“Remy
gimana?”, tanya Riris tiba-tiba ketika aku baru mau menyuapkan wafer cokelat ke
dalam mulutku. Aku sedikit tercengang.
“Gimana
apanya?”, aku balik bertanya dengan tangan yang menggantung di depan mulut.
“Lah,
katanya kamu tempo hari baru ketemu dia?”
“Ooh, itu.”,
aku meletakkan kembali wafer ke dalam toples. “Gitu deh.”
“Gitu
gimana? Kamu ngga kepikiran dia lagi kan?”, Riris menatapku penuh selidik.
“Kamu nggak nangisin dia kan setelah hari itu?”
Aku
mendengus. “Nangis? Kamu bercanda? Enggak lah, ngapain juga mesti nangis.”.
“Ya kali
aja, La. Tapi bagus lah kalau kamu emang ngga kepikiran dia lagi, ngga penting
juga. Aku tuh sebenarnya khawatir aja sama kamu, takutnya kamu terus-terusan stuck dengan Remy. Kamu tuh bisa dapetin
yang lebih baik dari dia.”
Aku
tersenyum tipis mendengar ucapan Riris. Ya, aku memang tidak menangisi Remy
setelah pertemuan kami tempo hari. Awalnya aku memang merasa sedih karena harus
bertemu dengannya juga kekasihnya. Aku merasa tertampar hari itu, aku bahkan
sampai tidak tau apa yang harus aku lakukan. Tapi aku lega karena perasaan aneh
itu Cuma hinggap sesaat. Entah kenapa aku justru seperti tidak lagi memliki
apapun untuknya. Baik rasa cinta, maupun harapan untuk memiliki. Aku merasa
semua perasaanku pada Remy sudah selesai hari itu juga. Meski aku juga tidak
memungkiri, ketika hari itu juga aku sadar jika perasaanku pada Remy belum
sepenuhnya hilang. Namun apa yang terjadi selanjutnya, aku benar-benar sadari
bahwa segalanya sudah selesai. Aku tidak boleh memendam rasa atau harap padanya
lagi. Aku harus segera menoleh kearah lain. Kini saatnya aku jatuh cinta pada
orang lain.
“Eh, La. Aku
kok tiba-tiba teringat sama mantan kamu yang dulu itu ya. Mantan kamu dua tahun
lalu itu.”, celetuk Riris sambil menyuap chips kentang ke mulutnya.
“Mantan aku?
Siapa?”, tanyaku bingung.
“Itu loh
yang LDRan sama kamu. Temennya Irham kalau ngga salah.”
Aku
tersentak. “Maksud kamu Odie?”
Riris
menepuk bahuku. “Nah itu dia!”
“Kenapa kamu
tiba-tiba teringat dia?”, tanyaku lagi, lebih bingung. Aku saja sudah tidak
pernah lagi memikirkannya, kenapa malah Riris yang teringat?
“Entah juga.
Mungkin karena kita lagi nonton film tentang LDR kali yak.”, tunjuk Riris pada
layar televisi yang tengah menanyangkan sebuah film televisi. “Emang kamu udah
nggak ingat lagi sama mantanmu itu?”
Aku
menggeleng pelan. “Udah lama banget nggak kepikiran dia. Dia juga palingan udah
lupa sama aku, Ris. Lagian juga udah lama banget nggak komunikasi sama dia.”
Riris
tertawa kecil. “Dih, sekarang udah bisa bilang begitu. Dulu aja kamu kalau liat
foto dia di Facebook langsung pasang tampang sedih, apalagi kalau dia posting
foto sama pacar barunya. Ciyee yang udah move on.”
“Itu karena
aku merasa bersalah sama dia, Ris. Aku merasa gagal banget jadi pacarnya. Belum
sempat aku bikin dia bahagia, eh dia udah dapet orang lain yang bisa bikin dia
bahagia.”, aku tersenyum miris mengingatnya.
“Aneh kamu
ya, bukannya ikut seneng dia udah dapet pengganti kamu, eh malah galau.”
“Wajar lah
Ris. Selama kami LDRan kan aku nggak bisa sepenuhnya bikin dia seneng. Yang ada
kami malah berantem terus karena masalah sepele. Ya udah, makanya kami mutusin
pisah aja. Lagian waktu itu dia juga lagi sibuk cari kerja dan aku baru mulai
kuliah, jadi ya aku ngga mau ngganggu konsentrasi dia dengan berbagai
pertengkaran. Aku nggak mau nyiksa dia lebih lama.”
“Eh,
bukannya kalian putus karena perasaan kamu yang masih berat sama Irham ya?”
Aku
tersentak. Benar. Waktu itu aku masih sangat labil dengan perasaanku. Aku masih
belum bisa mengontrol perasaanku sendiri. Hatiku memang bisa menerima kehadiran
Odie, namun perasaanku padanya tidak bisa menutup segala cintaku pada Irham.
Yang membuat lebih runyam lagi ketika aku tau bahwa mereka ternyata bersahabat
sejak SMA. Perasaanku semakin kacau dan aku tidak bisa menghadapinya lebih lama
lagi. Ya, itulah alasan sebenarnya aku berpisah dengan Odie. Dan aku merasa
begitu jahat memperlakukannya yang benar-benar menyayangiku dengan tulus.
Hingga akhirnya dia memiliki kekasih lagi, aku semakin merasa bersalah padanya.
Aku merasa belum berhasil membahagiakannya, dan aku ingin sekali diberi
kesempatan lagi untuk membuatnya bahagia bersamaku. Namun yang ada dia sudah
bisa mencari kebahagiaannya sendiri. Aku merasa sangat payah bahkan sempat
membenci diriku sendiri. Namun pada akhirnya, aku berusaha untuk memaafkan
segala kesalahanku sendiri, aku harus segera membuang perasaan aneh ini. Dan
akhirnya kini aku bisa melupakannya dan merelakannya berbahagia dengan yang
lain. Dengan seseorang yang menurutnya paling baik untuknya.
“Nah!
Ngelamun ini anak.”, Riris membuyarkan lamunanku. Aku tersentak.
“Eh? Hehe,
maaf Ris. Kamu sih ngingetin aku sama dia, kan jadi terbayang masalalu.”
“Tapi
ngomong-ngomong, kamu sekarang udah sama sekali hilang kontak sama dia, La?”
Aku
menggeleng. “Engga juga sih, aku masih berteman sama dia kok di Facebook. Tapi
kalau untuk berkomunikasi secara pribadi sih udah lama engga. Dia ngga pernah
nyapa aku duluan, aku juga ngga nanyain kabarnya duluan. Pernah sih, tapi dulu,
udah lama banget.”
“Kamu nggak
kangen sama dia?”
“Kangen?”,
aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal. “Salah nggak sih kalau aku bilang
‘iya’?”
“Loh? Kenapa
harus ngerasa salah? Yang namanya kangen nggak pernah salah kali, La. Kalau
kangen ya wajar. Banget.”, ucap Riris seraya mengambil gelas kosong dan keluar
dari kamarnya.
Aku
bergeming. Mataku menatap layar televisi yang menayangkan adegan seseorang yang
bertemu dengan mantan kekasihnya. Perempuan itu menyerahkan sebuah kotak berisi
barang-barang kenangannya dengan mantan kekasihnya. Namun tak lama muncul
seorang perempuan lain yang tidak lain adalah kekasih baru sang mantan.
Aku
tercengang menonton adegan itu. Tiba-tiba terlintas dalam kepalaku bayangan
Odie yang tengah tersenyum. Aku langsung membayangkan jika seandainya aku
seperti perempuan dalam film itu, bertemu dengan mantan dan kekasih barunya.
Apa yang akan aku lakukan nanti? Apakah aku akan merasa kacau seperti saat aku
bertemu Remy dan kekasihnya tempo hari?
Ah,
entahlah. Lagipula sepertinya sudah tidak ada kemungkinan lagi untukku bertemu
kembali dengan Odie. Aku juga merasa Odie sudah tidak ingin lagi peduli
denganku setelah apa yang terjadi. Itu wajar, dan aku memakluminya.
*
“Oke Olla,
nanti aku jemput jam 7 ya. Dah!”
Aku
melambaikan tangan padanya yang kemudian berlalu dengan mobil sportnya. Tak
lama Riris menghampiriku bersama kekasihnya, Aldi.
“Apa?”, aku
melotot pada kedua orang itu yang saling berbisik sambil memandangku dengan
aneh.
“Akhirnya
Olla dapet gebetan juga ya Tuhan, aku bersyukur padamu. Terimakasih!”, Riris memandang
langit dengan tangan yang menengadah keatas. Aldi ikut berucap syukur.
Aku kontan
menepuk pipi Riris pelan. “Apaan sih ini anak? Aku Cuma nerima ajakan makan
malam Fabian doang kok. Nggak usah pada lebay plis!”
“Iya deh
yang nerima ajakan makan malam, tapi paling ujung-ujungnya ntar kita yang
diajak makan-makan ngerayain jadian kalian. Ciyee Ollaa.”, Riris mencubit
hidungku dengan gemas sambil tertawa sumringah.
“Gitu dong
La, harusnya lo lakuin ini dari dulu. Jangan terlalu jual mahal lah sama cowok.
Lo tenang aja, Fabian baik kok orangnya.”, ucap Aldi selaku teman sekelas
Fabian.
“Gue Cuma
rada nggak enak aja sama dia Di. Ngerasa kayak beda kasta gitu. Liat dia bawa
mobil sport gitu aja gue udah minder.”
“Lah? Kenapa
mesti minder La? Malah justru bagus kan kalau kamu nanti akhirnya sama Fabian,
hidup kamu selalu tercukupi sampai kamu punya cicit.”, kata Riris seraya
membuka pintu mobil Aldi.
“Aku tuh
takut dibilang matre, Ris. Aku nggak mau orang nilai aku begitu.”
“Udahlah,
La. Lo jangan terlalu mikirin hal yang begitu, jalanin aja dulu apa adanya.
Kalau cocok ya lanjut, kalau lo ragu ya jangan dipaksain.”, ucap Aldi seraya
menyalakan mesin mobilnya.
“Nah, bener
tuh!”, ujar Riris.
“Iya iya
deh, aku coba jalanin dulu.”, ucapku sekenanya.
“Ya udah
kalau gitu, gue sama Riris duluan ya. Sukses ya buat dinnernya nanti!”, ucap
Aldi.
Aku
tersenyum tipis. “Oke oke. Hati-hati bawa mobilnya, Riris masih parno tuh
gara-gara kemaren liat mobil tabrakan di komplek rumahnya.”
“Iya, Yang.
Pelan-pelan aja nyetirnya.”, susul Riris.
“Iya deh.
Oke, dah Olla.”
Aku
melambaikan tangan pada Aldi dan Riris yang berlalu meninggalkan tempat parkir.
Aku sendiri berjalan pelan menuju tempat parkir motor sambil memikirkan apa
yang akan kulakukan nanti dengan Fabian. Apa aku sudah siap kembali menghadapi
laki-laki baru? Aku merasa tidak yakin.
*
Seperti
janjinya, Fabian menjemputku di tempat kostku pukul tujuh malam dengan mobil
sport mewahnya. Aku tidak menyangka dia hanya mengenakan kaus yang dipadukan
dengan jaket dan celana jeans. Aku kira dia bakal berpakaian formal seperti
dulu saat aku bertemu pertama kali dengannya pada acara ulangtahunnya
dirumahnya yang begitu mewah. Tapi baguslah, aku jadi tidak perlu repot-repot
mencocokan bajuku. Aku hanya perlu memakai baju yang biasa kupakai ketika
pergi; kemeja lengan pendek dan tentunya celana jeans.
“Kita ke
restoran langganan keluarga aku ya.”, ucapnya sambil membukakan pintu mobilnya
untukku. Aku Cuma mengangguk seraya mengucapkan terimakasih karena sudah
dibukakan pintu.
Entah kenapa
aku merasa diperlakukan seperti upik abu yang mendadak menjadi putri. Bedanya,
seorang putri pergi dengan kereta kencananya, sedangkan aku.. naik mobil sport.
Sesampainya
di restoran, Fabian langsung memesan makanan favoritnya.
“Steak wagyu
yang medium dua ya.”, ucapnya pada seorang pelayan restoran. “Makanan disini
semuanya enak, Cuma yang juara ya steak wagyu ini.”, kata Fabian padaku yang
masih berusaha beradaptasi dengan restoran yang bisa dibilang kelas atas ini.
Aku merasa salah mengenakan pakaian. Namun saat aku melihat Fabian, dia cuek
saja. Sepertinya dia sudah biasa datang kesini hanya dengan memakai kaus dan
jeans saja. Tapi aku?
“Kamu suka
steak kan?”, tanya Fabian. Aku Cuma mengangguk canggung.
Mataku
memandang bingung meja yang penuh dengan pisau. “Ini kita mau makan apa mau
tawuran sih? Banyak bener pisaunya.”, gumamku pelan, namun Fabian mendengarnya.
“Kamu nggak
bisa pakai pisau buat makan steak? Bisa bedain kan mana pisau yang dipake buat
motong daging sama potong roti?”, tanya laki-laki itu dengan nada sedikit
mengejek.
Aku
menggaruk dahiku yang mendadak gatal. “Jujur aja aku nggak biasa makan di
restoran kayak gini.”
“Emang kalau
pacaran suka makan dimana? Ah, jangan bilang kalau kamu hobi makan di warung
pinggir jalan?”, tanya Fabian dengan tatapan jijik.
Mendengar
itu aku merasa tersinggung. “Loh? Apa yang salah dengan makan di warung kaki
lima?”, aku balik bertanya.
“La, makanan
yang dijual dipinggir jalan begitu tuh nggak steril. Kotor, banyak lalat,
tempatnya juga sempit, panas, sumpek. Kamu nyaman makan ditempat yang begitu
karena modal murah meriah doang? Harusnya kamu juga merhatiin kebersihannya
dong.”
Aku
mendengus. “Kayaknya kamu harus coba makan di kaki lima deh biar kamu ngerasain
gimana susahnya dapet duit buat makan. Kamu pikir semua orang bisa kayak kamu
yang bisa makan di restoran kelas atas begini?”
“Loh, ya
nggak harus di restoran begini juga. Tapi seenggaknya kan nggak makan di
sembarang tempat. Makan di kaki lima mungkin murah meriah, bahkan katanya ada
yang enak dan bercita rasa bintang lima. Tapi kualitas kebersihannya gimana?
Itu makanan dicuci bersih dulu ngga? Dimasak dengan bener ngga? Piringnya
dicuci bersih ngga? Banyak lalat ngga?”
“Terus
menurut kamu kalau mereka –para pedagang kaki lima itu nggak jualan makanan,
siapa yang bakal mencukupi kebutuhan perut mereka kalau bukan kita yang beli
jualan mereka?”
“Dengan
mempertaruhkan kesehatan kita? Aku lebih milih nggak makan daripada harus makan
makanan yang nggak steril.”
“Bukannya
kalau kamu nggak makan juga sama aja ngerusak kesehatan kamu?”
Fabian
terdiam. Aku menghela napas panjang.
“Aku
kayaknya nggak bisa makan dalam keadaan kayak gini deh. Mendingan aku pulang
aja ya.”, ucapku sambil bersiap beranjak dari kursi. Namun Fabian buru-buru
mencegahnya.
“Olla,
tunggu. Maaf kalau aku bikin kamu tersinggung. Tapi bisa kan kalau kita makan
dulu?”
Aku
menggeleng pelan. “Kayaknya engga deh. Mendingan aku pulang aja.”, aku pun
berlalu meninggalkan Fabian di meja itu.
Aku sadari
sikapku ini berlebihan, tapi aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Mungkin
memang baiknya aku tidak melanjutkannya daripada harus menahan kesal lebih
lama. Ya, mungkin karena aku dan Fabian memang terlalu berbeda. Bahkan sudah
dari awal aku merasa tidak percaya diri menjalin hubungan yang masih begitu
awal ini.
*
“Taksi!”,
seruku pada sebuah taksi yang tengah melaju perlahan. Taksi itu pun berhenti,
namun aku tidak sadar jika ada orang lain yang juga mengejar taksi itu. Orang
itu datang dari sisi berlawanan, dan dia pun membuka pintu sebelah kanan
sedangkan aku membuka pintu sebelah kiri. Aku dan orang itu sama-sama
tersentak.
“Olla?!”,
serunya setelah sekian detik kami saling terperangah kaget.
“O-Odie?”
Ya, di taksi
itu akhirnya aku kembali bertemu dengannya. Mantan kekasihku dua tahun lalu.
“Gimana ini
jadinya Mas, Mbak?”, tanya supir taksi membuyarkan lamunanku. Aku tersentak.
“Ah, kita
barengan aja, Pak. Kamu mau kemana? Kita antar kamu duluan deh.”, tanya Odie.
Aku yang
masih sedikit terkaget menjawab dengan kikuk. “A-anu. Ke perumahan Griya Asri
blok H. Yang komplek kost-kostan itu.”
“Kesana
duluan Pak. Argonya saya yang tanggung.”, kata Odie pada supir taksi yang
kemudian membawa kami melaju perlahan diiringi perasaan canggung.
Odie
memandang kearahku. “Kamu apa kabar, La? Lama banget ya kita nggak ketemu.”,
tanya laki-laki ikal itu dengan senyum tipis.
“Aku baik,
Die. Alhamdulillah.”, jawabku seadanya. “Kamu juga baik-baik aja kan?”
Odie
mengangguk. “Iya beginilah. Kamu darimana tadi?”
“Ah, anu,
dari restoran yang dekat distro itu. Kamu sendiri?”
“Oh, itu.
Aku malah dari distronya.”
“Belanja?”
“Engga, Cuma
nengokin temen. Dia yang jadi owner distro itu.”
Aku ber-Oh
pendek. “Ini beneran kamu yang mau tanggung argonya?”,
Aku spontan
menutup mulutku sendiri. Kenapa aku malah bertanya soal argo taksi?!
Odie tertawa
kecil. “Kamu nggak berubah ya ternyata, masih aja ceplas ceplos to the point
begitu.”
Aku
menggaruk kepalaku, menahan malu. “So-sorry..”
“Udah tenang
aja. Kebetulan aku baru aja gajian, anggap aja aku lagi nraktir kamu sekarang.”
“Nraktir?”,
aku tertawa, “Nraktir mah makanan atau
minuman, eh ini nraktir ongkos taksi. Ada-ada aja.”
Odie ikut
tertawa. Dan kali ini suasana mulai mencair, kecanggungan yang awalnya
mengganggu perlahan hilang.
“Oh, ini
tempat kost kamu? Gampang juga dicari ya.”, tanya Odie begitu taksi berhenti di
depan tempat kostku.
“Mau
mampir?”, tawarku padanya. Odie menggeleng sopan.
“Kapan-kapan
deh ya.”
Aku
mengangguk mengerti. “Makasih ya buat traktiran argonya.”
“Sama-sama.”
“Oke, see
you.”, aku pun membuka pintu taksi.
“Eh bentar.”
Aku menoleh.
“Kenapa?”
“Kamu ada
pin BB?”
Aku tersenyum
simpul.
Malam itu
aku akhirnya meralat ucapanku sendiri. Mungkin aku akan kembali bertemu
dengannya dengan mudah. Masih ada banyak kemungkinan bagi kami untuk saling
berbincang kembali. Bahkan mungkin akan berbincang lebih banyak dan lebih lama
lagi. Ya, aku rasa begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar