Senin, 08 Desember 2014

Seandainya Dulu



“Melupakan tidak semudah mencintai”, ucap seorang penumpang bus yang duduk di sebelahku dengan tiba-tiba. Aku tersentak, kemudian menoleh ke arahnya. Terlihat tangan kirinya tengah menggenggam handphone dengan posisi menggantung pada telinga kirinya. Oh, sedang menelpon. Aku kira dia sedang mengajakku bicara tadi.
“Aku udah berusaha semaksimal mungkin. Cuekin dia, abaikan semua pesan singkat dari dia, selalu nolak kalau dia minta ketemuan, bahkan sekarang aku udah nggak punya akun media sosial biar benar-benar putus komunikasi sama dia, Ki. Aku kurang usaha apa lagi?”, ucap gadis yang duduk di sebelahku itu dengan nada putus asa. Berkali terdengar helaan nafasnya yang berat.
Oke, kenapa aku malah jadi nguping begini? Tapi mau gimana lagi, aku punya dua telinga untuk mendengar, dan dia bicara tepat di sebelahku. Lalu apa harusnya aku pindah tempat duduk lain? Kayaknya nggak mungkin, bus ini sudah penuh dilihat dari banyaknya penumpang yang tidak kebagian kursi. Wajar saja sih, karena saat ini adalah jam pulang kantor. Ya mau tidak mau aku telingaku ini harus mendengar curahan hati seorang gadis-yang-tidak-aku-kenal-dan-tengah-galau-ini.
Gadis berjilbab pink yang kalau dilihat dari wajahnya seumuran denganku ini mendongakkan kepalanya dan terlihat ada tetesan air mata yang jatuh.
Plis deh, sempe-sempetnya dia nangis di dalam bus yang sesak begini.
“Aku capek kalau harus begini terus, Ki. Aku nggak kuat. Hati aku tersiksa kalau dia muncul dan ngilang seenaknya aja. Yang lebih nyakitin lagi ketika aku sadar kalau aku masih terlalu sayang sama dia.”, gadis itu mulai terisak pelan. Sepertinya dia cuek dengan kondisi bus sesak dan tidak peduli ada aku yang duduk di sampingnya yang tengah menatapnya dengan iba.
“Cuma dia yang berhasil bikin aku tersiksa sampai 4 tahun lamanya, Kirana. Cuma dia!”, tukasnya lantang. “Cinta aku ke dia udah terlalu dalam, aku udah banyak berkorban sampai kayak orang bego tau nggak. Saking begonya aku sampai nggak ngerti harus gimana lagi ngadepin dia”, gadis itu mengusap pipinya yang basah. Tapi beberapa detik kemudian dia menoleh padaku, sepertinya dia sadar kalau tengah aku pandangi.
Seketika aku salting, tapi gadis itu Cuma tersenyum tipis padaku. Aku balas dengan senyum canggung.
“Tapi aku sadar aku nggak bisa kayak gini terus, pokoknya aku harus ngelakuin sesuatu.”, terdengar nada bicaranya kini mulai tenang. “Aku sekarang lagi di perjalanan mau ke rumah Sammy, aku mau menyudahi semuanya hari ini juga. Aku mau kami benar-benar selesai, aku nggak mau berurusan sama orang yang udah nyiksa aku itu lagi.”
Ooh, jadi dia yang dari tadi di sebut itu namanya Sammy.
“Seandainya dulu aku nggak jatuh cinta sama dia, aku nggak akan tersiksa kayak gini. Seandainya dulu aku nggak berharap apapun sama orang itu, aku nggak akan ngerasain pahitnya dijatuhin sekeras ini, Ki. Aku kapok, aku nggak mau lagi ngerasain begini.”, gadis itu menghela napas panjang seraya menekan tombol handphonenya mengakhiri pembicaraan kemudian memasukan handphonenya ke dalam tas. Setelah itu dia hanya diam sambil memandang keluar jendela bus.
Ada perasaan canggung selepas menguping pembicaraan orang yang tidak aku kenal ini. Apa harus aku ajak bicara ya?
“Maaf ya, Mbak, kalau barusan saya mengganggu kenyamanan Mbak”, ucap gadis itu tiba-tiba dengan wajah tersenyum. Seolah dia bisa membaca isi hatiku saja.
Aku sedikit tersentak, “Oh? Ah, enggak kok, saya nggak merasa terganggu.”
Gadis itu mengangguk pelan, “Tujuan ke mana, Mbak?”, tanyanya.
“Perum Griya Asri. Mbak sendiri?”
“Loh? Saya juga mau ke sana, Mbak. Mbak tempat tinggalnya di sana?”,
“Iya, saya ngekost di sana. Tepatnya di blok H, komplek kost-kostannya mahasiswa.”
Gadis itu terperanjat, “Blok H? Berarti kenal sama yang namanya Sammy Prastia dong?”
Aku tercenung, “Sammy Prastia? Dia kuliah di Dharma Jaya juga nggak? Yang saya tau sih di komplek itu yang ngekost rata-rata teman sekampus saya doang. Dan saya nggak paham sama yang namanya Sammy Prastia.”, jawabku seadanya.
“Bukan, dia itu bukan mahasiswa. Tapi dia anaknya pemilik kost yang ada di blok H.”
“Yah, saya nggak paham tuh Mbak. Dia temannya Mbak?”
Oke Olla, kamu udah mulai sok akrab sekarang.
“Yaa, bisa dibilang begitu.”, gadis itu menjawab tanpa ekspresi.
Melihat dia begitu aku jadi bingung harus menanggapi bagaimana lagi. Nggak mungkin kan aku nanya-nanya soal si Sammy Sammy itu.
“Mbak namanya siapa?”, tanya gadis itu seraya mengulurkan tangan.
“Olla”, aku membalas uluran tangannya.
“Saya Ardina. Jadi Olla ini mahasisiwi?”
Aku mengangguk pelan seraya berpikir, memangnya dari tampangku ini nggak keliatan wajah-wajah anak kuliahan ya?
“Ambil fakultas apa?”, tanyanya lagi.
“Fakultas Bahasa dan Seni semester lima. Memangnya Mbak Ardina ini..”
“Masih muda ya?”
Aku tersentak. Hah? Masih muda? Lah emang dia sendiri nggak ngerasa kalau masih muda juga ya?
“Saya udah lulus kuliah 3 tahun lalu, dan Alhamdulilah sekarang udah kerja sebagai akuntan di bank swasta.”
Aku tersentak lagi, kali ini dengan sedikit melongo. Jadi, itu artinya..
“Kok kayaknya Olla kaget gitu?”, sepertinya dia menyadari ekspresi mukaku yang kayak orang cengo.
Aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal, “Oh, anu, saya kira Mbak ini seumuran sama saya. Dilihat dari mukanya masih kayak anak kuliahan sih.”, ujarku dengan senyum canggung.
Mbak Ardina tertawa pelan, “Banyak kok yang bilang begitu. Tapi aslinya saya ini udah umur 26 tahun loh. Udah tua, tapi masih aja sibuk menggalau.”
Aku tertawa garing. Bener juga, udah tua masih aja ngegalau di dalam bus.
“Saya juga kadang bingung kenapa saya masih kayak anak SMA begini kalau udah berurusan soal asmara. Temen-temen saya juga pada bilang kalau ketidakdewasaan saya terlihat kalau sedang patah hati. Ya kayak sekarang ini. Kamu lihat sendiri kan tadi saya nangisin cowok?”, Mbak Ardina tertawa pelan, seolah menertawai ketidakdewasaannya sendiri.
“Yah, namanya juga urusan hati, Mbak. Kadang emang susah untuk dikontrol”, ujarku dengan sotoy.
“Olla pernah patah hati?”
Aku mengangguk, “Bukan pernah lagi, sering.”
“Patah hatinya bukan karena putus cinta, tapi karena cowok yang kamu sayangi setengah mati ninggalin kamu demi cewek lain. Pernah?”
Aku mengangguk, kali ini lebih keras. “Pernah. Banget.”
Oh, okay. Mbak Ardina membuatku kembali teringat pada sosok Irham.
Mbak Ardina meringis, “Sakit banget ya?”
“Bukan ‘banget’ lagi Mbak. Rasanya udah kayak nggak tertolong lagi lah. Seolah nggak ada obat buat nyembuhinnya.”
Yak! Resmilah aku curhat dengan orang yang baru aku kenal. Kenapa aku tiba-tiba jadi tertular sifat extrovert orang ini?
“Griya Asri! Griya Asri!”, tiba-tiba terdengar suara kernet bus yang membuat percakapanku dengan Mbak Ardina terhenti.
“Udah sampai, yuk turun”, kata Mbak Ardina. Kami berdua pun beranjak dari kursi penumpang kemudian turun dari bus.
Percakapan pun berlanjut di sepanjang jalan menuju blok H.
“Jadi Mbak bela-belain pulang kerja langsung ke sini demi ketemu orang itu?”, tanyaku sambil berjalan beriringan dengan Mbak Ardina.
Dia mengangguk, “Ya selagi ada kesempatan kenapa enggak? Saya Cuma takut bakal lebih menyesal karena nggak menyelesaikannya sekarang.”
“Mbak menyesal karena udah mencintai dia atau..”
Olla, plis jangan sotoy!
Mbak Ardina mengangkat bahu, “Kadang saya bingung sendiri, sebenarnya saya ini menyesal karena udah dipertemukan dengan dia atau saya menyesali perbuatan saya sendiri. Saya nggak bisa membedakan itu, rasanya sama aja. Yang saya rasakan ya hanya itu, penyesalan yang entah karena apa.”
“Lalu, apa yang bakal Mbak lakukan kalau udah bertemu sama dia?”
“Saya bakal ungkapin apapun yang saya rasakan selama ini sama dia. Saya pengin dia tahu kalau saya benar-benar tersiksa karena dia. Saya pengin nunjukin betapa capeknya saya berusaha lupain dia tapi dia malah datang dan pergi seenaknya saja. Saya pengin dia sadar kalau dia udah terlalu jahat mempermainkan saya. Pokoknya saya nggak mau berurusan lagi dengan dia, saya mau kami benar-benar selesai.”, kata Mbak Ardina tegas.
“Mbak mau putus komunikasi selamanya sama dia?”
Mbak Ardina mengangguk, “Iya. Cuma ini satu-satunya cara biar saya nggak merasa tersiksa lagi.”
“Apa nantinya Mbak nggak akan menyesal?”
Gadis berjilbab itu tersenyum tipis, “Kenapa harus menyesal? Justru kalau saya nggak melakukan ini, baru saya menyesal.”
*
Aku melempar kunci kamar kostku ke meja belajar seraya merebahkan badan ke tempat tidur. Mataku memandang langit-langit kamar dengan nanar. Entah kenapa ada perasaan aneh yang menyelimuti semenjak pertemuanku dengan Mbak Ardina. Mendengar kisahnya yang tak jauh beda denganku, melihat sikapnya yang tegas pada keputusannya, membuatku seketika berpikir tentang masalahku sendiri.
Ya, tentu saja masalah perasaanku pada Irham yang tak pernah ada habisnya.
Jika Mbak Ardina berani memutuskan untuk menyudahi masalah dengan cara mengutarakan semua yang dia rasakan pada orang yang begitu ia sayang, lalu apakah aku harus melakukan hal yang sama? Ah, jujur saja aku tidak memiliki keberanian untuk memutuskan seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika akhirnya aku benar-benar kehilangan kontak dengan Irham. Meski rasanya tersiksa, tapi aku tidak pernah terpikir untuk memutuskan tali silaturahmi diantara kami. Aku hanya bersikap cuek di depannya, bersikap seolah aku tidak peduli padanya lagi, namun di dalam hati aku begitu peduli. Iya, terdengar munafik memang.
Selama ini aku tidak pernah menghubungi Irham lebih dulu, selalu dia yang menanyakan bagaimana kabarku. Dan aku tidak pernah lagi meminta Irham untuk tidak lagi menghubungiku seperti dulu saat aku masih bersama Odie. Kini yang aku lakukan hanyalah membiarkannya datang dan pergi seenaknya.
Karena aku sadar, aku tidak punya hak apapun untuk melarangnya ini itu. Siapalah aku ini baginya?
Aku mengambil handphone yang tergeletak di tepi bantal dan segera membuka aplikasi BBM. Ada personal messenger dari Irham yang tertulis ‘biar aku jaga rasa ini meski tanpamu..’.
Aku tercenung, apa maksudnya ini? Apa berarti Irham sudah berpisah dengan pacarnya? Eh, lalu kenapa kalau dia putus, apa berarti aku dan dia bisa dekat lagi seperti dulu?
Ah, aku rasa tidak. Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menaruh harap apapun pada dia.
Aku memandangi display picture Irham, foto dirinya yang tengah tersenyum lebar. Tampan sekali. Pantas saja aku tidak bisa melupakan wajahnya. Payah!
Tiba-tiba aku teringat ucapan Mbak Ardina saat menelpon temannya sewaktu di bus tadi. ‘Seandainya dulu aku nggak jatuh cinta sama dia, aku nggak akan tersiksa kayak gini. Seandainya dulu aku nggak berharap apapun sama orang itu, aku nggak akan ngerasain pahitnya dijatuhin sekeras ini’.
Aku tersenyum miris mengingatnya. Ya, mungkin ucapan Mbak Ardina benar.
Seandainya dulu aku tidak menerima friend request dari Irham di Facebook, mungkin aku tak akan berkenalan dengannya. Seandainya dulu aku tidak memberikan nomor teleponku pada Irham, aku tidak akan menjalin kedekatan dengannya. Seandainya dulu aku tidak mengajak Irham bertemu, aku tidak akan jatuh cinta padanya. Seandainya dulu aku tidak dicampakkan oleh Irham, pasti aku tidak akan merasakan sakit yang teramat dalam ini. Seandainya dulu aku tidak membiarkan Irham terus-menerus menghubungiku, mungkin saat ini aku telah kehilangan kontak dengannya. Seandainya dulu Irham bisa membalas perasaanku, mungkin saat ini aku menjadi gadis yang paling bahagia sedunia.
Oke, Mbak Ardina boleh merasa menyesal atas cintanya pada Sammy, tapi aku tidak bisa seperti itu. Meski pada akhirnya aku dijatuhkan dengan keras oleh Irham, meski luka membekas tiga tahun lamanya.
Aku tidak pernah menyesal karena sudah dipertemukan dan jatuh cinta dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar