Kamis, 26 Januari 2017

Tell Me Why (part 3)

Tepat pukul lima sore, aku menutup kedai kecilku bersamaan turunnya gerimis. Aku merogoh ransel untuk mencari payung, tapi sial, ternyata aku lupa membawanya. Ah sudahlah, berlari sedikit ke halte mungkin tak masalah, toh hanya gerimis.
Tapi begitu aku bersiap untuk pergi dari kedai, sebuah mobil berhenti tepat di depan mataku. Sebuah Grand Livina berwarna silver yang begitu familiar. Ah, dia rupanya. Tanpa pikir panjang aku pun masuk ke dalam mobil itu.
"Mobil lo kapan baliknya dari bengkel, sih?", tanyanya begitu aku memasang seat belt, to the point.
"Ngga tahu," aku mengangkat bahuku, "Kata abang-abangnya sih paling lama dua minggu. Ini kan baru lima harian.Belom dikabarin lagi gue."
"Pastiin sana udah bener apa belom itu mobil." tukasnya.
"Eh gue ngga nyuruh lo buat jemput-jemput gue ya. Masih bisa naik taksi atau bus kok.", balasku sedikit sewot.
Dia melirik ke arahku, mencibir "Ngambek. Gitu aja ngambek. Baperan dasar."
"Lagian lo kayak ngga ikhlas gitu."
"Ikhlas kok ikhlas. Apa sih yang engga buat pacar gue yang tersayang ini, ha?", godanya sambil terkekeh pelan.
"Basi lo, ah.", aku membuang muka, memandangi jalanan yang lumayan ramai sore ini.
"Mau empek-empek ngga?", tawarnya tiba-tiba.
"Ha? Kenapa empek-empek?", tanyaku bingung. Karena biasanya dia menawarkan makan di restaurant cepat saji atau di angkringan Solo.
"Itu, saudaranya Rado baru aja buka warung empek-empek gitu. Gue penasaran pengen nyobain, soalnya katanya baru beberapa hari buka udah laris aja."
"Emang saudaranya Rado ada yang orang Palembang? Setahu gue dia keturunan Jawa-Sunda deh."
"Lah, kenapa jadi Palembang?"
"Kan empek-empek makanan khas Palembang."
Dia terkekeh geli, "Namira sayangku, buka warung empek-empek ngga harus jadi orang Palembang dulu kali. Jadi saudara sepupunya Rado ini dulunya kerja di restaurant di Palembang, sahabatan sama kokinya. Diajarin lah dia cara bikin masakan khas sana, empek-empek salah satunya. Balik Bekasi ya dia coba buka warung sendiri dari hasil belajarnya itu.", ujarnya menjelaskan.
Mulutku membulat, "Gitu ya? Ya udah kalo lo mau, gue sih ngikut aja. Lagian bosen juga lo ajakin ke Richeese Factory mulu."
Dia terkekeh lagi.

*
"Kedai gimana ini hari?", tanyanya begitu pelayan selesai mencatat pesanan kami.
"Lumayan rame sih, mana kan lagi mendung, udara sejuk, banyak lah yang pengin minum teh sama makan kue.", jawabku. "Lo tumben beberapa hari ini ngga ada kerja rodi lagi?"
"Yah, gantian lah sama teknisi lainnya, masa gue mulu yang lembur."
"Duit lo berkurang dong jarang dikasih lemburan."
"Duit mulu yang lo pikirin."
"Lah, kita kan emang butuh duit buat hidup."
"Buat hidup kita butuh udara, air dan makanan. Kalau nikah baru kita butuhnya duit."
Aku mendengus, "Tauk ah." mendadak sebal kalau dia mulai mengungkit soal nikah.
Wahyu Ibrahim, di saat keluarga dan teman-teman memanggilnya Baim, cuma aku yang nyeleneh dengan memanggilnya Wayu. Dia adalah laki-laki yang sejak kanak-kanak sudah berada disisiku, bermain bersama, belajar bersama, masuk ke sekolah yang sama dari TK sampai SMA, dan akhirnya berpisah di perguruan tinggi. Dia memutuskan untuk kuliah di Jakarta mengambil jurusan teknik mesin bersama dua sahabatnya, sedangkan aku memutuskan untuk kuliah di Semarang.
Empat tahun berlalu, akhirnya kami bertemu lagi di Bekasi, bekerja di kota yang sama. Dan entah karena dasar apa, aku menerima dia menjadi kekasihku. Kurasa bukan hal yang sulit untuk menjadi gadis yang berada disisinya selama ini, bahkan dua tahun bersama pun tak berasa. Tapi belakangan ini, dia lagi senang sekali mengungkit hal yang sebenarnya membuatku risih dan sedikit kesal.
Komitmen. Lamaran, Menikah. Ah, aku sungguh tidak menyukai kata-kata itu.
"Nah kan, begitu mulu kan reaksi lo.", Baim menunjuk wajahku.
"Lo lagian cari perkara terus sama gue."
"Cari perkara apaan, Nam? Yang ada gue lagi nyoba meluruskan perkara ini."
"Yu, gini ya..", aku menghela napas pendek. "Lo kalau mulai ungkit hal beginian cuma bikin sakit kepala tau ngga. Daripada lo bikin gue sakit dan kehilangan nafsu makan mendingan stop aja, Okay?"
Baim mendengus, "Mau sampai kapan lo kayak gini sih, Nam? Gue kurang meyakinkan gimana lagi sih di mata lo?"
"Bukan masalah lo yang ngga meyakinkan atau apa, gue cuma ngga suka lo ungkit soal nikah-nikah."
"Kenapa lo ngga kayak Ghina sih yang begitu matangnya udah mikirin hal ini? Kita udah sepantasnya..."
"Yu, plis ya gue ngga suka dibanding-bandingin kayak gitu. Apa lagi Ghina itu sahabat gue, sahabat kita. Ngga etis tau ngga."
"Lo sebenarnya sayang ngga sih sama gue?"
Ah. Pertanyaan itu keluar lagi. Entah kenapa aku kesal dengan sikap Baim yang drama king begini. Terdengar kekanakan dan norak sekali.
"Wayu lo jangan mulai drama deh, Yu. Lo ngajakin gue ke sini buat makan kan, bukan buat debat?"
Baim menghela napas pendek. "Gue cuma pengin kita bisa hidup bareng buat selamanya, Namira. Gue memikirkan masa depan kita berdua. Seenggaknya lo biarin gue nyoba buat ketemu sama orangtua lo, ngobrolin soal kita..."
"Kenapa lo maksain sesuatu yang gue ngga suka sih?"
"Kenapa lo harus ngga suka?"
"Karena gue ngga mau kebebasan gue direnggut sama yang namanya komitmen."
Deg. Aku bisa melihat raut muka yang begitu berbeda dari Baim. Wajahnya memerah, seolah memendam kesal yang mendalam. Aku mencoba untuk tetap tenang, sambil terus menatapnya lurus-lurus.
Kukira Baim akan semakin mengomel atau melakukan tindakan ekstrem seperti menampar pipiku atau semacamnya, tapi ternyata dia hanya diam. Sampai pelayang datang membawakan pesanan, kami sama-sama terdiam. Makan pun tanpa suara, bahkan aku lihat sendiri Baim hanya menyuap sedikit makanannya. Yah, kalau sudah begini, nafsu makan memang bisa lenyap seketika.
*
Baim masih terdiam selama perjalanan pulang. Dia terlihat begitu berbeda dari biasanya. Selama ini jika sedang marah dia hanya akan mengomel sebentar kemudian membaik. Tapi kali ini, apa dia benar-benar kesal padaku sekarang?
"Yu..", panggilku dengan canggung. Matanya menatap lurus ke depan,tapi raut wajahnya begitu kosong.
"Gue kan udah bilang, jangan ungkit soal ini, yang ada bikin kita jadi berantem."
"Ya udah, ", akhirnya dia bersuara
"Ya udah apanya?"
"Ya udah gue ngga akan ungkit soal itu lagi buat seterusnya. Karena emang udah bukan urusan gue lagi."
Aku tercenung, dahiku berkerut, "Maksud lo apaan?"
"Ngga ada gunanya kita begini, Nam. Gue ngga bisa nerusin lagi. Toh kita pacaran juga karena lo kalah taruhan sama gue, bahkan first kiss pun, juga karena lo yang kalah taruhan."
"Sebentar sebentar, lo mau ngomong apaan sih sebenernya?", tanyaku makin bingung.
Baim menghentikan mobilnya tiba-tiba. Wajahnya mendekat padaku, kemudian menatapku tajam.
"Yu.."
Bibirnya menyentuh bibirku, sesaat tapi terasa dalam.
"Itu yang terakhir dari gue. Kita putus aja."

to be continued..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar