Senin, 20 Oktober 2014

Berbeda



“Kamu nggak berubah ya dari dulu,”, ucapnya setelah sekian detik mengamati penampilanku dan cara bicaraku.
Aku meneguk jus alpukatku, “Justru bagus kan kalau nggak berubah. Itu artinya aku orang yang konsisten.”
Dia tersenyum tipis. “Iya deh yang konsisten. Eh, kamu ngga ada jadwal kuliah hari ini?”
Aku melirik arlojiku yang menunjukkan pukul 2 siang, “Ada kelas nanti jam 4 sore.”, jawabku sekenanya. Odie mengangguk mengerti.
Ada perasaan aneh menyelimuti. Sudah lama sekali rasanya aku dan dia tidak saling berbincang seperti ini. Terakhir kali kami saling menyapa pun hanya lewat media sosial. Selama ini aku bahkan tidak pernah melihat batang hidungnya, padahal kini kami berada dalam satu kota yang sama, tidak seperti dua tahun lalu. Ya, dua tahun lalu dia memutuskan untuk kerja diluar kota dan menjalani hubungan jarak jauh denganku. Namun hubungan kami tidak bertahan lama, karena tepat di bulan ketujuh kami bersama, kami akhirnya sepakat untuk menyudahi hubungan ini.
Semenjak itu aku dan dia bersikap seolah tidak pernah saling mengenal. Tidak pernah saling berkomunikasi, tidak pernah mencoba untuk mengadakan pertemuan kembali. Pernah suatu kali aku menyapanya lewat media sosial, tapi dia menanggapi sekenanya saja. Dia tidak balik menanyakan kabar atau apapun. Jangankan untuk menanyakan kabar, mengirimkan ucapan selamat ulang tahun padaku pun tidak.
Ya, segala perasaan itu telah berubah seiring berjalannya waktu. Perasaan hangat dan penuh cinta yang dulu kami rasakan, kini berganti menjadi perasaan canggung yang membuat suasana tidak nyaman. Dan jujur saja, aku tidak bisa menutupi perasaan aneh ini dari mimik wajahku. Karena aku memang tidak punya bakat akting. Namun ketika aku melihat ekspresi wajahnya, aku tidak melihat mimik yang sama denganku. Dia terlihat begitu santai, seolah dia telah melupakan apapun yang terjadi di masalalu. Kurasa begitu.
“Odie..”, panggilku pelan. Dia mendongakan wajahnya yang tertunduk karena sibuk memandangi layar handphonenya.
“Kenapa, La?”
“Engga, aku ngerasa aneh aja sama kamu. Kenapa nggak dari dulu aja kita begini, duduk berdua, ngobrol kesana kesini. Bukannya saling diam dan mungkin juga saling memaki dalam hati.”, aku tersenyum miris. “Apa itu tandanya kamu udah bener-bener maafin aku sekarang?”
Odie sedikit tercengang mendengar pertanyaanku. “Kenapa jadi bahas itu?”
“Ya nanya aja.”,ucapku tenang.
Odie mengangguk mengerti. “Nggak tau juga ya. Mungkin karena baru sekarang ini aja aku dikasih kesempatan buat ketemu kamu lagi. Kebetulan bulan ini kontrak kerjaku habis, dan sementara nunggu ada panggilan kerja lagi, aku mutusin buat pulang kampung. Eh, ketemu kamu disini.”
“Berarti selama ini kamu nggak ada niatan buat ngajakin aku ketemu lagi dong ya?”
“Mau jawaban jujur apa bohong?”
“Jujur lah.”
“Hmmm,”, Odie memandangku sambil bergumam pelan. “Jujur aja enggak.”
Seketika aku merasa mendapat cubitan kecil di tanganku.
“K-kenapa?”, tanyaku.
“Karena aku udah tau kalau kamu nggak bakalan berubah, La.”
Aku tersentak. “Maksudnya?”
Odie menyandarkan punggungnya ke bangku kafe. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
“Nggak usah sok nggak ngerti lah.”
Aku menggaruk dahiku, “Apaan sih? Kamu ngomongin soal apa?”
Odie mendesah pelan. “Perasaan kamu, juga sikap terlalu konsisten dan setianya kamu itu yang aku maksud. Dulu aku ngerasa takut kalau nemuin kamu, tapi masih begitu begitu aja. Aku bakalan dapet apa coba, kecewa lagi?”
Aku tidak menyahut. Otakku mencoba untuk mencerna baik-baik ucapan Odie yang terasa aneh. Perasaan yang konsisten? Tunggu, apa yang dia maksud adalah..
“Kamu.. masih punya perasaan itu buat Irham?”, tanya Odie tajam. Seketika aku terhenyak kaget. Ternyata dugaanku benar, yang dia maksud adalah tentang Irham.
Seketika perasaanku menjadi tidak karuan mengingat permasalahanku dulu dengan Odie juga Irham. Ya, dengan teganya aku mengakui pada Odie –yang saat itu menjadi kekasihku, bahwa aku masih terlalu mencintai Irham, yang notabene adalah sahabatnya sendiri. Dan tentu saja, pengakuanku itu yang akhirnya membuat hubungan kami berakhir tanpa basa basi lagi.
Oke, aku memang perempuan kejam yang tidak bisa membohongi perasaan sendiri.
“Masih kan?”, ulang Odie, kali ini matanya tajam memandangku.
“Die..”
Odie mendengus. “Udah aku duga, pasti kamu masih punya perasaan itu buat Irham. Ya ampun Olla.”
“Tapi sekarang udah nggak seperti itu, Die. Sekarang segalanya udah beda.”, bantahku.
“Aku salut lah sama kesetiaan kamu yang nggak ada habisnya itu. Salut banget. Jarang lho ada cewek yang begitu setianya mempertahankan cintanya buat orang yang jelas-jelas nggak punya perasaan apapun ke dia.”, Odie mengangkat kedua ibu jarinya ke udara.
Aku menggeleng keras. “Enggak Die, kamu salah paham.”
“Salah paham dari mananya? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau nggak ada yang bisa menggantikan posisi Irham di hati kamu? Sekarang kamu menjilat ludah kamu sendiri.”
Aku menghela napas pendek. “Iya, aku pernah bilang seperti itu dulu. Tapi sekarang semuanya udah lain. Udah beda, udah nggak seperti dulu lagi.”
“Apa yang kamu harapin sih dari Irham itu? Kayaknya kok yakin bener kalau dia bener-bener mau sama kamu. Olla, aku kasih tau sekali lagi, dia itu udah punya pacar. Kamu bersedia buat jadi selingkuhannya?”
“Odie!”
“Apa? Nyatanya memang begitu kan?”
Aku mencoba meredam emosiku yang mulai berkobar. Odie masih memandangku dengan tatapan tajam yang menyebalkan. Kenapa pula dia harus membahas masalah ini disaat pertemuan kami yang setelah sekian lama tak saling sapa?
“Kenapa sih kamu nggak ngerti juga sama penjelasan aku? Aku udah nggak punya perasaan yang kayak dulu lagi, Die. Aku udah berubah. Segalanya udah berbeda!”
Odie tersenyum tipis, “Sebenarnya kalau kamu masih punya perasaan yang sama pun nggak akan merubah apapun, La. Yang memuakkan adalah segala celotehanmu di media sosial yang nggak pernah ada habisnya buat dia.”
Aku tercengang. “A-apa?”
“Aku muak sama segala celotehan kamu di media sosial, La. Muak!”, tukas Odie lantang, seraya memalingkan wajahnya kearah lain.
Apa ini? Jadi sebenarnya Odie masih menyimpan kemarahannya dua tahun lalu sampai sekarang? Aneh, karena aku merasa dia begitu bahagia dengan kehidupannya sekarang. Apalagi dilihat dari sekian banyak foto mesranya dengan kekasih barunya itu.
Tapi nyatanya?
Aku mendengus. “Kalau kamu muak sama semua itu, kenapa kamu nggak blokir aku aja sekalian?”
“Maunya begitu, tapi aku tau sifat kamu, La. Kalau kamu tau aku blokir pertemanan, pasti kamu makin meracuni timeline sama celotehan galaumu yang nggak ada habisnya itu. Iya kan?”, tanya Odie dengan nada retoris.
“Aku agak kagum sama daya ingat kamu, Die. Kamu sampai paham banget gimana sifat dan kebiasaan aku.”
“Gimana nggak ingat, semuanya tentang kamu itu.. “
“Apa?”
Odie kembali memandangku tajam. “Memuakkan.”
Kembali kurasakan sebuah cubitan keras ditanganku. Kali ini terasa begitu sakit. Aku merasa kini ada genangan kecil di pelupuk mataku.
Jadi selama ini, itukah alasan kenapa Odie begitu enggan menyapaku juga enggan menjalin hubungan pertemanan yang baik denganku, karena aku begitu memuakkan baginya?
Tapi yang sesungguhnya kini keadaan sudah sangat berbeda. Perasaanku pada Irham tidak lagi sama seperti dulu. Yang selalu aku galaukan selama ini adalah tentang Remy, bukan Irham. Namun Odie hanya berpikir tentang Irham, Irham dan Irham lagi. Dia masih terpaku pada ucapanku dua tahun lalu, dia masih berpikir kalau aku tidak berubah. Padahal nyatanya, hatiku kini tak lagi untuk dia. Aku memang tidak bisa sepenuhnya melupakan orang itu, tapi aku tidak lagi merasakan cinta yang seperti dulu lagi. Segalanya sudah berbeda.
Tapi kenapa Odie sulit sekali untuk mempercayainya?
Aku kembali menghela napas panjang. “Kamu ngerasa aneh nggak sih, dulu kita dengan gampangnya saling bicara tentang cinta, tentang sayang. Dulu kita saling memiliki, saling melengkapi, bahkan pernah berjanji akan tetap seperti itu sampai kapanpun. Tapi hari ini seakan membuktikan kalau apa yang pernah kita janjikan dulu Cuma sekadar omong kosong. Nggak ada artinya lagi. Atau bahkan nggak pernah berarti apa-apa.”
Odie tidak menyahut, dia malah sibuk dengan handphonenya.
“Die..kamu dengerin aku nggak sih?”
Odie menyimpan handphonenya kembali dalam saku celananya. “Iya aku tau. Bukannya kamu udah tau sendiri, kalau sekarang semuanya udah berubah. Udah beda.”
Aku mengangguk mengerti. “Begitupun aku, Die. Sekarang tolong hilangkan prasangka buruk kamu tentang aku. Aku nggak punya perasaan lagi sama Irham, aku udah benar-benar merelakan dia. Kamu bisa percaya ucapan aku kan?
Odie tidak menyahut. Dia hanya menatapku sekilas dan meneguk jus jeruknya hingga tandas.
“Pacar aku udah nungguin, aku pergi duluan ya. Minumannya udah aku bayar.”, ucapnya seraya beranjak dari kursi.
“D-die..”
Odie tidak menolehku lagi dan pergi begitu saja tanpa basa basi lagi.
Aku termangu di tempat, memandangi kepergiannya yang meninggalkan sejuta sesak dalam dada.
Apa ini balasan dari kamu, Die? Memperlakukanku begitu seenaknya dan mengabaikan semua ucapanku bahkan tidak mempercayainya. Baiklah, aku anggap sekarang kita impas. Semoga kelak kita dipertemukan kembali, namun tidak dengan suasana seperti ini.
Kamu tau sendiri kan, betapa inginnya aku menjalin hubungan pertemanan yang baik denganmu?
Aku tersenyum getir, air mata yang sedari kutahan akhirnya menetes perlahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar