Selasa, 21 Februari 2017

Tell Me Why (Part 7)

Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, dan Rado masih saja sibuk mengeluarkan satu pakaian dari lemari, mencocokannya dengan celana, menggeleng, kemudian melempar kemeja itu ke tempat tidurnya yang sudah penuh dengan bermacam-macam pakaian. Rado menggeleng lagi, kali ini lebih keras.
"Kenapa ngga ada yang cocok? Ngga ada yang pas? Gue harus pakai apaan, anjrit!", keluh Rado, panik. Dia melihat ke arah jam dinding di kamarnya, jarum jam berjalan tanpa iba makin membuatnya pusing tujuh keliling.
"Oke, ini aja!", ucapnya mantap mengambil keputusan. Diambilnya kemeja batik warna beige yang dipadukannya dengan blue jeans kesukaannya.
Rado tersenyum seraya menganggukan kepalanya berkal-kali. "Gue oke, gue keren, gue kharismatik!", gumamnya sambil melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.
Krieett! Rado tersentak begitu mendengar suara pintu kamarnya terbuka.
"Mas mau ke mana? Kondangan?", tanya Mamanya heran melihat Rado begitu tumben berpakaian rapi.Di  mata Mamanya, Rado hanya akan berpakaian rapi jika hendak pergi ke pengajian, Masjid, atau kondangan saja. Selain itu, dia akan memakai baju seadanya, bahkan cenderung berantakan dan tidak pernah matching.
"Eh tapi itu harusnya jangan pakai celana jin dong, pakai celana bahan warna hitam biar lebih pas.", tunjuk Mamanya yang disambut gelengan dari Rado.
"Umi, Mas lagi buru-buru. Kayak gini aja deh ya, kan udah bagus juga."
"Emang temen Mas yang nikahan yang mana? Baim atau siapa itu yang bandel banget. Ah, Andra."
"Bukan keduanya, Mi. Lagian Mas bukan mau kondangan kok."
"Lah terus ke mana?"
Rado terdiam sejenak, bola matanya memutar, memikirkan jawaban apa yang paling tepat untuk dikatakan pada Mamanya.
'Yang bener aja, masa gue harus jujur ke Umi kalo gue pergi undangan makan malam orangtua gebetan? Yang ada bisa panjang nih diinterogasi dulu.', ujarnya membatin.
Tak lama sebuah 'panggilan' menyelamatkan Rado. Brietta menelpon di saat yang tepat.
"Umi, Mas berangkat dulu ya. Ini udah ditungguin temen.", Rado meraih tangan Mamanya dan mengecupnya lembut.
"Emang mau ke mana sih, ah? Umi penasaran ini, Mas."
"Nanti aja kalo udah balik Mas ceritanya. Oke, Mi? Assalamualaikum."
Dengan cepat Rado mengambil kunci motor dan jaketnya, melesat cepat ke rumah Brietta dengan perasaan campuraduk. Panik, takut, gugup, tapi ada senangnya juga.
'Gue harus tenang, gue harus tenang', sepanjang perjalanan Rado hanya bisa berusaha menenangkan dirinya sendiri.

*

"Jadi ini yang namanya Rado?", tanya Papa Brietta dengan senyum ramah.
Rado mengangguk, canggung. "Iya, Om."
"Sudah lama kenal sama Brietta?", 
"Iya lumayan lama, Om. Dari kuliah semester awal."
"Satu jurusan?"
"Engga, Om. Saya masuk teknik mesin."
Rado berkali menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Rasa tegang dan canggung begitu menyelimutinya. Brietta yang duduk disampingnya berkali memberi 'kode' agar dia tidak terlihat gugup, tapi tetap saja Rado sulit untuk menyembunyikan perasaannya.
"Nah, Nak Rado, ini masakan favorit keluarga kami, ikan cakalang bakar. Cobain deh. Nak Rado bisa makan kalo yang ini kan?", tanya Mama Brietta. Spontan Brietta mendelik ke arah Mamanya.
"Ma..", bisik Brietta seraya memberi kode agar jangan mengungkit soal bisa atau tidak Rado memakan masakannya. Namun Mamanya pura-pura tidak melihatnya.
Rado berdehem, "Iya bisa, Tante. Kebetulan saya juga suka makan ikan bakar, kok."
"Ikan apa aja yang bisa kamu makan? Biar lain kali Tante masakin."
"Apa aja bisa saya makan selagi masih lazim buat dimakan, Tante. Semua yang ada di laut boleh dikonsumsi kok sebenernya."
Mulut Mama dan Papa Brietta kompak membulat, "Oohh..."
"Nahh, berarti gampang kan kalo gitu. Ayo, ayo silahkan dimakan, dinikmati hidangannya.", ucap Mama Brietta lagi.
"Enak banget, Tante. Gurih dan sedikit pedas juga, saya suka.", ucap Rado begitu suapan pertama masuk ke dalam mulutnya.
Mama Brietta terlihat senang dengan ungkapan Rado.
"Jadi..", Papa Brietta tiba-tiba memandang serius ke arah Rado. "Kamu mau bagaimana dengan anak Om?"
Kontan saja Rado tercekat kaget, nyaris saja disemburkannya nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya. Dia terbatuk-batuk, tersedak.
"Pa..", Brietta berbisik pada Papanya. "Bisa ngga jangan bahas soal itu dulu. Kita nikmatin makan malamnya aja dulu, Pa."
"Loh, kan enak kalau makan sambil ngobrol, Bri. Yang penting dikunyah dulu makanannya, ditelan, baru bisa ngobrol.", Brietta hanya menggeleng heran mendengar jawaban nyeleneh dari Papanya.
'Di mana-mana yang namanya makan kan ngga boleh sambil ngobrol. Gimana sih ini orangtua?', batin Brietta kesal.
"Jadi gimana Nak Rado? Kamu sebenarnya sedekat apa sama Brietta?", susul Mama Brietta dengan raut wajah penuh binar penasaran.
Rado menelan ludahnya yang mendadak begitu pahit terasa.
"Saya..Saya sama Brietta cuma teman dekat, Om Tante. Ngga ada hubungan lebih dari itu.", jawab Rado senatural mungkin. Padahal hatinya begitu tidak menentu karena dia sendiripun tidak tahu akan bagaimana dan akan diapakan hubungannya ini dengan Brietta.
"Cuma teman dekat?", ulang Papa Brietta tak yakin.
"Iya, seperti layaknya teman biasa, cuma sedikit lebih dekat. Tapi cuma dekat dalam artian akrab kok, ngga lebih dari itu."
"Kamu suka ngga sama Brietta?", tanya Mama Brietta to the point.
Rado terhenyak, Brietta lebih terlihat kaget.
"A-anu.. Saya..", mendadak Rado terbata. Dipandanginya wajah Brietta yang juga telihat gugup.
Kembali Rado menarik napas dan mengembuskannya perlahan.
"Iya, saya suka sama Brietta."

Rado seketika ingat awal pertama kali dia melihat Brietta di kampus. Saat itu di koridor dia dan kedua temannya sedang berjalan santai sambil bergurau, tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya dari belakang. Seorang gadis berwajah oriental dengan postur langsing dan tinggi semampai. Rado hanya tertegun memandangnya sampai tidak menggubris ucapan 'maaf'' dari gadis itu yang kemudian buru-buru lari meninggalkannya yang termangu dan terpesona.
Rado berani menyebutnya sebagai Cinta Pada Pandangan Pertama.

"Saya sudah memendam rasa sama Brietta sejak pertama kali bertemu, Tante, Om.", ungkap Rado jujur. Entah kenapa tiba-tiba ada hasrat yang memaksanya untuk jujur seperti ini, ada bisikan kuat yang mendorongnya untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan selama ini. Dan Rado tidak bisa memungkiri, dia lega setelah mengucapkannya.
Brietta tertegun, dia sebenarnya sudah sadar sejak lama soal perasaan Rado terhadapnya. Brietta tahu kalau Rado menyukainya, bahkan sebenarnya perasaan Brietta terhadapnya juga tak biasa. Hanya saja Brietta tahu, bahwa mereka tidak akan berhasil. Mungkin.
Papa Brietta mengangguk mengerti, "Om menghargai perasaan kamu terhadap Brietta. Om juga senang karena Brietta disukai oleh laki-laki yang baik seperti kamu. Tapi kamu tahu sendiri kan, Brietta, keluarga kami dengan kamu itu berbeda.",
Rado mengangguk pelan. Mendadak telinganya sakit mendengar kalimat barusan.
"Tante sama Om cuma mau yang terbaik buat Brietta. Jujur saja Tante suka sama Rado, karena Tante lihat Rado anak yang baik dan sopan. Tapi kami sepakat untuk mencegah kalian agar tidak lebih jauh lagi."
Rado tercekat mendengar ucapan Mama Brietta yang blak-blakan seperti itu. Dia sama sekali tidak menyiapkan mental untuk mendengar hal seperti ini.
"Ma, Pa, kan tadi Rado udah bilang kalau kami cuma teman dekat, ngga lebih dari itu. Soal perasaannya terhadap Brietta juga cuma rasa suka sebagai teman kok. Kami sama sekali ngga kepikiran soal yang lebih dari itu.", Brietta tidak mau tinggal diam. Mau tak mau dia harus 'menyelamatkan' Rado dengan cara seperti ini.
"Kamu sendiri bagaimana dengan Rado? Maksud Papa, perasaan kamu?", tanya Papa Brietta.
Kembali Brietta tertegun. Diapun sendiri tidak begitu paham dengan apa yang dirasakannya pada Rado.
"Aku cuma nganggap dia teman biasa, Pa."
Rado merasa matanya panas. Entah karena sebab apa. Tapi yang dirasakannya hanyalah perasaan yang sakit luar biasa.

to be continued..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar