Sabtu, 28 Januari 2017

Tell Me Why (part 4)

Bosan. Lelah. Gerah.
Entah aku yang sudah jenuh dengan situasi seperti ini atau memang aku tidak pernah menikmatinya,  tapi nyatanya hari ini terasa begitu panjang dan lama.
Masih setia mengikuti dua wanita di depanku yang sibuk melihat display kanan-kiri sambil terus heboh membicarakannya, aku sembari menyibukan diri dengan ponselku. Curhat.
'Anjrit, kesel banget gue hari ini. Bebasin gue, bro. Bebasin!' tulisku kemudian mengirimkannya ke dua temanku yang kadang jadi bajirut itu.
Tak lama salah satu orang membalas, 'Gue juga pengin bebas, bro.Capek'
Ha? Aku tercenung membaca balasan Baim. Kenapa dia? Baru saja mau membalas pesan Baim, mendadak ada seruan yang cukup memekik telingaku.
"Andraa, ayo dong, Nak. Jangan jalan sambil main HP, ah.", tegurnya yang melihatku sibuk dengan ponsel. Aku tersenyum canggung.
"Iya, Tan..eh, Ma."
Wanita paruh baya itu menggeleng pelan, "Kebiasaan kamu ya masih suka panggil Tante, dibilangin suruh panggil Mama aja. Toh ngga lama lagi kan Andra bakal jadi anak Mama juga.", ujarnya seolah tanpa beban, tanpa memperhatikan raut wajahku yang mendadak cengo ketika mendengarnya.
Terlalu cepat anda menyimpulkannya, Nyonya Tua, aku membatin.
"Sayang ayo makan dulu. Mama mau makan apa, Ma?", Ghina, si anak manja ini sepertinya ingin memperlambat waktu agar aku lebih banyak menghabiskannya dengan dia dan Mamanya.
"Mama lagi pengin sop buntut di restaurant langganan kita itu loh, Ghin.", jawab Mama.
Aku terhenyak, "Eh, bukannya itu rada jauh dari Mall ini ya, Ma? Kenapa ngga makan di resto yang ada di sini aja?", aku coba menawar tapi kemudian sebuah cubitan kecil mendarat di lenganku.
"Kalo Mama mau ke sana, ayok. Kebetulan aku juga pengen makan itu, Ma. Udah lama ngga makan sop buntut.", kata Ghina seraya matanya melolot ke arahku.
Sial. Aku kalah.
*
"Makasih loh, Ndra, mau nemenin Mama jalan hari ini. Moga selanjutnya ada kesempatan lagi ya, soalnya masih banyak tempat yang mau Mama datengin bareng Andra dan Ghina.", ucap Mama Ghina begitu turun dari mobil.
Aku tersenyum tipis, "Iya, Ma. Semoga ya."
"Ya udah Ma, Ghina anter Andra balik dulu ya."
"Hati-hati Ghin, jalan lagi ramai banget itu."
Ghina mengangguk kemudian memberi kode untuk tancap gas.
"Andra pamit dulu, Ma.", ucapku seraya melambaikan tangan pelan.

Aku menghela napas panjang. Tiga jam akhirnya berlalu juga. Setelah sampai kos baiknya langsung tidur saja.
"Lihat kan tadi," celetuk Ghina, "Mama tuh begitu penginnya kamu ada buat dia. Pengin kamu jadi anaknya juga. Ngerti ngga sih maksudnya apaan?"
Nah, mulai lagi.
"Iya, jadi menantu kan maksudnya?"
"Kamu udah dikodein kayak gitu bukannya langsung ambil tindakan cepat malah mematung aja. Kamu ngga mau jadi menantu Mamaku?", tanya Ghina yang ingin aku jawab IYA dengan lantang. Tapi jelas saja aku tidak bisa menjawab seperti itu, nyawaku taruhannya.
"Kalau ini masih soal materi, aku ngga maksain kamu buat benar-benar siap dulu kok. Soal itu bisa dipikirin sambil dijalani. Yang penting kan ketegasan kamu dulu yang diutamakan, Ndra."
Lagi-lagi aku menghela napas, "Ngga segampang itu, Ghina. Aku ini laki-laki, calon kepala rumah tangga, jelas aja segalanya harus dipersiapkan matang-matang. Kalau sekarang ini persiapanku belum ada limapuluh persen."
"Kamunya sendiri udah ada usaha buat mewujudkannya apa belum? Jangan-jangan cuma buat alasan doang"
"Ngapain aku buat-buat alasan sedangkan nyatanya memang begitu?"
"Seenggaknya kamu bicarain sesuatu dulu dong sama orangtuaku. Biar mereka ngga kepikiran terus soal kita."
"Ghin, selama ini kita baik-baik aja, ngga ada yang perlu dikhawatirkan"
"Kalau kamu ngga segera bertindak, jelas itu yang mengkhawatirkan. Aku cuma takut bakal..", Ghina menggigit bibirnya, seolah enggan melanjutkan kalimat selanjutnya.
"Takut bakal apa? Bakal pisah?"
"Aku ngga mau kita kayak Namira dan Baim, Ndra"
Aku terhenyak. "Hah? Emang mereka kenapa? Jangan bilang kalau mereka.. putus?"
Tak disangka Ghina mengangguk. Aku tercekat. Pantas saja Baim mengirim pesan seperti itu padaku.
"Kapan?", tanyaku
"Dua hari yang lalu.", jawab Ghina, lesu. "Aku mampir ke kedai Namira, dan di sana dia akhirnya cerita soal itu. Aku sendiri ngga nyangka mereka bisa putus begitu aja."
Aku  mendengus, "Mereka ngga putus begitu aja, pasti ada alasan kuat kenapa mereka ngga bisa sejalan lagi. Aku denger dari Baim kalau Namira ngga mau berkomitmen sama dia. Mungkin itu alasannya."
"Sama kayak kamu, kan?", Ghina mendelik ke arahku.
"Ha? Apaan sih? Kok malah dibalikin ke aku?"
"Ya Namira sama aja kayak kamu, ogah ngomongin soal komitmen."
"Jelas beda jauh lah", bantahku ,"Namira ngga tertarik sama komitmen, sedangkan aku mau, sangat mau, cuma keadaannya aja yang belum memungkinkan."
"Gitu aja alasan kamu sampe SBY jadi presiden lagi."
Dahiku berkerut, "Yakali SBY jadi presiden lagi, ngga mungkin lah!"
"Ya itu maksud aku."
Ah. Aku baru ngeh apa yang diucapkannya.
"Ghina..", tangan kiriku meraih tangan kanannya. Menggenggamnya lembut.
"Aku tuh sama kamu cintanya udah mentok, ngga bisa tengak-tengok ke mana-mana lagi, cuma sama kamu doang. Aku mau nikah kok sama kamu, mau hidup sama kamu sampe tua bangkotan, sampe maut memisahkan. Sekarang aku lagi usaha dulu buat mempersiapkannya, aku harus punya modal yang cukup dulu buat ngehidupin kamu nanti. Aku ngga mau kamu hidup susah gara-gara aku. Lihat sendiri, aku ke mana-mana masih pake motor, masih ngekos, buat DP rumah aja belum ada. Jadi tolong bersabar dulu buat aku ya."
Kali ini aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Ya, biasanya aku paling malas membahas soal ini. Tapi pada akhirnya aku menyadari bahwa memang sudah umurnya untuk memikirkannya. Cuma kadang yang bikin kesal adalah ketidaksabaran Ghina, apa lagi kalau sudah bawa-bawa orangtuanya, menuntutku untuk segera melamar. Tentu saja aku akan melamarnya, segera. Ini cuma soal waktu.
Ah, bukan. Bukan cuma soal waktu. Tapi soal materi juga. Itu yang selalu saja bikin kepala pusing.

Ghina mendorong bahuku pelan saat aku mau menciumnya.
"Lah? Jual mahal amat nggak kayak biasanya."
"Aku ngga mau ciuman di mobil, nanti putus kayak teman kita."
Aku terbelalak, "Namira sama Baim abis ciuman terus putus?!"

to be continued..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar