Ale meletakkan
kembali cangkir kopi setelah meneguknya perlahan. Matanya kembali menatap tajam
gadis yang duduk berhadapan dengannya.
“Aku mau
kita putus.”, ucap Ale tanpa ragu. Wajahnya memasang ekspresi datar, tanpa senyum
atau menyiratkan candaan.
Nami, gadis
manis berkacamata yang duduk berhadapan dengan Ale menanggapi dengan senyum
tipis.
“Le, kalau
ada pasangan putus, berarti ada sesuatu dalam hubungan itu, minimal masalah
antara kita berdua. Tapi aku nggak merasa kita ada masalah apapun, bukannya
kita baik-baik aja ya selama ini?”, tanya Nami mencoba menyembunyikan guratan
kecewa di wajahnya.
Ale menghela
napas pendek, “Ya, kita memang keliatannya baik-baik aja, tapi justru
masalahnya itu karena kita selalu baik-baik aja, Nam.”
Alis Nami
terangkat satu, “Maksud kamu gimana sih?”
“Aku merasa
hubungan kita ini nggak normal, nggak seperti pasangan lainnya.”
“Nggak
normal dilihat dari mananya, Le?”
“Kamu pernah
menghitung berapa kali kita bertengkar?”
Nami tersentak,
karena seingatnya mereka tidak pernah sekalipun bertengkar. Atau minimal
berselisih pendapat hingga adu mulut.
“Ngapain aku
mesti ngingat-ngingat pertengkaran? Yang harus diingat itu yang baik-baik aja,
Le.”
“Kamu ingat
berapa kali kamu marah karena aku telat balas pesan kamu? kamu ingat berapa
kali aku harus minta maaf karena nggak bisa jemput kamu di tempat kerja? Kamu ingat
berapa kali kamu nangis gara-gara aku nggak datang pada Sabtu malam?”
Sekali lagi
Nami tersentak atas pertanyaan Ale yang bertubi-tubi itu. Setelah mencoba
mengingat kembali, tak pernah sekalipun dia bertengkar, marah ataupun menangis
karena Ale. Selama ini dia tidak pernah mempermasalahkan apakah Ale akan datang
menjemputnya di tempat kerja atau tidak? Apakah Ale ingat dengan tanggal jadian
mereka? Bagi Nami, semua itu tidak terlalu penting selama ada Ale menemaninya
dan selalu memberi kabar tanpa diminta. Nami bahkan tidak pernah menuntut
apapun jika Ale terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa memberi kabar. Dia tidak
marah jika Ale membatalkan kencan mereka dengan berbagai alasan.
“Kita udah
kenal sedari umur kita 6 tahun, Nam. Aku tahu sifat kamu, kamupun paham betul
sifat aku. Kita terbiasa sama-sama dari kecil, kita bersahabat begitu lama
sampai akhirnya kita mutusin untuk pacaran sejak 2 tahun lalu.”
“Lantas?”
“Aku merasa
kita ini tidak cocok untuk menjalin hubungan macam ini, Nam. Kita sudah
terbiasa bersahabat, bukan menjadi pasangan kekasih. Kita nggak pernah
bertengkar gara-gara masalah sepele seperti pasangan lain. Kamu juga tidak
pernah menuntut aku agar aku cepat melamar kamu, aku sendiri juga ragu untuk
memutuskannya jika melihatmu seperti itu. Lihat kita, Nam. Usia kita adalah
usia yang sudah pantas untuk memikirkan masa depan. Tapi kamu tak pernah
sekalipun mengungkit itu. Mau kamu itu apa, Nam? Mau senang-senang terus?”, Ale
mendesah pelan, “Lalu soal cinta. Kamu.. apa kamu cinta sama aku?”
Kali ini
pertanyaan Ale begitu menohok Nami. Wajahnya seketika memucat.
“Le..”
“Gini deh,
selama dua tahun ini, apa kamu merasa aku begitu spesial buat kamu? Apakah
memang aku yang kamu cari sebagai pendamping masa depan kamu?”
Nami meraih
jemari Ale, menggenggamnya erat, “Aku sayang sama kamu, Le. Aku selalu nyaman
di dekat kamu. Selama 25 tahun aku hidup, aku Cuma dekat sama kamu. Aku nggak
pernah nyari laki-laki lain buat nemanin aku. Apa harus ada bedanya saat kamu
masih jadi sahabat aku hingga kini jadi pacar aku? Semuanya bagiku sama aja,
asalkan kamu tetap disini, tetap sama aku, Le.”
“Nami..”
“Oke, untuk
masalah masa depan. Aku memang belum memikirkan itu sekarang. Aku masih fokus
sama kerjaan aku, dan aku pun tahu kamu punya kegiatan sendiri. Aku nggak
menuntut karena aku melihat keadaan kita sekarang yang sama-sama tengah berjuang
untuk meraih apa yang kita cita-citakan dulu, Le. Aku nggak mau merepotkan kamu
yang sedang sibuk-sibuknya rekaman sama band kamu. Aku menghormati kesibukan
kamu dengan cara nggak mengusik kamu dengan tuntutan ini itu. Toh aku nggak
merasa keberatan kamu cuekin untuk sementara. Memangnya kamu mau kalau aku
ngambek sama kamu gara-gara masalah sepele seperti itu? Kita ini udah dewasa,
Ale..”
“Tapi aku
nggak pernah melihat keseriusan itu di mata kamu, Nam. aku melihat kamu sama
seperti saat aku dan kamu masih jadi sahabat. Aku nggak melihat ada binar-binar
yang menunjukkan kalau aku ini spesial buat kamu.”
“Le, soal
cinta atau tidak itu nggak dilihat dari mata, tapi cukup dirasakan. Apa kamu
nggak pernah merasakan apapun saat bersama aku?”
“Jujur aja
aku merasa.. nggak ada perubahan perasaan sejak dulu, Nam. Aku kira setelah
kita berganti status jadi pasangan kekasih, bakal ada perasaan lebih yang aku
rasakan ke kamu. tapi selama dua tahun kita pacaran, aku..”
“Intinya..
kamu nggak cinta sama aku, Le?”
Kali ini Ale
yang tersentak mendengar pertanyaan Nami.
“Beberapa
bulan belakangan aku merasa kamu terkontaminasi sama teman-teman kamu deh. Kamu
dulu nggak pernah mempermasalahkan status pacaran kita, kamu nggak pernah
sekalipun ungkit soal gimana hubungan kita ini kedepannya. Kamu selalu bilang
semua akan ada waktunya, dan waktunya bukan saat ini. Tapi semenjak teman-teman
kamu mulai menyebar undangan pernikahan, mulai memamerkan pasangan mereka dan
menceritakan berbagai pertengkaran yang terjadi sama kamu..”
“Justru
karena merekalah aku jadi sadar kalau hubungan kita ini nggak normal. Terlalu datar,
biasa, dan seperti tanpa perasaan. Apa kita pernah mencuri-curi waktu buat
ciuman? Apa kita pernah pelukan sampai sesak? Nam, kita udah terbiasa menjadi
sahabat sampai kita nggak tau gimana caranya pacaran. Hubungan kita berdua ini cuma
berganti status sahabat jadi kekasih. Untuk hal lain, nggak ada bedanya..”
“Lantas kamu
mau cari cewek lain untuk jadi kekasih kamu? Dan aku.. aku Cuma jadi sahabat
kamu, gitu?”
“Nam..”
“Gimana kalau
setelah kita pisah, yang terjadi malah kita nggak bisa jadi sahabat lagi? Kamu
nggak keberatan soal itu?”
“Kamu nggak
mau kita bersahabat lagi?”
“Jadi kamu
benar-benar ingin kita putus?”, tanya Nami dengan nada retoris.
Ale memandang
Nami yang mulai meneteskan air mata. Sebenarnya Ale tidak tega melihatnya,
namun dia harus tegas pada ucapannya sendiri. Dia benar-benar tidak ingin
melanjutkan hubungan yang sudah terjalin selama 2 tahun ini. Baginya, Nami akan
selalu jadi sahabatnya, bukan jadi pasangan hidupnya.
“Aku sayang
kamu, Ale. Dan aku merasa hubungan kita ini normal layaknya sepasang kekasih. Karena
aku tau kamu lebih dari siapapun, Le. Begitupun kamu, yang tau segalanya
tentang aku lebih dari siapapun. Bukankah kamu sendiri yang bilang, kita ini
seperti kembar siam, yang jika terpisah belum tentu salah satu dari kita akan
hidup, atau malah mati keduanya. Tapi kenapa sekarang kamu berubah pikiran Le?”
“Nami, aku..”
“It’s okay. Apapun
alasan kamu, aku akan terima.”, Nami beranjak dari kursi kemudian menghampiri
Ale. Ditatapnya wajah tampan itu dengan mata nanar. Selang beberapa detik, Ale
hanya bisa bergeming begitu menerima kecupan di bibirnya dari Nami.
*
Beberapa hari
kemudian..
“Ale mana,
Nam? Kok kayaknya udah lama nggak main ke rumah?”, tanya Nabel, kakak
sematawayang Nami.
“Kami udah
putus, Mbak.”, jawab Nami datar, matanya tetap fokus pada majalah yang
dibacanya.
Nabel Cuma mengangguk
mengerti, dia seakan mengerti alasan mengapa akhirnya Nami dan Ale berpisah. Karena
dua hari sebelum Ale memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Nami, dia
sudah berkonsutasi dulu dengan Nabel. Sebenarnya Nabel sudah menyuruhnya untuk
tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Namun tekad Ale sudah bulat dan tidak
bisa diganggu gugat, dia ingin kembali menjadi sahabat Nami, bukan menjadi
kekasihnya.
Tapi di
dalam hati Nabel, dia tidak yakin jika Ale akan benar-benar meninggalkan Nami. Karena
dia tau sendiri jika Ale dan adiknya itu tidak bisa terpisahkan. Meski memang
terlihat dari luar mereka tidak seperti pasangan kekasih pada umumnya, Ale dan
Nami sama-sama saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain. Sudah pasti
mereka saling menyayangi bahkan saling mencintai. Nami bahkan mengaku tidak
pernah dekat laki-laki lain selain Ale. Begitupun Ale yang enggan terlalu dekat
dengan gadis lain karena tidak ingin mengkhianati Nami.
“Palingan
nanti dia juga ke rumah, Nam. Tungguin aja sampai sore.”, celetuk Nabel seraya
mengambil majalah di bawah meja ruang tamu.
“Ah, sok
tau. Mana mungkin dia datang setelah dua hari ngilang ngga ada kabar? Palingan dia
juga udah dapat cewek lain.”, tukas Nami.
“Mau taruhan
sama aku? Tepat jam 3 nanti, dia akan datang kesini sambil bawa bunga
mawar dan ngajakin kamu balikan.”
Nami melirik
jam dinding yang menunjukkan pukul 14:50.
“Ngaco, ah!”
“Yeee,
buktiin aja ntar.”
Nami tak
lagi menanggapi ocehan kakaknya, dia pun melengos ke kamar. Namun tak lama
kemudian dia mendengar ada suara mesin mobil terparkir di depan rumahnya. Dia terperanjat.
Nami pun
buru-buru keluar rumah untuk memastikan. Dan ternyata, ramalan kakaknya tepat. Ale
berdiri dengan membawa setangkai mawar merah di tangannya.
“Aku nggak
bisa tanpa kamu, Nam. Maaf atas keputusan aku yang keliru tempo hari. Aku sayang
kamu, aku cinta kamu.”
Nami menyunggingkan
senyumnya lebar, kemudian segera mendekap Ale dalam pelukannya. Ale membalas
pelukannya lebih erat. Dan tanpa membuang waktu lagi, segera dikecupnya kening,
pipi, dan bibir Nami.
Nabel yang
mengintip dari jendela terkikik geli sambil membaca ulang sebuah pesan yang
tertera di layar handphonenya
‘Mbak, jam 3
nanti aku ke rumah bawa mawar buat Nami, aku mau ngajak dia balikan. Mbak bantuin
aku ya?
Ale.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar