Rabu, 08 Oktober 2014

Terimakasih, Kamu



Waktu menunjukkan pukul 3 sore dan aku masih berkutat dengan laptopku, duduk seorang diri di pojok kafetaria  kampus dan hanya ditemani secangkir kopi mocca yang sudah dingin. Suasana kafetaria sore itu sudah tidak terlalu ramai, mungkin karena hari ini hari Sabtu jadi hanya beberapa yang terlihat mondar mandir di kampus. Sedangkan aku memang ada kelas pagi hari ini, dan harusnya aku sudah pulang semenjak pukul 11 siang tadi. Tapi yang ada aku malah menghabiskan waktu di kafetaria hanya untuk menikmati wifi gratis. Tadinya aku meminta Riris untuk menemaniku, tapi dia lebih memilih pulang dengan pacarnya. Ya, dia memang tipikal teman yang sangat baik.. pada pacarnya sendiri.
Aku menguap lebar seraya meneguk kopiku hingga tandas. Mataku memandang sekeliling, aku baru pernah melihat suasana kampus begini sepi. Atau mungkin di lingkungan gedung fakultasku saja? Yang dari tadi terlihat hanya anak-anak fakultas hukum yang gedungnya paling dekat dengan gedung fakultas bahasa.
Aku tercenung. Tiba-tiba terlintas satu nama dalam kepalaku; Remy. Dia kan anak hukum, apakah dia juga sedang disini sekarang? Ah, apa-apaan ini? kenapa aku jadi mempedulikan dia sedang berada disini atau tidak? Aku menepuk dahiku sendiri kemudian kembali menyibukkan diri dengan laptopku.
“Hei, Ol!”,
Aku terperanjat kaget. Suara itu terdengar begitu familiar. Hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilku ‘Ol’.
Aku mengangkat kepalaku. Dan dugaanku benar.
“Oh.. hai.”, sahutku pada orang itu. Remy Anggara.
Laki-laki dengan senyum menawannya itupun langsung duduk disebelahku. “Sibuk, Ol?”, tanyanya sambil menengok layar laptopku.
“Ah, engga. Cuma lagi browsing aja.”, jawabku sekenanya. Tiba-tiba aku teringat pertemuan terakhirku dengan Remy tempo hari. Ketika aku bertemu dengan dia juga kekasihnya. Seketika perasaanku menjadi aneh.
“Kamu ada kelas hari ini?”, tanyaku. Remy mengangguk.
“Iya, jadwalnya sih malah sampe malam. Tapi ternyata Cuma sampai jam segini aja. Kena PHP dosen lagi deh.”, jawabnya sambil tersenyum simpul.
“Oh..”
“Kamu pulang naik apa Ol?”
Aku sedikit tersentak mendengarnya. Kenapa dia bertanya seperti itu? Apa jangan-jangan dia..
“Naik bus paling.”, jawabku. “Motorku lagi masuk bengkel, lagi servis.”
“Oh kalau gitu bareng aku aja pulangnya. Kebetulan aku mau ke daerah komplek kostmu itu.”, katanya dengan wajah sumringah.
Aku mendadak bingung hendak merespon apa. Apakah aku harus menerima ajakannya? Atau aku tolak saja?
“Mau ngga? Ya terserah aja sih, tapi kalau menurut aku mending sama aku aja daripada harus naik bus sore-sore gini yang jamnya macet, mana berdesakan, panas pula.”
“Eeng..”, aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal. “Ya udah deh.”
Remy tersenyum lebar.
*
“Nih.”, Remy menawarkan jaketnya untuk aku kenakan. Aku yang dalam kondisi sedikit menggigil menggeleng pelan.
“Ngga usah, Rem. Pake kamu aja.”, tolakku halus.
Mataku memandang langit yang mulai gelap. Entah bagaimana ceritanya, saat diperjalanan tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aku dan Remy pun memutuskan untuk berteduh di emperan toko. Hanya aku dan Remy yang berteduh disana. Dan suasana canggung tentu saja seketika menyeruak.
Tiba-tiba Remy mendekat dan mengenakan jaketnya padaku. Aku tercengang.
“Harusnya tadi kamu bawa jaket dari rumah. Mana tau kan kalau bakal hujan tiba-tiba begini.”, kata Remy masih dengan senyumnya yang menawan.
Aku tidak menyahut. Pikiranku kembali pada kejadian tempo hari, hari dimana aku bertemu Remy dan kekasihnya. Saat itu sore hari dan juga tengah hujan deras.
Aku meringis mengingatnya. Kenapa bisa seperti itu? Kenapa aku ditakdirkan untuk bertemu Remy dalam suasana seperti ini? Apakah ini merupakan sebuah pertanda? Tapi pertanda apa? Pertanda untuk melupakan dan mengenyahkan namanya dari hatiku?
“Ol..”, panggil Remy pelan, membuyarkan lamunanku.
“H-hah? Apa Rem?”
Can I ask you something?”
Aku mengangkat alisku. “Mau tanya soal apa?”
“Tapi kayaknya mendingan kita kesitu dulu deh, kayaknya ada warung kopi tuh. Nggak enak kali ngobrol disini. Mana dingin.”, tunjuk Remy pada sebuah warung yang berada diseberang toko.
Aku mengangguk, “Ya udah.”
Dengan menggunakan jaket Remy yang dijadikan payung dadakan, aku berjalan beriringan dengan Remy. Dan entah kenapa, jantungku ini berdebar dengan kencangnya.

“Tadi kamu mau ngomongin soal apa?”, tanyaku begitu pelayan mengantar pesanan kopi dan kue kami.
“Ah iya,”, Remy membetulkan posisi tempat duduknya. “Sebenarnya aku udah mau nanyain ini sejak lama sama kamu.”
“Nanyain soal apa?”
Remy menghela napas pendek, “Sebenarnya kamu lagi kenapa sih, Ol?”
Aku mengerutkan dahiku, “Kenapa apanya? Aku baik-baik aja.”.
“Tapi menurutku enggak begitu.”
“Emangnya aku terlihat gimana?”
“Kamu kayak lagi galau. Bener?”
Aku tersentak. Kenapa dia bisa tau?
“Aku sering baca status galaumu di timeline Twitter belakangan ini. Di PM BBM juga begitu. Apa ada seseorang yang melukai hati kamu?”, tanya Remy dengan begitu tepatnya.
Iya, itu kamu. Jawabku dalam hati.
Aku berusaha menjawab dengan tenang, “Engga kok, aku baik-baik aja. Tulisan galau itu Cuma iseng-iseng belaka. Tau sendiri kan aku anak bahasa, ya merupakan hal yang wajar kalau aku suka ngerangkai kata-kata.”, jawabku.
Mimik wajah Remy berubah, dia seperti tidak mempercayai jawabanku.
“Ol, kalau ada cewek ditanya ‘kenapa?’ dan dijawab ‘nggak apa-apa’ berarti memang ada apa-apa.”
“Loh, nyatanya aku memang nggak apa-apa Rem. Aku Cuma iseng doang.”
“Iseng?”, kali ini Remy memandangku lebih dekat. “Kamu nggak keliatan begitu.”
Aku mengibaskan tangan didepan wajah Remy, “Udahlah Rem, aku tuh nggak apa-apa. Serius.”
“Ayolah Ol, katakan yang sebenarnya. Siapa tau aku bisa membantu kamu.”
Aku menghela napas pendek, “Kenapa kamu begitu peduli? Memangnya kalau aku beneran kenapa-kenapa, apa itu mengganggu kamu?”, tanyaku tajam.
Remy mengangguk, “Aku teman kamu, Ol. Wajar kan kalau aku peduli dengan temanku? Tapi ya kalau kamu nggak mau cerita, oke, aku hargai privasi kamu.”, ucap Remy tenang seraya meneguk kopinya.
Aku terdiam. Ada pertentangan dalam hati dan pikiranku. Hatiku seolah memaksa agar aku mengatakan semuanya pada Remy. Tapi aku berpikir jika aku mengatakannya, apa akan merubah keadaan? Kurasa tidak.
Mataku memandang keluar. Hujan masih deras dan aku rasa waktuku masih panjang di warung kopi ini. Kuteguk teh hangatku perlahan sambil terus menimang nimang apakah aku harus menceritakan semua kerisauanku selama ini pada Remy atau tidak. Apa bukan hal yang salah jika aku mengakui tentang perasaanku padanya?
Remy tidak bertanya lagi, dia kini sibuk dengan handphonenya. Suasana menjadi canggung kembali. Aku menggigit bibir bawahku. Mungkin harusnya aku katakan saja.
Aku menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. “Rem..”
Remy mengalihkan pandangannya dari layar handphone kearahku. “Ya, Ol?”
“Aku mau jujur satu hal sama kamu. Aku tau mungkin yang mau aku katakan ini nggak bakal berpengaruh apapun, tapi aku Cuma ingin kamu tau tentang apa yang aku pendam selama ini.”, ucapku dengan nada sedikit bergetar karena gugup.
“Oh, tentang apa?”
Aku kembali menghela napas, “Ya, kamu bener. Ada seseorang yang melukai hati aku.”
Remy tercengang. “Apa aku boleh tau siapa dia?”, tanyanya penuh antusias.
“Dia.. teman kuliah aku. Kami kuliah di kampus yang sama namun di fakultas berbeda. Meski begitu kami sering bertemu karena gedung fakultas kami berdekatan.”, jawabku dengan tenang. Remy terlihat memperhatikan ceritaku.
“Apa dia orang yang aku kenal?”, tanya Remy lagi. Aku mengangguk.
“Iya, kamu sangat mengenalinya.”
“Apa dia tampan?”
Aku menahan tawaku, “Iya, tampan sekali.”
“Apa dia seorang mangaka?”
Aku sedikit tersentak.
“H-hah..”
“Apa dia adalah aku?”
Aku terperanjat kaget. Seketika aku merasa ada ratusan bunyi petasan dibelakangku.
“Apa aku benar?”, tanya Remy, kali ini dengan mimik wajah serius.
Aku bergeming. Entah kenapa rasanya bibir ini terkunci, seolah tak sanggup berkata apa-apa lagi. Siapa Remy itu? Apa dia seorang paranormal?
“Kenapa kamu bisa berpikiran begitu?”, tanyaku setelah sekian menit hanya bisa terperangah.
Remy tersenyum tipis, “Aku nggak berpikir, tapi aku merasa. Jadi aku benar?”
Dia merasa? Jadi selama ini dia tau jika aku menyukainya? Tapi kenapa dia malah..
“Ol..”
Aku mengangguk pelan. “Iya, kamu benar.”
“Kenapa kamu nggak pernah bilang?”
“Kalaupun aku bilang, apa kamu bisa menerima perasaanku ini?”, aku kembali menghela napas panjang.
“Aku udah lama suka sama kamu Rem. Aku terlalu nyaman sama kamu sampai aku berharap terlalu tinggi kamu bisa merasakan hal yang sama. Tapi nyatanya aku keliru, aku rasa selama ini kamu Cuma menganggap aku teman biasa.”, ungkapku tanpa ragu.
Remy memandangku dengan nanar. “Tapi kenapa? Kenapa kamu bisa suka sama aku?”
“Kenapa ya? Aku juga nggak tau pasti. Aku Cuma merasa kamu begitu spesial.”, jawabku dengan senyum yang sedikit dipaksakan. “Tapi yang bikin aku nggak nyangka, kenapa disaat kamu udah tau tentang perasaanku, kamu malah jadian sama orang lain? Apa kamu sengaja melakukan itu biar aku nggak mengharapkan kamu lagi?”
Remy tersentak mendengar pertanyaanku. “Maaf, Ol. Bukannya bermaksud menyakiti kamu, tapi aku memang nggak punya perasaan lebih buat kamu.”
Aku mendengus, “Iya aku tau. Udah keliatan jelas.”
“Tapi aku respect sama kamu, Ol. Aku harap kita bisa tetap jadi teman baik ya.”, Remy menggenggam tanganku, dan seketika aku merasa hangat.
Aku tersenyum tipis, “Iya. Kita bakal jadi temen baik sampai kapanpun.”
Tepat di detik itu, air mataku menetes perlahan. Entah kenapa, perasaan sakit itu seolah kambuh lagi.
Terlihat diluar hujan mulai reda seakan menunjukkan empatinya padaku. Ya, seolah memintaku untuk menghentikan derai air mataku dan segera mengeringkannya. Sebuah pertanda jika aku harus mengobati luka dan menata hatiku kembali. Dan sore ini, aku telah diberi kesempatan untuk mengungkapkan segala risau yang ada, membuang segala sakit yang kurasa. Bersama hujan yang turun dengan derasnya.
*
“Ol..”, panggil Remy begitu kami keluar dari warung kopi itu.
“Hm?”
“Maaf ya kalau aku menyakiti hati kamu.”
Aku menepuk bahunya pelan, “Udahlah, lupain aja.”
“Kamu berhati besar, Ol.”
“Ah, enggak. Aku nggak sekuat yang kamu pikirkan. Ini aja aku lagi nahan biar ngga nangis.”, ucapku dengan nada bercanda.
Remy menggeleng keras. “Plis jangan nangis Ol. Kamu cewek yang kuat, kayak Chitoge Kirisaki.”
“Dan kamu cowok yang begitu pengertian, kayak Raku Ichijou.”
Remy tertawa pelan. “Iya, aku kayak Raku. Eh, bukan. Aku kayak Al Gazali.”
Aku menepuk bahu Remy, kali ini lebih keras. “Dih!”
Kami pun tertawa serempak, kemudian berjalan meninggalkan warung kopi yang menjadi saksi bisu pengakuan perasaanku pada Remy sore itu. Dan jujur saja, meski tidak merubah apapun, aku merasa begitu lega setelah mengatakannya.

“Rem..”, panggilku sebelum Remy menyalakan mesih motornya. Dia menoleh.
“Kenapa?”
“Terimakasih.”
Remy tercenung, “Terimakasih buat apa, Ol?”
Aku tersenyum tipis, “Terimakasih karena udah pernah menjadi orang yang begitu spesial buat aku. Dan maaf juga kalau selama ini aku menyusahkan kamu dengan sikapku yang kekanakan.”, ucapku tulus.
Remy tidak menyahut, dia hanya menggenggam tanganku erat. Memasang senyum menawannya untuk kesekian kali. Namun kali ini senyumnya seolah mengisyaratkan agar aku  tak perlu lagi merasa terpesona padanya.
Perasaanku kini padanya, sudah benar-benar berakhir. Bersamaan dengan redanya hujan sore ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar