Sabtu, 16 September 2017

Tell Me Why (Part 21)

Sudah lewat pukul dua pagi, dan sudah tiga bungkus Sampoerna Mild habis terisap sendiri. Rado menghela napas yang terasa begitu berat, dan juga sesak. Karena selama ini dia tidak pernah merokok sebanyak ini. Setengah bungkus saja dia sudah menyerah karena paru-parunya lemah dan saat masih kecil dia pernah terserang asma. Tapi malam ini dia mampu menghabiskannya sendiri, tanpa ada yang mengusik. Musik hip-hop ballad mengalun pelan menemaninya di balkon kamarnya. Matanya melirik jam dinding, lalu mendesah pelan.
'Harusnya gue ambil air wudhu, solat istikharah, bukannya malah begadang sambil merokok begini. Kurang alkohol aja nih, dan juga Andra buat nemenin.' batinnya seraya menghisap rokoknya kembali. Ia meringis.
Diambilnya ponsel di atas tempat tidurnya, tertera duapuluh panggilan tidak terjawab dari Andra. Sejak Ia kabur dari acara pertunangan Ghina dan Andra, Andralah yang paling sibuk mencarinya. Baim? Sepertinya dia terlalu canggung untuk mengejarnya.
Rado melemparkan ponselnya kembali ke atas tempat tidurnya dan kembali duduk di balkon. Matanya memandang langit yang gelap, berawan, tak berbintang. Suasana malam seakan mendukung perasaannya kali ini.
*
"Jawab gue", Namira menarik lengan Rado yang hendak menaiki motornya. Rado menepis tangan Namira kasar.
"Apa? Lo mau nuntut jawaban apa lagi dari gue? Udah gue jelasin semuanya Mir, mau apa lagi sih lo?", Rado menstater motornya. Kembali Namira menarik lengannya.
"Kenapa ngga bilang dari dulu?"
"Mau bilang dari dulu kek, mau bilang sekarang, bedanya apa?"
"Bedanya dulu gue naruh perhatian ke lo tapi lo terlalu buta buat melihatnya!", Namira mendengus. "Gue sadar kalau lo beda, lo ngga seperti Baim yang ngga bisa nunjukin kepeduliannya langsung ke gue. Bisa aja gue balas perasaan lo, tapi.."
Rado terpaku, perasaannya mendadak kacau mendengar pernyataan Namira yang mengejutkannya.
"Tapi apa?",
"Gue ngga bisa nyakitin lo, gue ngga mau mainin perasaan orang sebaik lo. Makanya gue ngga terlalu merespon lo lagi saat itu.", Namira menarik napas panjang, "Karena gue sadar bahwa gue ngga akan bisa sama lo, kalaupun bisa bakal sampe berapa lama? Gue bener-bener ngga mau nyakitin lo, Do."
"Kenapa lo gampang banget mikir kalau lo ngga akan bisa sama gue sedangkan sama Baim.."
"Karena Baim sahabat gue dari kecil, mau gimana juga dia adalah sahabat gue. Sedangkan lo adalah orang lain, gue ngga tau bakal gimana akhirnya kalau sampai hal itu terjadi. Pikiran gue dulu terlalu sederhana, gue ngga tau kalau kenyataannya sekarang lebih runyam dari itu."
Rado menghela napas, "Ya udahlah, udah lewat juga. Mau kita bahas juga percuma, Mir."
"Bahkan sama Baimpun gue ngga akan bisa sebenarnya Do asal lo tau."
"M-maksud lo?",tanya Rado
"Gamophobia.", jawab Namira tanpa menatap wajah Rado. Ia menghela napas kembali. "Bukan sebuah penyakit mematikan sebenarnya, tapi tetap aja menyiksa hidup gue. Gue jadi ngga bisa berkomitmen dengan siapapun sekalipun gue cinta sama orang itu. Gue baru bilang soal ini ke Brietta dan lo, Do. Baim belum tau soal ini. Gue ngga minta lo buat ngertiin gue, tapi gue minta lo jangan cerita soal ini ke Baim dulu ya."
Rado tertegun. Ia menatap Namira tanpa mengucapkan apapun.
*
Pukul 4:35 pagi, suara azan Subuh berkumandang dan mata Baim masih terjaga sejak semalam. Iapun beranjak dari tempat tidurnya, mengambil air wudhu, mengenakan pecinya kemudian berjalan menuju masjid dekat rumahnya. Ada sebuah dorongan kuat yang menyuruhnya untuk melakukan sebuah kewajiban yang sudah cukup lama ia tinggalkan itu. Sewaktu kecil hingga SMP dia masih rajin datang ke masjid untuk salat berjamaah, namun setelah beranjak dewasa dia malah melalaikannya. Ia lebih memilih salat sendiri atau berjamaah dengan adiknya saja di rumah.
"Lho, Mas Baim?", sapa seseorang di tengah perjalanannya ke masjid. Baim menoleh.
"Eh, Pak RT.Kabar baik, Pak?", sapa Baim ramah.
Sebenarnya Pak RT di kompleknya ini adalah salah satu orang yang membuat Baim canggung saat bertemu atau sekedar berpapasan. Karena hobinya yang unik tapi terkadang bikin tak nyaman juga; menjodoh-jodohkan warganya yang lajang alias makcomblang. Pernah Baim hampir dicomblangkan dengan adik teman Pak RT yang usianya tiga tahun lebih tua darinya. Beruntungnya hal itu tidak sempat terjadi lantaran si perempuan mendadak dilamar orang lain.
Dan kali ini, Baim berharap dalam hati semoga tidak ada tanda-tanda percomblangan lagi.
"Baik alhamdulillah. Udah lama nih ngga lihat mas Baim ke masjid, dulu biasanya setiap hari ke masjid terus kalau Subuh begini."
Baim tersenyum simpul, "Ya gitulah Pak, dulu masih belum kerja, belum ngerasain jaga malam di tempat kerja."
"Masih kerja di Bekasi, Mas?", tanya Pak RT lagi. Baim mengangguk.
"Wah, Jakarta-Bekasi kan lumayan jaraknya, Mas. Lintas galaksi kalau anak sekarang bilangnya. Ndak pengin kos saja Mas di sana?"
Baim terkekeh, "Ngga jauh juga kok, Pak. Lagian lumayan bisa buat jalan-jalan ngabisin bensin."
"Ngabisin bensinnya ngajak temen dong, Mas. Teman cewek lebih asyik."
"Jangan lah, kasian kalau diajak naik motor nanti bedaknya luntur."
"Ah, saya ada nih teman buat Mas Baim ngabisin bensin.", celetuk Pak RT dengan wajah semringah. Baim bisa menebak ke mana arah percakapan ini.
"Ngomong-ngomong, Mas Baim dulu satu kampus sama keponakan saya kan ya?"
"Wah, kurang tau Pak. Memang keponakan Pak RT yang mana, namanya siapa?"
"Iya kayaknya, sekarang juga kerja di Bekasi, di perusahan elektronik juga jadi staf administrasi kalau ndak salah. Dulu fakultas teknik, namanya Kanaya Nugraha."
Baim tercengang.
"M-maaf, siapa pak?"
"Kanaya Nugraha, kenal toh?".
Sebuah kebetulan yang sedikit mengejutkan. Ah, tidak, ini  sudah terencana oleh semesta.
Baim mengangguk. "Iya, Pak. Dulu satu fakultas."
"Dia baru aja putus sama tunangannya, Mas. Dan saya rasa sekarang dia butuh seseorang yang mau menemani. Mas Baim.. bersedia?"

Baim tercengang.

WHAT ON EARTH IS THAT?!

to be continued..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar