Sabtu, 18 Maret 2017

Tell Me Why (Part 9)

10 missed calls from Namira Ramadhina.
Baim menghela napas pendek. Entah kenapa dia masih ingin terus mengabaikan gadis itu dengan cara apapun. Tidak mengangkat telponnya, tidak membalas pesan-pesannya, menghindari agar tidak bertemu dengannya, padahal mereka bertetangga. Dan sudah cukup sering Namira datang ke rumahnya untuk bertemu, tapi Baim selalu mencari alasan agar tidak menemuinya atau sengaja pergi ke rumah Rado atau kos Andra dan menginap di sana.
Dan yang membuat heran, Namira tidak pernah lelah untuk terus mencoba menghubunginya.
Baim bingung, sebenarnya apa yang diinginkan oleh gadis itu? Kenapa dia bersikap seolah tidak ingin Baim memutuskan dirinya seperti itu sedangkan dia sendiri tidak ingin berkomitmen secara serius dengan Baim. Aneh.
Baim mengambil tasnya dari loker kemudian menghampiri Andra yang juga baru mengunci lokernya.
"Si Rado mau cuti berapa hari itu? Gila aja empat hari ngga masuk kerja.", celetuk Andra begitu melihat Baim menghampirinya. Baim mengangkat bahu.
"Jenguk aja yuk, kali aja dia sakit parah atau apa gitu."
"Dia bukannya sakit parah Im, tapi depresi gara-gara ditolak mentah-mentah sama orangtuanya Brietta."
"Ngga mentah-mentah juga kali, Ndra.", ralat Baim. "Cuma cara mereka aja yang terlalu blak-blakan. Kalo gue yang digituin ya juga pasti shock lah."
"Ya udah mending kita ke rumahnya aja dah daripada penasaran.", ujar Andra.
Begitu mereka keluar dari pabrik menuju tempat parkiran motor, sebuah panggilan dari orang yang sama untuk Baim pun datang lagi.
Namira.
Baim mendengus, "Dia kok jadi nelponin gue mulu ya, Ndra?", tanya Baim pada Andra yang sudah siap dengan motornya.
"Itu tandanya dia kangen sama lo, Im. Udahlah angkat aja, ngapain sih lo ngehindar lama-lama begitu? Untungnya apa coba?", ujar Andra enteng. "Jangan suka melihara gengsi lo, kayak cewek aja sih ah."
Baim termenung sesaat. Seolah termakan oleh ucapan Andra, jemarinya secara spontan menekan tombol hijau pada layar handphonenya.
"Lo di mana sekarang? Udah balik kerja?", suara lantang terdengar begitu Baim mengangkatnya.
"Mau ke rumah Rado.", jawab Baim seadanya. Dadanya berdesir kencang tiba-tiba. Apakah ini efek sudah terlalu lama dia tidak berbicara dengan Namira? Baim tidak terlalu yakin.
"Nanti temuin gue kalo balik dari sana. Kita perlu bicara, penting. Dan tolong kali ini lo jangan ngehindarin gue, Im."
Baim tidak merespon, ditekannya tombol merah pada layar handphonenya, memutuskan pembicaraannya dengan Namira.
"Ngomong apaan dia?", tanya Andra penasaran.
Baim menggeleng pelan, "Bukan hal penting."
"Serius lo?", tanya Andra lagi yang tak yakin dengan jawaban Baim.
"Udahlah, bahas ntar aja. Urus si Rado dulu ayo lah.", tukas Baim seraya menstater motornya lalu melaju meninggalkan parkiran pabrik.
*
Sesampainya di rumah Rado...
Andra dan Baim saling pandang, suasana canggung begitu menyelimuti ruang tamu rumah ini. Di depan mereka sudah ada orangtua Rado yang menyambut mereka dengan aura yang kurang menyenangkan. Sedangkan Rado masih mengurung diri di kamar, enggan keluar menemui kedua temannya.
"Sebenarnya sudah dari awal saya mengingatkan anak itu agar selalu berpikir dahulu sebelum bertindak. Buat apa dia selama sembilan tahun di pesantren kalau segala ilmunya tidak pernah dia gunakan?", ucap Haji Hanafi, Papa Rado dengan wajah kesal.
"Saya sudah pernah melihat gadis itu sewaktu datang ke acara syukuran rumah baru ini, secara visual memang enak dipandang, tapi bagi kami tampang saja tidak cukup. Akhlaklah yang paling utama. Bagaimana kami bisa melepaskan anak bungsu kami dengan seorang gadis yang pakai jilbab saja tidak, eh malah pakai kalung salib. Tentu saja kami menolak dengan keras!"
Baim menelan ludah. Andra lebih kelihatan tegang juga bingung harus bagaimana. Masalah ini terasa begitu berat jika sudah menyeret kedua orangtua Rado yang notabene dari keluarga muslim yang taat.
"Umi sih ngga masalah Mas mau berteman dengan siapa saja, dari suku mana saja, dari agama apa saja, cuma yang Umi ngga suka, kenapa Mas malah menjalin hubungan khusus dengan gadis yang tidak seagama dengan dia, dengan kami. Harusnya dia bisa mengenalkan seorang gadis muslim yang solehah, mengkhitbahnya, lalu menikah segera. Tapi yang terjadi malah seperti ini, Umi ngga habis pikir sama dia.", Hajah Siti Syarifah, Mama Rado ikut ambil suara.
"Dan sekarang anak itu mengurung diri di kamar merenungi nasibnya yang ditolak oleh keluarga gadis itu? Benar-benar anak dungu! Buat apa dia sia-siakan waktu yang berharga untuk ibadah demi seorang kafir!"
Baim dan Andra kompak tersentak kaget. Mereka tidak menyangka bahwa Papa Rado begitu marah mengenai masalah ini. Sempat terpikir oleh Baim, Rado akan segera dijodohkan dengan gadis yang dulu sempat dikenalkan oleh orangtuanya. Baim ingat sekitar tiga bulan yang lalu ketika mereka bertiga sedang berkumpul di rumah Rado, teman Papa Rado datang beserta Istri dan anak gadisnya. Dan gadis itulah yang rencananya akan dijodohkan dengan Rado. Tapi Rado menolaknya dengan alasan dia ingin mencari pasangan hidupnya sendiri tanpa acara perjodohan. Kontan saja Papanya sangat marah padanya, karena dia merasa sudah mencarikan sosok yang paling tepat untuk Rado tapi Rado malah menolaknya mentah-mentah.
Sejak itu, hubungan Rado dan Papanya sedikit renggang. Bahkan Rado sampai keluar rumah dan menempati kos yang tak jauh dari kos Andra. Tapi belakangan ini, Mama Rado selalu menyuruhnya untuk pulang ke rumah dan tidak perlu kos lagi. Rado pun menurutinya meskipun sesekali dia tetap pulang ke kosnya.
Setelah mendengarkan keluh kesah orangtua Rado, Baim dan Andra pun izin untuk menemui Rado di kamarnya. Tak disangka, Rado menyambut kedua sahabatnya dengan tangan terbuka.
"Bau lo! Ngga mandi berapa hari buset dah?!", tanya Andra seraya melepas pelukan Rado sambil tangannya menutup hidung.
Baim pun merasakan ada aroma tidak sedap dari Rado yang seperti tidak mandi selama empat hari.
"Serius Do lo ngga mandi empat hari?", susul Baim.
Rado menggeleng keras. "Gue mandi, cuma ngga pake sabun aja."
"Buset dah!" Andra melempar bantal ke arah Rado. "Parah banget sih ini anak!"
"Kayaknya bentar lagi gue bakal dikirim ke Mesir nih nyusulin kakak sulung gue. Atau ngga gue dilempar lagi ke pesantren biar diurusin kakak kedua gue. Njrit, sial bener gue.", celoteh Rado dengan wajah kuyu.
Andra terbelalak, "Serius lo, Do? Eh terus kerjaan lo di sini gimana, Nyet? Masa iya lo mau resign gitu aja? Sayang banget kali, Men."
"Kalo bokap gue udah ngomong gue bisa apa, curut? Mana bisa gue nentang bokap gue terus-terusan. Yang ada ntar gue dikutuk jadi batu cobek." Rado menghela napas pendek, "Lagian gue sama Brietta udah tamat, Ndra. Ngga ada harapan sama sekali."
Baim menepuk bahu Rado pelan, "Seenggaknya lo udah berusaha untuk mencoba sebisa lo. Ngga ada yang salah soal itu, apalagi soal perasaan lo."
"Dan Brietta udah tau kalau lo suka sama dia tuh udah cukup, Do. Paling enggak, kejujuran lo ke dia bisa bikin perasaan lo lega dan ngga ngerasa ngegantungin dia lagi. So, dia jadi ngga bertanya-tanya lagi kan?", susul Andra. "Soal lo bakal dilempar ke Mesir atau pesantren lo yang di Surakarta itu kita ngga bisa bantu apa-apa, Men. Ini udah jadi masalah intern keluarga lo. Kita sih maunya apa aja dah yang terbaik buat lo. Yah, ambil hikmahnya aja lah, Do, kali aja di sana lo bisa ketemu jodoh lo."
Rado tersenyum simpul mendengar celotehan Andra yang menurutnya sedikit waras.
"Tumben omongan lo lagi rada bener, Ndra? Biasanya lo yang paling sesat di antara kita bertiga."
"Anjrit, lo. Gue berusaha ngehibur malah dicengin! Bukannya bilang makasih lo!", tukas Andra mengomel.
Rado terkekeh, "Thanks berat, Bray. Lo berdua emang yang terbaik deh buat gue. Sayang lo berdua batangan, coba kalo ngga, udah gue kawinin lo berdua dah."
Kontan saja Rado segera diserbu jitakan maut dari kedua temannya kemudian disusul tawa lepas mereka dengan serempak.

"Lo buruan lamar si Ghina gih. Ngga takut apa lo kalo emaknya tau-tau jodohin dia sama orang lain gara-gara lo ngga bertindak juga?", ucap Rado pada Andra setelah tawa mereka reda.
"Yah, lo malah jadi bahas soal gue sama Ghina. Udahlah santai aja lo, Do. Bakal gue jadiin kok si Ghina. Tinggal tunggu waktunya aja nanti.", timpal Andra, enteng.
"Yakin lo segera dijadiin?", tanya Baim menggoda.
"Emangnya elu yang malah mutusin cewek lo sehabis ciuman di mobil?", sindir Andra lengkap dengan tatapan jahilnya.
Wajah Baim memerah.
"Geblek emang si Baim, habis ciuman tuh baiknya dikasih cincin, eh malah diputusin. Lo suka ngatain gue sama Andra gila tapi lo sendiri lebih sableng. Bego lo emang!", olok Rado sembari terkekeh.
"Brengsek! Si Ghina nih pasti yang bocorin ke lo ya! Ini lagian si Namira ngapain cerita detail banget sih ah elah bikin malu aja!", keluh Baim menahan malu.
Terdengar tawa lantang Rado dan Andra secara serempak.
"Im, lo mending balikan aja deh sama Namira. Pertahanin dia apapun rintangannya. Selagi lo ada kesempatan, selagi lo berdua ngga dibatasi perbedaan yang bikin fatal. Jangan sampe akhirnya lo nyesel belakangan, Im. Gue ngomong gini karena gue ngga pengin lo ngerasain yang semacam gue gini. Sumpah Im ngga enak banget.", ucap Rado menasehati.
Baim terdiam sesaat, berpikir.

TING!

From: Namira Ramadhina
Temuin gue sekarang. Bisa?
 
Baim menghela napas panjang. Kali ini dia harus kembali memutuskan, jalan keluar mana yang akan dia pilih. Anggaplah kemarin hanya sebuah try out.

to be continued..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar