Rabu, 15 Februari 2017

Tell Me Why (part 6)

Mataku tertuju pada layar ponselku. Lima belas panggilan tak terjawab. Aku menghela napas pendek. Apakah aku pantas mengabaikannya seperti ini? Apakah tidak terlihat kekanakan? Ah sudahlah.
Aku menutup wajahku dengan bantal, berusaha untuk tidur. Namun sebuah ketukan pintu mengurungkan niatku.
"Siapa?", tanyaku dengan nada malas.
"Gue, Bang.", suara Mail, adikku menyahut.
Ah, paling dia mau mengambil stik PS yang kupinjam semalam. "Masuk aja, gak dikunci."
Begitu dia masuk, dia tak langsung mengambil stik PSnya, dia malah menghampiriku ke tempat tidur.
"Bang.."
"Apaan? Gue mau tidur ah, tuh stik lo di atas meja."
"Tau ngga sih lo kalo lo dicariin mulu sama Namira?"
Aku tersentak, sedikit terkejut. "Ngapain dia nyariin gue?",
"Ya mana gue tau. Lagian lo beberapa hari ini kayak lagi main kucing-kucingan sama dia. Kenapa lagi sih lo?"
"Ngga kenapa-napa. Udah ah sana lo ganggu gue mau tidur aja", aku berusaha mengusir Mail.
Tangan Mail merebut bantalku secara kilat. "Putus ya lo berdua?"
Aku mendengus. Itu sebuah pertanyaan retoris, Adikku.
"Siapa yang mutusin?", Mail mulai bawel, "Dia ya?"
"Gue", jawabku singkat.
Mail diam, dia memandangku dengan dahi berkerut.
"Ke mana perginya semua cinta yang selalu lo utarakan itu, ha?"
"Apaan sih lo? Kenapa jadi sok puitis begitu ngomongnya? Baru aja main drama, lo?", aku terkikik pelan mendengar celotehan Mail, adik sematawayangku yang baru duduk di kelas 2 SMA itu.
"Jawab gue, Bang!"
"Gue putus bukan berarti udah ngga cinta lagi, Nyet. Ada banyak alasan."
Mail mencibir, "Aneh lo. Dulu aja pas ditanya kenapa bisa suka sama Namira lo bilang ngga perlu alasan buat suka sama seseorang. Eh pas udah putus aja baru ada alasannya. Ngga jelas emang lo pada."
Aku tertegun. Kenapa aku merasa ucapannya terdengar begitu tepat?
"Bang, gue juga baru putus sama cewek gue.."
"Lo putus lagi?", aku melotot. "Buset dah! Sebulan lo ganti pacar berapa kali, Ismail?!"
Mail menepis tanganku yang memegang bahunya. "Bukan saatnya bahas soal gue. Kita kan lagi ngomongin soal lo!"
"Iya oke, terus kenapa?"
"Gue akhirnya nyesel Bang, kenapa gue biarin dia mutusin gue. Harusnya gue pertahanin orang kayak dia, yang baik, sabar dan sayang banget sama gue. Tapi malah gue nyia-nyiain dia."
"Jadi lo yang diputusin?"
"Deandra itu Bang, baik banget orangnya, cantik, banyak yang suka sama dia, banyak yang ngejar-ngejar dia dan cari perhatian dia. Tapi dia malah milih gue yang nilai matematika sama fisikanya aja selalu masuk bottom three."
Aku menahan tawa saat dia menyebut dua kata terakhir.
"Dia mutusin gue karena dia bilang gue ngga bener-bener sayang sama dia, Bang. Padahal gue aslinya sayang, cuma gue ngga tau aja gimana cara buat nunjukinnya. Lo tau kan Bang kalo gue orangnya rada kaku kalo sama cewe?"
"Rada kaku tapi bisa gampang dapetin cewe dalam jangka waktu yang singkat. Pake jurus apaan lo?"
"Anjrit jangan ngalihin issue dulu ah! Itu karena gue emang kharismatik di mata cewe-cewe, Bang."
"Tapi aslinya lo cuma anak manja cengeng."
"Kenapa malah jadi ngomongin gue?", Mail meninju bahuku cukup keras.
"Okay okay! Set dah, sakit, Nyet!"
"Gue sekarang mau memperbaiki hubungan gue sama Deandra, Bang. Gue sadar kalo dia emang yang terbaik buat gue."
Aku mendengus. "Yakin bener kedengarannya. Tau dari mana lo kalo dialah yang terbaik buat lo?"
Mail mengangkat bahunya, "Gue sih cuma ikutin kata hati aja. Lagian selagi ada yang kelihatan tulus sayang sama gue kenapa ngga gue pertahanin? Gue cuma takut ngga ada lagi yang kayak dia, Bang."
Gue takut ngga ada lagi yang kayak dia.
Kalimat itu terkunci otomatis dalam otakku. Kembali aku menghela napas.
"Tapi hubungan gue sama Namira ngga sesimpel itu. Kami udah sama-sama dewasa, harus lebih mikir jauh ke depan. Kalau salah satu di antara kami ada yang ngga serius dengan itu, buat apa terus diupayakan agar terus bersama? Bukannya itu jadi sesuatu yang sia-sia doang?"
"Serumit apa sih sebenarnya? Dia udah ngga suka sama lo lagi?"
"Mail, ini bukan soal perasaan gue ke dia gimana atau dia ke gue gimana. Ini soal kelanjutan hubungan gue sama dia. Mau diapain nih hubungan kalau Namira diajak nikah aja ngga mau?"
Mail mendelik kaget, "Dia ngga mau nikah sama lo maksudnya? Terus dia maunya sama siapa?"
Aku menepuk dahiku sendiri. Kupikir Mail sudah cukup dewasa untuk umurnya yang sudah menginjak 17 tahun, tapi ternyata dia masih sepolos anak SD.
"Dia ngga suka sama yang namanya komitmen. Intinya, dia ngga tertark buat nikah. Dengan siapapun. Termasuk gue."
Mail tertegun, "Kok separah itu sih, Bang? Dia normal nggak sih jadi cewek?"
"Ya normal lah, cuma jalan pikirannya aja yang sedikit abnormal. Gue juga masih ngga ngerti sama dia padahal udah bertahun-tahun kenal. Meski lo kenal sama orang begitu lama, bukan berarti lo bisa tau segalanya, bahkan segala apapun yang dia pikirin. Lo belum tentu bisa mengerti."
"Tapi lo masih sayang dia kan, Bang?"
Lagi-lagi sebuah pertanyaan retoris.
"Apa masih perlu gue jawab?"
*
"Jangaaannn!", Rado merebut kotak Marlboro yang baru mau aku ambil.
"Kenapa sih? Bagi dikit kali, ah."
"Lo tuh yang kenapa?", Andra menepuk bahuku pelan, "Kenapa lo jadi demen ngerokok lagi? Dan kenapa lo putus sama Namira?"
"Gue cuma iseng.", jawabku ringan.
"Alasannya gitu mulu, lo." Rado memantik rokoknya. "Stres berat lo ya ngurusin Namira?"
"Dia beneran ngga mau diajak nikah, Men. Udah mentok nih gue, buntu banget pikiran rasanya.", ucapku sambil berusaha mengambil kotak rokok yang dimonopoli Rado.
"Bangke! Jangan ah! Kalo mau beli sendiri sono!", Rado menepis tanganku kasar.
"Eeeh, para bujangan Mama malam Jumat bukannya Yaasinan malah ngerumpi sambil bakar-bakar ya?", suara Mama Rado muncul tiba-tiba. Sontak Rado melempar kotak rokoknya ke arah Andra. Andra yang terkejut dengan kemunculan Mama Rado kontan menyembunyikan kaleng Bintang di belakang punggungnya. Aku hanya berpura-pura tidak kaget dan memasang senyum canggung.
Kami bertiga salah tingkah.
"Malam, Tante. Baru pulang dari arisan ya?", sapaku, masih dengan senyum canggung yang dipaksakan.
"Kalian udah pada makan? Kebetulan Mama bawa bolu gulung nih, teman Mama yang bawain tadi.", ucapnya seraya menghampiri kami di teras belakang dengan sekotak bolu gulung ukuran besar.
"Oh, iya makasih Tante. Jadi ngerepotin.", ucap Andra sambil terus menyembunyikan kalengnya.
"Bolu ini cocok loh kalo dimakan sambil minum soda gila."
Aku tertegun, Rado memasang tampang kaget, Andra terlihat shock.
Istilah soda gila yang sering diucapkan Mama Rado berartikan minuman keras, bir, atau dalam hal ini, Bintang yang sedari tadi digenggam Andra.
"Anjrit!", seru Rado lantang seraya meninju lengan Andra begitu Mamanya masuk kembali ke dalam rumah. "Itu kaleng lo masih keliatan, bego! Lagian lo ngapain bawa bir ke rumah gue sih? Tau sendiri keluarga gue kayak gimana! Mereka tau gue masih ngerokok aja suka disewotin!", tukas Rado mengomel.
"Iya maaf maaf, kebiasaan gue nih. Lagian di rumah Baim biasanya aman-aman aja.", Andra ngeles.
"Beda rumah beda aturan, nyet!"
"Lo juga sih, Ndra, masih aja kebiasaan ngebir. Ketauan Nyokapnya Ghina mampus lo.", timpalku.
"Ah ini buat pengusir stres gue aja, Im. Pusing gue mikirin maunya Ghina. Ngga beda kan sama lo yang pusing sama Namira?"
"Beda, Jing! Baim ngga minum kayak lo, ya!", Rado masih sewot.
"Udah-udah ah. Iya gue salah, gue minta maaf. Oke, pren?", Andra memberi V Sign pada Rado.
"Lo sendiri gimana sama Brietta, Do?", tanyaku
Rado menghela napas pelan, "Gue diajakin makan malam di rumah Brietta, Im. Belum siap mental gue."
Sontak aku dan Andra mendelik kaget.
"Udah mau seriusan aja lo sama dia?", Andra terkikik pelan.
"Wah, udah ada kemajuan pesat nih." timpalku
"Kemajuan biji lo! Ini gue takut bakal diapa-apain sama keluarga dia tau, bisa mampus gue di sana!"
"Lo suruh pindah agama jangan-jangan?", Andra usil menakut-nakuti.
Tanpa babibu lagi sebuah tinju keras dari Rado melayang mengenai paha Andra.

to be contiued..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar