Minggu, 23 November 2014

Akhirnya.. Alhamdulillah!



“Belum ada telepon, le?”, tanya seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster hijau. Wajahnya terlihat begitu lelah, peluh menetes dari keningnya.
Rahman, pemuda yang dipanggil ‘le’ oleh wanita tadi hanya menggeleng lesu.
“Ndak apa-apa, berarti belum rejekimu.”, ucap wanita itu tersenyum seraya membelai rambut Rahman dengan penuh kasih sayang.
“Tapi, Bu..”, Rahman menghela napas pendek. “Apa sungguh tidak apa-apa? Sudah lebih dari 3 bulan saya menganggur, saya tidak punya penghasilan apapun untuk saya beri pada Ibu, Bapak, juga Khanif.”
Wanita paruh baya yang adalah Ibu kandung Rahman kembali memasang senyum.
“Kamu kan sudah 2 tahun lebih bekerja keras, mungkin sekarang kamu sedang disuruh beristirahat dulu sama Allah. Rejeki tidak akan lari jauh kalau kamu selalu berikhtiar, le.”
“Tapi bagaimana kalau saya tidak segera dapat pekerjaan kembali, Bu?”
“Lho, kenapa kamu jadi pesimis begitu? Sabar, le. Yang penting kamu jangan berhenti berusaha dan berdoa.”, ucap Sang Ibu kembali memasang senyum. Rahman tidak menyahut, dia hanya membalas senyum Ibunya kemudian mencium tangan wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu.

“Lho, Ibu sudah di rumah?”, terdengar suara dari pintu belakang. “Jualan pagi ini bagaimana, Bu?”, tanya seorang pria paruh baya dengan banyak peluh yang membanjiri wajahnya. Tangannya memegang sebilah parang berlumpur.
“Alhamdulillah ada peningkatan dibandingkan kemarin, Pak. Ibu dapat pelanggan baru hari ini.”, jawab Ibu sambil menuju dapur dan menyeduhkan teh hangat untuk Bapak.
Rahman memandang Bapaknya yang masih semangat bekerja mengurus sawah dan kebun meski usianya tak muda lagi. Sudah berkali-kali Rahman meminta Bapaknya untuk tidak lagi bekerja dan menyarankan agar sawah diurus oleh buruh tani. Tapi Bapak selalu menolak permintaan Rahman karena selama 2 tahun belakangan sawah mereka hampir selalu gagal panen gara-gara buruh yang bekerja asal-asalan.
“Lebih baik diurus sendiri daripada menyerahkan ke orang lain yang belum tentu bisa dipercaya, Man.”, ucap Bapak setelah Rahman kembali mengajukan permintaan yang sama.
“Saya punya banyak teman yang masih menganggur, Pak. Inshaallah mereka bisa membantu Bapak mengurus sawah. Saya tidak tega melihat Bapak dan Ibu masih bekerja begini, biarkan saya saja yang bekerja, Pak.”, ucap Rahman yang ditanggapi tawa renyah dari Sang Bapak.
“Kamu itu, jangan coba-coba meremehkan Bapakmu ini ya. Kamu kira Bapak sudah tua renta dan tidak mampu bekerja lagi? Rahman anakku, Bapak ini bukan orang yang suka bergantung dengan orang lain. Prinsip Bapak, selagi Bapak masih bisa, mampu, dan kuat bekerja, ya Bapak akan terus tetap bekerja. Lagipula Bapak tidak tahan jika Cuma berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun. Ndak sehat, Man.”, kata Bapak seraya meneguk tehnya.
“Begitupun juga Ibumu, dia juga bukan orang yang suka berdiam diri di rumah. Toh hobi Ibumu itu kan membuat kue, ya biarkan saja dia berkreasi dengan masakannya. Lihat sendiri kan banyak yang suka kue-kue buatan Ibu?”
Rahman bergeming. Pikirannya melayang pada masa lalu, ketika usianya baru menginjak 15 tahun dia sudah rajin membantu Ibunya berjualan kue lapis dan kue bolu kukus buatan Ibunya ke sekolah. Seringkali dia mendapat ejekan dari teman-temannya karena setiap hari dia datang ke sekolah dengan membawa keranjang berisi kue-kue.
“Ih, anak laki-laki kok jualan kue? Rahman bencong, Rahman bencong!”
Setiap mendengar ejekan itu, hati Rahman seperti teriris. Dia sempat bimbang, jika dia terus membantu Ibunya berjualan kue, dia akan selalu mendapat ejekan. Tapi jika dia tidak membantu Ibunya, bagaimana dia akan membayar uang SPP? Namun dengan keteguhan hatinya, dia tak gentar melawan segala ejekan yang menerjangnya. Pada akhirnya, ejekan itu menghilang dengan sendirinya.
Rahman juga ingat ketika masa liburan SMPnya dihabiskan dengan membantu Bapaknya membajak sawah dan menanam pohon singkong di kebun. Pada saat itu sawah yang mereka garap bukan milik mereka sendiri, namun milik tetangga mereka yang kaya raya. Setiap selesai membajak sawah atau menanam umbi di kebun milik tetangganya itu, Rahman dan Bapaknya mendapat upah limapuluh ribu rupiah. Uang itu Bapak gunakan untuk membeli beras dan lauk, sedangkan penghasilan dari menjual kue digunakan untuk keperluan sekolah Rahman dan adiknya, Khanif.
Rahman menghela napas panjang mengingat masa kecilnya yang penuh dengan keprihatinan. Kini dia sudah bertekad ingin membuat keluarganya tidak susah payah lagi mencari uang. Dia selalu berusaha sekuat tenaga agar tidak ada secuilpun beban di pundak kedua orangtuanya.
Dua tahun lalu dia mendapat pekerjaan di sebuah pabrik pembuat mobil terkemuka di Jakarta, dengan upah yang baginya sangat lumayan untuk meringankan beban orangtuanya. Setiap mendapat gaji, Rahman selalu mengirim sekian ratus ribu untuk keluarganya di desa. Uang itu bisa digunakan untuk menambah modal Ibunya berjualan kue, membayar tagihan listrik dan membayar uang SPP adiknya.
Namun 2 tahun berlalu, Rahman akhirnya di berhentikan dari pekerjaannya itu lantaran kontrak kerja yang tidak bisa diperpanjang lagi. Dia pun kembali ke desa dan kembali mencari lowongan pekerjaan melalui bursa kerja di SMKnya dulu. Sudah beberapa lamaran dia kirim namun belum ada satupun yang menjawab lamarannya. Rahman tidak putus asa, dia sempat kembali ke Jakarta dan mencari lowongan pekerjaan di berbagai perusahaan, namun belum juga mendapatkan hasil.
“Bapak tidak marah karena saya belum mendapatkan pekerjaan lagi?”, tanya Rahman. Bapak menggeleng pelan.
“Kenapa mesti marah? Lha wong memang belum ada ya mau bagaimana lagi, sabar saja kamu.”, timpal Bapak enteng.
“Rahman Cuma tidak mau jadi beban Bapak sama Ibu saja.”
Bapak tertawa, “Kalau kamu jadi beban buat Bapak, kenapa kamu dilahirkan dari rahim Ibumu? Omonganmu itu, Man, kayak orang susah saja. Memangnya selama ini kamu lihat orangtuamu ini begitu menderita atau bagaimana, ha? Mbok ya jangan dibikin susah, le. Kamu kan sudah berusaha mencari, sudah berusaha sekuat yang kamu mampu, ya sekarang tinggal berdoa dan serahkan semuanya sama Gusti Allah.”
Rahman tersenyum mendengar ucapan Bapaknya. Tidak terlihat ada beban sedikitpun ketika dia menatap mata Bapaknya yang mengeriput dimakan usia.
“Inshaallah saya akan segera dapat panggilan kerja, Pak. Janji saya mau buatkan warung belum terlaksana seratus persen. Bapak dan Ibu tunggu saja.”, ucap Rahman, seketika hatinya terbakar semangat kembali setelah beberapa minggu dia meratapi nasibnya yang tak kunjung mendapat pekerjaan.
“Mas Rahman juga janji mau belikan Khanif sepeda fixie yang kayak punya Danang, lho!”, seru seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dari arah dapur. Dialah Khanif, adik sematawayang Rahman yang baru duduk di kelas 4 Sekolah Dasar.
“Oiya Mas lupa, kemarin itu uangnya Mas pakai dulu buat nyicil motor. Nanti deh kalau Mas udah kerja lagi, Mas belikan kamu sepeda fixie seperti punya Danang.”
Mendengar itu Khanif melonjak kegirangan, “Yang lebih bagus dari punya Danang ya, Mas!”
“Gampaaang. Makanya Khanif doakan Mas, biar dapat kerja lagi.”, Rahman membelai rambut adiknya.
Bocah berkulit sawo matang berbadan kurus itupun langsung mengadahkan tangannya, “Ya Allah, berikan pekerjaan yang layak buat Mas Rahman yang kusayang ya Allah. Biar nanti aku bisa pamer sepeda fixie sama Danang yang sok ganteng itu, masa dia mau rebut Aisha pacar aku. Aku tidak terima ya Allah. Aamin.”
Rahman dan Bapak tertawa terpingkal-pingkal mendengar Khanif berdoa dengan lugunya.
“Eh, doanya kok ngawur begitu? Nanti Allah tidak mau mengabulkan lho, Nif!”, tegur Ibu dari dalam kamar.
“Kata siapa tidak dikabulkan? Khanif kan anak rajin, anak baik, pintar dan tidak sombong seperti Danang, Bu!”, timpal Khanif.
“Iya, iya, Khanif kan anak sholeh, pastinya doa Khanif dikabulkan sama Allah.”, ujar Bapak.
“Aamiin.”, ucap Khanif dan Rahman serempak.
*
Seperti biasa, pagi itu Rahman membantu Ibunya menata berbagai kue yang akan dijual di pasar. Kue lapis, lemper, bolu kukus dan pisang goreng krispi sudah tertata rapi dalam keranjang.
“Ibu tidak usah ke pasar, biar saya saja.”, kata Rahman seraya menyalakan mesin motornya.
“Eh, memangnya kamu bisa berjualan? Ah, ndak usah, nanti malah kamu salah beri harga. Sudah, antarkan Ibu saja.”, tampik Ibu kemudian naik di jok belakang motor.
“Ya sudah, nanti saya langsung ke kebun saja bantu Bapak setelah antar Ibu.”
Setelah mengantar Ibunya ke pasar, Rahman segera menuju kebun singkong untuk membantu Bapaknya. Kali ini, bukan kebun milik tetangga lagi namun kebun milik sendiri. Berkat tabungan Bapak yang dibantu oleh Rahman, akhirnya Bapak bisa membeli bibit dan menanam umbi di kebun peninggalan Kakek Rahman yang sudah lama tidak terurus. Beruntung tanah seluas 100 meter persegi itu tidak jadi dijual kepada makelar.
“Nanti jam 11 siang kamu jemput si Khanif ya, nanti langsung ke Pasar jemput Ibumu”, ujar Bapak ditengah kegiatan mencangkul.
“Baik, Pak.”

Suasana mendadak tegang siang itu. Ibu terus berkomat kamit membaca doa, Bapak masih berbicara dengan Dokter bersama Rahman.
“Begini, Pak. Ada faktur di kaki putra Bapak, jadi mau tidak mau harus mendapat perawatan di rumah sakit besar. Di sana fasilitasnya lebih memadai, jadi..”
“Pindahkan saja, Dok. Apapun itu lakukan yang terbaik buat adik saya!”
“Baik, kalau begitu akan saya buatkan surat rujukannya.”
Rahman masih tidak menyangka sewaktu hendak menjemput adiknya di Sekolah, dia melihat dengan mata kepala sendiri sebuah motor melaju kencang dan menerjang tubuh adiknya hingga terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pengemudi motor itu langsung kabur begitu saja tanpa sempat Rahman kejar.
“Pak, Khanif bagaimana Pak?”, tanya Ibu, gurat kecemasan terlihat jelas di wajahnya.
“Harus dibawa keluar kota, Bu, ke rumah sakit yang lebih besar.”, jawab Bapak lesu.
“Inalillahi.. lalu biayanya bagaimana, Pak? Kalau dibawa kesana butuh uang banyak.”
“Sementara ini pakai tabungan Bapak dulu. Inshaallah cukup untuk perawatan Khanif di sana, Bu.”
Rahman tersentak, “Jangan, Pak! Tabungan itu bakal dipakai untuk membeli tanah, jangan di pakai, Pak.”
Bapak menghela napas pendek, “Ndak apa-apa, Man. Kalau kepepet begini mau bagaimana lagi.”
“Tapi Bapak sudah susah payah menabung selama 10 tahun, Pak. Lebih baik pakai tabungan saya saja, kalau saya sudah kerja..”
“Man..”, Bapak menepuk bahu Rahman, “Jangan pakai tabunganmu, pakai punya Bapak saja. Bapak justru tidak rela kalau kamu menggunakan tabunganmu itu. “
“T-tapi, Pak..”
Tiba-tiba terdengar suara dering handphone dari saku celana Rahman, dia pun permisi untuk mengangkat telepon.
“Hah? Besok sore, Pak? Alhamdulillah, terimakasih banyak, Pak! Iya, selamat siang.”, Rahman menutup telepon dengan wajah penuh kelegaan. Dia memandang kedua orangtuanya dengan senyum yang diiringi tetesan air mata bahagia dari pelupuk matanya.
“Ada apa, le?”, tanya Ibu.
Rahman mengusap air matanya, “Pak, saya minta jangan pakai tabungan Bapak untuk pengobatan Khanif, biar saya saja yang tanggung dengan tabungan saya.”
“L-lho?”
“Besok sore saya sudah bisa berangkat ke Jakarta lagi, Pak!”

Dan akhirnya, Rahman mendapat senyum bahagia itu lagi. Senyum penuh kebanggaan dari kedua orangtuanya seperti dua tahun lalu, ketika pertamakali dia memberi kabar bahwa dia telah mendapat pekerjaan.
Akhirnya.. Alhamdulillah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar