Waktu menunjukkan
pukul 3 sore dan aku masih berkutat dengan laptopku, duduk seorang diri di
pojok kafetaria kampus dan hanya
ditemani secangkir kopi mocca yang sudah dingin. Suasana kafetaria sore itu
sudah tidak terlalu ramai, mungkin karena hari ini hari Sabtu jadi hanya
beberapa yang terlihat mondar mandir di kampus. Sedangkan aku memang ada kelas
pagi hari ini, dan harusnya aku sudah pulang semenjak pukul 11 siang tadi. Tapi
yang ada aku malah menghabiskan waktu di kafetaria hanya untuk menikmati wifi
gratis. Tadinya aku meminta Riris untuk menemaniku, tapi dia lebih memilih
pulang dengan pacarnya. Ya, dia memang tipikal teman yang sangat baik.. pada
pacarnya sendiri.
Aku menguap
lebar seraya meneguk kopiku hingga tandas. Mataku memandang sekeliling, aku
baru pernah melihat suasana kampus begini sepi. Atau mungkin di lingkungan
gedung fakultasku saja? Yang dari tadi terlihat hanya anak-anak fakultas hukum
yang gedungnya paling dekat dengan gedung fakultas bahasa.
Aku tercenung.
Tiba-tiba terlintas satu nama dalam kepalaku; Remy. Dia kan anak hukum, apakah
dia juga sedang disini sekarang? Ah, apa-apaan ini? kenapa aku jadi
mempedulikan dia sedang berada disini atau tidak? Aku menepuk dahiku sendiri
kemudian kembali menyibukkan diri dengan laptopku.
“Hei, Ol!”,
Aku terperanjat
kaget. Suara itu terdengar begitu familiar. Hanya ada satu orang di dunia ini
yang memanggilku ‘Ol’.
Aku mengangkat
kepalaku. Dan dugaanku benar.
“Oh.. hai.”,
sahutku pada orang itu. Remy Anggara.
Laki-laki
dengan senyum menawannya itupun langsung duduk disebelahku. “Sibuk, Ol?”,
tanyanya sambil menengok layar laptopku.
“Ah, engga. Cuma
lagi browsing aja.”, jawabku sekenanya. Tiba-tiba aku teringat pertemuan
terakhirku dengan Remy tempo hari. Ketika aku bertemu dengan dia juga
kekasihnya. Seketika perasaanku menjadi aneh.
“Kamu ada
kelas hari ini?”, tanyaku. Remy mengangguk.
“Iya,
jadwalnya sih malah sampe malam. Tapi ternyata Cuma sampai jam segini aja. Kena
PHP dosen lagi deh.”, jawabnya sambil tersenyum simpul.
“Oh..”
“Kamu pulang
naik apa Ol?”
Aku sedikit
tersentak mendengarnya. Kenapa dia bertanya seperti itu? Apa jangan-jangan
dia..
“Naik bus
paling.”, jawabku. “Motorku lagi masuk bengkel, lagi servis.”
“Oh kalau
gitu bareng aku aja pulangnya. Kebetulan aku mau ke daerah komplek kostmu itu.”,
katanya dengan wajah sumringah.
Aku mendadak
bingung hendak merespon apa. Apakah aku harus menerima ajakannya? Atau aku
tolak saja?
“Mau ngga? Ya
terserah aja sih, tapi kalau menurut aku mending sama aku aja daripada harus
naik bus sore-sore gini yang jamnya macet, mana berdesakan, panas pula.”
“Eeng..”,
aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal. “Ya udah deh.”
Remy tersenyum
lebar.
*
“Nih.”, Remy
menawarkan jaketnya untuk aku kenakan. Aku yang dalam kondisi sedikit menggigil
menggeleng pelan.
“Ngga usah,
Rem. Pake kamu aja.”, tolakku halus.
Mataku memandang
langit yang mulai gelap. Entah bagaimana ceritanya, saat diperjalanan tiba-tiba
hujan turun dengan derasnya. Aku dan Remy pun memutuskan untuk berteduh di
emperan toko. Hanya aku dan Remy yang berteduh disana. Dan suasana canggung
tentu saja seketika menyeruak.
Tiba-tiba
Remy mendekat dan mengenakan jaketnya padaku. Aku tercengang.
“Harusnya
tadi kamu bawa jaket dari rumah. Mana tau kan kalau bakal hujan tiba-tiba
begini.”, kata Remy masih dengan senyumnya yang menawan.
Aku tidak
menyahut. Pikiranku kembali pada kejadian tempo hari, hari dimana aku bertemu
Remy dan kekasihnya. Saat itu sore hari dan juga tengah hujan deras.
Aku meringis
mengingatnya. Kenapa bisa seperti itu? Kenapa aku ditakdirkan untuk bertemu
Remy dalam suasana seperti ini? Apakah ini merupakan sebuah pertanda? Tapi pertanda
apa? Pertanda untuk melupakan dan mengenyahkan namanya dari hatiku?
“Ol..”,
panggil Remy pelan, membuyarkan lamunanku.
“H-hah? Apa Rem?”
“Can I ask you something?”
Aku mengangkat
alisku. “Mau tanya soal apa?”
“Tapi
kayaknya mendingan kita kesitu dulu deh, kayaknya ada warung kopi tuh. Nggak enak
kali ngobrol disini. Mana dingin.”, tunjuk Remy pada sebuah warung yang berada
diseberang toko.
Aku mengangguk,
“Ya udah.”
Dengan menggunakan
jaket Remy yang dijadikan payung dadakan, aku berjalan beriringan dengan Remy. Dan
entah kenapa, jantungku ini berdebar dengan kencangnya.
“Tadi kamu
mau ngomongin soal apa?”, tanyaku begitu pelayan mengantar pesanan kopi dan kue
kami.
“Ah iya,”,
Remy membetulkan posisi tempat duduknya. “Sebenarnya aku udah mau nanyain ini
sejak lama sama kamu.”
“Nanyain
soal apa?”
Remy menghela
napas pendek, “Sebenarnya kamu lagi kenapa sih, Ol?”
Aku
mengerutkan dahiku, “Kenapa apanya? Aku baik-baik aja.”.
“Tapi
menurutku enggak begitu.”
“Emangnya
aku terlihat gimana?”
“Kamu kayak
lagi galau. Bener?”
Aku tersentak.
Kenapa dia bisa tau?
“Aku sering
baca status galaumu di timeline Twitter belakangan ini. Di PM BBM juga begitu. Apa
ada seseorang yang melukai hati kamu?”, tanya Remy dengan begitu tepatnya.
Iya, itu kamu. Jawabku dalam hati.
Aku berusaha
menjawab dengan tenang, “Engga kok, aku baik-baik aja. Tulisan galau itu Cuma iseng-iseng
belaka. Tau sendiri kan aku anak bahasa, ya merupakan hal yang wajar kalau aku
suka ngerangkai kata-kata.”, jawabku.
Mimik wajah
Remy berubah, dia seperti tidak mempercayai jawabanku.
“Ol, kalau
ada cewek ditanya ‘kenapa?’ dan dijawab ‘nggak apa-apa’ berarti memang ada
apa-apa.”
“Loh,
nyatanya aku memang nggak apa-apa Rem. Aku Cuma iseng doang.”
“Iseng?”, kali
ini Remy memandangku lebih dekat. “Kamu nggak keliatan begitu.”
Aku mengibaskan
tangan didepan wajah Remy, “Udahlah Rem, aku tuh nggak apa-apa. Serius.”
“Ayolah Ol,
katakan yang sebenarnya. Siapa tau aku bisa membantu kamu.”
Aku menghela
napas pendek, “Kenapa kamu begitu peduli? Memangnya kalau aku beneran kenapa-kenapa,
apa itu mengganggu kamu?”, tanyaku tajam.
Remy mengangguk,
“Aku teman kamu, Ol. Wajar kan kalau aku peduli dengan temanku? Tapi ya kalau
kamu nggak mau cerita, oke, aku hargai privasi kamu.”, ucap Remy tenang seraya
meneguk kopinya.
Aku terdiam.
Ada pertentangan dalam hati dan pikiranku. Hatiku seolah memaksa agar aku
mengatakan semuanya pada Remy. Tapi aku berpikir jika aku mengatakannya, apa
akan merubah keadaan? Kurasa tidak.
Mataku memandang
keluar. Hujan masih deras dan aku rasa waktuku masih panjang di warung kopi
ini. Kuteguk teh hangatku perlahan sambil terus menimang nimang apakah aku
harus menceritakan semua kerisauanku selama ini pada Remy atau tidak. Apa bukan
hal yang salah jika aku mengakui tentang perasaanku padanya?
Remy tidak
bertanya lagi, dia kini sibuk dengan handphonenya. Suasana menjadi canggung
kembali. Aku menggigit bibir bawahku. Mungkin harusnya aku katakan saja.
Aku menarik
napas panjang, menghembuskannya perlahan. “Rem..”
Remy mengalihkan
pandangannya dari layar handphone kearahku. “Ya, Ol?”
“Aku mau
jujur satu hal sama kamu. Aku tau mungkin yang mau aku katakan ini nggak bakal
berpengaruh apapun, tapi aku Cuma ingin kamu tau tentang apa yang aku pendam
selama ini.”, ucapku dengan nada sedikit bergetar karena gugup.
“Oh, tentang
apa?”
Aku kembali
menghela napas, “Ya, kamu bener. Ada seseorang yang melukai hati aku.”
Remy tercengang.
“Apa aku boleh tau siapa dia?”, tanyanya penuh antusias.
“Dia.. teman
kuliah aku. Kami kuliah di kampus yang sama namun di fakultas berbeda. Meski begitu
kami sering bertemu karena gedung fakultas kami berdekatan.”, jawabku dengan
tenang. Remy terlihat memperhatikan ceritaku.
“Apa dia
orang yang aku kenal?”, tanya Remy lagi. Aku mengangguk.
“Iya, kamu
sangat mengenalinya.”
“Apa dia
tampan?”
Aku menahan
tawaku, “Iya, tampan sekali.”
“Apa dia
seorang mangaka?”
Aku sedikit
tersentak.
“H-hah..”
“Apa dia
adalah aku?”
Aku terperanjat
kaget. Seketika aku merasa ada ratusan bunyi petasan dibelakangku.
“Apa aku
benar?”, tanya Remy, kali ini dengan mimik wajah serius.
Aku bergeming.
Entah kenapa rasanya bibir ini terkunci, seolah tak sanggup berkata apa-apa
lagi. Siapa Remy itu? Apa dia seorang paranormal?
“Kenapa kamu
bisa berpikiran begitu?”, tanyaku setelah sekian menit hanya bisa terperangah.
Remy tersenyum
tipis, “Aku nggak berpikir, tapi aku merasa. Jadi aku benar?”
Dia merasa? Jadi
selama ini dia tau jika aku menyukainya? Tapi kenapa dia malah..
“Ol..”
Aku mengangguk
pelan. “Iya, kamu benar.”
“Kenapa kamu
nggak pernah bilang?”
“Kalaupun aku
bilang, apa kamu bisa menerima perasaanku ini?”, aku kembali menghela napas
panjang.
“Aku udah
lama suka sama kamu Rem. Aku terlalu nyaman sama kamu sampai aku berharap
terlalu tinggi kamu bisa merasakan hal yang sama. Tapi nyatanya aku keliru, aku
rasa selama ini kamu Cuma menganggap aku teman biasa.”, ungkapku tanpa ragu.
Remy memandangku
dengan nanar. “Tapi kenapa? Kenapa kamu bisa suka sama aku?”
“Kenapa ya? Aku
juga nggak tau pasti. Aku Cuma merasa kamu begitu spesial.”, jawabku dengan
senyum yang sedikit dipaksakan. “Tapi yang bikin aku nggak nyangka, kenapa
disaat kamu udah tau tentang perasaanku, kamu malah jadian sama orang lain? Apa
kamu sengaja melakukan itu biar aku nggak mengharapkan kamu lagi?”
Remy tersentak
mendengar pertanyaanku. “Maaf, Ol. Bukannya bermaksud menyakiti kamu, tapi aku memang
nggak punya perasaan lebih buat kamu.”
Aku mendengus,
“Iya aku tau. Udah keliatan jelas.”
“Tapi aku
respect sama kamu, Ol. Aku harap kita bisa tetap jadi teman baik ya.”, Remy
menggenggam tanganku, dan seketika aku merasa hangat.
Aku tersenyum
tipis, “Iya. Kita bakal jadi temen baik sampai kapanpun.”
Tepat di
detik itu, air mataku menetes perlahan. Entah kenapa, perasaan sakit itu seolah
kambuh lagi.
Terlihat diluar
hujan mulai reda seakan menunjukkan empatinya padaku. Ya, seolah memintaku
untuk menghentikan derai air mataku dan segera mengeringkannya. Sebuah pertanda
jika aku harus mengobati luka dan menata hatiku kembali. Dan sore ini, aku telah
diberi kesempatan untuk mengungkapkan segala risau yang ada, membuang segala
sakit yang kurasa. Bersama hujan yang turun dengan derasnya.
*
“Ol..”,
panggil Remy begitu kami keluar dari warung kopi itu.
“Hm?”
“Maaf ya
kalau aku menyakiti hati kamu.”
Aku menepuk
bahunya pelan, “Udahlah, lupain aja.”
“Kamu
berhati besar, Ol.”
“Ah, enggak.
Aku nggak sekuat yang kamu pikirkan. Ini aja aku lagi nahan biar ngga nangis.”,
ucapku dengan nada bercanda.
Remy menggeleng
keras. “Plis jangan nangis Ol. Kamu cewek yang kuat, kayak Chitoge Kirisaki.”
“Dan kamu
cowok yang begitu pengertian, kayak Raku Ichijou.”
Remy tertawa
pelan. “Iya, aku kayak Raku. Eh, bukan. Aku kayak Al Gazali.”
Aku menepuk
bahu Remy, kali ini lebih keras. “Dih!”
Kami pun tertawa
serempak, kemudian berjalan meninggalkan warung kopi yang menjadi saksi bisu
pengakuan perasaanku pada Remy sore itu. Dan jujur saja, meski tidak merubah
apapun, aku merasa begitu lega setelah mengatakannya.
“Rem..”,
panggilku sebelum Remy menyalakan mesih motornya. Dia menoleh.
“Kenapa?”
“Terimakasih.”
Remy tercenung,
“Terimakasih buat apa, Ol?”
Aku tersenyum
tipis, “Terimakasih karena udah pernah menjadi orang yang begitu spesial buat
aku. Dan maaf juga kalau selama ini aku menyusahkan kamu dengan sikapku yang
kekanakan.”, ucapku tulus.
Remy tidak
menyahut, dia hanya menggenggam tanganku erat. Memasang senyum menawannya untuk
kesekian kali. Namun kali ini senyumnya seolah mengisyaratkan agar aku tak perlu lagi merasa terpesona padanya.
Perasaanku kini
padanya, sudah benar-benar berakhir. Bersamaan dengan redanya hujan sore ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar