Minggu, 30 November 2014

Sekali Lagi



Oke. Jadi harus bagaimana sekarang?
Aku kembali melirik handphone yang tergeletak di atas meja belajarku. Belum ada notifikasi yang masuk kembali. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan yang gemetaran. Jantungku berdebar dengan kencangnya, keringat dingin mulai membasahi dahiku. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa hal sesepele itu mampu membuatku panik setengah mati begini?
Sepuluh menit yang lalu, sebuah pesan singkat muncul di layar handphone mengejutkanku.

‘Jalan, yuk!’

Dari Irham.
Hanya seperti itu. Singkat, namun seketika berhasil membuatku kelabakan. Awalnya aku kira dia salah mengirim pesan, tapi ternyata tidak. pesan itu memang tertuju untukku.
Aku pun membalas dengan hati berdebar.

‘Ayo.’

Balasanku tak kalah singkat. Aku coba mengatur napas menantikan balasan selanjutnya. Eh, tunggu. Kenapa aku dengan mudahnya mengiyakan ajakannya? Kenapa aku bisa semudah itu?
TUNG!! Akhirnya sebuah balasan pun datang.

‘Tapi udah jam segini? Nggak apa-apa?’

Aku tercenung. Apa maksudnya dengan ‘jam segini’? Sekarang kan baru pukul setengah delapan malam. Aku pun membalas sambil mengerutkan dahi.

‘Loh, belum juga jam 8.’

Setelah aku membalas seperti itu, belum ada balasan lagi dari Irham. Berkali-kali kulihat handphone dan tidak ada notifikasi apapun disana. Ke mana orang itu? Apa dia sebenarnya sedang mengajakku bercanda? Yang benar saja, setelah dia membuatku kelabakan seperti ini dia kemudian pergi begitu saja?
Tanganku masih gemetaran, jantungku pun masih berdebar kencang. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sebisa mungkin aku harus menahan perasaan ini, aku tidak mau jika aku terlalu jauh menaruh harapan padanya lagi. Irham seringkali seperti ini, membuatku melambung kemudian menjatuhkanku seenaknya. Apa akan terjadi seperti itu lagi? Jika iya, mungkin karena dia yang hanya mencoba mengajakku bercanda. Tunggu, bukankah hal itu akan membuatku kembali menelan kecewa? Tapi kupikir lagi, kalaupun akhirnya aku kecewa, penyebabnya mungkin karena aku yang terlalu bersemangat menanggapinya.
Tapi sejujurnya, aku sangat menginginkan pertemuan ini. Karena di dalam hatiku, aku masih begitu merindukannya.
Aku kembali melihat handphoneku, dan masih tak ada notifikasi apapun. Aku tersenyum miris, mungkin dia sedang iseng saja. Ya sudahlah, aku tidak perlu menanggainya lagi jika nanti dia membalas kembali.

Dan kini, setelah duapuluh menit berlalu, tak ada balasan lagi. Aku pun memutuskan untuk tidur.
*
Keesokan harinya di kafetaria kampus.
Riris mengembalikan handphoneku sambil tertawa mengejek. “Makanya La, jangan kegeeran dulu. Siapa tau dia salah kirim pesan.”
Aku mengangkat bahu, “Iya kali. Atau dia mungkin Cuma lagi ngajakin bercanda.”
Riris tertawa lagi, “Baru dikirim pesan begitu aja udah kegirangan, gimana kalau dia beneran muncul tepat di depan mata kamu. Bisa pingsan kali.”
Aku mendengus, “Nggak bakal gitu juga kali. Aku Cuma kaget aja dapet pesan begitu dari dia. Tau sendiri kan dia hobinya muncul tiba-tiba terus ngilang gitu aja.”
“Nah, kamu kan udah tau sifatnya dia gimana, ya harusnya jangan dianggap serius dong, La. Gampang banget dikadalin sih kamunya, terlalu baper pula.”
“Baper?”, aku mengangkat alisku.
“Bawa perasaan.”, Riris meneguk colanya. “Lain kali jangan gampang kegirangan dulu, santai aja nanggepinnya. Atau bagusnya sih mencing cuekin aja.”
“Penginnya sih gitu Ris, tapi kok aku.. nggak bisa ya?”
Riris menggeleng, “Bukan nggak bisa, La. Lebih tepatnya kamu nggak mau nyuekin dia. Selama ini bukannya kamu udah berusaha nyuekin dia dan berhasil kan? Tapi belakangan kamu jadi mikirin dia lagi, mulai mau nanggepin pesan dari dia, dan ngerasa nggak tega kalau nyuekin. Semacam kamu nggak mau kehilangan kesempatan buat komunikasi sama dia lagi setelah sekian lama kalian lost contact. Bener nggak analisis aku?”
Aku sadar jika mulutku menganga sepanjang Riris berceloteh, “Ternyata kamu segitu pedulinya sama aku ya sampai tau persis apa yang sebenarnya aku rasain.”, kataku sedikit takjub sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lebih tepatnya, aku menduga kalau sebenarnya Riris ini adalah seorang cenayang.
“Lah, sikap kamu tuh gampang ditebak La. Dari dulu juga selalu begitu, nggak pernah berubah sedikitpun.”
Aku mengangguk, “Iya juga ya, aku emang dari dulu nggak pernah berubah.”
“Makanya berubah dong!”
“Jadi apa? Jadi Sailormoon?”
*
Sebuah pesan muncul di layar handphoneku ketika aku tengah fokus mendengarkan dosen mengajar.

‘Udah pulang kuliah?’

Irham. Dia lagi. Ulang sekali lagi, IRHAM LAGI!

‘Belum. Ada apa?’ balasku dengan sedikit berdebar. Seperti biasa.

Tak lama dia membalas ‘Aku barusan lewat di depan kampusmu.’

Hah? Dia barusan lewat di depan kampus? Memangnya dia dari mana? Bukannya tempat kerjanya bukan di daerah sini?

‘Ooh.’ Entah kenapa Cuma itu yang aku ketik di layar handphoneku, bukan menanyakan dia baru dari mana. Padahal di dalam hati aku begitu penasaran.

‘Kamu pulang jam berapa?’

‘Jam dua. Kenapa?’

‘Aku jemput ya.’

Oke. Aku benar-benar gemetaran sekarang. Jantungku berdebar lebih kencang dari sebelumnya.
Aku menoleh Riris yang duduk di sebelahku, kebetulan mata Riris tengah memandang kearahku. Sepertinya dia memperhatikan aku yang sibuk dengan handphone.
“Siapa?”, tanya Riris dengan berbisik.
“Irham Ris, dia katanya mau jemput aku. Gimana dong?”
“Hah?!”, pekik Riris pelan seraya melirik dosen. “Seriusan?”
Aku menunjukkan pesan yang Irham kirim pada Riris. “Sumpah aku gugup Ris. Aku mesti balas apa?”
“Jangan kegeeran dulu, siapa tau dia Cuma iseng aja kayak kemarin.”
Benar juga, mungkin dia Cuma iseng. Tapi bagaimana kalau beneran? Aku pun membalas pesan Irham.

‘Oke.’

Aku menghela napas pendek. Apakah hal yang benar aku membalas seperti itu? Bagaimana kalau ternyata Irham Cuma main-main dan tidak serius dengan ucapannya? Baiklah, mau tak mau aku harus berjudi. Kalaupun dia serius, berarti hari ini akan jadi hari keberuntunganku. Tapi kalau tidak..
Pluk! Sebuah kertas mendarat di mejaku. Riris.
“Kamu balas apa?”, tanya Riris, masih dengan berbisik.
“Aku balas ‘Oke’”, jawabku.
“Bego!!”, pekik Riris lantang. Selepas itu terdengar suara jangkrik. Krik.. Krik.. Krik.
Kontan saja seisi kelas menoleh Riris dengan serempak termasuk dosen. Riris spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya merah padam.
“Siapa yang kamu bilang ‘bego’ Marissa?”, tanya dosen sambil memandang Riris tajam.
Riris menggeleng kaku, “B-bukan siapa-siapa, Pak. He. He.”
Aku menepuk dahiku sendiri. Dan jujur saja aku sedikit merasa bersalah pada Riris.
*
Beberapa hari ini aku jarang mengendarai motor karena berbagai hal, salah satunya hujan yang terus mengguyur dalam dua bulan belakangan. Seringkali aku menebeng mobil Aldi, pacar Riris yang dengan baik hati bersedia menerima tumpangan. Tapi sudah dua hari ini aku lebih memilih naik bus, lama kelamaan tidak enak juga sama Aldi.
Dan hari ini, Irham akan menjemputku. Katanya.
Kita memang tidak pernah tau dengan rencana yang sudah digariskan Tuhan. Ya, beruntung aku tidak sedang membawa kendaraan sendiri, sudah pasti aku menerima tawaran dari orang yang begitu aku rindukan itu. Tapi yang aku khawatirkan sekarang adalah tentang keseriusan ucapannya. Apakah dia bersungguh-sungguh ingin menjemputku di kampus?
Jujur saja aku sudah terlanjur kegirangan dan menerima tawarannya. Tapi di sisi lain aku sedikit takut jika dia tidak jadi menjemputku nanti. Aku takut jika harus menelan kecewa kembali.
Ah, lihat saja nanti. Semoga ketakutanku tidak terjadi.

“Yakin nih kamu mau nungguin Irham?”, tanya Riris begitu kami berjalan menuju parkiran.
Aku mengangguk. “Ya seenggaknya aku mencoba membuktikan ucapannya dia aja sih. Kalau dia beneran datang ya baguslah.”
“Tapi kalau enggak?”
Aku mengangkat bahu. “Tau deh, mungkin aku bakal cuekin dia seumur hidup.”, ucapku sekenanya.
Riris mengacungkan telunjuknya di depan hidungku, “Beneran? Cuekin seumur hidup?”
Aku tersentak, “Y-ya.. eng-enggak...”
“Aku pegang kata-katamu ya! Kalau Irham nggak jadi datang, kamu harus cuekin dia seumur hidup!”
“T-tap..”
“Seorang wanita nggak akan menjilat ludahnya sendiri, Olla Mikhaila!”, ucap Riris tegas seraya membuka pintu mobil Aldi.
Aldi yang tidak mengerti topik pembicaraan hanya tercenung melihat aku dan Riris.
“Kenapa Yang?”, tanya Aldi pada Riris.
“Bukan apa-apa, Cintaku. Ayok pulang!”
“Olla gak ikut?”, Aldi menoleh kearahku.
Aku menggeleng pelan, “Enggak, kalian duluan aja.”
*
Lima menit berlalu setelah aku mengirimkan pesan pada Irham jika aku sudah keluar dari kelas dan tengah menunggu di halte kampus. Sepuluh menit berlalu, belum juga ada balasan dari orang itu, dan aku mulai cemas sekarang. Aku menyandarkan punggungku pada bangku halte, mataku terpejam. Dalam diam aku berdoa agar Irham segera datang, atau paling tidak membalas pesanku dengan mengatakan ‘Iya, aku sedang dalam perjalan’.
Tapi kemudian aku merasa ada sesuatu yang salah. Aku baru menyadari jika semalam Irham tak serius dengan ucapannya yang mengajakku jalan. Lalu kenapa aku kembali menerima tawarannya kali ini? Bukankah itu terdengar begitu tolol? Kenapa aku tidak bisa belajar dari pengalaman? Yang kulakukan hanyalah mengikuti egoku sendiri, dan biasanya berakhir dengan kekecewaan.
Ada sisi lain dari hatiku yang menjawab argumen logikaku barusan. Oke, setidaknya aku mencoba untuk kembali menjalin hubungan baik dengannya setelah lama tidak ada kontak apapun. Aku tidak lagi mengabaikannya seperti beberapa bulan lalu. Jika dia tidak benar-benar serius dengan ucapannya, mau tidak mau aku harus menerimanya. Karena sudah dari awal aku percaya padanya, sudah dari awal aku mengingkan pertemuan ini terjadi. Tidak sedikitpun terlintas dalam benakku untuk menolak tawarannya. Dan jika aku harus kembali menelan kecewa,  itu adalah resiko yang harus aku terima.
Limabelas menit berlalu. Akhirnya sebuah pesan muncul.

‘Maaf ya, aku nggak bisa jemput kamu. Hujannya deras banget.’

Baiklah.

Sekali lagi, aku harus menegaskan pada diriku sendiri. Jika aku harus kembali menelan kecewa, itu adalah resiko yang harus aku terima.

Aku teringat ucapan Riris sewaktu di parkiran kampus tadi. Aku meringis. Ya, mau tidak mau, mulai kini aku harus berusaha kembali mengabaikan Irham seperti dulu. Dan.. itulah resiko yang harus dia terima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar