Minggu, 06 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 18)

Seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang melambaikan tangannya ke arah Baim. Dia tercengang sebentar lantas menghampiri gadis itu. Sembari berjalan Baim hanya bertanya-tanya dalam hati, benarkah gadis itu adalah Danisha? Kenapa terlihat sedikit berbeda? Seingat Baim dulu Danisha berpenampilan sangat cuek dan jauh dari kata modis namun tidak tomboy juga. Hanya saja gaya berpakaiannya agak berbeda dengan gadis-gadis kekinian. Biasanya Danisha hanya mengenakan kaus, blue jeans, dan kardigan warna hitam atau abu-abu. Sesekali saja mengenakan kemeja lengan pendek yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam atau biru tua. Terlihat begitu simpel dan apa adanya, seolah-olah dia tidak suka mengikuti tren masa kini.
Namun yang dilihat Baim sekarang, sungguh berbeda dengan yang dilihatnya dulu. Baim hanya tertegun sembari mengamati penampilan Danisha dari ujung kepala sampai ujung kaki; rambut hitam panjang bergelombang yang dulu sering dikuncir cepol kini terurai dengan indahnya, kaus dan kardigannya diganti dengan sepotong mini dress berwarna pastel, sepatu sneakersnya telah berubah menjadi sepasang chunky heels yang sangat cocok dengan kakiknya yang jenjang.
Baim menelan ludahnya.Terperangah.
"Apa lo lihat-lihat begitu? Baru sadar kalau gue ini cantik banget ya?", tanya Danisha dengan nada menggoda Baim yang masih memasang tampang cengo.
"Lima tahun lebih ngga ketemu masih cupu aja lo, Im. Ngga berubah sama sekali. Payah!", ejek Danisha diiringi tawa renyah. Lagi-lagi Baim tertegun melihatnya.
"Jangan bengong aja, ayo pesen makanannya.", ditariknya lengan Baim menuju counter untuk memesan burger dan soda.
Baim lagi-lagi hanya bisa tertegun sembari matanya tak lepas dari Danisha yang begitu...ah, cantiknya!
*
"Jujur aja gue sedikit kaget ngelihat lo yang sekarang. Bikin pangling aja.", ucap Baim dengan wajah memerah begitu Danisha menanyakan kenapa sejak tadi dia hanya memandangnya tanpa kedip.
Danisha terkekeh dan meletakkan burgernya di atas nampan, "Kayaknya semua temen kuliah yang ketemu gue mengatakan hal yang sama ya. Lagian kenapa sih pada heran banget sama penampilan gue sekarang?", Danisha menyeruput colanya, "Emang gue dulu keliatan cupu banget apa ya, Im?"
Baim mengerlingkan matanya, mencari jawaban yang paling tepat.
"Cupu sih engga, cuma engga modis dan kekinian aja sih. Tapi ngga cupu kok, menurut gue dandanan lo oke oke aja."
"Jadi ngga salah juga dong kalo gue mengubah sedikit penampilan gue ini?"
"Ya engga, itu kan hak lo, Cha."
Danisha tercekat mendengar cara Baim memanggilnya.
"Lo masih inget aja panggilan gue di rumah."
"Lo juga masih inget suka manggil gue Juple.", Baim terkekeh.
"Karena cuma itu yang ngingetin gue sama lo, Im. Ngga ada orang lain yang gue panggil dengan nama itu selain lo."
"Dan gue lebih suka manggil lo Cicha dari pada Danish atau Nisha kayak temen-temen lo yang lain."
Wajah Danisha terlihat sedikit memerah. Baginya panggilan Cicha terdengar begitu spesial karena hanya orang terdekatnya yang memanggilnya begitu. Hanya orangtuanya, saudara-saudaranya, dan Baim, yang dulu pernah mengisi hatinya.
"Mantan pacar gue yang lain ngga ada yang manggil Cicha lho. Kebanyakan ya manggilnya Danish. Padahal gue ngga suka dipanggil begitu. Kedengarannya kayak lagi manggil cowok."
"Ngomong-ngomong soal mantan, lo masih sama yang dulu lo balikan itu?", tanya Baim mengganti topik pembicaraan.
Tanpa disangka Danisha menggeleng diiringi tampang kesal.
"Tau ngga lo, gue nyesel senyesel-nyeselnya balikan sama dia. Aselik dia ngeselin abis!", Danisha menyeruput colanya lagi.
"Dia itu bawelnya kebangetan, posesif, insecure, hobi banget mengekang gue, tapi begitu dibawelin balik dia ngamuk. Eh tapi pas gue minta putus dia mohon-mohon jangan putusin dia. Apaan coba drama banget jadi cowok. Ih, najis banget kalo inget diaaa!"
Mata Baim terbelalak, "Ngamuk? Suka mukul lo gitu?"
"Mukul sih engga, Im. Tapi omongannya itu lho ngga enak didenger. Kadang suka kelewat kasar dan ngata-ngatain gue sembarangan. Siapapun kalau digituin kan ngga ada yang betah Im, yang ada malah kesiksa lahir batin. Akhirnya dua tahun lalu gue tinggalin aja dia."
"Kenapa lo mau balikan sama dia waktu itu?", tanya Baim dengan wajah sinis karena mengingat setelah Danisha memutuskannya dia kembali pada mantannya itu.
Danisha menghela napas panjang, lantas memandang Baim dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Itulah begonya gue, Ple. Itulah yang bikin gue nyesel setengah mampus. Harusnya gue ngga percaya sama janji-janji dia yang udah kayak caleg lagi kampanye. Waktu itu gue masih terlalu labil dan buru-buru ambil keputusan untuk pisahan aja sama lo, gue keburu panas saat gue tau lo punya sahabat cewek yang menurut gue jauh lebih cantik daripada gue. Gue ngerasa ngga ada apa-apanya dibandingkan dia yang sering bikin lo ketawa, dan terlihat enjoy kalo lagi bareng dia. Gue terlalu cemburu sampai ngga mikir apa-apa lagi selain putusin lo aja terus balikan sama Reval."
Baim mendengus, "Tapi dulu lo bilangnya bakal baik-baik aja dengan adanya Namira."
"Yah, namanya juga perasaan, Ple. Gue ngga bisa nahan cemburu banget waktu itu."
"Dan kenapa lo baru putusin dia dua tahun lalu? Tiga tahunnya lo ngapain aja?", tanya Baim lagi.
"Oh, itu. Gue jalan sama orang lain di belakang Reval."
Baim tercengang, "Lo selingkuh?!"
"Ya abis gimana, Reval ngotot ngga mau putus, tapi di sisi lain gue ngga tahan sama dia dan pengen lepas dari dia. Ya udah, waktu itu ada temen sekelas yang tau masalah gue, mau dengerin semua curhatan gue, terus ngakuin kalau udah suka sama gue bahkan sebelum gue jadian sama lo, ya langsung gue terima aja perasaan dia."
Baim menggelengkan kepalanya, tidak menyangka. "Parah lo, Cha. Jangan-jangan lo begitu juga ke gue ya?"
Danisha mengangguk pelan, "Jujur aja iya waktu gue ngerasa lo lebih nyaman ngomong sama Namira dibanding gue."
"Sialan..", umpat Baim setengah berbisik, namun masih terdengar oleh Danisha.
"Maaf ya baru ngaku sekarang. Hehehehe.", Danisha terkekeh seraya tangannya hendak meraih pipi Baim namun segera ditepis laki-laki itu.
"Ngga usah pegang-pegang, tangan lo bekas mayonaise!"
Danisha tertawa lebih lantang.
"Gimana sama Namira, gue denger dulu ngga lama setelah wisuda lo jadian juga sama dia.", tanya Danisha sambil menyuap kentang goreng ke mulutnya.
Baim mendengus,entah kenapa rasanya dia enggan membahas soal ini.
"Udah putus ya?", Danisha memandang Baim lekat-lekat, seakan bisa membaca isi pikiran Baim.
Baim menghela napas panjang. "Harus banget gue jawab nih."
"Ngga perlu, raut muka lo udah bisa menjawabnya."
"Lantas apa jawabannya kalau gitu?"
"Lo masih cinta sama dia tapi oleh suatu alasan lo ngga bisa sama dia lagi. Kan?"
Seketika Baim terperangah. "Lo belajar jadi cenayang ya sekarang?"
"Hahahahaha."

"Kalau masih cinta, tapi ngga bisa bareng lagi emang sedih banget sih, Im.", celetuk Danisha begitu keluar dari tempat makan dan kini berjalan menuju parkiran.
Baim yang berjalan di sampingnya hanya menoleh sembari tersenyum tipis.
"Emang lo udah pernah ngerasain gimana sedihnya?", tanya Baim.
Danisha mengangguk tegas,"Pernah. Banget."
"Oh ya?"
"Iya. Sekarang ini gue lagi ngerasain gimana sedihnya."
"Oh ya?", tanya Baim lagi kali ini dengan nada menggoda namun Danisha menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Danisha meraih tangan Baim dan menggenggamnya erat.
Seketika Baim menyadari sesuatu. Ah, yang benar saja!
"Cha, lo.."
"Ngga apa-apa, Ple. Jangan merasa terbebani dengan ini.", ucap Danisha lembut seraya melepas genggamannya.  "Anyway, gue seneng banget bisa ketemu lo lagi setelah sekian lama. Mana nyari nomer telepon lo susah banget, untung gue ketemu temen kerja lo yang juga tetangga gue. Serius gue ngga pernah sesenang ini ketemu sama mantan.", Danisha berusaha tertawa dibalik matanya yang makin berkaca-kaca dan nyaris menjatuhkan dari pelupuk matanya.
"Gue balik ya, Ple. Makasih loh udah bersedia ketemu gue. Moga ngga ada penyesalan ya.", ucap Danisha seraya membuka pintu mobilnya.
Baim hanya mengangguk sambil tersenyum tanpa mengatakan apa-apa lagi sampai mobil Danisha melaju meninggalkan dirinya yang masih termangu.
'Ah, kenapa lo begini sih, Im?!', rutuk Baim pada dirinya sendiri.
Dalam hati sebenarnya Baim ingin mengatakan bahwa bisa saja dia menerima perasaan Danisha kembali, namun dia masih belum terlalu yakin dan perasaannya pada Namira juga begitu berat untuk dilepaskan.
Baim tertegun, mendadak teringat sesuatu soal Namira...ah, Rado!
'Bentar, dia ngga lagi nemenin Namira di kedai sampai selarut ini kan?', batin Baim bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Dilirknya jam tangan yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Baim meraih ponselnya, dan menekan nomor Rado.
"Halo" Rado mengangkatnya.
"Di mana lo?",tanya Baim.
"Baru balik dari kedainya Namira. Gimana kencan lo?"
Baim tercekat mendengarnya, entah kenapa tiba-tiba ada yang menganggu perasaannya. Nada bicara Rado sedikit..
"Ya udah, ini gue mau balik. Besok aja gue ceritain."
Klik. Baim mengakhiri panggilan.
Baim menghela napas panjang. 'Lo ngga bakalan kayak dulu lagi kan, Do. Engga kan?'

Setelah itu, pikiran Baim kembali ke masa lalu. Masa yang sebenarnya sangat enggan untuk ia ingat kembali.

to be continued..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar