bekerja. Lagipula Bapak tidak tahan jika Cuma berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun. Ndak sehat, Man.”, kata Bapak seraya meneguk tehnya.
“Begitupun juga Ibumu, dia juga bukan orang yang suka berdiam diri di rumah. Toh hobi Ibumu itu kan membuat kue, ya biarkan saja dia berkreasi dengan masakannya. Lihat sendiri kan banyak yang suka kue-kue buatan Ibu?”
Rahman bergeming. Pikirannya melayang pada masa lalu, ketika usianya baru menginjak 15 tahun dia sudah rajin membantu Ibunya berjualan kue lapis dan kue bolu kukus buatan Ibunya ke sekolah. Seringkali dia mendapat ejekan dari teman-temannya karena setiap hari dia datang ke sekolah dengan membawa keranjang berisi kue-kue.
“Ih, anak laki-laki kok jualan kue? Rahman bencong, Rahman bencong!”
Setiap mendengar ejekan itu, hati Rahman seperti teriris. Dia sempat bimbang, jika dia terus membantu Ibunya berjualan kue, dia akan selalu mendapat ejekan. Tapi jika dia tidak membantu Ibunya, bagaimana dia akan membayar uang SPP? Namun dengan keteguhan hatinya, dia tak gentar melawan segala ejekan yang menerjangnya. Pada akhirnya, ejekan itu menghilang dengan sendirinya.
Rahman juga ingat ketika masa liburan SMPnya dihabiskan dengan membantu Bapaknya membajak sawah dan menanam pohon singkong di kebun. Pada saat itu sawah yang mereka garap bukan milik mereka sendiri, namun milik tetangga mereka yang kaya raya. Setiap selesai membajak sawah atau menanam umbi di kebun milik tetangganya itu, Rahman dan Bapaknya mendapat upah limapuluh ribu rupiah. Uang itu Bapak gunakan untuk membeli beras dan lauk, sedangkan penghasilan dari menjual kue digunakan untuk keperluan sekolah Rahman dan adiknya, Khanif.
Rahman menghela napas panjang mengingat masa kecilnya yang penuh dengan keprihatinan. Kini dia sudah bertekad ingin membuat keluarganya tidak susah payah lagi mencari uang. Dia selalu berusaha sekuat tenaga agar tidak ada secuilpun beban di pundak kedua orangtuanya.
Dua tahun lalu dia mendapat pekerjaan di sebuah pabrik pembuat mobil terkemuka di Jakarta, dengan upah yang baginya sangat lumayan untuk meringankan beban orangtuanya. Setiap mendapat gaji, Rahman selalu mengirim sekian ratus ribu untuk keluarganya di desa. Uang itu bisa digunakan untuk menambah modal Ibunya berjualan kue, membayar tagihan listrik dan membayar uang SPP adiknya.
Namun 2 tahun berlalu, Rahman akhirnya di berhentikan dari pekerjaannya itu lantaran kontrak kerja yang tidak bisa diperpanjang lagi. Dia pun kembali ke desa dan kembali mencari lowongan pekerjaan melalui bursa kerja di SMKnya dulu. Sudah beberapa lamaran dia kirim namun belum ada satupun yang menjawab lamarannya. Rahman tidak putus asa, dia sempat kembali ke Jakarta dan mencari lowongan pekerjaan di berbagai perusahaan, namun belum juga mendapatkan hasil.
“Bapak tidak marah karena saya belum mendapatkan pekerjaan lagi?”, tanya Rahman. Bapak menggeleng pelan.
“Kenapa mesti marah? Lha wong memang belum ada ya mau bagaimana lagi, sabar saja kamu.”, timpal Bapak enteng.
“Rahman Cuma tidak mau jadi beban Bapak sama Ibu saja.”
Bapak tertawa, “Kalau kamu jadi beban buat Bapak, kenapa kamu dilahirkan dari rahim Ibumu? Omonganmu itu, Man, kayak orang susah saja. Memangnya selama ini kamu lihat orangtuamu ini begitu menderita atau bagaimana, ha? Mbok ya jangan dibikin susah, le. Kamu kan sudah berusaha mencari, sudah berusaha sekuat yang kamu mampu, ya sekarang tinggal berdoa dan serahkan semuanya sama Gusti Allah.”
Rahman tersenyum mendengar ucapan Bapaknya. Tidak terlihat ada beban sedikitpun ketika dia menatap mata Bapaknya yang mengeriput dimakan usia.
“Inshaallah saya akan segera dapat panggilan kerja, Pak. Janji saya mau buatkan warung belum terlaksana seratus persen. Bapak dan Ibu tunggu saja.”, ucap Rahman, seketika hatinya terbakar semangat kembali setelah beberapa minggu dia meratapi nasibnya yang tak kunjung mendapat pekerjaan.
“Mas Rahman juga janji mau belikan Khanif sepeda fixie yang kayak punya Danang, lho!”, seru seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dari arah dapur. Dialah Khanif, adik sematawayang Rahman yang baru duduk di kelas 4 Sekolah Dasar.
“Oiya Mas lupa, kemarin itu uangnya Mas pakai dulu buat nyicil motor. Nanti deh kalau Mas udah kerja lagi, Mas belikan kamu sepeda fixie seperti punya Danang.”
Mendengar itu Khanif melonjak kegirangan, “Yang lebih bagus dari punya Danang ya, Mas!”
“Gampaaang. Makanya Khanif doakan Mas, biar dapat kerja lagi.”, Rahman membelai rambut adiknya.
Bocah berkulit sawo matang berbadan kurus itupun langsung mengadahkan tangannya, “Ya Allah, berikan pekerjaan yang layak buat Mas Rahman yang kusayang ya Allah. Biar nanti aku bisa pamer sepeda fixie sama Danang yang sok ganteng itu, masa dia mau rebut Aisha pacar aku. Aku tidak terima ya Allah. Aamin.”
Rahman dan Bapak tertawa terpingkal-pingkal mendengar Khanif berdoa dengan lugunya.
“Eh, doanya kok ngawur begitu? Nanti Allah tidak mau mengabulkan lho, Nif!”, tegur Ibu dari dalam kamar.
“Kata siapa tidak dikabulkan? Khanif kan anak rajin, anak baik, pintar dan tidak sombong seperti Danang, Bu!”, timpal Khanif.
“Iya, iya, Khanif kan anak sholeh, pastinya doa Khanif dikabulkan sama Allah.”, ujar Bapak.
“Aamiin.”, ucap Khanif dan Rahman serempak.
*
Seperti biasa, pagi itu Rahman membantu Ibunya menata berbagai kue yang akan dijual di pasar. Kue lapis, lemper, bolu kukus dan pisang goreng krispi sudah tertata rapi dalam keranjang.
“Ibu tidak usah ke pasar, biar saya saja.”, kata Rahman seraya menyalakan mesin motornya.
“Eh, memangnya kamu bisa berjualan? Ah, ndak usah, nanti malah kamu salah beri harga. Sudah, antarkan Ibu saja.”, tampik Ibu kemudian naik di jok belakang motor.
“Ya sudah, nanti saya langsung ke kebun saja bantu Bapak setelah antar Ibu.”
Setelah mengantar Ibunya ke pasar, Rahman segera menuju kebun singkong untuk membantu Bapaknya. Kali ini, bukan kebun milik tetangga lagi namun kebun milik sendiri. Berkat tabungan Bapak yang dibantu oleh Rahman, akhirnya Bapak bisa membeli bibit dan menanam umbi di kebun peninggalan Kakek Rahman yang sudah lama tidak terurus. Beruntung tanah seluas 100 meter persegi itu tidak jadi dijual kepada makelar.
“Nanti jam 11 siang kamu jemput si Khanif ya, nanti langsung ke Pasar jemput Ibumu”, ujar Bapak ditengah kegiatan mencangkul.
“Baik, Pak.”

Suasana mendadak tegang siang itu. Ibu terus berkomat kamit membaca doa, Bapak masih berbicara dengan Dokter bersama Rahman.
“Begini, Pak. Ada faktur di kaki putra Bapak, jadi mau tidak mau harus mendapat perawatan di rumah sakit besar. Di sana fasilitasnya lebih memadai, jadi..”
“Pindahkan saja, Dok. Apapun itu lakukan yang terbaik buat adik saya!”
“Baik, kalau begitu akan saya buatkan surat rujukannya.”
Rahman masih tidak menyangka sewaktu hendak menjemput adiknya di Sekolah, dia melihat dengan mata kepala sendiri sebuah motor melaju kencang dan menerjang tubuh adiknya hingga terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pengemudi motor itu langsung kabur begitu saja tanpa sempat Rahman kejar.
“Pak, Khanif bagaimana Pak?”, tanya Ibu, gurat kecemasan terlihat jelas di wajahnya.
“Harus dibawa keluar kota, Bu, ke rumah sakit yang lebih besar.”, jawab Bapak lesu.
“Inalillahi.. lalu biayanya bagaimana, Pak? Kalau dibawa kesana butuh uang banyak.”
“Sementara ini pakai tabungan Bapak dulu. Inshaallah cukup untuk perawatan Khanif di sana, Bu.”
Rahman tersentak, “Jangan, Pak! Tabungan itu bakal dipakai untuk membeli tanah, jangan di pakai, Pak.”
Bapak menghela napas pendek, “Ndak apa-apa, Man. Kalau kepepet begini mau bagaimana lagi.”
“Tapi Bapak sudah susah payah menabung selama 10 tahun, Pak. Lebih baik pakai tabungan saya saja, kalau saya sudah kerja..”
“Man..”, Bapak menepuk bahu Rahman, “Jangan pakai tabunganmu, pakai punya Bapak saja. Bapak justru tidak rela kalau kamu menggunakan tabunganmu itu. “
“T-tapi, Pak..”
Tiba-tiba terdengar suara dering handphone dari saku celana Rahman, dia pun permisi untuk mengangkat telepon.
“Hah? Besok sore, Pak? Alhamdulillah, terimakasih banyak, Pak! Iya, selamat siang.”, Rahman menutup telepon dengan wajah penuh kelegaan. Dia memandang kedua orangtuanya dengan senyum yang diiringi tetesan air mata bahagia dari pelupuk matanya.
“Ada apa, le?”, tanya Ibu.
Rahman mengusap air matanya, “Pak, saya minta jangan pakai tabungan Bapak untuk pengobatan Khanif, biar saya saja yang tanggung dengan tabungan saya.”
“L-lho?”
“Besok sore saya sudah bisa berangkat ke Jakarta lagi, Pak!”

Dan akhirnya, Rahman mendapat senyum bahagia itu lagi. Senyum penuh kebanggaan dari kedua orangtuanya seperti dua tahun lalu, ketika pertamakali dia memberi kabar bahwa dia telah mendapat pekerjaan.
Akhirnya.. Alhamdulillah!