Kutulis ini
dalam keadaan wajah kusam, mata sembab, rambut kusut dan bau asam. Betapa
buruknya diriku ini, hingga aku tak tega memandang bayanganku sendiri lewat
cermin.
Kenapa aku
begitu kacau?
Seperti sebelumnya,
jika aku tengah merasa kacau, galau, gundah gulana, yang kulakukan hanyalah
membuat tulisan seperti ini. Mencurahkan semua yang aku rasakan, menumpahkan
segala emosi yang aku pendam. Apakah dengan begini masalahku akan hilang? Tidak.
Hanya saja aku senang melakukannya, setidaknya aku merasa lega setelah menulis.
Lalu,
masalah apalagi kali ini?
Seperti sebelumnya,
aku selalu bermasalah pada hati dan logikaku sendiri. Mereka selalu
bertentangan dan membingungkanku. Seketika aku menjadi dungu gara-gara
pertentangan mereka. Siapa yang baiknya aku ikuti? Jika aku mengikuti apa yang
dikatakan hatiku, biasanya akan berakhir dengan kekecewaan. Dan jika aku
mengikuti kemauan logikaku, yang terjadi biasanya aku akan menyesali perbuatanku
sendiri. Karena sesungguhnya yang dikatakan hatiku adalah sesuatu yang
benar-benar yang aku inginkan. Namun selalu saja logikaku melarangnya dan
menyuruhku untuk mengikuti katanya. Sehingga mau tidak mau aku pun selalu
mengikuti logikaku dan.. senjata makan tuan. Berakhir penyesalan.
Kenapa bisa
seperti itu?
Mungkin aku
harus memberi penjelasan lewat kasus seperti ini.
Ada seseorang
yang aku sukai. Pada suatu ketika dia mengirimkan pesan padaku berupa ajakan
jalan-jalan. Saat itu aku menuruti kata hatiku untuk mengiyakan ajakannya meski
di sisi lain logikaku melarangnya. Namun yang terjadi selanjutnya adalah
rencana itu gagal dengan mudahnya. Dan akhirnya akupun kecewa.
Tidak, aku
tidak menyesal karena telah mengikuti kata hatiku. Jika aku menyesal, itu
artinya aku menyalahkannya yang mengajakku pergi. Namun hatiku hanya melakukan
tugasnya, dia bertindak sesuai keinginanku. Ya, aku ingin rencana ini berjalan,
aku ingin pertemuan ini terjadi.
Logikaku pun
memberontak. Dia menyalahkan hatiku yang terlalu mudah untuk dikelabuhi. Dia menekankan
pada hatiku agar tak lagi mempedulikan apapun tentang orang itu.
Kemudian..
Seperti sebelumnya,
orang itu kembali mengirimkanku pesan. Kali ini dia mengatakan ingin singgah ke
rumahku. Tentu saja dengan segera hatiku menyanggupinya dan logikaku melarang
keras. Sampai detik itu aku bingung apa yang harus aku lakukan, dan untuk
sementara aku membiarkan pesannya tanpa membalasnya. Logika tersenyum melihat
sikapku.
Namun hatiku
tidak terima, ada perasaan tak tega jika harus mengabaikan niat baiknya itu.
Alhasil aku kembali mengikuti apa yang diingkan hatiku, aku membalas pesannya.
Saat itu
hatiku begitu berharap dia segera datang dan melenyapkan segala kecewa atas
kejadian sebelumnya. Namun logikaku mengejek, dia berujar kalau pria itu tidak
akan datang dan aku tidak pantas untuk menunggunya. Dia menambahkan, sia-sia
saja aku menunggunya yang biasanya hanya mengecewakanku saja.
Tapi hatiku
membalas argumen logikaku, mungkin aku akan lebih menyesal jika aku tidak
mengacuhkan apa yang benar-benar aku inginkan.
Logika
kembali membalas, sudah bagus aku memperlakukan pria itu dengan cuek juga
angkuh, kenapa pula aku harus meladeni ucapannya? Tidak seharusnya aku
mempercayai ucapannya, tidak seharusnya aku menunggu kedatangannya. Bukankah selama
ini dia hanya datang dan pergi seenaknya sendiri? Jika aku menuruti apa kata
hati, aku akan menelan kecewa sendiri.
Hati menampik
argumen logikaku kembali, menuruti apa mau logika hanya akan menyakitinya. Bersikap
ketus padanya akan makin menjauhkannya dariku, dan sesungguhnya aku tidak ingin
dia menjauh. Harusnya aku mengikuti hatiku agar bersikap baik dan ramah seperti
dulu padanya. Tak apa jika dia kembali membuatku kecewa dengan harapan yang dia
beri kemudian dia jatuhkan kembali. Sudah menjadi resiko karena telah menyukai
orang menyebalkan seperti dia. Harusnya aku bisa menerima.
Logika
mengomel, akan terasa sangat tolol jika aku masih memendam perasaan juga
harapan pada orang itu. Tidak akan ada gunanya aku menunggu, tidak akan
mengubah apapun jika aku bersikap baik dan ramah. Lebih baik mengabaikannya dan
pergi untuk seseorang yang lebih baik.
Hati menepis,
lalu apakah jika aku mengabaikannya, aku akan merasa lebih baik? Apakah aku
akan merasa bahagia jika dia tidak ada? Oh ayolah, dia tidak memberi kabar saja
aku sudah rindu. Ikuti kata hati adalah hal yang paling benar. Meski nantinya
merasa terluka, setidaknya inilah yang aku inginkan. Aku menjadi diriku
sendiri, aku tidak perlu memunafiki perasaanku sendiri.
Logika
menjerit keras, balasan mengikuti apa kata hati adalah kekecewaan, yang juga
menimbulkan penyesalan. Bodoh, dia tidak mencintaiku! Abaikan dia, bukan dia
yang harus aku tunggu.
Hati
menampik kembali, buat apa memaksakan diri untuk mengabaikan orang yang aku
sukai selama ini? Meski dia tidak memiliki perasaan yang sama, dia tidak
menaruh harap yang sama, aku tidak pernah menyesali apapun. Bagiku, luka ini
adalah sebuah resiko.
Oke, aku
lelah dengan perdebatan ini.
Logika tetap
pada pendiriannya dan terus berkata dia tidak akan datang, dia tidak akan datang,
dia tidak akan datang. Hatipun semakin berharap dia akan datang, dia akan
segera datang, dia tidak akan membuatku kembali kecewa.
Aku pun
menunggu. Satu menit berlalu. Lima menit berlalu. Duapuluh menit berlalu.
Pada akhirnya,
dia tidak datang. Seperti sebelumnya..
Dan pada
akhirnya aku marah pada diriku sendiri. Aku kesal pada hatiku sendiri. Aku
benci pada logikaku sendiri. Semuanya membuatku serba salah. Aku tidak
mendapatkan apapun dari mengikuti hati maupun logika, mereka semua hanya
membuatku kesal dan terlihat begitu tolol.
Lalu apakah
sekarang waktu yang tepat untuk menyesal?
Tidak,
sekarang waktu yang tepat untuk menumpahkan air mata.
Seperti sebelumnya,
aku hanya bisa menangis karena kebodohanku sendiri.
Ditulis dengan perasaan kacau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar