Mataku masih
memandang layar handphone sambil sesekali menyunggingkan senyum miris. Ada
perasaan iri ketika melihat berbagai kiriman foto teman-teman di akun media
sosialku. Sebenarnya Cuma foto sepele, namun aku melihatnya dengan perasaan
berbeda. Ya, mataku seketika berkaca-kaca bila melihat foto sepasang kekasih
yang berpose dengan mesra. Bukan cuma foto sepasang kekasih saja, ada banyak
foto-foto pre-wedding yang menghiasi linimasaku. Aku Cuma bisa menghela
napas ketika melihatnya. Detik itu juga aku merasa dunia ini begitu tidak adil.
Bagaimana bisa orang lain tersenyum begitu lepasnya, memamerkan kemesraan
dengan pasangannya tanpa ragu, dihadapan seorang single seperti aku? Dan kenapa sampai saat ini aku masih sendiri
tanpa pasangan menemani? Sungguh tidak adil rasanya.
Aku
meletakkan handphone disamping bantal dan mencoba memejamkan mataku, begitu
melihat waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Namun tiba-tiba ada yang
mengganggu pikiranku, entah kenapa aku jadi teringat dengan para mantan
kekasihku. Aku teringat pada mantan kekasih pertamaku ketika aku duduk di kelas
3 SMP, empat mantan kekasihku saat aku duduk di kelas 1 SMK, tiga mantan
kekasih ketika di kelas 2 SMK, dan dua orang mantan kekasihku saat duduk di
kelas 3 SMK. Juga, seorang mantan kekasih yang menjalin hubungan jarak jauh
denganku, disaat umurku 18 tahun. Dan dari sekian banyak mantan kekasihku, aku
hanya berhubungan paling lama 7 bulan. Tidak pernah lebih dari itu.
Aku tertegun
sendiri mengingatnya. Aku baru sadar, rupanya aku memiliki banyak mantan
kekasih. Itu artinya dulu aku begitu mudah jatuh cinta, mudah menerima cinta,
dan mudah pula untuk menyudahi hubungan.
Aneh. Ya,
aku merasa begitu aneh pada diriku sendiri. Aku yang dulu seperti orang yang
senang bermain-main dengan perasaan. Aku yang dulu seperti orang yang tidak
bisa memahami makna cinta yang sebenarnya. Mungkin karena dulu aku orang yang
sangat labil dan kurang memahami perasaanku sendiri.
Aku ingat
ketika usia 16 tahun, aku seringkali didekati oleh beberapa laki-laki. Jujur
saja aku merasa begitu senang dan berharap bisa memiliki mereka semua. Aku
ingat ketika itu aku menerima cinta mereka hanya karena aku ingin ada jawaban ketika
temanku bertanya ‘pacarmu anak mana?’. Dan kini aku baru sadari jika dulu aku tidak
memahami perasaanku sendiri, aku tidak benar-benar merasakan cinta itu terhadap
beberapa mantan kekasihku dulu. Aku menerima perasaan mereka hanya karena
melihat banyak temanku sudah memilki kekasih, dan aku tidak mau kalah dengan
mereka. Aku pun harus memiliki kekasih juga, tanpa memikirkan apa perasaanku
sebenarnya. Aku tidak menyadari keegoisanku itu dulu dan mengesampingkan apa
yang disebut ‘cinta’ itu. Pada akhirnya, aku hanya bisa melukai banyak orang,
melukai para mantan kekasihku yang tulus menyayangiku.
Ya, aku
jahat, egois, kekanakan, juga konyol.
Namun ada
perubahan drastis begitu aku memasuki
usia 17 tahun. Usia dimana aku perlahan mulai bisa memahami perasaanku
sendiri. Apalagi ketika aku berkenalan dengan seseorang, menjalin hubungan
dengannya, dan akhirnya dia meninggalkan aku ketika hubungan kami baru berjalan
satu bulan. Disaat itulah aku baru merasakan betapa sakitnya hatiku, betapa
sedihnya aku berpisah dengannya. Dan ketika itupun aku baru menyadari, jika ada
orang yang melukaiku begitu dalam, itu artinya dialah yang benar-benar aku
cintai.
Ya, akhirnya
karma itu datang juga.
Tidak cukup
sampai disitu, karmaku berlanjut ketika aku ditakdirkan untuk jatuh cinta
dengan seseorang yang tidak bisa aku miliki. Dialah orang yang menikam hatiku
tanpa ampun ketika umurku 18 tahun. Ketika itu aku begitu menyukainya, begitu
menaruh banyak harap padanya dan ingin dia juga merasakan hal yang sama. Namun
apa yang kudapat justru sebaliknya, dia meninggalkanku dengan begitu tega. Ya,
aku kembali dibuat sakit hati.
Ironis. Jika
mengingat beberapa tahun lalu dengan mudahnya aku mendapatkan seseorang untuk
menjadi kekasihku, dengan mudahnya aku merasa disayangi, kini aku hanya bisa
memandangi berbagai kiriman foto pasangan yang bertebaran di akun media
sosialku dengan senyum miris. Aku tidak bisa memamerkan kemesraanku dengan
pasanganku melalui media sosial seperti mereka, aku tidak bisa menunjukkan pada
dunia ‘ini lho kekasihku yang paling kucintai dan mencintaiku sepenuh hatinya’.
Jangankan untuk mendapatkan seorang kekasih, yang ada justru hatiku patah
begitu tau orang yang kusukai sudah memiliki kekasih. Jangankan untuk merasa
dicintai, yang ada justru aku terus merasa dilukai.
Dan luka itu
terasa membengkak selama dua tahun belakangan ini. Selama dua tahun semenjak
usiaku 18 tahun hingga kini sudah 20 tahun, aku merasa kisah asmaraku semakin
menyebalkan saja. Ya, menyebalkan juga menyedihkan. Tidak banyak laki-laki yang
mendekatiku seperti saat umurku 16 tahun. Tidak ada lagi jawaban untuk pertanyaan
‘pacarmu anak mana?’. Juga tidak ada lagi perasaan sesaat yang datang dan pergi
dengan mudah. Kini aku sudah bisa memahami perasaanku sendiri, aku sudah bisa
memahami apa itu simpati dan apa itu rasa sayang.
Dan selama
dua tahun terakhir ini, aku merasa begitu gagal dalam urusan asmaraku sendiri.
Ironisnya, aku mengalami kegagalan ini dengan beruntun tanpa ampun. Mulai dari
dicampakkan oleh orang yang sangat aku sayangi kala itu, dilanjut dengan
menjalin hubungan jarak jauh yang kandas tanpa sempat bertemu, dan akhirnya
kembali merasakan cinta bertepuk sebelah tangan yang menyakitkan. Kacau, aku
merasa begitu galau. Pahit, sedih, kecewa, dan begitu terluka. Karma datang
bertubi-tubi.
Ada perasaan
aneh yang mengganjal dalam hatiku, ada berbagai pertanyaan menumpuk dalam
kepalaku. Apa yang salah denganku selama ini? Apa yang menyebabkan aku mendapat
banyak luka ini? Apa karena aku yang dulu selalu meremehkan mereka yang tulus
menyayangiku? Mungkinkah karena aku dikutuk oleh mereka yang dengan sengaja
atau tidak aku sakiti hatinya? Apakah ini sebuah pertanda agar aku lebih
memahami arti cinta dan berhenti untuk bermain-main dengan hati? Juga, apakah
aku ditakdirkan mendapatkan semua karma ini agar aku bisa menjadi pribadi yang
lebih baik?
Aku tidak
yakin, namun aku merasa semua ini terjadi agar aku bisa belajar dan lebih
memahami perasaanku sendiri. Dulu aku melukai banyak orang, dan aku balik
dilukai sebagai balasannya. Dulu aku tidak benar-benar mencintai mereka yang
tulus mencintaiku, dan aku balik dicampakkan oleh dia yang benar-benar aku
cintai.
Ya, mungkin
sudah sepatutnya jika luka dibalas luka. Dan bahagia akan datang setelah luka
itu mengering. Semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar