Kamis, 02 Februari 2017

Tell Me Why (part 5)

Akh!
Aku terpekik sendiri saat jariku menekan tombol send. Sial. Harusnya aku cuekin saja semua chat dari orang itu. Tapi kenapa malah aku membalasnya dengan penuh niat begini? Tapi entah kenapa diam-diam aku ingin sekali membalasnya. Tapi kalau aku membalas terus yang ada dia jadi besar kepala dan kegeeran, nanti pikirnya aku suka sama dia lagi. Aih. Pikiranku jadi semrawut ngga jelas begini kalau berhadapan dengan dia.
Rachmadi Dulhazan, atau yang akrab dipanggil Rado. Pertama kali aku tau nama lengkapnya, ketika dia berniat mengantarku pulang kuliah tiba-tiba di tengah jalan ada razia, saat Polisi memeriksa kartu identitas, SIM, dan surat lain, aku tak sengaja melihat nama lengkapnya tertulis di KTPnya. Seketika itu juga aku tertawa kencang sampai Polisi bertanya padaku apanya yang lucu. Aku hanya menjawab kalau aku baru tahu nama lengkap orang yang mengantarku ini berkat adanya razia, aku bahkan berterimakasih kepada Pak Polisi. Rado, yang saat itu hanya malu karena aku tertawakan, hanya diam saja tanpa bantahan apa-apa.
"Kenapa? Nama gue terlalu bagus buat lo sampe ketawa ngga kenal situasi begitu?", tanya Rado begitu sampai di depan rumahku, saat itu.
Aku membungkam mulutku sendiri yang masih belum bisa berhenti terkikik. "Sori, Do. Habisnya lo aneh aja sih, nama bagus begitu lo samarin jadi Rado. Biar apa coba?"
"Ini sih gara-gara dulu waktu di pesantren ada guru gue yang lumayan galak dan berkumis tebal, namanya Pak Rahmadi, sama kayak nama gue. Temen-temen gue yang jahil waktu itu suka ngejekin gue, katanya kalau udah gede bakal kayak beliau. Galak, suka ngomel, kumisnya kayak pagar istana Presiden. Gue risih lah, makanya gue bikin nama panggilan sendiri aja yang kedengaran lebih keren."
"Tapi asli gue ngga akan tahu nama lengkap lo kalo ngga ada kejadian razia kayak tadi tau ngga? Hahahahaha"
Rado mendengus, "Udah sana masuk. Langsung tidur ya, jangan kebanyakan begadang. Nanti mata panda lo tambah gede."
Kontan aku mencubit lengannya gemas. Kesal sekaligus malu karena dia tahu kalau aku bermata panda, kantung mataku memang agak besar dan kehitaman seperti panda. Tapi sekaligus senang sih, karena itu artinya dia memperhatikanku. Gadis mana yang tidak suka bila diperhatikan, iya kan?

Eits. Aku tersadar dari lamunanku begitu balasan chat dari Rado datang.

Ya udah, gimana kalau Sabtu sore?

Hm? Sejenak aku berpikir. Akhir-akhir ini Rado sering mengajakku pergi, tapi tak selalu aku turuti. Kadang ngga enak juga sih kalau menolak terus, lagipula mau beri alasan apa lagi?
"Brietta", suara Mama terdengar di balik pintu kamar, "Ayo sayang kita berangkat, nanti kita terlambat acaranya."
"Iya bentar Ma"

Buru-buru aku membalas pesan Rado sebelum Mamaku mengomel

Gue kabarin nanti ya. Nyokap udah nungguin nih mau pergi

Oke, take care ya Princess Bee

Nafasku tercekat saat membacanya. Entah kenapa saat dia memanggilku begitu, dadaku seketika berdebar.
*
"Bri..", panggil Mama di tengah perjalanan
"Kenapa, Ma?"
"Yang suka ngantarin kamu pulang kerja itu siapa namanya? Radit?"
"Rado namanya, Ma.", ralatku. "Emang kenapa?"
"Ah engga, Mama cuma suka aja ngelihat dia. Anaknya cakep, sopan, terus kelihatannya pekerja keras ya?"
Aku mencibir, "Cakep apanya, Ma? Muka standar begitu, mana orangnya nyebelin, bawel, rese deh pokoknya."
"Tapi di mata Mama dia cakep loh, bersih gitu mukanya. Suka perawatan kali ya? Eh, Bri, kapan-kapan kamu ajak dia makan malam di rumah kita gih."
"Ha? Ya ampun, Ma.." keluhku.
"Loh, Mama mau pamer skill masak Mama loh"
"Dih, Mama ini kenapa sih ngebet banget? Akunya aja biasa aja"
"Dia doyan pork kan ya, Bri? Siang ini dia ikut misa kan?"
Eits. Mama mulai ngelantur, harus aku hentikan sebelum jadi berabe.
"Rado ngga makan babi, Ma."
Mama seketika diam, lalu menolehku yang duduk di bangku belakang.
"Rado ngga pergi ke Gereja kayak kita, Ma. Dia sholat Jumat di Masjid."
 Dan setelah itu, sepertinya Mama enggan membahas soal Rado lagi.
Yah, baguslah.
*
Sabtu sore, akhirnya aku putuskan untuk menemui Rado sepulang kerja. Dia pun mengabari akan menjemputku, tapi aku menolak dengan alasan lebih baik kita bertemu langsung saja di tempat janjian.
Sejak kemarin, moodku tiba-tiba memburuk.Ini bukan soal Mama lagi, tapi sepertinya ini sudah jadi urusan intern keluarga. Ah sial.
"Udah pesan makan?", tanya Rado begitu menghampiriku di sudut kafe.
"Ngga nafsu, males. Lo aja sana.", jawabku dengan jutek.
Rado mengamati wajahku, seolah dia mencoba meneliti apa penyebabnya, "Bri, kalo lo emang lagi sibuk atau ngga pengen ketemu gue, ya ngga apa-apa."
Aku menggeleng pelan, "Ngga. Gue emang sengaja nemuin lo di sini. Ada yang perlu gue omongin."
"Apaan?"
"Nyokap gue..", aku menatapnya lekat-lekat. "..suka sama lo"
Rado terbelalak. Kaget? Jelas iya, banget. Sebuah pernyataan yang sangat tidak terduga bukan?
"Dia mau ketemu lo besok malem. Lo mau kan makan malam di rumah gue?", tanyaku tak yakin jika Rado mau mengiyakannya.
"Be-bentar", Rado membetulkan posisi duduknya. "Dalam rangka apaan neh? Jangan bikin gue ngira yang engga-engga nih."
Aku menghela napas pendek, "Mau ngomongin soal kita."
"Ha?!"
"Iya, dia mau ngomongin soal KITA", aku menekankan kata 'kita' dengan tegas. "Dia ngiranya kita udah pacaran. Mau diseriusin kayaknya."
Rado menggeleng tak percaya, "Wait..ini mendadak banget sumpah. Gue aja belom ada persiapan apa-apa. Gu-gue harus gimana? Harus bawa apaan? Apa perlu orangtua gue juga ikutan?" Rado seketika panik.
"Do!", aku menepuk dahiku sendiri. "Lo cuma harus bawa diri lo sendiri, okay?"
"A-ah, okay.."
 Aku bisa lihat butir-butir keringat dingin yang membanjiri wajahnya.
Gugup ya? Sama.

to be continued..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar