“Belum ada
telepon, le?”, tanya seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster hijau.
Wajahnya terlihat begitu lelah, peluh menetes dari keningnya.
Rahman,
pemuda yang dipanggil ‘le’ oleh wanita tadi hanya menggeleng lesu.
“Ndak
apa-apa, berarti belum rejekimu.”, ucap wanita itu tersenyum seraya membelai
rambut Rahman dengan penuh kasih sayang.
“Tapi,
Bu..”, Rahman menghela napas pendek. “Apa sungguh tidak apa-apa? Sudah lebih
dari 3 bulan saya menganggur, saya tidak punya penghasilan apapun untuk saya beri
pada Ibu, Bapak, juga Khanif.”
Wanita paruh
baya yang adalah Ibu kandung Rahman kembali memasang senyum.
“Kamu kan
sudah 2 tahun lebih bekerja keras, mungkin sekarang kamu sedang disuruh
beristirahat dulu sama Allah. Rejeki tidak akan lari jauh kalau kamu selalu
berikhtiar, le.”
“Tapi
bagaimana kalau saya tidak segera dapat pekerjaan kembali, Bu?”
“Lho, kenapa
kamu jadi pesimis begitu? Sabar, le. Yang penting kamu jangan berhenti berusaha
dan berdoa.”, ucap Sang Ibu kembali memasang senyum. Rahman tidak menyahut, dia
hanya membalas senyum Ibunya kemudian mencium tangan wanita yang telah
melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu.
“Lho, Ibu
sudah di rumah?”, terdengar suara dari pintu belakang. “Jualan pagi ini
bagaimana, Bu?”, tanya seorang pria paruh baya dengan banyak peluh yang
membanjiri wajahnya. Tangannya memegang sebilah parang berlumpur.
“Alhamdulillah
ada peningkatan dibandingkan kemarin, Pak. Ibu dapat pelanggan baru hari ini.”,
jawab Ibu sambil menuju dapur dan menyeduhkan teh hangat untuk Bapak.
Rahman
memandang Bapaknya yang masih semangat bekerja mengurus sawah dan kebun meski
usianya tak muda lagi. Sudah berkali-kali Rahman meminta Bapaknya untuk tidak
lagi bekerja dan menyarankan agar sawah diurus oleh buruh tani. Tapi Bapak
selalu menolak permintaan Rahman karena selama 2 tahun belakangan sawah mereka
hampir selalu gagal panen gara-gara buruh yang bekerja asal-asalan.
“Lebih baik
diurus sendiri daripada menyerahkan ke orang lain yang belum tentu bisa
dipercaya, Man.”, ucap Bapak setelah Rahman kembali mengajukan permintaan yang
sama.
“Saya punya
banyak teman yang masih menganggur, Pak. Inshaallah mereka bisa membantu Bapak
mengurus sawah. Saya tidak tega melihat Bapak dan Ibu masih bekerja begini,
biarkan saya saja yang bekerja, Pak.”, ucap Rahman yang ditanggapi tawa renyah
dari Sang Bapak.
“Kamu itu,
jangan coba-coba meremehkan Bapakmu ini ya. Kamu kira Bapak sudah tua renta dan
tidak mampu bekerja lagi? Rahman anakku, Bapak ini bukan orang yang suka
bergantung dengan orang lain. Prinsip Bapak, selagi Bapak masih bisa, mampu,
dan kuat bekerja, ya Bapak akan terus tetap bekerja. Lagipula Bapak tidak tahan
jika Cuma berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun. Ndak sehat, Man.”, kata
Bapak seraya meneguk tehnya.
“Begitupun
juga Ibumu, dia juga bukan orang yang suka berdiam diri di rumah. Toh hobi
Ibumu itu kan membuat kue, ya biarkan saja dia berkreasi dengan masakannya.
Lihat sendiri kan banyak yang suka kue-kue buatan Ibu?”
Rahman
bergeming. Pikirannya melayang pada masa lalu, ketika usianya baru menginjak 15
tahun dia sudah rajin membantu Ibunya berjualan kue lapis dan kue bolu kukus
buatan Ibunya ke sekolah. Seringkali dia mendapat ejekan dari teman-temannya
karena setiap hari dia datang ke sekolah dengan membawa keranjang berisi
kue-kue.
“Ih, anak
laki-laki kok jualan kue? Rahman bencong, Rahman bencong!”
Setiap
mendengar ejekan itu, hati Rahman seperti teriris. Dia sempat bimbang, jika dia
terus membantu Ibunya berjualan kue, dia akan selalu mendapat ejekan. Tapi jika
dia tidak membantu Ibunya, bagaimana dia akan membayar uang SPP? Namun dengan
keteguhan hatinya, dia tak gentar melawan segala ejekan yang menerjangnya. Pada
akhirnya, ejekan itu menghilang dengan sendirinya.
Rahman juga
ingat ketika masa liburan SMPnya dihabiskan dengan membantu Bapaknya membajak
sawah dan menanam pohon singkong di kebun. Pada saat itu sawah yang mereka
garap bukan milik mereka sendiri, namun milik tetangga mereka yang kaya raya.
Setiap selesai membajak sawah atau menanam umbi di kebun milik tetangganya itu,
Rahman dan Bapaknya mendapat upah limapuluh ribu rupiah. Uang itu Bapak gunakan
untuk membeli beras dan lauk, sedangkan penghasilan dari menjual kue digunakan
untuk keperluan sekolah Rahman dan adiknya, Khanif.
Rahman
menghela napas panjang mengingat masa kecilnya yang penuh dengan keprihatinan.
Kini dia sudah bertekad ingin membuat keluarganya tidak susah payah lagi
mencari uang. Dia selalu berusaha sekuat tenaga agar tidak ada secuilpun beban
di pundak kedua orangtuanya.
Dua tahun lalu
dia mendapat pekerjaan di sebuah pabrik pembuat mobil terkemuka di Jakarta, dengan
upah yang baginya sangat lumayan untuk meringankan beban orangtuanya. Setiap
mendapat gaji, Rahman selalu mengirim sekian ratus ribu untuk keluarganya di
desa. Uang itu bisa digunakan untuk menambah modal Ibunya berjualan kue,
membayar tagihan listrik dan membayar uang SPP adiknya.
Namun 2
tahun berlalu, Rahman akhirnya di berhentikan dari pekerjaannya itu lantaran
kontrak kerja yang tidak bisa diperpanjang lagi. Dia pun kembali ke desa dan
kembali mencari lowongan pekerjaan melalui bursa kerja di SMKnya dulu. Sudah
beberapa lamaran dia kirim namun belum ada satupun yang menjawab lamarannya.
Rahman tidak putus asa, dia sempat kembali ke Jakarta dan mencari lowongan
pekerjaan di berbagai perusahaan, namun belum juga mendapatkan hasil.
“Bapak tidak
marah karena saya belum mendapatkan pekerjaan lagi?”, tanya Rahman. Bapak
menggeleng pelan.
“Kenapa
mesti marah? Lha wong memang belum ada ya mau bagaimana lagi, sabar saja kamu.”,
timpal Bapak enteng.
“Rahman Cuma
tidak mau jadi beban Bapak sama Ibu saja.”
Bapak
tertawa, “Kalau kamu jadi beban buat Bapak, kenapa kamu dilahirkan dari rahim
Ibumu? Omonganmu itu, Man, kayak orang susah saja. Memangnya selama ini kamu
lihat orangtuamu ini begitu menderita atau bagaimana, ha? Mbok ya jangan
dibikin susah, le. Kamu kan sudah berusaha mencari, sudah berusaha sekuat yang
kamu mampu, ya sekarang tinggal berdoa dan serahkan semuanya sama Gusti Allah.”
Rahman
tersenyum mendengar ucapan Bapaknya. Tidak terlihat ada beban sedikitpun ketika
dia menatap mata Bapaknya yang mengeriput dimakan usia.
“Inshaallah
saya akan segera dapat panggilan kerja, Pak. Janji saya mau buatkan warung
belum terlaksana seratus persen. Bapak dan Ibu tunggu saja.”, ucap Rahman,
seketika hatinya terbakar semangat kembali setelah beberapa minggu dia meratapi
nasibnya yang tak kunjung mendapat pekerjaan.
“Mas Rahman
juga janji mau belikan Khanif sepeda fixie yang kayak punya Danang, lho!”, seru
seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dari arah dapur. Dialah Khanif, adik
sematawayang Rahman yang baru duduk di kelas 4 Sekolah Dasar.
“Oiya Mas
lupa, kemarin itu uangnya Mas pakai dulu buat nyicil motor. Nanti deh kalau Mas
udah kerja lagi, Mas belikan kamu sepeda fixie seperti punya Danang.”
Mendengar
itu Khanif melonjak kegirangan, “Yang lebih bagus dari punya Danang ya, Mas!”
“Gampaaang.
Makanya Khanif doakan Mas, biar dapat kerja lagi.”, Rahman membelai rambut
adiknya.
Bocah
berkulit sawo matang berbadan kurus itupun langsung mengadahkan tangannya, “Ya
Allah, berikan pekerjaan yang layak buat Mas Rahman yang kusayang ya Allah.
Biar nanti aku bisa pamer sepeda fixie sama Danang yang sok ganteng itu, masa
dia mau rebut Aisha pacar aku. Aku tidak terima ya Allah. Aamin.”
Rahman dan
Bapak tertawa terpingkal-pingkal mendengar Khanif berdoa dengan lugunya.
“Eh, doanya
kok ngawur begitu? Nanti Allah tidak mau mengabulkan lho, Nif!”, tegur Ibu dari
dalam kamar.
“Kata siapa
tidak dikabulkan? Khanif kan anak rajin, anak baik, pintar dan tidak sombong
seperti Danang, Bu!”, timpal Khanif.
“Iya, iya,
Khanif kan anak sholeh, pastinya doa Khanif dikabulkan sama Allah.”, ujar
Bapak.
“Aamiin.”,
ucap Khanif dan Rahman serempak.
*
Seperti
biasa, pagi itu Rahman membantu Ibunya menata berbagai kue yang akan dijual di
pasar. Kue lapis, lemper, bolu kukus dan pisang goreng krispi sudah tertata
rapi dalam keranjang.
“Ibu tidak
usah ke pasar, biar saya saja.”, kata Rahman seraya menyalakan mesin motornya.
“Eh,
memangnya kamu bisa berjualan? Ah, ndak usah, nanti malah kamu salah beri
harga. Sudah, antarkan Ibu saja.”, tampik Ibu kemudian naik di jok belakang
motor.
“Ya sudah,
nanti saya langsung ke kebun saja bantu Bapak setelah antar Ibu.”
Setelah
mengantar Ibunya ke pasar, Rahman segera menuju kebun singkong untuk membantu
Bapaknya. Kali ini, bukan kebun milik tetangga lagi namun kebun milik sendiri.
Berkat tabungan Bapak yang dibantu oleh Rahman, akhirnya Bapak bisa membeli
bibit dan menanam umbi di kebun peninggalan Kakek Rahman yang sudah lama tidak
terurus. Beruntung tanah seluas 100 meter persegi itu tidak jadi dijual kepada
makelar.
“Nanti jam
11 siang kamu jemput si Khanif ya, nanti langsung ke Pasar jemput Ibumu”, ujar
Bapak ditengah kegiatan mencangkul.
“Baik, Pak.”
Suasana
mendadak tegang siang itu. Ibu terus berkomat kamit membaca doa, Bapak masih
berbicara dengan Dokter bersama Rahman.
“Begini,
Pak. Ada faktur di kaki putra Bapak, jadi mau tidak mau harus mendapat
perawatan di rumah sakit besar. Di sana fasilitasnya lebih memadai, jadi..”
“Pindahkan
saja, Dok. Apapun itu lakukan yang terbaik buat adik saya!”
“Baik, kalau
begitu akan saya buatkan surat rujukannya.”
Rahman masih
tidak menyangka sewaktu hendak menjemput adiknya di Sekolah, dia melihat dengan
mata kepala sendiri sebuah motor melaju kencang dan menerjang tubuh adiknya
hingga terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pengemudi motor itu
langsung kabur begitu saja tanpa sempat Rahman kejar.
“Pak, Khanif
bagaimana Pak?”, tanya Ibu, gurat kecemasan terlihat jelas di wajahnya.
“Harus
dibawa keluar kota, Bu, ke rumah sakit yang lebih besar.”, jawab Bapak lesu.
“Inalillahi..
lalu biayanya bagaimana, Pak? Kalau dibawa kesana butuh uang banyak.”
“Sementara
ini pakai tabungan Bapak dulu. Inshaallah cukup untuk perawatan Khanif di sana,
Bu.”
Rahman
tersentak, “Jangan, Pak! Tabungan itu bakal dipakai untuk membeli tanah, jangan
di pakai, Pak.”
Bapak
menghela napas pendek, “Ndak apa-apa, Man. Kalau kepepet begini mau bagaimana
lagi.”
“Tapi Bapak
sudah susah payah menabung selama 10 tahun, Pak. Lebih baik pakai tabungan saya
saja, kalau saya sudah kerja..”
“Man..”,
Bapak menepuk bahu Rahman, “Jangan pakai tabunganmu, pakai punya Bapak saja.
Bapak justru tidak rela kalau kamu menggunakan tabunganmu itu. “
“T-tapi,
Pak..”
Tiba-tiba
terdengar suara dering handphone dari saku celana Rahman, dia pun permisi untuk
mengangkat telepon.
“Hah? Besok
sore, Pak? Alhamdulillah, terimakasih banyak, Pak! Iya, selamat siang.”, Rahman
menutup telepon dengan wajah penuh kelegaan. Dia memandang kedua orangtuanya
dengan senyum yang diiringi tetesan air mata bahagia dari pelupuk matanya.
“Ada apa,
le?”, tanya Ibu.
Rahman
mengusap air matanya, “Pak, saya minta jangan pakai tabungan Bapak untuk
pengobatan Khanif, biar saya saja yang tanggung dengan tabungan saya.”
“L-lho?”
“Besok sore
saya sudah bisa berangkat ke Jakarta lagi, Pak!”
Dan
akhirnya, Rahman mendapat senyum bahagia itu lagi. Senyum penuh kebanggaan dari
kedua orangtuanya seperti dua tahun lalu, ketika pertamakali dia memberi kabar
bahwa dia telah mendapat pekerjaan.
Akhirnya..
Alhamdulillah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar