Minggu, 22 Oktober 2017

Tell Me Why (Part 25)

Brietta terdiam seketika setelah kalimat terakhir yang Rado ucapkan. Dadanya berdebar kencang dan rasanya ingin melompat saja saking terkejutnya. Padahal harusnya tidak begitu, padahal Brietta sudah sekuat tenaga menghilangkan debaran menjengkelkan itu. Namun akhirnya tetap saja tidak berhasil sama sekali. Rado masih ada di sana, di hatinya. Sebenarnya Brietta sudah menduga alasan Rado tidak mau pergi adalah dirinya, namun dia sangkal berkali-kali demi menjaga perasaannya sendiri agar tidak terluka dan merasa bersalah. Ah, ternyata percuma saja menyangkal toh akhirnya dia merasa demikian juga.
"Gue?", ulang Brietta setelah diam cukup lama. "Yakin lo kalau gue adalah alasannya?"
Terdengar di sana Rado terkekeh pelan, 'Iyalah, Princess Bee. Kalau bukan elo siapa lagi?'
"Namira?", tanya Brietta spontan, terdengar ragu.
'Kok bisa sampe ke Namira sih? Jauh amat neng?'
"Bukannya lo suka sama dia?"
'Ya ampun Bi, perasaan itu udah lama banget hilangnya kali. Kenapa pada suka mikir kalau gue masih nyimpen rasa buat Namira sih?'
Brietta menggigit bibir bawahnya, mendadak dia menyesal sudah bertanya soal Namira padanya.
'Bi, lo ngga apa-apa kan kalo gue pergi?', tanya Rado.
"Kalau gue merasa apa-apa, ngga bakalan mengubah keputusan lo juga kan?", jawab Brietta diiringi genangan yang mulai mengumpul di pelupuk matanya. Brietta kesal kenapa dia kali ini begitu emosional. Ah memalukan, padahal sudah setengah mati menjaga imej cool girlnya di depan Rado selama ini.
'Bi, are you okay?' tanya Rado lagi.
Brietta menghela napas pendek, "Ngga apa-apa. Lo bisa pergi, Do. Jangan mikirin gue."
'Bi..'
"Udah ya Do, sampai ketemu besok. Bye."
Sambungan telpon terputus diikuti air mata yang menetes perlahan di pipi Brietta.
Gadis itu menghela napas panjang berusaha untuk tenang. Namun akhirnya tetesan kecil itu berubah menjadi hujan yang sangat deras.
*
Baim baru saja hendak membuka gerbang rumahnya saat matanya menangkap sosok Namira yang baru keluar dari taksi. Keduanya saling beradu pandang tanpa sapaan atau senyuman. Canggung sekali, berhubung pertemuan terakhir mereka menyisakan perasaan yang makin tidak karuan dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah yang ada.
"Baru pulang?", sapa Baim akhirnya, seraya mencoba memasang senyumnya.
Namira hanya mengangguk pelan seraya menekan bel rumahnya, meminta dibukakan gerbang karena sudah terkunci dari dalam.
Baim melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Malam banget, tumben.", ucap lelaki berkulit putih dan berambut hitam tebal itu.
"Iya, ngurusin acara buat besok.", jawab Namira sekenanya.
"Ada yang ulang tahun?"
"Lo sebenarnya tau atau pura-pura ngga tau?", Namira mendengus, sedikit kesal karena Baim mengajaknya bicara terus seakan-akan tidak punya masalah apapun dengannya. Tidak ingatkah dia bahwa sebelumnya Baimlah yang mengabaikan Namira terus. Menyebalkan, batin Namira.
"Ah? Gue.."
Terdengar suara pintu gerbang terbuka, itu Mama Namira.
"Loh, kalian pulang bareng?", tanya wanita itu dengan ekspresi takjub.
"Engga, Ma. Cuma kebetulan nyampenya barengan.", jawab Namira sekenanya kemudian masuk ke dalam rumahnya tanpa berucap apapun lagi ke Baim.
Mama Namira menatap anaknya bingung, lalu balik menoleh Baim yang masih dalam posisi hendak membuka gerbang rumahnya sendiri.
"Im", panggil Mama Namira pelan, "Kalian berdua baik-baik aja kan?"
Baim mengangguk seraya tersenyum tipis, "Iya Tante, kami baik kok."
"Semenjak kalian putus, Namira jadi beda banget loh. Tante cuma ngga mau kalian jadi musuhan atau semacamnya. Kalian masih bisa jadi sahabat baik kayak dulu."
"Tante tenang aja, kami tetap berteman kok. Cuma ya emang ngga bisa sedekat dulu, susah buat memperbaikinya, Tante.", ucap Baim getir. Ada rasa tidak enak yang menyerangnya saat ini.
Mama Namira menghampiri Baim, mengusap bahunya pelan. "Ada yang perlu kamu tahu dari Namira, Im. Tapi kamu harus tanya sendiri ke anaknya langsung."
"Soal apa, Tan?"
"Cari jawabannya sendiri lewat Namira langsung ya. Itu saran dari Tante biar kamu tau apa yang bikin Namira jadi begitu."
Jadi begitu maksud Mama Namira adalah soal Namira yang enggan untuk berkomitmen.
"Tapi, apa itu penting lagi sekarang?"
"Lho, kamu nganggap Namira ini ngga penting buat kamu?"
Baim menggeleng, "Bukan begitu, cuma Baim ngga yakin kalau Namira mau cerita, Tante."
Mama Namira tersenyum, "Makanya kamu dekatin dia baik-baik, pasti Namira mau cerita sama kamu. Percaya deh, karena di dalam hatinya, dia masih sayang banget dan peduli sama kamu."
Baim tertegun. Entah kenapa ucapan Mama Namira membuat hatinya menghangat. Sedikit tidak menyangka bahwa Mama Namira begitu  mempedulikannya meskipun dia telah mengakhiri hubungan dengan putri sematawayangnya itu.
"Makasih banyak Tante."


to be continued..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar