Oke. Jadi
harus bagaimana sekarang?
Aku kembali
melirik handphone yang tergeletak di atas meja belajarku. Belum ada notifikasi
yang masuk kembali. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan yang
gemetaran. Jantungku berdebar dengan kencangnya, keringat dingin mulai
membasahi dahiku. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa hal sesepele itu mampu
membuatku panik setengah mati begini?
Sepuluh
menit yang lalu, sebuah pesan singkat muncul di layar handphone mengejutkanku.
‘Jalan,
yuk!’
Dari Irham.
Hanya seperti
itu. Singkat, namun seketika berhasil membuatku kelabakan. Awalnya aku kira dia
salah mengirim pesan, tapi ternyata tidak. pesan itu memang tertuju untukku.
Aku pun
membalas dengan hati berdebar.
‘Ayo.’
Balasanku
tak kalah singkat. Aku coba mengatur napas menantikan balasan selanjutnya. Eh,
tunggu. Kenapa aku dengan mudahnya mengiyakan ajakannya? Kenapa aku bisa
semudah itu?
TUNG!!
Akhirnya sebuah balasan pun datang.
‘Tapi udah
jam segini? Nggak apa-apa?’
Aku
tercenung. Apa maksudnya dengan ‘jam segini’? Sekarang kan baru pukul setengah
delapan malam. Aku pun membalas sambil mengerutkan dahi.
‘Loh, belum
juga jam 8.’
Setelah aku
membalas seperti itu, belum ada balasan lagi dari Irham. Berkali-kali kulihat
handphone dan tidak ada notifikasi apapun disana. Ke mana orang itu? Apa dia
sebenarnya sedang mengajakku bercanda? Yang benar saja, setelah dia membuatku
kelabakan seperti ini dia kemudian pergi begitu saja?
Tanganku
masih gemetaran, jantungku pun masih berdebar kencang. Aku menarik napas panjang
dan menghembuskannya perlahan. Sebisa mungkin aku harus menahan perasaan ini,
aku tidak mau jika aku terlalu jauh menaruh harapan padanya lagi. Irham
seringkali seperti ini, membuatku melambung kemudian menjatuhkanku seenaknya.
Apa akan terjadi seperti itu lagi? Jika iya, mungkin karena dia yang hanya
mencoba mengajakku bercanda. Tunggu, bukankah hal itu akan membuatku kembali
menelan kecewa? Tapi kupikir lagi, kalaupun akhirnya aku kecewa, penyebabnya
mungkin karena aku yang terlalu bersemangat menanggapinya.
Tapi
sejujurnya, aku sangat menginginkan pertemuan ini. Karena di dalam hatiku, aku
masih begitu merindukannya.
Aku kembali
melihat handphoneku, dan masih tak ada notifikasi apapun. Aku tersenyum miris,
mungkin dia sedang iseng saja. Ya sudahlah, aku tidak perlu menanggainya lagi
jika nanti dia membalas kembali.
Dan kini,
setelah duapuluh menit berlalu, tak ada balasan lagi. Aku pun memutuskan untuk
tidur.
*
Keesokan
harinya di kafetaria kampus.
Riris
mengembalikan handphoneku sambil tertawa mengejek. “Makanya La, jangan kegeeran
dulu. Siapa tau dia salah kirim pesan.”
Aku
mengangkat bahu, “Iya kali. Atau dia mungkin Cuma lagi ngajakin bercanda.”
Riris
tertawa lagi, “Baru dikirim pesan begitu aja udah kegirangan, gimana kalau dia
beneran muncul tepat di depan mata kamu. Bisa pingsan kali.”
Aku
mendengus, “Nggak bakal gitu juga kali. Aku Cuma kaget aja dapet pesan begitu
dari dia. Tau sendiri kan dia hobinya muncul tiba-tiba terus ngilang gitu aja.”
“Nah, kamu
kan udah tau sifatnya dia gimana, ya harusnya jangan dianggap serius dong, La.
Gampang banget dikadalin sih kamunya, terlalu baper pula.”
“Baper?”,
aku mengangkat alisku.
“Bawa
perasaan.”, Riris meneguk colanya. “Lain kali jangan gampang kegirangan dulu,
santai aja nanggepinnya. Atau bagusnya sih mencing cuekin aja.”
“Penginnya
sih gitu Ris, tapi kok aku.. nggak bisa ya?”
Riris
menggeleng, “Bukan nggak bisa, La. Lebih tepatnya kamu nggak mau nyuekin dia.
Selama ini bukannya kamu udah berusaha nyuekin dia dan berhasil kan? Tapi
belakangan kamu jadi mikirin dia lagi, mulai mau nanggepin pesan dari dia, dan
ngerasa nggak tega kalau nyuekin. Semacam kamu nggak mau kehilangan kesempatan
buat komunikasi sama dia lagi setelah sekian lama kalian lost contact. Bener nggak analisis aku?”
Aku sadar
jika mulutku menganga sepanjang Riris berceloteh, “Ternyata kamu segitu
pedulinya sama aku ya sampai tau persis apa yang sebenarnya aku rasain.”,
kataku sedikit takjub sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lebih tepatnya, aku
menduga kalau sebenarnya Riris ini adalah seorang cenayang.
“Lah, sikap
kamu tuh gampang ditebak La. Dari dulu juga selalu begitu, nggak pernah berubah
sedikitpun.”
Aku
mengangguk, “Iya juga ya, aku emang dari dulu nggak pernah berubah.”
“Makanya
berubah dong!”
“Jadi apa?
Jadi Sailormoon?”
*
Sebuah pesan
muncul di layar handphoneku ketika aku tengah fokus mendengarkan dosen
mengajar.
‘Udah pulang
kuliah?’
Irham. Dia
lagi. Ulang sekali lagi, IRHAM LAGI!
‘Belum. Ada
apa?’ balasku dengan sedikit berdebar. Seperti biasa.
Tak lama dia
membalas ‘Aku barusan lewat di depan kampusmu.’
Hah? Dia
barusan lewat di depan kampus? Memangnya dia dari mana? Bukannya tempat
kerjanya bukan di daerah sini?
‘Ooh.’ Entah
kenapa Cuma itu yang aku ketik di layar handphoneku, bukan menanyakan dia baru dari
mana. Padahal di dalam hati aku begitu penasaran.
‘Kamu pulang
jam berapa?’
‘Jam dua.
Kenapa?’
‘Aku jemput
ya.’
Oke. Aku
benar-benar gemetaran sekarang. Jantungku berdebar lebih kencang dari
sebelumnya.
Aku menoleh
Riris yang duduk di sebelahku, kebetulan mata Riris tengah memandang kearahku.
Sepertinya dia memperhatikan aku yang sibuk dengan handphone.
“Siapa?”,
tanya Riris dengan berbisik.
“Irham Ris,
dia katanya mau jemput aku. Gimana dong?”
“Hah?!”,
pekik Riris pelan seraya melirik dosen. “Seriusan?”
Aku
menunjukkan pesan yang Irham kirim pada Riris. “Sumpah aku gugup Ris. Aku mesti
balas apa?”
“Jangan
kegeeran dulu, siapa tau dia Cuma iseng aja kayak kemarin.”
Benar juga,
mungkin dia Cuma iseng. Tapi bagaimana kalau beneran? Aku pun membalas pesan
Irham.
‘Oke.’
Aku menghela
napas pendek. Apakah hal yang benar aku membalas seperti itu? Bagaimana kalau
ternyata Irham Cuma main-main dan tidak serius dengan ucapannya? Baiklah, mau
tak mau aku harus berjudi. Kalaupun dia serius, berarti hari ini akan jadi hari
keberuntunganku. Tapi kalau tidak..
Pluk! Sebuah
kertas mendarat di mejaku. Riris.
“Kamu balas
apa?”, tanya Riris, masih dengan berbisik.
“Aku balas
‘Oke’”, jawabku.
“Bego!!”,
pekik Riris lantang. Selepas itu terdengar suara jangkrik. Krik.. Krik.. Krik.
Kontan saja
seisi kelas menoleh Riris dengan serempak termasuk dosen. Riris spontan menutup
mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya merah padam.
“Siapa yang
kamu bilang ‘bego’ Marissa?”, tanya dosen sambil memandang Riris tajam.
Riris
menggeleng kaku, “B-bukan siapa-siapa, Pak. He. He.”
Aku menepuk
dahiku sendiri. Dan jujur saja aku sedikit merasa bersalah pada Riris.
*
Beberapa
hari ini aku jarang mengendarai motor karena berbagai hal, salah satunya hujan
yang terus mengguyur dalam dua bulan belakangan. Seringkali aku menebeng mobil
Aldi, pacar Riris yang dengan baik hati bersedia menerima tumpangan. Tapi sudah
dua hari ini aku lebih memilih naik bus, lama kelamaan tidak enak juga sama
Aldi.
Dan hari
ini, Irham akan menjemputku. Katanya.
Kita memang
tidak pernah tau dengan rencana yang sudah digariskan Tuhan. Ya, beruntung aku
tidak sedang membawa kendaraan sendiri, sudah pasti aku menerima tawaran dari
orang yang begitu aku rindukan itu. Tapi yang aku khawatirkan sekarang adalah
tentang keseriusan ucapannya. Apakah dia bersungguh-sungguh ingin menjemputku
di kampus?
Jujur saja
aku sudah terlanjur kegirangan dan menerima tawarannya. Tapi di sisi lain aku
sedikit takut jika dia tidak jadi menjemputku nanti. Aku takut jika harus
menelan kecewa kembali.
Ah, lihat
saja nanti. Semoga ketakutanku tidak terjadi.
“Yakin nih
kamu mau nungguin Irham?”, tanya Riris begitu kami berjalan menuju parkiran.
Aku
mengangguk. “Ya seenggaknya aku mencoba membuktikan ucapannya dia aja sih.
Kalau dia beneran datang ya baguslah.”
“Tapi kalau
enggak?”
Aku
mengangkat bahu. “Tau deh, mungkin aku bakal cuekin dia seumur hidup.”, ucapku
sekenanya.
Riris
mengacungkan telunjuknya di depan hidungku, “Beneran? Cuekin seumur hidup?”
Aku
tersentak, “Y-ya.. eng-enggak...”
“Aku pegang
kata-katamu ya! Kalau Irham nggak jadi datang, kamu harus cuekin dia seumur
hidup!”
“T-tap..”
“Seorang
wanita nggak akan menjilat ludahnya sendiri, Olla Mikhaila!”, ucap Riris tegas
seraya membuka pintu mobil Aldi.
Aldi yang
tidak mengerti topik pembicaraan hanya tercenung melihat aku dan Riris.
“Kenapa
Yang?”, tanya Aldi pada Riris.
“Bukan
apa-apa, Cintaku. Ayok pulang!”
“Olla gak
ikut?”, Aldi menoleh kearahku.
Aku
menggeleng pelan, “Enggak, kalian duluan aja.”
*
Lima menit
berlalu setelah aku mengirimkan pesan pada Irham jika aku sudah keluar dari
kelas dan tengah menunggu di halte kampus. Sepuluh menit berlalu, belum juga
ada balasan dari orang itu, dan aku mulai cemas sekarang. Aku menyandarkan
punggungku pada bangku halte, mataku terpejam. Dalam diam aku berdoa agar Irham
segera datang, atau paling tidak membalas pesanku dengan mengatakan ‘Iya, aku
sedang dalam perjalan’.
Tapi
kemudian aku merasa ada sesuatu yang salah. Aku baru menyadari jika semalam
Irham tak serius dengan ucapannya yang mengajakku jalan. Lalu kenapa aku
kembali menerima tawarannya kali ini? Bukankah itu terdengar begitu tolol?
Kenapa aku tidak bisa belajar dari pengalaman? Yang kulakukan hanyalah
mengikuti egoku sendiri, dan biasanya berakhir dengan kekecewaan.
Ada sisi
lain dari hatiku yang menjawab argumen logikaku barusan. Oke, setidaknya aku
mencoba untuk kembali menjalin hubungan baik dengannya setelah lama tidak ada
kontak apapun. Aku tidak lagi mengabaikannya seperti beberapa bulan lalu. Jika
dia tidak benar-benar serius dengan ucapannya, mau tidak mau aku harus
menerimanya. Karena sudah dari awal aku percaya padanya, sudah dari awal aku
mengingkan pertemuan ini terjadi. Tidak sedikitpun terlintas dalam benakku
untuk menolak tawarannya. Dan jika aku harus kembali menelan kecewa, itu adalah resiko yang harus aku terima.
Limabelas
menit berlalu. Akhirnya sebuah pesan muncul.
‘Maaf ya,
aku nggak bisa jemput kamu. Hujannya deras banget.’
Baiklah.
Sekali lagi,
aku harus menegaskan pada diriku sendiri. Jika
aku harus kembali menelan kecewa, itu adalah resiko yang harus aku terima.
Aku teringat
ucapan Riris sewaktu di parkiran kampus tadi. Aku meringis. Ya, mau tidak mau,
mulai kini aku harus berusaha kembali mengabaikan Irham seperti dulu. Dan..
itulah resiko yang harus dia terima.