Selasa, 07 Maret 2017

Tell Me Why (Part 8)

Canggung.
Rado menghela napas untuk kesekian kalinya. Rasa gugup sejak satu jam lalu belum juga lenyap, padahal jam makan malam sudah lewat. Matanya hanya melirik malu-malu pada Brietta yang kini duduk di sampingnya, yang juga balas meliriknya.
"Sebenernya nih ya, Do..", Brietta membuka suara, "Ada satu hal yang pengin banget gue ungkapin ke lo daritadi. Ini ganggu gue banget jujur aja."
Rado terkesiap, "Soal apa?"
"Outfit lo!", Brietta menunjuk pakaian yang dikenakan Rado. "Asli gue ngga ngerti sama lo! Lo kira mau kondangan pake kemeja batik kayak gitu? Astaga, Rado! Untung bonyok gue ngga komen soal ini loh!", omel Brietta seraya menepuk dahinya sendiri.
Rado tercekat, "Ah! I-ini, anu, gue bingung mau pake apaan, Bri. Dari pada kelamaan nyocokin baju jadi ya milih yang keliatan mata aja, hehehe", ucapnya sambil terkekeh malu.
"Lo bener-bener ngga modis sama sekali, iyuuuhhh!", Brietta melempar tatapan jijik. Tapi Rado tak tersinggung akan hal itu, di matanya sikap Brietta justru terlihat manis dan imut.
"Udah, laen kali mending lo pake baju yang kayak biasanya aja deh daripada sok formal pake batik begini. Asli ngga matching abis!"
"Lain kali?", ulang Rado, "Emang bakal ada 'lain kali'?"
Brietta mengangkat bahunya, "Ya siapa tau aja ya kan?"
Rado tidak menyahut, diseruputnya teh lemon buatan Brietta perlahan.
"Do, maafin semua ucapan orangtua gue ya," ucap Brietta tiba-tiba setelah jeda cukup lama.
"Mereka ngga salah apa-apa lagi, Bri. Wajar kalau orangtua mau ngasih yang terbaik buat anaknya. Anggap aja itu sebagai proteksi dini dari orangtua lo."
"Tetep aja gue ngga ngerasa enak sama lo. Mereka bersikap seolah kita udah ada apa-apa aja. Padahal nyatanya kan ngga gitu."
"Hmm, jadi lo emang cuma nganggap gue sebagai teman biasa aja ya."
Brietta tercenung, "Lah, lo maunya kita bisa lebih dari itu emangnya?"
Rado tidak menjawab, namun Brietta bisa membaca dari ekspresi wajahnya.
"Dulu orangtua gue pernah kayak begini juga. Waktu gue masih kelas 2 SMA." Brietta meneguk teh lemonnya, "Dan cowok yang lagi sial itu namanya Yusuf."
Rado mendengarkan Brietta antusias.
"Gue sama Yusuf teman satu kelas, bisa dibilang akrab sih karena sering dapat kelompok yang sama. Bahkan teman-teman lain sampe nyomblang-nyomblangin gue sama dia. Berhubung gue waktu itu gampang baper, jadi ya gue mulai ngerasa naksir beneran sama dia. Cuma Yusuf sendiri, gue ngga tau dia gimana sama gue.Gue ngga pernah nanya apa dia suka sama gue atau engga, yang gue tau cuma dia suka berteman sama gue.", Brietta tersenyum mengingat ceritanya.
"Sampai suatu ketika gue baru ngeh kalau ternyata dia suka sama gue. Yusuf itu orangnya super polos, masih kayak anak kecil sikapnya. Jadi dia ngga tau gimana caranya ngungkapin apa yang dia rasain ke gue. Yang dia lakuin cuma ngisengin gue, gangguin gue, ngejahilin gue, tapi di satu sisi dia bisa jadi orang yang baik dan perhatian banget sama gue. Di situlah gue tau, kalau dia punya rasa yang sama kayak gue. Tapi begonya, dia ngga pernah ngeh sama kalung gue.", Brietta menghela napas panjang.
"Yusuf itu orang yang taat beribadah, dia selalu usahain salat tepat lima waktu, kayak elo. Di manapun dia berada, kalau sudah waktunya buat salat, dia pasti cari tempat buat salat. Dan begonya lagi, saat itu dia dan beberapa teman lagi main ke rumah gue. Sekitar jam setengah empat, dia izin ke belakang, waktu itu gue ngga ngeh dong dia mau ngapain. Dan ternyata dia ketemu nyokap gue yang lagi bikin cemilan di dapur, dan dia nanya ke nyokap gue di mana tempat buat salat dan di mana arah kiblatnya. Dan lo tau jawaban apa yang nyokap gue kasih waktu itu? Nyokap gue malah nanya balik, "Kiblat itu apa?"", Brietta terkikik geli mengingatnya.
"Setelah itu nyokap langsung interogasi gue. Nanya siapa Yusuf dan apa hubungannya sama gue? Ya gue jawab aja kalau kami teman dekat di sekolah. Dan lo bisa nebak sendiri gimana kelanjutannya setelah itu."
"Nyokap lo ngelarang lo deket sama Yusuf?", Rado menebak.
"Yep.", Brietta mengangguk, "Nyokap bilang kalau lebih baik gue ngga usah dekat-dekat lagi sama dia. Alasannya karena kami ini berbeda dan kami ngga akan bisa jadi sama. Nyokap takut kalau ini diterusin bakal berakibat buruk buat gue sendiri. Dia ngga mau pengalaman pahitnya terulang sama gue."
Rado tercenung, "Pengalaman pahit nyokap lo?"
"Ya, dia pernah pacaran sama mualaf. Tadinya orang itu Katolik juga, sama kayak nyokap. Cuma begitu udah pacaran selama tiga tahun, mereka putus. Kata nyokap karena tiba-tiba orang itu mutusin buat jadi mualaf. Nyokap kecewa berat, padahal dia sayang banget sama itu orang. Tadinya nyokap bersikeras mau mempertahankan hubungan di tengah perbedaan itu, cuma orangtua nyokap menentang keras. Mereka bilang buat apa menjalin hubungan dengan orang yang berbeda agama sedangkan yang satu agama aja banyak. Yah, ngga lama nyokap ketemu bokap dan nikah deh. Jadi ketauan kan kalau yang pacaran lama belum tentu berjodoh. Apalagi yang beda agama."
Rado mendengus, "Tapi banyak loh yang beda agama tetap berjodoh"
"Nah, kalau yang itu udah jadi urusan Tuhan. Kita kan sebagai manusia ngga pernah tau segala rancanganNya."
"Lo kalau kayak gini keliatan pinter loh, Bri", puji Rado setengah meledek.
"Iya, pinter nyinyir!"
"Tapi, Bri..", ucap Rado begitu tawanya reda. "Gue beneran suka sama lo asal lo tau aja."
Brietta mengangguk, "Gue tau, lo kan pernah bilang kalau lo suka sama gue karena muka gue mirip Laura Basuki, kan?"
Rado terkekeh, "Iya muka lo emang cantiknya kayak dia. Cuma bedanya di nasib doang, dia bisa jadi artis film terkenal sedangkan lo cukup jadi artis radio kampus aja."
"Dan lo kalau lebih modis dikit, lo keliatan kayak Fedi Nuril loh," Brietta terbahak.
"Lah? Katanya mirip Vino G Bastian?"
"Ah, dia kecakepan, mana muka rada bule gitu. Muka lo apanya yang bule? Bulepotan iya!"
Rado dan Brietta tertawa lepas, seakan mengabaikan segala sesak menyeruak dalam dada yang sengaja mereka sembunyikan.

"Makasih buat makan malamnya. Ternyata makanan khas Manado enak-enak juga ya?", ucap Rado begitu Brietta mengantarnya ke gerbang.
"Ah, andai lo bisa nyicipin babi panggang buatan nyokap, deuh itu masterpiecenya nyokap tuh!", Brietta mengacungkan kedua jempolnya.
"Bab..ah, okay. Kalau yang itu maaf-maaf aja nih ya", Rado terkekeh.
Brietta balas tersenyum, "Hati-hati pulangnya, ngga usah ngebut lo bawa motor."
"Lah, siapa juga yang suka ngebut?"
"Lo! Ngaku aja deh lo selama bukan gue yang bonceng motor lo, lo ngebut mulu kan bawanya?"
Rado tengsin, kebiasaan buruknya diketahui Brietta.
"Duh, iya iya. Makasih lo buat perhatiannya."
"Ya udah gih sana balik, ini udah jamnya gue nonton drama Korea nih!"
"Yaelah udah tua juga masih demen Korea-Koreaan."
"Bodo! Udah sana balik lo!"
"Duhh, iya Princess Bee yang bawel. Balik dulu ya!"

Brietta memandangi Rado yang berlalu dan menghilang di tikungan. Hatinya mendadak tak karuan. Ada sesak, begitu banyak, sampai rasanya dia tak bisa lagi menahan genangan kecil yang sedari tadi bersiap tumpah di pelupuk matanya.
Begitu dia berbalik badan, dilihatnya sang Mama memandanginya, seolah tau benar apa yang dirasakannya saat ini.
"Maafin Brietta, Ma..", bibir Brietta bergetar. Air matanya tumpah begitu sang Mama memeluknya.


Rado menghentikan motornya di sebuah trotoar sepi. Dipandanginya sekeliling, hanya ada beberapa penjual makanan dan tak banyak orang yang lewat. Tangannya merogoh kantong celanaya, diambilnya handphone dan menekan nomor Baim. Entah kenapa saat ini dia begitu ingin menghubungi temannya yang satu itu.
"Eh, ngapain lo nelpon? Gimana dinner sama camernya? Sukses ngga?", tanya Baim begitu telpon diangkat.
Rado terdiam, mendadak mulutnya terkunci.
"Halo? Rado? Eh, malah diem ini bocah. Di mana lo sekarang?", tanya Baim lagi
"Im..", ucap Rado lirih
"Apaan? Ditanyain lo ada di mana sekarang elah!"
"Im..", bibir Rado bergetar, nafasnya mendadak sesak. Dan sakit.
"Woy! Di mana lo?", kali ini suara Andra yang terdengar.
"Ndraaaaa..",
"Eh? Lo kok ngerengek kayak bayi gitu sih, Do?" tanya Andra lagi. "Di mana lo, nyet?"
"Andraaaaaaa...", tak sadar mata Rado sudah basah. Tangannya memegang dadanya sendiri, semakin air matanya keluar, dadanya terasa semakin sakit.
"Do? Eh, halo? Rado? Woy, di mana lo?"
Rado mengabaikan panggilan kedua temannya. Yang ingin dia lakukan kini hanya menumpahkan segala sesak juga sakit yang begitu luar biasa. Tak peduli jika ada orang yang memandanginya dengan penuh heran.
Malam itu, Rado menumpahkan semuanya, membuang segalanya. Menangis sejadi-jadinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar