Apa kabar
kamu, wahai pemilik hatiku di masa lalu?
Masih ingatkah
dengan nama dan rupaku, yang pernah kau sebut sebagai cintamu?
Masih
ingatkah pada tanggal, hari, bulan, tahun di mana pertama kali kau menatap
mataku seraya berkata, ‘Maukah kau jadi kekasihku?’
Alangkah senangnya
jika kau menjawab dengan satu anggukan kecil yang disertai senyum mengembang di
wajahmu.
Apa kabar kamu,
wahai kekasih masa laluku?
Masih ingatkah
bagaimana aku menertawaimu yang tak pandai merangkai kata gombal untukku?
Masih ingatkah
berapa banyak tulisan bukti tanda sayangku yang aku persembahkan untukmu?
Ingatkah
karena pada akhirnya kau mampu merangkai kalimat penuh cintamu dan seketika
membuatku terharu?
Alangkah gembiranya
jika kau masih tetap ada di sini, di sampingku. Menuliskan puluhan bahkan
ratusan kalimat ‘Aku Mencintaimu’ tanpa ragu.
Akan terasa
sangat menyenangkan jika kita mampu merangkainya bersama, juga mewujudkannya di
masa depan.
Apa kabarmu,
wahai cintaku yang telah menghilang setahun lalu?
Masih ingatkah
pertengkaran-pertengkaran kecil penyedap rasa hubungan kita?
Masih ingatkah
tawa kita yang meledak setelahnya?
Tawa penuh
ejekan tentang percekcokan kita yang harusnya tidak terjadi karena hal sepele.
Namun ingatkah
juga ketika pada akhirnya kita tidak bisa menahan segala emosi yang membara,
hingga membuat segalanya berbeda?
Ketika dinding
hati yang kita bangun bersama tak mampu lagi menahan terpaan badai yang datang
di hari itu, akhirnya menyerah karena rapuh.
Dinding yang
kita bangun atas nama cinta, kepercayaan, kesetiaan yang selalu kita banggakan
dengan angkuhnya, runtuh begitu saja.
Aku tak bisa
menahannya. Kau pun hanya membiarkannya.
Apa kabar
perasaanmu kini, wahai tokoh utama dalam kisahku di masa lalu?
Masih ingatkah
dengan janji yang pernah kita ucapkan dengan lantang, dulu?
Ketika kita
memutuskan untuk tetap berhubungan baik, menjadi sahabat karib, menjaga
perasaan kita agar selalu ada, dan tetap sama.
Namun ternyata
kau lebih memilih untuk mengenyahkan muka dari hadapanku.
Kau memutuskan
untuk benar-benar menyelesaikan kisah yang tak ingin aku akhiri dengan sad
ending ini.
Mulutmu terkunci,
hanya matamu yang memaki penuh kecewa atas apa yang telah terjadi.
Kita selesai.
Oh ya?
Bahkan sampai
detik ini aku merasa yang terjadi kini hanyalah mimpi burukku belaka.
Hei, aku
tidak benar-benar kehilanganmu, kan?
Apa kabar
dengan hatimu kini, wahai mantan terindahku?
Sudahkah
menemukan pengganti diriku?
Siapapun dia,
kencanilah dengan baik. Cintai dia dengan setulus hatimu.
Terimakasih atas
cinta yang pernah kau beri, aku bahagia
kita pernah saling memiliki.
Terimakasih untuk
kasih sayang tiada henti, aku harap ‘sayang’ itu tetap ada apapun yang terjadi.
Dan satu hal
lagi, bisakah kau membalas suratku ini satu kali saja?
Bisakah kau
membalasnya dengan sebuah pertemuan tak disengaja?
Ditulis untuk para alumni hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar