Senin, 16 Januari 2017

Tell Me Why (part 1)

"Okay!", ucapnya setelah beberapa menit hanya diam dan berpikir panjang. Satu kata keluar dari mulutnya yang kurasa cukup untuk menjadi jawaban atas segala keresahan, kebingungan dan kecemasan yang tengah kami hadapi bersama. Aku tersenyum lega, beban berat di punggungku seakan lenyap.
"Jadi?", tanyaku semringah, "Kapan kamu mau ke rumah dan bilang sama Papa Mamaku?"
Andra mengangkat bahunya, sekilas dia terlihat ragu saat memandangku.
"Aku masih belum tahu, aku masih belum siap seratus persen",ucapnya tanpa mengacuhkan ekspresi bahagiaku yang seketika kembali murung berkat sikapnya barusan.
Apa-apaan sih orang ini?
"Andra, baru aja kamu bilang okay loh. Aku pikir kamu udah siap dengan semuanya. Tapi kamu kok..", aku berdecak heran. "Aku butuh ketegasan kamu ya. Kita udah berapa lama pacaran sih? Masa iya kita mau gini-gini aja?"
"Iya aku tahu, tahu banget maunya kamu apa makanya aku bilang okay tadi. Ya tapi kan ngga secepat itu juga kali, Ghina.", Andra menghela napas pendek. Terdengar lelah, sepertinya.
"Modal aku belum cukup, Ghin. Rumah aja belum kebeli sampai sekarang. Masa iya aku biarin kamu tinggal di kontrakan sempit sama aku?"
Aku mendengus, "Kenapa masalah materi terus sih yang jadi alasan?"
"Ya karena kita memang membutuhkannya. Sangat. Emang kamu pikir sewa gedung, katering, pelaminan, penghulu, mau dibayar pake kata Terima Kasih doang?"
"Ndra, aku cuma minta kamu ke rumah, bilang soal semua rencana kita ke orangtuaku, dan mereka akan ikut membantu, kok. Toh Papa dan Mama sudah merestui kita sejak awal kita pacaran. Kamu cuma perlu bilang tentang niat baik kita biar ngga ada lagi keresahan buat semua orang."
"Keresahan semua orang? Ini cuma kamu doang yang merasakan, Ghin."
"Mama selalu tanya kapan kamu bakal ngelamar aku, Ndra. Selalu. Aku mesti jawab gimana lagi selain 'belum tahu'? Aku cuma ngga mau kamu kehilangan kepercayaan orangtua aku, Ndra. Makanya aku minta kamu tegas sama hubungan kita. Kasih aku kepastian segera, jangan biarin aku gelisah terus dong!", aku mengusap pipiku yang mendadak basah oleh air mata.
"Iya, oke, aku udah menyanggupinya, Ghina. Cuma masalahnya di sini aku belum siap untuk sesegera mungkin menyiapkan semuanya. Aku akan bilang ke orangtua kamu kalau semuanya sudah siap. Sabar dong, sayang. Kamu ngga usah gelisah dan mikirin yang enggak-enggak. Kamu percaya aja sama aku, ya."
Aku menghela napas pendek.
"Okay."

*

Sabtu siang yang mendung. Cuaca yang mendukung untuk tidur siang dan bersantai-santai setelah lima hari padat dengan jadwal pekerjaan. Ya, kurasa aku bisa menikmati acara tidur siangku kalau saja dua orang ini tiba-tiba mendobrak pintu kamarku seenak jidat.
"Namira, Brietta, tolong dengan sangat silakan keluar dari kamar tuan putri Ghina ini tanpa meninggalkan jejak suara apapun. Plis, kalian ganggu tidur siang gueee!", jertitku seraya melempar kedua temanku dengan bantal.
"Aw! Maygat Ghinaaaaa! Gue ke sini sengaja mau ngehibur elo hunny bunny sweety. Lo katanya abis berantem sama Andra?", tanya Brietta menyusulku ke tempat tidur.
"Lagi?",tanya Namira dengan alis terangkat satu."Dia masih belum mau buat ngelamar lo?"
Aku mendengus, kesal karena diingatkan oleh masalah yang satu itu.
"Gue kira Andra bakal berubah dan lebih berpikir dewasa. Tapi nyatanya dia masih gitu-gitu aja. Selalu aja bilang 'okay' with 'tapi'. Kesel ngga sih kalian kalau jadi gue?"
"Kesel! Gue bakal sama keselnya kayak lo, Ghin!", Brietta mengangguk keras. "He's not a gentleman I think. Kurang apaan sih lo buat dia?"
"Ya kan? Coba, hampir enam tahun pacaran kami cuma gini-gini aja. Gila lo gue tahun ini masuk 26 coy! Nyokap gue aja dulu umur segini udah masukin gue ke playgroup tau nggak?"
"Lo pake acara masuk playgroup segala, Ghin? Baru tahu loh gue.", Brietta takjub.
"Bukan itu masalahnya, Briii!"
"Lagian elo kenapa ngebet banget sih minta si Andra buat ngelamar lo? Dianya aja santai selow gitu kok. Ngga takut lo kalo si Andra malah jadi ilfeel sama lo gara-gara lo paksa mulu?"
Kontan saja aku menepuk lengan Namira keras. "Lo kok ngomongnya gitu sih, Mir? Jangan bikin parno deh. Andra tuh ngga bakalan kayak gitu ke gue. Kalian tau sendiri kan dia cintanya kayak gimana sama gue?"
"Yang namanya cinta juga bisa kadaluarsa kali, Ghin", timpal Namirah enteng.
"Lo pikir roti kali ah kadaluarsa.", balas Brietta diiringi tawa renyah.
"Namira plis jangan bikin parno! Lo mah kebiasaan banget suka begitu. Heran gue, betah-betahnya si Baim sama lo bertahun-tahun."
"Kenapa jadi beralih ke Baim,sih? Urus Andra dulu, sono."
"Lo sendiri kenapa ngga mau pas Baim nyoba ngutarain niat baiknya dia ke lo bulan kemaren?", tanyaku.
Namira berdecak, "Ya karena gue emang belum mau."
"Mir, lo tuh harusnya bisa nentuin mau dibawa ke mana hubungan lo sama Baim."
"Kayak lagunya Armada aja," timpal Brietta lantas menyanyikan bait dari lagu dari band itu.
Buru-buru aku menutup mulutnya dengan guling.
"Kalian udah pacaran dua tahun loh, Mir. Umur kalian udah 26 tahun ini, gue ingetin aja."
"Urus dulu tuh si Andra baru lo ngurusin gue sama Baim, oke?"
"Tuh kan, lo mah gitu kalau dibilangin, Keras kepala!"
"Namira tuh males sama yang namanya komitmen, Ghina sayang. Maybe dia lebih suka sama hubungannya yang kayak sekarang ini. Santai, mengalir seperti air.", Brietta menengahi.
"Ralat, bukannya males. Gue belum siap aja jadi seseorang yang terikat oleh orang lain. Kayaknya ngga bebas, gitu.", bantah Namira.
"Judulnya sama aja lo kayak Andra, nyet!", aku melempari Namira dengan bantal.
"Belom ada satu jam gue di sini elo udah lempar-lempar bantal berapa kali, Ghin?", tanya Brietta kesal. "Eh, by the way tumben banget si Rado ngga bawelin gue di WhatsApp. Biasaya chatnya bisa nyampe berkali-kali dalam sehari."
"Dan sekarang  lo nyariin Rado, gitu? Wah, ada perkembangan nih.", goda Namira sambil terkekeh.
"Lo aslinya suka kan sama Rado? Ngaku lo!", tanyaku.
"Eh, Bri, hidup lo udah kebanyakan mecin, masih aja mau ditambahin gengsi. Ngga sehat, tau.", tambah Namira lagi.
"Apaan sih kalian berdua? Kenapa malah jadi gue yang kena? Hellaawww, gue sama Rado ngga ada apa-apa and he's not my type. He is so so so.. iyeeewwwhhh. Ngeselin asli gila!" Brietta bergidig.
"Lama-lama bakal kemakan juga tuh gengsi. Gue berani taruhan dah!"
"Heh! Urusin dulu si Andra sono baru ngrempongin gue sama Rado yang so so iyeuh itu!"
"Lo ngomongin Andra mulu sih? Pusing gue ah!"
"Udahlah, Ghin mending lo biarin aja si Andra yang memutuskan bakal gimana. Jangan lo paksa gitu, nantinya dia bakal tertekan loh. Kalaupun dia mau ngelamar lo, pasti bakal dia lakuin kok.", ujar Namira.
"Seenggaknya dia udah bilang okay kan, Ghin? Ikutan kesel sih gue, cuma ya, ya udah sih. Lo yang banyakin sabar aja. Cewe kan cuma bisa nunggu, walau yang ditunggu juga belum pasti bakal gimana.", tambah Brietta. Kali ini terdengar ada nada sumbang di akhir kalimatnya.
"Lo kok jadi baper gitu?", tanyaku sedikit menggoda.
"Sebenernya lo diem-diem nungguin si Rado nembak lo atau ngelamar lo, kan?", tambah Namira.
"Gue tabok lo berdua ya!", Brietta balas melempar bantal ke arahku dan menghajar Namira dengan guling.

TING!!

Sebuah nada notifikasi pesan masuk berbunyi.

From: Rado 

Hi, Princess Bee. 

"Ciyeeeeeeeeeeeee", seru Namira dan aku serempak. Brietta kontan menutup mukanya dengan bantal, menahan malu juga bahagia yang menyeruak dalam dada.

to be continued 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar