Senin, 06 Oktober 2014

Old / New ?



“Remy gimana?”, tanya Riris tiba-tiba ketika aku baru mau menyuapkan wafer cokelat ke dalam mulutku. Aku sedikit tercengang.
“Gimana apanya?”, aku balik bertanya dengan tangan yang menggantung di depan mulut.
“Lah, katanya kamu tempo hari baru ketemu dia?”
“Ooh, itu.”, aku meletakkan kembali wafer ke dalam toples. “Gitu deh.”
“Gitu gimana? Kamu ngga kepikiran dia lagi kan?”, Riris menatapku penuh selidik. “Kamu nggak nangisin dia kan setelah hari itu?”
Aku mendengus. “Nangis? Kamu bercanda? Enggak lah, ngapain juga mesti nangis.”.
“Ya kali aja, La. Tapi bagus lah kalau kamu emang ngga kepikiran dia lagi, ngga penting juga. Aku tuh sebenarnya khawatir aja sama kamu, takutnya kamu terus-terusan stuck dengan Remy. Kamu tuh bisa dapetin yang lebih baik dari dia.”
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Riris. Ya, aku memang tidak menangisi Remy setelah pertemuan kami tempo hari. Awalnya aku memang merasa sedih karena harus bertemu dengannya juga kekasihnya. Aku merasa tertampar hari itu, aku bahkan sampai tidak tau apa yang harus aku lakukan. Tapi aku lega karena perasaan aneh itu Cuma hinggap sesaat. Entah kenapa aku justru seperti tidak lagi memliki apapun untuknya. Baik rasa cinta, maupun harapan untuk memiliki. Aku merasa semua perasaanku pada Remy sudah selesai hari itu juga. Meski aku juga tidak memungkiri, ketika hari itu juga aku sadar jika perasaanku pada Remy belum sepenuhnya hilang. Namun apa yang terjadi selanjutnya, aku benar-benar sadari bahwa segalanya sudah selesai. Aku tidak boleh memendam rasa atau harap padanya lagi. Aku harus segera menoleh kearah lain. Kini saatnya aku jatuh cinta pada orang lain.
“Eh, La. Aku kok tiba-tiba teringat sama mantan kamu yang dulu itu ya. Mantan kamu dua tahun lalu itu.”, celetuk Riris sambil menyuap chips kentang ke mulutnya.
“Mantan aku? Siapa?”, tanyaku bingung.
“Itu loh yang LDRan sama kamu. Temennya Irham kalau ngga salah.”
Aku tersentak. “Maksud kamu Odie?”
Riris menepuk bahuku. “Nah itu dia!”
“Kenapa kamu tiba-tiba teringat dia?”, tanyaku lagi, lebih bingung. Aku saja sudah tidak pernah lagi memikirkannya, kenapa malah Riris yang teringat?
“Entah juga. Mungkin karena kita lagi nonton film tentang LDR kali yak.”, tunjuk Riris pada layar televisi yang tengah menanyangkan sebuah film televisi. “Emang kamu udah nggak ingat lagi sama mantanmu itu?”
Aku menggeleng pelan. “Udah lama banget nggak kepikiran dia. Dia juga palingan udah lupa sama aku, Ris. Lagian juga udah lama banget nggak komunikasi sama dia.”
Riris tertawa kecil. “Dih, sekarang udah bisa bilang begitu. Dulu aja kamu kalau liat foto dia di Facebook langsung pasang tampang sedih, apalagi kalau dia posting foto sama pacar barunya. Ciyee yang udah move on.”
“Itu karena aku merasa bersalah sama dia, Ris. Aku merasa gagal banget jadi pacarnya. Belum sempat aku bikin dia bahagia, eh dia udah dapet orang lain yang bisa bikin dia bahagia.”, aku tersenyum miris mengingatnya.
“Aneh kamu ya, bukannya ikut seneng dia udah dapet pengganti kamu, eh malah galau.”
“Wajar lah Ris. Selama kami LDRan kan aku nggak bisa sepenuhnya bikin dia seneng. Yang ada kami malah berantem terus karena masalah sepele. Ya udah, makanya kami mutusin pisah aja. Lagian waktu itu dia juga lagi sibuk cari kerja dan aku baru mulai kuliah, jadi ya aku ngga mau ngganggu konsentrasi dia dengan berbagai pertengkaran. Aku nggak mau nyiksa dia lebih lama.”
“Eh, bukannya kalian putus karena perasaan kamu yang masih berat sama Irham ya?”
Aku tersentak. Benar. Waktu itu aku masih sangat labil dengan perasaanku. Aku masih belum bisa mengontrol perasaanku sendiri. Hatiku memang bisa menerima kehadiran Odie, namun perasaanku padanya tidak bisa menutup segala cintaku pada Irham. Yang membuat lebih runyam lagi ketika aku tau bahwa mereka ternyata bersahabat sejak SMA. Perasaanku semakin kacau dan aku tidak bisa menghadapinya lebih lama lagi. Ya, itulah alasan sebenarnya aku berpisah dengan Odie. Dan aku merasa begitu jahat memperlakukannya yang benar-benar menyayangiku dengan tulus. Hingga akhirnya dia memiliki kekasih lagi, aku semakin merasa bersalah padanya. Aku merasa belum berhasil membahagiakannya, dan aku ingin sekali diberi kesempatan lagi untuk membuatnya bahagia bersamaku. Namun yang ada dia sudah bisa mencari kebahagiaannya sendiri. Aku merasa sangat payah bahkan sempat membenci diriku sendiri. Namun pada akhirnya, aku berusaha untuk memaafkan segala kesalahanku sendiri, aku harus segera membuang perasaan aneh ini. Dan akhirnya kini aku bisa melupakannya dan merelakannya berbahagia dengan yang lain. Dengan seseorang yang menurutnya paling baik untuknya.
“Nah! Ngelamun ini anak.”, Riris membuyarkan lamunanku. Aku tersentak.
“Eh? Hehe, maaf Ris. Kamu sih ngingetin aku sama dia, kan jadi terbayang masalalu.”
“Tapi ngomong-ngomong, kamu sekarang udah sama sekali hilang kontak sama dia, La?”
Aku menggeleng. “Engga juga sih, aku masih berteman sama dia kok di Facebook. Tapi kalau untuk berkomunikasi secara pribadi sih udah lama engga. Dia ngga pernah nyapa aku duluan, aku juga ngga nanyain kabarnya duluan. Pernah sih, tapi dulu, udah lama banget.”
“Kamu nggak kangen sama dia?”
“Kangen?”, aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal. “Salah nggak sih kalau aku bilang ‘iya’?”
“Loh? Kenapa harus ngerasa salah? Yang namanya kangen nggak pernah salah kali, La. Kalau kangen ya wajar. Banget.”, ucap Riris seraya mengambil gelas kosong dan keluar dari kamarnya.
Aku bergeming. Mataku menatap layar televisi yang menayangkan adegan seseorang yang bertemu dengan mantan kekasihnya. Perempuan itu menyerahkan sebuah kotak berisi barang-barang kenangannya dengan mantan kekasihnya. Namun tak lama muncul seorang perempuan lain yang tidak lain adalah kekasih baru sang mantan.
Aku tercengang menonton adegan itu. Tiba-tiba terlintas dalam kepalaku bayangan Odie yang tengah tersenyum. Aku langsung membayangkan jika seandainya aku seperti perempuan dalam film itu, bertemu dengan mantan dan kekasih barunya. Apa yang akan aku lakukan nanti? Apakah aku akan merasa kacau seperti saat aku bertemu Remy dan kekasihnya tempo hari?
Ah, entahlah. Lagipula sepertinya sudah tidak ada kemungkinan lagi untukku bertemu kembali dengan Odie. Aku juga merasa Odie sudah tidak ingin lagi peduli denganku setelah apa yang terjadi. Itu wajar, dan aku memakluminya.
*
“Oke Olla, nanti aku jemput jam 7 ya. Dah!”
Aku melambaikan tangan padanya yang kemudian berlalu dengan mobil sportnya. Tak lama Riris menghampiriku bersama kekasihnya, Aldi.
“Apa?”, aku melotot pada kedua orang itu yang saling berbisik sambil memandangku dengan aneh.
“Akhirnya Olla dapet gebetan juga ya Tuhan, aku bersyukur padamu. Terimakasih!”, Riris memandang langit dengan tangan yang menengadah keatas. Aldi ikut berucap syukur.
Aku kontan menepuk pipi Riris pelan. “Apaan sih ini anak? Aku Cuma nerima ajakan makan malam Fabian doang kok. Nggak usah pada lebay plis!”
“Iya deh yang nerima ajakan makan malam, tapi paling ujung-ujungnya ntar kita yang diajak makan-makan ngerayain jadian kalian. Ciyee Ollaa.”, Riris mencubit hidungku dengan gemas sambil tertawa sumringah.
“Gitu dong La, harusnya lo lakuin ini dari dulu. Jangan terlalu jual mahal lah sama cowok. Lo tenang aja, Fabian baik kok orangnya.”, ucap Aldi selaku teman sekelas Fabian.
“Gue Cuma rada nggak enak aja sama dia Di. Ngerasa kayak beda kasta gitu. Liat dia bawa mobil sport gitu aja gue udah minder.”
“Lah? Kenapa mesti minder La? Malah justru bagus kan kalau kamu nanti akhirnya sama Fabian, hidup kamu selalu tercukupi sampai kamu punya cicit.”, kata Riris seraya membuka pintu mobil Aldi.
“Aku tuh takut dibilang matre, Ris. Aku nggak mau orang nilai aku begitu.”
“Udahlah, La. Lo jangan terlalu mikirin hal yang begitu, jalanin aja dulu apa adanya. Kalau cocok ya lanjut, kalau lo ragu ya jangan dipaksain.”, ucap Aldi seraya menyalakan mesin mobilnya.
“Nah, bener tuh!”, ujar Riris.
“Iya iya deh, aku coba jalanin dulu.”, ucapku sekenanya.
“Ya udah kalau gitu, gue sama Riris duluan ya. Sukses ya buat dinnernya nanti!”, ucap Aldi.
Aku tersenyum tipis. “Oke oke. Hati-hati bawa mobilnya, Riris masih parno tuh gara-gara kemaren liat mobil tabrakan di komplek rumahnya.”
“Iya, Yang. Pelan-pelan aja nyetirnya.”, susul Riris.
“Iya deh. Oke, dah Olla.”
Aku melambaikan tangan pada Aldi dan Riris yang berlalu meninggalkan tempat parkir. Aku sendiri berjalan pelan menuju tempat parkir motor sambil memikirkan apa yang akan kulakukan nanti dengan Fabian. Apa aku sudah siap kembali menghadapi laki-laki baru? Aku merasa tidak yakin.
*
Seperti janjinya, Fabian menjemputku di tempat kostku pukul tujuh malam dengan mobil sport mewahnya. Aku tidak menyangka dia hanya mengenakan kaus yang dipadukan dengan jaket dan celana jeans. Aku kira dia bakal berpakaian formal seperti dulu saat aku bertemu pertama kali dengannya pada acara ulangtahunnya dirumahnya yang begitu mewah. Tapi baguslah, aku jadi tidak perlu repot-repot mencocokan bajuku. Aku hanya perlu memakai baju yang biasa kupakai ketika pergi; kemeja lengan pendek dan tentunya celana jeans.
“Kita ke restoran langganan keluarga aku ya.”, ucapnya sambil membukakan pintu mobilnya untukku. Aku Cuma mengangguk seraya mengucapkan terimakasih karena sudah dibukakan pintu.
Entah kenapa aku merasa diperlakukan seperti upik abu yang mendadak menjadi putri. Bedanya, seorang putri pergi dengan kereta kencananya, sedangkan aku.. naik mobil sport.

Sesampainya di restoran, Fabian langsung memesan makanan favoritnya.
“Steak wagyu yang medium dua ya.”, ucapnya pada seorang pelayan restoran. “Makanan disini semuanya enak, Cuma yang juara ya steak wagyu ini.”, kata Fabian padaku yang masih berusaha beradaptasi dengan restoran yang bisa dibilang kelas atas ini. Aku merasa salah mengenakan pakaian. Namun saat aku melihat Fabian, dia cuek saja. Sepertinya dia sudah biasa datang kesini hanya dengan memakai kaus dan jeans saja. Tapi aku?
“Kamu suka steak kan?”, tanya Fabian. Aku Cuma mengangguk canggung.
Mataku memandang bingung meja yang penuh dengan pisau. “Ini kita mau makan apa mau tawuran sih? Banyak bener pisaunya.”, gumamku pelan, namun Fabian mendengarnya.
“Kamu nggak bisa pakai pisau buat makan steak? Bisa bedain kan mana pisau yang dipake buat motong daging sama potong roti?”, tanya laki-laki itu dengan nada sedikit mengejek.
Aku menggaruk dahiku yang mendadak gatal. “Jujur aja aku nggak biasa makan di restoran kayak gini.”
“Emang kalau pacaran suka makan dimana? Ah, jangan bilang kalau kamu hobi makan di warung pinggir jalan?”, tanya Fabian dengan tatapan jijik.
Mendengar itu aku merasa tersinggung. “Loh? Apa yang salah dengan makan di warung kaki lima?”, aku balik bertanya.
“La, makanan yang dijual dipinggir jalan begitu tuh nggak steril. Kotor, banyak lalat, tempatnya juga sempit, panas, sumpek. Kamu nyaman makan ditempat yang begitu karena modal murah meriah doang? Harusnya kamu juga merhatiin kebersihannya dong.”
Aku mendengus. “Kayaknya kamu harus coba makan di kaki lima deh biar kamu ngerasain gimana susahnya dapet duit buat makan. Kamu pikir semua orang bisa kayak kamu yang bisa makan di restoran kelas atas begini?”
“Loh, ya nggak harus di restoran begini juga. Tapi seenggaknya kan nggak makan di sembarang tempat. Makan di kaki lima mungkin murah meriah, bahkan katanya ada yang enak dan bercita rasa bintang lima. Tapi kualitas kebersihannya gimana? Itu makanan dicuci bersih dulu ngga? Dimasak dengan bener ngga? Piringnya dicuci bersih ngga? Banyak lalat ngga?”
“Terus menurut kamu kalau mereka –para pedagang kaki lima itu nggak jualan makanan, siapa yang bakal mencukupi kebutuhan perut mereka kalau bukan kita yang beli jualan mereka?”
“Dengan mempertaruhkan kesehatan kita? Aku lebih milih nggak makan daripada harus makan makanan yang nggak steril.”
“Bukannya kalau kamu nggak makan juga sama aja ngerusak kesehatan kamu?”
Fabian terdiam. Aku menghela napas panjang.
“Aku kayaknya nggak bisa makan dalam keadaan kayak gini deh. Mendingan aku pulang aja ya.”, ucapku sambil bersiap beranjak dari kursi. Namun Fabian buru-buru mencegahnya.
“Olla, tunggu. Maaf kalau aku bikin kamu tersinggung. Tapi bisa kan kalau kita makan dulu?”
Aku menggeleng pelan. “Kayaknya engga deh. Mendingan aku pulang aja.”, aku pun berlalu meninggalkan Fabian di meja itu.
Aku sadari sikapku ini berlebihan, tapi aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Mungkin memang baiknya aku tidak melanjutkannya daripada harus menahan kesal lebih lama. Ya, mungkin karena aku dan Fabian memang terlalu berbeda. Bahkan sudah dari awal aku merasa tidak percaya diri menjalin hubungan yang masih begitu awal ini.
*
“Taksi!”, seruku pada sebuah taksi yang tengah melaju perlahan. Taksi itu pun berhenti, namun aku tidak sadar jika ada orang lain yang juga mengejar taksi itu. Orang itu datang dari sisi berlawanan, dan dia pun membuka pintu sebelah kanan sedangkan aku membuka pintu sebelah kiri. Aku dan orang itu sama-sama tersentak.
“Olla?!”, serunya setelah sekian detik kami saling terperangah kaget.
“O-Odie?”
Ya, di taksi itu akhirnya aku kembali bertemu dengannya. Mantan kekasihku dua tahun lalu.

“Gimana ini jadinya Mas, Mbak?”, tanya supir taksi membuyarkan lamunanku. Aku tersentak.
“Ah, kita barengan aja, Pak. Kamu mau kemana? Kita antar kamu duluan deh.”, tanya Odie.
Aku yang masih sedikit terkaget menjawab dengan kikuk. “A-anu. Ke perumahan Griya Asri blok H. Yang komplek kost-kostan itu.”
“Kesana duluan Pak. Argonya saya yang tanggung.”, kata Odie pada supir taksi yang kemudian membawa kami melaju perlahan diiringi perasaan canggung.
Odie memandang kearahku. “Kamu apa kabar, La? Lama banget ya kita nggak ketemu.”, tanya laki-laki ikal itu dengan senyum tipis.
“Aku baik, Die. Alhamdulillah.”, jawabku seadanya. “Kamu juga baik-baik aja kan?”
Odie mengangguk. “Iya beginilah. Kamu darimana tadi?”
“Ah, anu, dari restoran yang dekat distro itu. Kamu sendiri?”
“Oh, itu. Aku malah dari distronya.”
“Belanja?”
“Engga, Cuma nengokin temen. Dia yang jadi owner distro itu.”
Aku ber-Oh pendek. “Ini beneran kamu yang mau tanggung argonya?”,
Aku spontan menutup mulutku sendiri. Kenapa aku malah bertanya soal argo taksi?!
Odie tertawa kecil. “Kamu nggak berubah ya ternyata, masih aja ceplas ceplos to the point begitu.”
Aku menggaruk kepalaku, menahan malu. “So-sorry..”
“Udah tenang aja. Kebetulan aku baru aja gajian, anggap aja aku lagi nraktir kamu sekarang.”
“Nraktir?”, aku tertawa, “Nraktir  mah makanan atau minuman, eh ini nraktir ongkos taksi. Ada-ada aja.”
Odie ikut tertawa. Dan kali ini suasana mulai mencair, kecanggungan yang awalnya mengganggu perlahan hilang.

“Oh, ini tempat kost kamu? Gampang juga dicari ya.”, tanya Odie begitu taksi berhenti di depan tempat kostku.
“Mau mampir?”, tawarku padanya. Odie menggeleng sopan.
“Kapan-kapan deh ya.”
Aku mengangguk mengerti. “Makasih ya buat traktiran argonya.”
“Sama-sama.”
“Oke, see you.”, aku pun membuka pintu taksi.
“Eh bentar.”
Aku menoleh. “Kenapa?”
“Kamu ada pin BB?”
Aku tersenyum simpul.

Malam itu aku akhirnya meralat ucapanku sendiri. Mungkin aku akan kembali bertemu dengannya dengan mudah. Masih ada banyak kemungkinan bagi kami untuk saling berbincang kembali. Bahkan mungkin akan berbincang lebih banyak dan lebih lama lagi. Ya, aku rasa begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar