Sabtu, 21 Januari 2017

Tell Me Why (part 2)

Deg!
Kembali lagi terjadi seperti ini. Perasaan aneh yang belakangan sembarangan muncul ketika aku klik send.Aku menghela napas dalam. Entahlah, aku selalu berdebar cuma karena melakukan hal sepele semacam itu. Mungkin bagi orang lain terlihat biasa, tapi bagiku, ini sedikit membuat nervous.
Aku meletakkan ponsel pintarku di atas meja, enggan meliriknya. Mendadak aku merasa tidak ingin menyentuh ponsel selama beberapa jam. Apa-apaan ini? Apakah aku kembali menjalani pubertas?
Yang benar saja.
Brak! Aku mendengar suara pintu dibanting. Aku mendengus, sudah tahu siapa pelakunya.
"Tumben sepi, biasanya genjrang-genjreng nyanyi ngga jelas lu.", celetuk Andra, sahabatku sejak awal masuk kuliah hingga kini sama-sama bekerja sebagai Teknisi di sebuah Perusahaan Jepang.
"Lo jadi ketemu Mama Camer?", tanyaku seraya mengambil dua kaleng Pepsi dari kulkas.
Andra mengangguk."Kadang gue heran sama dia, bisa aja nyari alasan biar gue temuin.Yang minta dianter belanja lah, ngajakin nonton bioskop lah, dan kali ini minta ditemani cek-up ke rumah sakit. Padahal perginya juga sama si Ghina, tapi kenapa pake acara ngajakin gue segala?", keluh Andra, nadanya terdengar sedikit kesal.
"Namanya juga calon mertua, Ndra. Wajar aja dia mau melihat bagaimana lo bersikap terhadap dia sama Ghina. Lagi diperhatiin tuh, diteliti, diamati, lo cocok kagak jadi menantunya, lo baik ngga buat Ghina. Yang kayak gitu-gitu mah harusnya lo udah tau sendiri lah.", timpalku enteng.
Andra mencibir, "Lo ngomong kayak gitu seolah lo udah pernah ketemu sama camer aja, elah. Itu si Brietta jangan lo gantungin kayak jemuran mulu, Do. Pacarin, tembak langsung, dor!",
"Yaelah, gampang soal itu mah. Nanti juga bakal jadi.", ucapku sok yakin.
"Emang lo beneran yakin bisa jadi sama dia? Dari nadanya sih engga", Andra sepertinya bisa membaca pikiranku.
Aku menghela napas pendek, "Gue jadi mikir ulang sejak Brietta ketemu nyokap pas selamatan rumah baru bulan kemaren."
"Jangan-jangan ini soal kalungnya Brietta ya?", lagi-lagi tebakan Andra tepat.
"Iya, itu masalahnya. Kelihatannya sih sepele ya, tapi buat gue, buat keluarga gue, ngga sesepele itu."
Andra terkikik, "Buset deh si Rado, kapan sih lo berenti jadi anak mami? Nih ya, kata gue mending lo hajar aja dah daripada nyesel belakangan lo. Jadiin dah si Brietta, jangan lo keburu takut duluan sama tanggapan keluarga lo. Yang ngejalanin kan elo, Do, bukan mereka."
"Enak lo bisa ngomong begitu. Gue yang lulusan pesantren gini kalau tetep nekat begitu bisa-bisa dicoret dari kartu keluarga. Ntar dibilangnya gue ngga ngejalanin apa yang udah diajarin selama di pesantren dulu, melanggar syariat, penista agama. Lo tau sendiri kan waktu gue  milih kuliah jurusan teknik mereka menentang keras, dan malah nyuruh gue ke jurusan Pendidikan Agama?"
"Tapi akhirnya lo nekat masuk teknik dan mereka fine-fine aja kan?", potong Andra cepat.
Aku mendengus, "Yeah, tapi lo tau sendiri kan gue ngga dibiayain kuliah sama sekali sama orangtua gue?"
"Iyalah, orang lo kerja di toko Kakak gue demi bayar kuliah," Andra terbahak mengingat masa-masa kelam itu. "Inget banget dah lo cuma makan satu kali demi ngirit, ngga ikutan jajan bareng gue sama Baim, tapi paling semangat kalo dateng ke ulang tahun temen sekampus demi bisa makan enak. Anjrit gue pengen ketawa kenceng banget setan!",
Aku cuma bisa melempari Andra yang terbahak-bahak seperti orang kesurupan dengan botol dan kaleng kosong.
"Jadi intinya", Andra menghentikan tawanya, "Lo ngga berani buat ambil resiko lagi kali ini?"
"Yah, lo tau itu lah."
"Terus kenapa masih aja lo deketin Brietta kalo begitu?"
"Kenapa tanya? Karena gue suka sama dia, bego!"
"Kalo suka diungkapin, bego."
"Kami beda agama, tolol!"
"Kalian semua bego, cuma gue yang pinter!"
Sebuah suara sumbang tiba-tiba muncul. Ah, makhluk menyebalkan satu ini datang juga.
"Kumpulan Sabtu malam harus banget pake Pepsi?", tanya Baim, nggak penting.
"Kenapa lo ke sini? Ngga ngapelin Namira?", tanyaku seraya membuka kulkas, mengambil satu kaleng Pepsi lagi.
"Namira ngga perlu diapelin, ngga minta juga dianya.", jawab Baim enteng.
Tiba-tiba tangannya memungut Sampoerna Mild yang sedari tadi tak tersentuh di atas meja.
Aku dan Andra saling pandang, heran.
"Marlboro lo mana, Ndra? Tumben adanya ini doang.", dengan lincah tangan Baim mengambil satu batang dan memantiknya.
"Anjrit si Baim berulah!", umpat Andra.
"Heh, bajirut! Lagi kesambet setan mana lo?", tanyaku histeris, mengingat bahwa Baim sudah tidak merokok lagi sejak semester dua kuliah, tak lama setelah kakak kandungnya meninggal akibat kanker paru-paru. Aku masih ingat saat di pemakaman kakaknya, Baim membuang semua batang rokoknya di atas pusara kakaknya sambil berkata 'makan tuh rokok gue, bawa semuanya sambil menghadap Tuhan' Dan sejak saat itu, aku tidak pernah melihat Baim bersama Dunhill kesayangannya lagi.
Tapi kali ini, apa-apaan dia? Apakah tobatnya cuma sesaat saja?
"Ngga usah nanya kenapa. Gue cuma lagi iseng.", ucap Baim tanpa beban, seakan tidak memedulikan ekspresi wajahku dan Andra yang cengo-cengo bego.
"Brietta bales chat lo, tuh, Do.", celetuk Baim sambil dagunya menunjuk ke arah ponselku.
Ya, terlihat ada notifikasi pesan masuk di sana.Tapi entah kenapa kali ini aku tidak berani membukanya.
"Rado si anak mami ini sekarang udah jadi pengecut, Im.", tukas Andra seraya menyambar kotak rokok yang dimonopoli Baim. "Gue yang beli aja belom nyicip, setan!" umpatnya kemudian.
"Gue bukan pengecut ya maaf maaf aja", sanggahku yang langsung disambut tawa Baim dan Andra.
"Cemen lo, Do!", olok Andra. "Ngakuin perasaan aja ngga berani cuma gara-gara kalung salib doang."
"Bajirut! Itu bukan masalah 'kalung salib doang' ya! Ini masalah iman coy!"
"Tinggal diungkapin aja sih, Do. Ungkapin, biar Brietta tau gimana elo ke dia.", ujar Baim.
Mendadak aku geram dengan pembicaraan ini.
"Lo lo sendiri gimana? Lo, Ndra, cemen mana sama lo yang sampe sekarang ngga berani ngelamar Ghina?"
Andra tersedak seketika, "Njrit, bukannya gue ngga berani ngelamar Ghina, gue cuma belom siap aja. Gila aja lo ngelamar anak orang ini loh bukan mau ngawinin kucing persia. Ngga bisa asal lah, Do."
"Pasti lo ngasih alasan ke Ghina soal materi lagi, kan?", tebak Baim. Dan tepat akurat.
Andra mengangguk lemah, "Ya nyatanya emang kayak gitu, men. Gue belom siap modal apapun buat Ghina. Gue cuma ngga mau dia susah karena gue yang kayak gini. Gue harus mapan dulu baru bisa jadiin dia bini gue."
"Ampun dah.", aku menepuk dahiku sendiri, "Kalo nunggu lo mapan mau bakal sampe kapan, kunyuk?"
"Ya pokoknya sampe gue seenggaknya udah punya rumah sendiri, ngga ngekos kayak sekarang. Yakali gue mau tinggal di kosan sempit bareng Ghina. Lagian emangnya dia bakal mau sama kondisi gue yang begitu?"
"Kalau dia ngga nerima kondisi lo yang sekarang, dia ngga bakalan minta dilamar, nyet! Bego amat sih lo? Yang peka makanya jadi cowok.", olokku yang disambut hantaman kecil dari Baim.
"Apaan lo?", aku melotot pada Baim.
"Lo sendiri juga bego, nyet! Itu Brietta lagi nungguin kejelasan dari lo, mau jadian apa kagak. Makanya yang peka jadi cowok."
"Mampus lo dibalikin! Hajar, Im!" Andra mengompori.
"Tai lo semua!", umpatku kesal.
Andra dan Baim terkekeh.
"Sumpah kalo lo manyun gitu, Do, lo imut abis. Serius gue ngga bohong!", goda Andra sambil terus tertawa geli.
"Diem, setan!"
"Eh tapi, Im", Andra mengalihkan pandangannya ke Baim. "Bukannya lo ada acara sama Namira ini hari?"
Baim mengangguk, "Siang tadi ketemunya, itupun cuma bentaran doang. Dia ada acara sama klub menulisnya."
"Namira bukannya lagi sibuk nulis novel ya, Im?", tanyaku.
"Iya, bentar lagi kelar katanya."
"Dan abis itu lo ngelamar dia?", tanyaku lagi.
"Ngomongin soal lamaran mulu, lo. Tembak dulu Briettanya!", timpal Andra mengejek.
"Urusin dulu si Ghina sono!"
Baim meringis, "Enak jadi lo, Ndra, ngga perlu susah buat bikin cewek lo mau dilamar. Soalnya dia yang minta duluan.",
"Bukannya di mana-mana emang cewek duluan yang ngebet minta dilamar?", tukas Andra.
"Namira beda. Dia ngga kayak cewek lainnya yang nungguin kapan bakal dilamar. Yang ada dia ngga mau itu terjadi pada dia."
Aku tercengang. Andra kembali tersedak.
"Gue heran kenapa dia sebegitu tidak tertariknya dengan sebuah komitmen. Lama-lama gue mikir, sia-sia aja ya dua tahun ini gue sama dia."
"Emang lo pernah nyoba ngomongin soal ini sama Namira, Im?", tanya Andra, "Siapa tau dia emang belom siap aja, sama kondisinya kayak gue ini."
"Najis banget Namira yang cakep begitu disamain sama lo yang abstrak.", ejekku yang kemudian disambut tinju kecil dari Andra.
Baim menggeleng, "Masalahnya bukan karena dia ngga siap atau belum siap. Dia emang ngga tertarik buat berkomitmen. Dia bilang semua itu seakan mengekang dia, mengikat dia dengan berbagai hal yang cuma bikin hidup dia ribet. Namira cewek yang suka kebebasan."
"Njir, selama ini ngapain dong lo pacaran sama dia kalau tahu bakal kayak gini?", aku menggeleng tak mengerti.
"Itu sih..", Baim meletakkan sisa batang rokoknya di asbak, "Karena gue suka sama dia."
Aku tertegun.
Benar, semua pertanyaan atas segala masalah ini sebenarnya hanya membutuhkan satu jawaban; Aku suka dia. Yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya masing-masing.
Dan aku, entahlah, aku masih belum tau akan bagaimana. Di satu sisi, perasaan ini semakin tak terkendali. Di sisi  lain, aku harus mengesampingkan ego demi keluargaku.
Ternyata yang kuhadapi kini, tidak semudah bayanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar