Minggu, 19 Maret 2017

Tell Me Why (Part 10)



Gadis itu sudah berdiri di depannya, matanya menatap lurus seolah tidak ada beban. Baim menelan ludahnya yang mendadak getir. Pertemuannya kali ini dengan Namira terasa begitu canggung dan aneh. Bahkan suasana tempat pertemuan mereka pun terasa begitu berbeda, ada aura aneh yang menyelimuti tidak seperti biasanya. Padahal mereka sering bertemu di tempat ini, sebuah kafe dengan nuansa Korea favorit Namira.
Namira memberi kode pada Baim agar segera duduk berhadapan dengannya. Baim hanya menghampiri tanpa memberi respon apa-apa lagi.
“Udah, ngga usah main kucing-kucingan lagi sama gue.”, tukas Namira langsung ke inti. “Sebenarnya gue malas ngeladenin sifat kekanakan lo ini tapi apa boleh buat, karena gue tau lo orangnya harus dibaik-baikin duluan biar mau ngomong.”
Baim mendengus, sedikit kesal dengan ‘salam pembukaan’ Namira yang tidak bisa berbasa-basi. Tanya kabar dulu kek apa gimana, batin Baim sebal.
“Yu, kalo lo mutusin gue karena gue yang sering bilang malas sama yang namanya komitmen, oke itu terserah lo, gue ngga berhak ngelarang dan ngatur lo buat mutusin gue. Cuma yang ngga gue suka sikap lo setelah itu, Yu. Kenapa lo jadi suka ngehindarin gue? Kalo kita putus terus kita ngga bisa balik jadi teman baik lagi apa? Kita kenal dari kecil Yu, ke mana-mana selalu sama-sama, ngga ada masalah fatal yang bikin kita kepisah dan menjauh. Ngga ada. Tapi kenapa lo sekarang jadi begini? Mentang-mentang kita putus pacaran terus putus juga hubungan pertemanan kita yang sejak kecil itu Yu? Plis lah jangan kekanakan gini, inget umur lah, udah ngga bukan masanya lagi lo bersikap childish begini.”
Baim tertegun. Semua perkataan Namira terasa begitu menusuk dadanya. Tak begitu dalam, hanya terasa banyak duri yang menempel pada kulit hingga membuat perih yang tak terkira.
“Lo mau ngasih alasan apalagi sekarang Yu?”, Tanya Namira dengan nada datar, wajahnya pun tak kalah datar. Berbeda dengan Baim yang dengan sekuat tenaga menahan perasaan yang tak karuan dalam hatinya. Ekpresi Namira membuat Baim berpikir bahwa Namira tidak benar-benar menyayanginya seperti ia menyayangi gadis itu. Atau sebenarnya Namira juga sama seperti dirinya yang tengah menahan perasaan yang setengah mati ia sembunyikan?
“Gue Cuma malas ketemu lo. Gue masih kesal sama segala tingkah dan ucapan lo yang terdengar ngga masuk akal di logika gue, itu aja.”, jawab Baim setelah menghela napas beberapa kali.
Namira berdecak heran, “Segitunya banget lo sama gue, Yu? Ngga ngerti gue.”
“Justru gue yang ngga pernah ngerti sama lo, Nam.”, Baim mendengus. “Kayaknya Cuma lo cewek yang dengan angkuhnya bilang enggan berkomitmen. Lo seakan ngga butuh adanya sosok pendamping di hidup lo. Lo pikir lo bisa hidup sendirian sampai tua apa? Pikirin juga keluarga lo, Nam. Mereka juga pasti pengin lo bisa berkeluarga, dan ngga jadi perawan sampai tua. Dan gue punya keinginan itu Nam, pengin bisa sama-sama lo sampai kita tua, punya anak cucu..tapi malah lo ngga berkeinginan yang sama seperti gue”.
“Lo juga harusnya mikir Yu, emangnya membangun rumah tangga itu segampang main ular tangga apa? Berat asal lo tau. Lo liat Tante gue yang hampir tiap hari ke rumah gara-gara berantem mulu sama suaminya, atau tetangga kita yang baru nikah setengah tahun cerai tiba-tiba, atau Ustad yang wara-wiri dakwah di masjid komplek kita, yang sering kasih nasehat soal pernikahan ujung-ujungnya ditinggalin istrinya juga. See, pernikahan itu bukan perkara ecek-ecek yang bisa lo gampangin. Apa lo pengin nikah Cuma karena penasaran rasanya making love itu gimana? Iya?”
“Nam, jaga omongan lo ya!”, jari telunjuk Baim terangkat di depan wajah Namira. Gadis itu terlihat sedikit kaget namun berusaha tetap tenang.
“Salah? Eh kok sekarang lo udah berani bentak gue gini ya?”
Baim menghela napas, “Serius, gue bener-bener kesal sama lo kali ini. Kita udahin ajalah percakapan ngga bermutu ini. Percuma juga, ngga ada gunanya, ngga ngebalikin keadaan juga.”, Baim beranjak dari kursinya, namun tangan Namira mencegahnya.
“Gue masih sayang sama lo asal lo tau.”, ucap Namira seraya menggenggam tangan Baim. “Jadi jangan terus-terusan ngehindarin gue. Rasanya sakit tau ngga.”
Baim tertegun, dipandanginya wajah Namira yang mendadak berubah sendu.
“Tetaplah jadi sahabat gue, Yu. Cuma itu yang gue penginin.”
Baim melepas genggaman tangan Namira. “Gue ngga akan bisa ngelepas lo kalo lo begini Nam. Perasaan gue jauh lebih berat dari yang lo kira.”
“Sampai kapan lo mau ngeginiin gue, sih? Lo sadar kan kalo lo sendiri juga tersiksa?”
“Gue lebih tersiksa kalo kita masih sama-sama tapi pemikiran, keinginan dan prinsip kita ngga pernah sama. Walau begitu besarnya perasaan gue ke lo, Nam, gue ngga bisa nerima perbedaan itu.”
“Tapi gue bener-bener ngga suka pernikahan, Yu. Itu semacam momok yang bikin gue paranoid selama ini. Gue takut tau nggak.”
“Meski itu sama gue?”
Namira mengangguk pelan, terlihat sedikit ragu. “Meskipun sama lo, gue juga ngga terlalu yakin.”
Baim mendengus, “Kalaupun gue kasih waktu buat lo mikirin semua ini baik-baik, lo juga ngga akan mengubah pendirian lo kan? “
“Yu, gue Cuma pengin kita tetap jadi sahabat baik. Plis, kali ini kendalikan ego lo.”
“Lo juga, Nam. Kendalikan ego ngga masuk akal lo itu. Gue pulang dulu, gue capek.”, Baim tak peduli lagi, dia pun berjalan keluar kafe meninggalkan Namira yang termangu.
Di tempat duduknya, Namira menatap kepergian Baim dengan perasaan yang kacau. Di satu sisi dia tidak ingin ditinggalkan oleh orang yang begitu dia sayangi itu, namun di sisi lain dia masih belum bisa menyembuhkan phobia pernikahan yang dideritanya sejak kedua orangtuanya bercerai saat dia baru kelas 2 SMP.
Namira merasa sesak jika kembali diingatkan oleh kejadian itu, ketika dia pulang ke rumah namun tak lagi melihat Papanya. Yang dia lihat hanya Mamanya yang tengah membersihkan lemari dari barang-barang milik Papanya. Saat itu Namira masih belum mengerti apa yang tengah terjadi sampai akhirnya dia bertanya pada Mamanya dengan takut-takut.
“Papa ke mana, Ma? Kenapa Mama buang semua barang-barang Papa?”
Mamanya hanya menjawab dengan wajah sendu yang ia tutupi dengan senyum, “Mama sama Papa udah ngga bisa sama-sama lagi, Sayang. Papa sekarang udah punya kehidupannya sendiri. Dan kita pun akan menjalani hidup kita berdua.”
“Kenapa?”, Tanya Namira kecil lagi. “Apa Mama dan Papa udah ngga saling sayang lagi?”
Mama menggeleng, “Enggak sayang. Justru Mama sama Papa berpisah karena saling menyayangi. Ini semua juga demi Namira kok.”
“Tapi Namira lebih suka kalau Mama dan Papa tetap sama-sama, Ma. Jangan pisah begini.”
Mamanya hanya menariknya dalam pelukan tanpa menjawab lagi. Membagi kesedihannya secara tidak langsung pada Namira yang juga ternyata mengakibatkan adanya phobia pada anak gadisnya tersebut.
Namun sampai saat ini Mama Namira tidak pernah tau kalau Namira mengidap phobia pernikahan. Karena Namira menutupinya dari siapapun, bahkan dari kedua sahabatnya sekalipun.
Namira menghela napas yang terasa begitu berat. Diusapnya kedua pipi yang basah oleh air mata yang sedari tadi menetes tanpa henti. Namira meringis, dia tidak pernah menyangka bahwa sakitnya akan sedalam dan separah ini.
Namira tidak bisa menahannya lagi, air matanya jatuh lebih deras kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar