Minggu, 13 Agustus 2017

Tell Me Why (Part 19)

Jakarta, 2010
Baim melirik kalender yang berada di atas mejanya. Sudah memasuki bulan November, hujan mulai sering mengguyur jalanan Ibukota. Baim mengeluh, padahal baru semester awal kuliah tapi semangatnya mendadak lenyap bak tersapu oleh hujan deras yang hampir setiap hari turun. Dia meletakkan kembali buku dan penanya dan berjalan menuju balkon kamarnya. Memandang hujan yang semenjak pagi tak kunjung reda.
"Bang! Ada Bang Rado tuh di bawah!", seru Mail, adiknya tiba-tiba.
Baim tercenung, tumben sekali teman barunya itu datang ke rumahnya di kala hujan begini, mana mendadak pula.
Ya, Rado adalah salah dua teman Baim yang seketika langsung bisa akrab dengannya, sedangkan yang pertama adalah Andra. Entah sifat Baim yang mana yang membuat Rado betah menjadi teman baik Baim yang cenderung kaku dan kurang supel. Mereka beretemu pertamakali saat masa Ospek dan berada dalam satu regu yang sama, bersama Andra juga. Awalnya Baim merasa partnernya tidak ada yang cocok dengannya, karena Rado yang kelihatan sotoy dan Andra yang pemalas dan urakan. Namun beruntung karena ada dua teman lagi yang cukup membuatnya nyaman karena sepaham dengannya. Saat itu Baim merasa bahwa kedua temannya itu akan menjadi teman baiknya kelak saat kuliah, nyatanya mereka malah pisah kelas. Sialnya, Baim bertemu lagi dengan Rado dan Andra di kelas yang sama.
Namun seiring berjalannya waktu, Baim akhirnya bisa melihat sisi lain dari Rado yang sotoy juga Andra yang urakan. Rupanya mereka tidak seburuk yang Baim bayangkan. Rado yang ternyata anak dari seorang pendiri pesantren, punya sifat dermawan dan rajin beribadah. Dia juga termasuk anak yang pandai dan cepat tanggap dalam belajar. Andra yang terlihat begitu urakan, tampilannya bak preman jarang mandi, tapi dia sangat solid dalam berteman, tidak memandang apapun dalam pertemanan. Andra yang dikira Baim seorang playboy, ternyata sangat menghormati perempuan. Dan lucunya dia malah baru pernah pacaran satu kali, itupun saat dia masih SMP.
Begitupun Rado dan Andra yang memaklumi sifat kaku dan canggung dari Baim yang menurut mereka justru unik karena tidak sesuai dengan wajahnya yang manis dengan perawakan yang begitu manly.

Baim pun turun dari kamarnya dan menghampiri Rado di ruang tamu.
"Ada apa, mas? Ke kamar gue aja.", ucap Baim pada Rado yang lantas menggeleng saat mendengar Baim masih memanggilnya mas.
"Ahelah gue udah bilang berapa kali kalo panggil gue Rado aja ngga usah pake mas-mas segala.", tukas Rado.
"Ya tapi tetep aja lo lebih tua dari gue setengah tahun, Mas."
Rado mendengus, "Geli ah gue lo panggil begitu. Eh gue ngga lama kok, ke sini cuma mau ngasih titipan buat lo. Dikasih amanah nih suruh dianterin sekarang juga ke rumah lo."
Baim memandang bingung ketika Rado menyodorkan kantong plastik berisi kotak berukuran sedang.
"Apaan nih? Dari siapa?"
"Dari Kanaya. Ngefans berat sama lo katanya."
Baim tercengang. Mendengar nama Kanaya dia teringat saat Rado pernah cerita soal gadis yang disukainya. Mereka satu jurusan namun beda kelas. Dan kalau tidak salah namanya..Kanaya.
"Bentar..", Baim memegang dagunya, sedikit mengingat-ingat. "Dia ini Kanya yang lo pernah ceritain itu bukan sih?"
Rado mengangguk pelan.
"Dia cewek inceran lo kan, Mas?"
Rado mengangguk lagi. "Tapi udah gue lepas, gue mau cari yang lain aja."
Baim terdiam, bingung hendak menanggapi apa setelah tau gadis yang disukai temannya malah menyukainya.
"Ya mau gimana lagi, Im. Dia maunya sama lo. Lo gimana nih ke dia, mau juga?", tanya Rado dengan senyum yang dipaksakan. "Tadi gue disuruh nemenin dia beli sepatu cowok dan suruh milihin mana yang cocok dengan selera cowok. Ya gue pilihin aja yang menurut gue sesuai dengan gaya gue. Ah tapi guenya yang udah kegeeran duluan kali ya. Mentang-mentang hampir tiap hari anter-jemput dia ke kampus, nemenin jalan, ngerjain tugas bareng, gue mikirnya dia ada feeling ke gue. Sayangnya ekspektasi gue ketinggian."
Mendengar itu spontan Baim menyodorkan kembali kotak itu ke Rado. "Sori, Mas, gue ngga bisa nerima ini."
"Lah, kenapa? Ini kan diamanahkan buat dikasihin ke lo."
"Tapi gue ngga bisa nerima. Perasaan lo ada di sini, di kotak ini."
Rado mendengus, "Im, plis lah jangan sok dramatik. Gue ngga apa-apa kok beneran, gue udah ngelepas dia sepenuhnya."
"Tapi kan tetep aja ini.."
"Ini bukan hak gue, Im. Kanaya beliin ini buat lo."
"Sumpah ini parah banget. Gue balikin aja ke orangnya ya!"
"Baim! Plis, tolong diterima. Kalo lo ngga bisa nerima karena Kanaya yang beliin, anggep aja ini dari gue yang dikasih tapi ukurannya ga pas di kaki gue lalu gue kasihin ke lo."
Rado menyodorkan kembali kotak itu pada Baim yang setelah berpikir lama akhirnya menerimanya.
"Oke, gue terima tapi sumpah demi apapun ya lo jangan begini lagi sama gue."
"Maksud lo gimana?"
Baim menghela napas pendek, "Mas, kalo lo suka sama cewek tapi cewek itu ada perasaan ke gue, lo harus pura-pura ngga tau dan ngga peduli. Lo harus perjuangin dia yang lo mau, jangan nyerah gitu aja karena perasaannya yang berbeda ke lo. Seiring berjalannya waktu yang namanya perasaan itu bisa berubah, asalkan lo tetep ada di sisi dia, dan lo ngga gampang buat nyerah. Bukannya cinta memang butuh perjuangan ya?"
Rado tercengang mendengar ucapan Baim.
"Lo ngomong apaan sih, Im?", tanya Rado dengan dahi berkerut.
"Ih, gini maksud gue.."
Seketika Rado terbahak saat Baim hendak mengulang ucapannya lagi. "Iya iya gue ngerti kok maksud lo gimana."
"Beneran ngerti?"
Rado mengangguk, "Oke gue sepakat. Cuma ada satu syarat."
"Apaan?", tanya Baim antusias.
"Jangan panggil gue Mas!"
*
Jakarta, penghujung 2010
Mata Rado terbelalak ketika melihat seorang gadis berambut panjang sebahu dan berkulit kuning langsat menghampirinya dengan pandangan bingung.
"Situ siapa? Wayu mana?", tanya gadis itu sambil memandang sekeliling.
Rado tercenung, "Wa-wayu? Wayu itu siapa, Mbak?", Rado bertanya balik.
Gadis itu menepuk dahinya sendiri, "Ah, lupa gue kalo cuma gue yang panggil dia Wayu. Maksud gue si Baim. Mana dia?", tanyanya lagi.
Bibir Rado membulat, "Ooh, Baim. Lagi keluar sama Andra, cari rokok sama pulsa."
"Udah lama perginya?"
"Engga, baru aja kok."
"Dih, gue lagi mudik gini bukannya nemuin ke rumah malah asik sendiri. Sebel!", gerutu gadis itu sembari memanyunkan bibirnya. Rado tersentak melihatnya.
"Mbaknya..siapa?", tanya Rado kemudian.
Gadis itu lantas duduk di sebelah Rado, mengulurkan tangannya.
"Namira. Jangan panggil Nanam, panggil Mira aja."
Rado menerima uluran tangan Namira sembari tersenyum lebar. "Namanya bagus. Gue Rado, temen sekelasnya Baim."
"Gue temen dari bayi.", ceplos Namira seraya mengambil toples berisi keripik kentang. "Bagi ya."
Rado hanya mengangguk sopan kemudian matanya kembali ke layar laptop.
"Ngerjain tugas?", tanya Namira basa-basi.
"Nggak, lagi cari free download."
Namira memasang tampang bingung, Rado tersenyum geli.
Tak lama kemudian Baim dan Andra kembali.
"Lah, lo mudik?", tanya Baim begitu menemukan Namira sudah berada di teras belakang rumahnya, bersama Rado.
"Gue udah telpon elo kemaren ya heloo plis deh, Yu!"
"Masa? Lupa gue.", ucap Baim cuek kemudian duduk di sebelah Rado yang masih asik dengan laptop.
Andra yang berada di belakangnya mengikutinya duduk di sebelahnya.
"Eh, lo Namira yang dari kecil jadi pacarnya Baim ya?", tanya Andra asal. Baim sontak meninju lengan Andra.
"Pacar pacar, palalubau!", umpat Baim dengan wajah yang memerah.
"Gue pacaran sama dia mah rugi lahir batin, Bang. Kagak level.", tukas Namira tak kalah asal.
"Siapa juga yang mau jadi pacar cewek super bawel kayak lo!", balas Baim.
"Tapi menurut gue kalian cocok loh.", ceplos Andra sok menganalisa. "Si Baim kan kaku banget nih kayak kanebo kering, sedangkan lo orangnya banyak omong dan sedikit hiperaktif, jadi ya.."
"Jangan sok tau, Nyet!", Baim melemparkan kotak rokok ke arah Andra.
"Wah, pas. Sekalian koreknya mana sini?"
"Ahh, engga engga. Ngga bakalan dah gue pacaran sama yang begini ini. Ngga minat.", Namira menggelengkan kepalanya keras.
"Terus lo maunya yang gimana, Mir?", tanya Rado yang sejak tadi hanya menyimak.
"Gue? Maunya yang ngga kayak Baim lah. Dia apaan coba bagusnya?", ucap Namira yang disambut tatapan tajam Baim.
"Kalau yang macam gue ini, bersedia ngga?", tanya Rado seakan menawarkan dirinya sendiri.
Seketika Baim dan Andra memandang ke arah Rado dengan pandangan heran. Namira tak kalah herannya.
"Serius lo, Do?", tanya Baim setengah tidak menyangka.
"Ya, usaha dulu boleh lah ya, Mir.", ucap Rado sambil tersenyum pada Namira yang membalasnya dengan tatapan enggan.
"Sukurin lo ngga ditanggepin!", olok Andra seraya tertawa.
Baim terdiam, matanya mengamati ekspresi Rado saat membicarakan soal Namira. Entah kenapa dalam hatinya dia merasa gelisah. Ada yang tidak beres, ada sesuatu yang mengganjal tapi tidak tahu apa.
Dan setelah Namira pulang ke rumahnya, Baim memberanikan diri untuk bertanya serius ke Rado.
"Do, bentar dah,", Baim menarik Rado agar jangan dulu mengikuti Andra meninggalkan teras.
"Kenapa?"
Baim menarik napas panjang, "Lo..serius soal yang tadi?"
"Yang mana?"
"Soal mau deketin Namira."
Rado tertegun. Tiba-tiba saja dia merasa tidak enak hati pada Baim. Karena awalnya dia memang hanya iseng menggoda Namira saja, namun dia juga merasa tidak ada salahnya jika mendekati gadis itu secara serius.Tapi begitu melihat Baim yang bertanya seserius ini dan kedengarannya ada nada cemas mengiringinya, Rado akhirnya mengubah jawabannya.
"Ngga kok, Im. Becanda doang gue tadi."
Baim tidak begitu yakin dengan jawaban Rado, ada keraguan dibalik kalimatnya.

Dan Baim menyimpan keraguannya itu hingga kini. Hingga tujuh tahun berlalu. Dia masih meragukan jawaban Rado soal perasaannya terhadap Namira.
*
Jakarta, 2017

"Yeee! Akhirnya kita berenam kumpul lagi komplit begini! Hey hey, semua ini ngga akan kejadian kalo bukan karena Andra yang akhirnya berani ngasih cincin ke gueeee!!", seru Ghina dengan wajah semringah karena setengah jam yang lalu barus saja menjalani prosesi tunangannya dengan Andra.
Baim, Rado, Namira dan Brietta hanya terkekeh pelan sembari bertepuk tangan.
"Yaangg, jangan lebay ah.", Andra menarik kekasihnya agar duduk dengan tenang.
"Okeeee, makasih ya Ghina dan Andra udah bikin kita semua kumpul di sini, di meja bundar ini, dalam suasana malam yang sendu ini..", ucap Brietta yang lantas ditampik oleh Namira.
"Kok malam yang sendu sih? Bukannya harusnya jadi malam yang bahagia ya?", timpal Namira
Brietta menghela napas, "Buat kalian aja, buat gue engga."
"Eh, kenapa lo? Tolong ya, di hari bahagia Neng Ghina Putri Arbani ini jangan ada sendu-senduan! Plis ya Brietta jangan ngerusak momen!", omel Ghina.
"Nyokap berulah lagi setelah gue kasih tau lo berdua tunangan."
"Yaelah..", Namira mendengus. "Siapa lagi sekarang??"
"Namanya Alex Wu. Gue kira bakalan cakep gitu ya kayak mantan member EXO; Kris Wu. Eh taunya malah kayak duda anak lima!"
Cerita Brietta disambut gelak tawa oleh teman-temannya.
"Cakepan mana sama Rado, Bri?", tanya Andra menggoda. Kontan saja suasana berubah menjadi canggung.
"Duuhh, iya iya sori deh. Lagian kalian kok betah amat diem-dieman. Ngobrol ngapa.", ucap Andra kemudian.
"Lah tadi kita ngobrol emang lo ngga lihat?", tanya Rado diiringi tawa kecil, yang canggung.
Brietta membaca situasi yang dibuat Rado agar tidak terlihat kikuk lagi. "Iya tadi kita ngobrol kok, Ndra. Ya kan, Do?"
Rado mengangguk cepat. Padahal nyatanya mereka hanya menyapa seadanya, tidak ada obrolan lain.
"Apaan, dari tadi Rado ngobrolnya sama Namira kok bukan sama Brietta.", celetuk Baim tiba-tiba, membuyarkan drama Rado dan Brietta.
Seketika semuanya diam dan serempak memandanginya.
"Iya kan, Nam?", Baim menoleh ke arah Namira meminta konfirmasi.
Namira terpaku. Bingung hendak menjawab apa. Rado yang merasa berada di tengah-tengah mereka, kembali merasakan apa yang telah dirasakannya tujuh tahun lalu.
Perasaan ini kenapa harus terjadi lagi? Sial.

Kali ini lo ngga bisa lari, Do. Ngga bisa..

to be continued..






Tidak ada komentar:

Posting Komentar