“Kamu nggak
berubah ya dari dulu,”, ucapnya setelah sekian detik mengamati penampilanku dan
cara bicaraku.
Aku meneguk
jus alpukatku, “Justru bagus kan kalau nggak berubah. Itu artinya aku orang
yang konsisten.”
Dia tersenyum
tipis. “Iya deh yang konsisten. Eh, kamu ngga ada jadwal kuliah hari ini?”
Aku melirik
arlojiku yang menunjukkan pukul 2 siang, “Ada kelas nanti jam 4 sore.”, jawabku
sekenanya. Odie mengangguk mengerti.
Ada perasaan
aneh menyelimuti. Sudah lama sekali rasanya aku dan dia tidak saling berbincang
seperti ini. Terakhir kali kami saling menyapa pun hanya lewat media sosial. Selama
ini aku bahkan tidak pernah melihat batang hidungnya, padahal kini kami berada
dalam satu kota yang sama, tidak seperti dua tahun lalu. Ya, dua tahun lalu dia
memutuskan untuk kerja diluar kota dan menjalani hubungan jarak jauh denganku.
Namun hubungan kami tidak bertahan lama, karena tepat di bulan ketujuh kami
bersama, kami akhirnya sepakat untuk menyudahi hubungan ini.
Semenjak itu
aku dan dia bersikap seolah tidak pernah saling mengenal. Tidak pernah saling
berkomunikasi, tidak pernah mencoba untuk mengadakan pertemuan kembali. Pernah suatu
kali aku menyapanya lewat media sosial, tapi dia menanggapi sekenanya saja. Dia
tidak balik menanyakan kabar atau apapun. Jangankan untuk menanyakan kabar,
mengirimkan ucapan selamat ulang tahun padaku pun tidak.
Ya, segala
perasaan itu telah berubah seiring berjalannya waktu. Perasaan hangat dan penuh
cinta yang dulu kami rasakan, kini berganti menjadi perasaan canggung yang
membuat suasana tidak nyaman. Dan jujur saja, aku tidak bisa menutupi perasaan
aneh ini dari mimik wajahku. Karena aku memang tidak punya bakat akting. Namun ketika
aku melihat ekspresi wajahnya, aku tidak melihat mimik yang sama denganku. Dia
terlihat begitu santai, seolah dia telah melupakan apapun yang terjadi di
masalalu. Kurasa begitu.
“Odie..”,
panggilku pelan. Dia mendongakan wajahnya yang tertunduk karena sibuk
memandangi layar handphonenya.
“Kenapa, La?”
“Engga, aku
ngerasa aneh aja sama kamu. Kenapa nggak dari dulu aja kita begini, duduk
berdua, ngobrol kesana kesini. Bukannya saling diam dan mungkin juga saling memaki
dalam hati.”, aku tersenyum miris. “Apa itu tandanya kamu udah bener-bener
maafin aku sekarang?”
Odie sedikit
tercengang mendengar pertanyaanku. “Kenapa jadi bahas itu?”
“Ya nanya
aja.”,ucapku tenang.
Odie mengangguk
mengerti. “Nggak tau juga ya. Mungkin karena baru sekarang ini aja aku dikasih
kesempatan buat ketemu kamu lagi. Kebetulan bulan ini kontrak kerjaku habis,
dan sementara nunggu ada panggilan kerja lagi, aku mutusin buat pulang kampung.
Eh, ketemu kamu disini.”
“Berarti
selama ini kamu nggak ada niatan buat ngajakin aku ketemu lagi dong ya?”
“Mau jawaban
jujur apa bohong?”
“Jujur lah.”
“Hmmm,”,
Odie memandangku sambil bergumam pelan. “Jujur aja enggak.”
Seketika aku
merasa mendapat cubitan kecil di tanganku.
“K-kenapa?”,
tanyaku.
“Karena aku
udah tau kalau kamu nggak bakalan berubah, La.”
Aku tersentak.
“Maksudnya?”
Odie menyandarkan
punggungnya ke bangku kafe. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
“Nggak usah
sok nggak ngerti lah.”
Aku menggaruk
dahiku, “Apaan sih? Kamu ngomongin soal apa?”
Odie mendesah
pelan. “Perasaan kamu, juga sikap terlalu konsisten dan setianya kamu itu yang
aku maksud. Dulu aku ngerasa takut kalau nemuin kamu, tapi masih begitu begitu
aja. Aku bakalan dapet apa coba, kecewa lagi?”
Aku tidak
menyahut. Otakku mencoba untuk mencerna baik-baik ucapan Odie yang terasa aneh.
Perasaan yang konsisten? Tunggu, apa yang dia maksud adalah..
“Kamu..
masih punya perasaan itu buat Irham?”, tanya Odie tajam. Seketika aku terhenyak
kaget. Ternyata dugaanku benar, yang dia maksud adalah tentang Irham.
Seketika perasaanku
menjadi tidak karuan mengingat permasalahanku dulu dengan Odie juga Irham. Ya,
dengan teganya aku mengakui pada Odie –yang saat itu menjadi kekasihku, bahwa
aku masih terlalu mencintai Irham, yang notabene adalah sahabatnya sendiri. Dan
tentu saja, pengakuanku itu yang akhirnya membuat hubungan kami berakhir tanpa
basa basi lagi.
Oke, aku
memang perempuan kejam yang tidak bisa membohongi perasaan sendiri.
“Masih kan?”,
ulang Odie, kali ini matanya tajam memandangku.
“Die..”
Odie
mendengus. “Udah aku duga, pasti kamu masih punya perasaan itu buat Irham. Ya ampun
Olla.”
“Tapi
sekarang udah nggak seperti itu, Die. Sekarang segalanya udah beda.”, bantahku.
“Aku salut
lah sama kesetiaan kamu yang nggak ada habisnya itu. Salut banget. Jarang lho
ada cewek yang begitu setianya mempertahankan cintanya buat orang yang
jelas-jelas nggak punya perasaan apapun ke dia.”, Odie mengangkat kedua ibu
jarinya ke udara.
Aku menggeleng
keras. “Enggak Die, kamu salah paham.”
“Salah paham
dari mananya? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau nggak ada yang bisa
menggantikan posisi Irham di hati kamu? Sekarang kamu menjilat ludah kamu
sendiri.”
Aku menghela
napas pendek. “Iya, aku pernah bilang seperti itu dulu. Tapi sekarang semuanya
udah lain. Udah beda, udah nggak seperti dulu lagi.”
“Apa yang
kamu harapin sih dari Irham itu? Kayaknya kok yakin bener kalau dia bener-bener
mau sama kamu. Olla, aku kasih tau sekali lagi, dia itu udah punya pacar. Kamu bersedia
buat jadi selingkuhannya?”
“Odie!”
“Apa? Nyatanya
memang begitu kan?”
Aku mencoba
meredam emosiku yang mulai berkobar. Odie masih memandangku dengan tatapan
tajam yang menyebalkan. Kenapa pula dia harus membahas masalah ini disaat
pertemuan kami yang setelah sekian lama tak saling sapa?
“Kenapa sih
kamu nggak ngerti juga sama penjelasan aku? Aku udah nggak punya perasaan yang
kayak dulu lagi, Die. Aku udah berubah. Segalanya udah berbeda!”
Odie tersenyum
tipis, “Sebenarnya kalau kamu masih punya perasaan yang sama pun nggak akan
merubah apapun, La. Yang memuakkan adalah segala celotehanmu di media sosial
yang nggak pernah ada habisnya buat dia.”
Aku tercengang.
“A-apa?”
“Aku muak
sama segala celotehan kamu di media sosial, La. Muak!”, tukas Odie lantang,
seraya memalingkan wajahnya kearah lain.
Apa ini? Jadi
sebenarnya Odie masih menyimpan kemarahannya dua tahun lalu sampai sekarang? Aneh,
karena aku merasa dia begitu bahagia dengan kehidupannya sekarang. Apalagi
dilihat dari sekian banyak foto mesranya dengan kekasih barunya itu.
Tapi nyatanya?
Aku mendengus.
“Kalau kamu muak sama semua itu, kenapa kamu nggak blokir aku aja sekalian?”
“Maunya
begitu, tapi aku tau sifat kamu, La. Kalau kamu tau aku blokir pertemanan,
pasti kamu makin meracuni timeline sama celotehan galaumu yang nggak ada
habisnya itu. Iya kan?”, tanya Odie dengan nada retoris.
“Aku agak
kagum sama daya ingat kamu, Die. Kamu sampai paham banget gimana sifat dan
kebiasaan aku.”
“Gimana
nggak ingat, semuanya tentang kamu itu.. “
“Apa?”
Odie kembali
memandangku tajam. “Memuakkan.”
Kembali kurasakan
sebuah cubitan keras ditanganku. Kali ini terasa begitu sakit. Aku merasa kini
ada genangan kecil di pelupuk mataku.
Jadi selama
ini, itukah alasan kenapa Odie begitu enggan menyapaku juga enggan menjalin
hubungan pertemanan yang baik denganku, karena aku begitu memuakkan baginya?
Tapi yang
sesungguhnya kini keadaan sudah sangat berbeda. Perasaanku pada Irham tidak
lagi sama seperti dulu. Yang selalu aku galaukan selama ini adalah tentang
Remy, bukan Irham. Namun Odie hanya berpikir tentang Irham, Irham dan Irham lagi.
Dia masih terpaku pada ucapanku dua tahun lalu, dia masih berpikir kalau aku
tidak berubah. Padahal nyatanya, hatiku kini tak lagi untuk dia. Aku memang
tidak bisa sepenuhnya melupakan orang itu, tapi aku tidak lagi merasakan cinta
yang seperti dulu lagi. Segalanya sudah berbeda.
Tapi kenapa Odie
sulit sekali untuk mempercayainya?
Aku kembali
menghela napas panjang. “Kamu ngerasa aneh nggak sih, dulu kita dengan
gampangnya saling bicara tentang cinta, tentang sayang. Dulu kita saling
memiliki, saling melengkapi, bahkan pernah berjanji akan tetap seperti itu
sampai kapanpun. Tapi hari ini seakan membuktikan kalau apa yang pernah kita
janjikan dulu Cuma sekadar omong kosong. Nggak ada artinya lagi. Atau bahkan
nggak pernah berarti apa-apa.”
Odie tidak
menyahut, dia malah sibuk dengan handphonenya.
“Die..kamu
dengerin aku nggak sih?”
Odie menyimpan
handphonenya kembali dalam saku celananya. “Iya aku tau. Bukannya kamu udah tau
sendiri, kalau sekarang semuanya udah berubah. Udah beda.”
Aku mengangguk
mengerti. “Begitupun aku, Die. Sekarang tolong hilangkan prasangka buruk kamu
tentang aku. Aku nggak punya perasaan lagi sama Irham, aku udah benar-benar
merelakan dia. Kamu bisa percaya ucapan aku kan?
Odie tidak
menyahut. Dia hanya menatapku sekilas dan meneguk jus jeruknya hingga tandas.
“Pacar aku
udah nungguin, aku pergi duluan ya. Minumannya udah aku bayar.”, ucapnya seraya
beranjak dari kursi.
“D-die..”
Odie tidak
menolehku lagi dan pergi begitu saja tanpa basa basi lagi.
Aku termangu
di tempat, memandangi kepergiannya yang meninggalkan sejuta sesak dalam dada.
Apa ini
balasan dari kamu, Die? Memperlakukanku begitu seenaknya dan mengabaikan semua
ucapanku bahkan tidak mempercayainya. Baiklah, aku anggap sekarang kita impas. Semoga
kelak kita dipertemukan kembali, namun tidak dengan suasana seperti ini.
Kamu tau
sendiri kan, betapa inginnya aku menjalin hubungan pertemanan yang baik
denganmu?
Aku tersenyum
getir, air mata yang sedari kutahan akhirnya menetes perlahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar