Minggu, 15 Oktober 2017

Tell Me Why (Part 24)

Rado menyandarkan punggungnya ke tepi ranjang, memandang langit-langit kamar kos Andra sembari melirik ponsel yang sedari tadi digenggamnya. Sudah hampir setengah jam dia hanya menimang-nimang sendiri apakah akan memberi tahu Brietta soal rencana kepergiannya ke Mesir atau tidak.
Ya, akhirnya dengan berat hati Rado memutuskan untuk menuruti kehendak Ayahnya yang sejak dulu bersikeras mengirimnya ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Tiga tahun lalu tepatnya, dia menentang keras perintah Ayahnya itu dan memilih untuk tetap di Indonesia, bekerja sebagai seorang teknisi seperti apa yang diinginkannya. Selain itu mana bisa dia meninggalkan gadis pujaan hatinya dan kedua sahabat sialannya itu. 
Namun sekarang dengan mudahnya ia mengiyakan perintah Ayahnya itu. Selain karena dia sudah malas dengan aksi pembangkangannya yang ia sadari akan berdampak pada jumlah dosa yang akan ia tanggung nantinya. Juga karena alasan utama ia untuk pergi sudah tidak ada lagi. Ya, Brietta.
"Apa harus banget gue ngasih tahu Brietta soal ini? Ngga guna juga bukannya?", tanya Rado pada dua temannya yang tengah asyik dengan pertandingan sepak bola di televisi.
Baim menoleh, "Tanpa lo ngabarin juga Brietta bakal tau, Do.", timpalnya enteng.
Andra mengangguk setuju. "Tapi kalo lo mau ngasih tau sendiri ya lebih bagus juga sih."
"Gue bingung mau ngomong gimana, gue juga takut sama respon dia", Rado meletakkan ponselnya. "Ngga usah aja kali ya."
Tangan Andra melayang ke pelipis Rado, menoyornya keras sampai leher Rado rasanya mau patah.
"Kasih tau aja, nyet yaelah kebanyakan mikir amat sih lo? Urusan dia bakal respon gimana lihat nanti aja lah."
Rado menghela napas pendek. "Gue mau nyari kata-kata yang bagus dulu. Bantuin kek."
Andra menggeleng keras sembari matanya tak lepas dari layar televisi. Sedangkan Baim terlalu fokus menonton hingga mengabaikan Rado.
"Sialan lo berdua!". umpat Rado kesal kemudian kembali mengambil ponselnya, mencoba kembali menulis sesuatu sebelum akhirnya ada satu panggilan masuk.

Princess Bee is calling..

Mata Rado membulat. "MASYAALLAH!"
*
"Ah, gue jadi inget sesuatu, Im.", celetuk Andra setelah euforia hebohnya selesai karena tim andalannya menang. Baim yang tengah membereskan kaleng kosong dan sampah plastik lainnya cuma menoleh sekenanya.
"Apaan?"
"Lo masih inget Kanaya ngga?", tanya Andra mendadak antusias, semacam mengarapkan jawaban Baim adalah 'iya'.
Baim tercenung heran, kenapa tiba-tiba sahabat curutnya satu itu menanyakan soal Kanaya yang.. dua hari lalu resmi menjalin komunikasi lagi dengan Baim. Sebuah kebetulan kah?
"Ghina pernah ketemu dia tempo hari, dan ternyata dia staff HRD di perusahaan yang sama kayak kita. Lo tau?"
Baim mengangguk, ekspresi wajahnya tak menunjukkan rasa terkejut atau semacamnya. "Iya, gue udah denger sendiri dari orangnya."
Andra menaikkan alis kirinya, "Hah?"
"Gue sama dia kontek-kontekan lagi. Udah dua hari ini."
Kali ini Andra terbelalak, niat ia yang ingin membuat Baim terkejut eh malah dia sendiri yang kena batunya. "Serius lo? Kok bisa?"
Baim mendengus, "Lo tau RT di komplek gue kan yang punya sidejob sebagai makcomblang itu?"
"Aaah, iya. Yang pernah nawarin pengen ngenalin adek iparnya dia ke gue waktu itu."
"Kanaya adalah keponakan beliau."
Mata Andra membulat. "Hah?"
"Dan gue lagi coba dicomblangin sama Kanaya. Man, gue berasa balik ke masalalu lagi."
"Kok bisa kebetulan begitu?", Andra menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.
"Gue pikir gue dan Kanaya bakal sekedar say hi seadanya, tapi nyatanya sampe detik ini WhatsApp ngga pernah berhenti. Heran gue."
"Nah loh, berpaling juga kan lo akhirnya."
Baim mendengus, "Berpaling mata lo! Yang ada gue gelisah kalau begini ceritanya."
"Kenapa harus gelisah? Hei, masalalu lo sama dia dan si Rado kutu kampret itu ngga usah dibawa-bawa lagi sekarang, nyet. Lupain, pindah haluan lo, jangan malah balik mikirin Namira lagi. Nggak guna kalau yang satu itu, Im.", ujar Andra seraya memantik rokoknya. "Kalo kata gue, ngga ada salahnya lo membuka hati buat yang lain. Waktu itu lo sempet ketemu lagi sama mantan lo, siapa tuh namanya, Danisha? Gue kira lo bakal lanjut nostalgia, taunya malah iklan doang. Dan untuk yang kali ini.."
Baim menggeleng pelan, "Gue belum mau, Ndra, serius. Bukan apa-apa, gue cuma ngga mau jadiin siapapun pelarian. Perasaan gue ke Namira berkurang satu persen aja engga."
"Lo ngga mau nyoba dulu?"
"Lo pikir cewek itu bahan percobaan?"
"Ngga gitu, monyong!", sembur Andra dengan asap rokoknya ke wajah Baim yang sontak terbatuk.
"Sialan lo kampret!", umpat Baim kesal. "Terus apaan? Gimana?"
"Jangan keras kepala kenapa sih? Lagian lo mau nunggu Namira sampai kapan, hah? Toh lo juga yang udah ninggalin dia, ya udah berpaling aja lah, Im."
"Seenggaknya gue harus tau dulu perasaan dia yang sebenar-benarnya ke gue, juga apa alasan dia tetep ngotot ngga mau gue nikahin. Yang gue tunggu adalah penjelasan dia, bukan soal dia mau balik ke gue lagi apa engga."
Andra berdecak, "Gimana dia bisa ngomong dan jelasin semuanya ke lo kalau lo sendiri ngehindari dia mulu, nyet? Bego bener lo emang ya."
PLAK! 
Andra meringis kesakitan akibat dahinya ditepuk keras oleh Baim. "Sakit, setan!"
"Itu kan kemaren-kemaren, sekarang udah beda lagi ceritanya, kampret!"
"Jadi lo mau Namira njelasin semuanya ke lo. gitu?"
"Iya, manfaatin momen aja selagi ada kesempatan buat ngobrol dan ngumpul bareng."
Andra tercenung, "Pakai acara nunggu momen segala. Eh kunyuk, lo ngga bisa apa bikin momen lo sendiri apa? Man, lo mau bikin rusuh acara perpisahan Rado kayak pas pertunangan gue tempo hari, hah?"
"Rusuh apaan setan?! Gue bakal ngomong berdua kok nantinya."
"Lah lo ribet amat sih sekarang tingkahnya. Lagi masa pubertas kedua lo ya?"
"Kambing lo!", umpat Baim kesal.
*
Rado sudah berada di beranda kamar kos Andra begitu mendapat 'panggilan' dari Brietta. Secepat kilat dia mengambil tempat sendiri agar obrolannya tidak diganggu oleh kedua temannya yang seringkali otaknya error itu.
"Ya, Bi?", sapa Rado dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Tak disangkanya Brietta menelponnya di saat dia tengah bimbang akan memberi tahu Brietta tentang kepergiannya atau tidak.
'Lagi di mana?'. tanya Brietta di seberang sana.
"Di kosan Andra nih lagi ngumpul."
'Lo mau ke Mesir?', tanya Brietta lagi, kali ini langsung ke intinya.
Andra menelan ludahnya, "I-iya. Bokap gue udah siapin kepindahan gue ke sana sejak beberapa bulan lalu, sih."
'Kenapa lo ngga pernah cerita soal ini ke gue, Do?'
"Aaa..", Rado bingung mencari alasan. Jika dia mengatakan alasan yang sesungguhnya adalah karena dia tidak ingin berpisah dari Brietta akan terdengar sangat konyol dan menggelikan.
"Gue sendiri juga kaget sih karena mendadak bokap rada maksa gue buat pergi kali ini. Jadi guepun ngga bisa berkutik apa-apa lagi."
Terdengar Brietta mendengus di sana, 'Itu sama sekali ngga menjawab pertanyaan gue, Do. Yang gue tanya kenapa lo ngga pernah cerita soal rencana S2 lo di Mesir ini sama gue sebelumnya?'
Rado menghela napas pendek, mungkin sebaiknya dikatakan saja.
"Karena gue punya alasan kuat kenapa gue ngga harus pergi", jawab Andra disusul hening beberapa detik, "..waktu itu. Dan sekarang gue ngga punya alasan untuk ngga pergi."
'Apa alasan itu begitu penting buat lo?'
Rado mengangguk sendiri, seolah Brietta ada di depannya. "Banget."
'Apa itu?'
"Alasannya?"
'Iya'
Rado menarik napas panjang. "Alasannya adalah lo."

to be continued..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar