Sabtu, 15 November 2014

Waktu Yang Tak Tepat Untuk Berpisah



Ale meletakkan kembali cangkir kopi setelah meneguknya perlahan. Matanya kembali menatap tajam gadis yang duduk berhadapan dengannya.
“Aku mau kita putus.”, ucap Ale tanpa ragu. Wajahnya memasang ekspresi datar, tanpa senyum atau menyiratkan candaan.
Nami, gadis manis berkacamata yang duduk berhadapan dengan Ale menanggapi dengan senyum tipis.
“Le, kalau ada pasangan putus, berarti ada sesuatu dalam hubungan itu, minimal masalah antara kita berdua. Tapi aku nggak merasa kita ada masalah apapun, bukannya kita baik-baik aja ya selama ini?”, tanya Nami mencoba menyembunyikan guratan kecewa di wajahnya.
Ale menghela napas pendek, “Ya, kita memang keliatannya baik-baik aja, tapi justru masalahnya itu karena kita selalu baik-baik aja, Nam.”
Alis Nami terangkat satu, “Maksud kamu gimana sih?”
“Aku merasa hubungan kita ini nggak normal, nggak seperti pasangan lainnya.”
“Nggak normal dilihat dari mananya, Le?”
“Kamu pernah menghitung berapa kali kita bertengkar?”
Nami tersentak, karena seingatnya mereka tidak pernah sekalipun bertengkar. Atau minimal berselisih pendapat hingga adu mulut.
“Ngapain aku mesti ngingat-ngingat pertengkaran? Yang harus diingat itu yang baik-baik aja, Le.”
“Kamu ingat berapa kali kamu marah karena aku telat balas pesan kamu? kamu ingat berapa kali aku harus minta maaf karena nggak bisa jemput kamu di tempat kerja? Kamu ingat berapa kali kamu nangis gara-gara aku nggak datang pada Sabtu malam?”
Sekali lagi Nami tersentak atas pertanyaan Ale yang bertubi-tubi itu. Setelah mencoba mengingat kembali, tak pernah sekalipun dia bertengkar, marah ataupun menangis karena Ale. Selama ini dia tidak pernah mempermasalahkan apakah Ale akan datang menjemputnya di tempat kerja atau tidak? Apakah Ale ingat dengan tanggal jadian mereka? Bagi Nami, semua itu tidak terlalu penting selama ada Ale menemaninya dan selalu memberi kabar tanpa diminta. Nami bahkan tidak pernah menuntut apapun jika Ale terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa memberi kabar. Dia tidak marah jika Ale membatalkan kencan mereka dengan berbagai alasan.
“Kita udah kenal sedari umur kita 6 tahun, Nam. Aku tahu sifat kamu, kamupun paham betul sifat aku. Kita terbiasa sama-sama dari kecil, kita bersahabat begitu lama sampai akhirnya kita mutusin untuk pacaran sejak 2 tahun lalu.”
“Lantas?”
“Aku merasa kita ini tidak cocok untuk menjalin hubungan macam ini, Nam. Kita sudah terbiasa bersahabat, bukan menjadi pasangan kekasih. Kita nggak pernah bertengkar gara-gara masalah sepele seperti pasangan lain. Kamu juga tidak pernah menuntut aku agar aku cepat melamar kamu, aku sendiri juga ragu untuk memutuskannya jika melihatmu seperti itu. Lihat kita, Nam. Usia kita adalah usia yang sudah pantas untuk memikirkan masa depan. Tapi kamu tak pernah sekalipun mengungkit itu. Mau kamu itu apa, Nam? Mau senang-senang terus?”, Ale mendesah pelan, “Lalu soal cinta. Kamu.. apa kamu cinta sama aku?”
Kali ini pertanyaan Ale begitu menohok Nami. Wajahnya seketika memucat.
“Le..”
“Gini deh, selama dua tahun ini, apa kamu merasa aku begitu spesial buat kamu? Apakah memang aku yang kamu cari sebagai pendamping masa depan kamu?”
Nami meraih jemari Ale, menggenggamnya erat, “Aku sayang sama kamu, Le. Aku selalu nyaman di dekat kamu. Selama 25 tahun aku hidup, aku Cuma dekat sama kamu. Aku nggak pernah nyari laki-laki lain buat nemanin aku. Apa harus ada bedanya saat kamu masih jadi sahabat aku hingga kini jadi pacar aku? Semuanya bagiku sama aja, asalkan kamu tetap disini, tetap sama aku, Le.”
“Nami..”
“Oke, untuk masalah masa depan. Aku memang belum memikirkan itu sekarang. Aku masih fokus sama kerjaan aku, dan aku pun tahu kamu punya kegiatan sendiri. Aku nggak menuntut karena aku melihat keadaan kita sekarang yang sama-sama tengah berjuang untuk meraih apa yang kita cita-citakan dulu, Le. Aku nggak mau merepotkan kamu yang sedang sibuk-sibuknya rekaman sama band kamu. Aku menghormati kesibukan kamu dengan cara nggak mengusik kamu dengan tuntutan ini itu. Toh aku nggak merasa keberatan kamu cuekin untuk sementara. Memangnya kamu mau kalau aku ngambek sama kamu gara-gara masalah sepele seperti itu? Kita ini udah dewasa, Ale..”
“Tapi aku nggak pernah melihat keseriusan itu di mata kamu, Nam. aku melihat kamu sama seperti saat aku dan kamu masih jadi sahabat. Aku nggak melihat ada binar-binar yang menunjukkan kalau aku ini spesial buat kamu.”
“Le, soal cinta atau tidak itu nggak dilihat dari mata, tapi cukup dirasakan. Apa kamu nggak pernah merasakan apapun saat bersama aku?”
“Jujur aja aku merasa.. nggak ada perubahan perasaan sejak dulu, Nam. Aku kira setelah kita berganti status jadi pasangan kekasih, bakal ada perasaan lebih yang aku rasakan ke kamu. tapi selama dua tahun kita pacaran, aku..”
“Intinya.. kamu nggak cinta sama aku, Le?”
Kali ini Ale yang tersentak mendengar pertanyaan Nami.
“Beberapa bulan belakangan aku merasa kamu terkontaminasi sama teman-teman kamu deh. Kamu dulu nggak pernah mempermasalahkan status pacaran kita, kamu nggak pernah sekalipun ungkit soal gimana hubungan kita ini kedepannya. Kamu selalu bilang semua akan ada waktunya, dan waktunya bukan saat ini. Tapi semenjak teman-teman kamu mulai menyebar undangan pernikahan, mulai memamerkan pasangan mereka dan menceritakan berbagai pertengkaran yang terjadi sama kamu..”
“Justru karena merekalah aku jadi sadar kalau hubungan kita ini nggak normal. Terlalu datar, biasa, dan seperti tanpa perasaan. Apa kita pernah mencuri-curi waktu buat ciuman? Apa kita pernah pelukan sampai sesak? Nam, kita udah terbiasa menjadi sahabat sampai kita nggak tau gimana caranya pacaran. Hubungan kita berdua ini cuma berganti status sahabat jadi kekasih. Untuk hal lain, nggak ada bedanya..”
“Lantas kamu mau cari cewek lain untuk jadi kekasih kamu? Dan aku.. aku Cuma jadi sahabat kamu, gitu?”
“Nam..”
“Gimana kalau setelah kita pisah, yang terjadi malah kita nggak bisa jadi sahabat lagi? Kamu nggak keberatan soal itu?”
“Kamu nggak mau kita bersahabat lagi?”
“Jadi kamu benar-benar ingin kita putus?”, tanya Nami dengan nada retoris.
Ale memandang Nami yang mulai meneteskan air mata. Sebenarnya Ale tidak tega melihatnya, namun dia harus tegas pada ucapannya sendiri. Dia benar-benar tidak ingin melanjutkan hubungan yang sudah terjalin selama 2 tahun ini. Baginya, Nami akan selalu jadi sahabatnya, bukan jadi pasangan hidupnya.
“Aku sayang kamu, Ale. Dan aku merasa hubungan kita ini normal layaknya sepasang kekasih. Karena aku tau kamu lebih dari siapapun, Le. Begitupun kamu, yang tau segalanya tentang aku lebih dari siapapun. Bukankah kamu sendiri yang bilang, kita ini seperti kembar siam, yang jika terpisah belum tentu salah satu dari kita akan hidup, atau malah mati keduanya. Tapi kenapa sekarang kamu berubah pikiran Le?”
“Nami, aku..”
“It’s okay. Apapun alasan kamu, aku akan terima.”, Nami beranjak dari kursi kemudian menghampiri Ale. Ditatapnya wajah tampan itu dengan mata nanar. Selang beberapa detik, Ale hanya bisa bergeming begitu menerima kecupan di bibirnya dari Nami.
*
Beberapa hari kemudian..
“Ale mana, Nam? Kok kayaknya udah lama nggak main ke rumah?”, tanya Nabel, kakak sematawayang Nami.
“Kami udah putus, Mbak.”, jawab Nami datar, matanya tetap fokus pada majalah yang dibacanya.
Nabel Cuma mengangguk mengerti, dia seakan mengerti alasan mengapa akhirnya Nami dan Ale berpisah. Karena dua hari sebelum Ale memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Nami, dia sudah berkonsutasi dulu dengan Nabel. Sebenarnya Nabel sudah menyuruhnya untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Namun tekad Ale sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat, dia ingin kembali menjadi sahabat Nami, bukan menjadi kekasihnya.
Tapi di dalam hati Nabel, dia tidak yakin jika Ale akan benar-benar meninggalkan Nami. Karena dia tau sendiri jika Ale dan adiknya itu tidak bisa terpisahkan. Meski memang terlihat dari luar mereka tidak seperti pasangan kekasih pada umumnya, Ale dan Nami sama-sama saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain. Sudah pasti mereka saling menyayangi bahkan saling mencintai. Nami bahkan mengaku tidak pernah dekat laki-laki lain selain Ale. Begitupun Ale yang enggan terlalu dekat dengan gadis lain karena tidak ingin mengkhianati Nami.
“Palingan nanti dia juga ke rumah, Nam. Tungguin aja sampai sore.”, celetuk Nabel seraya mengambil majalah di bawah meja ruang tamu.
“Ah, sok tau. Mana mungkin dia datang setelah dua hari ngilang ngga ada kabar? Palingan dia juga udah dapat cewek lain.”, tukas Nami.
“Mau taruhan sama aku? Tepat jam 3 nanti, dia akan datang kesini sambil bawa bunga mawar  dan ngajakin kamu balikan.”
Nami melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 14:50.
“Ngaco, ah!”
“Yeee, buktiin aja ntar.”
Nami tak lagi menanggapi ocehan kakaknya, dia pun melengos ke kamar. Namun tak lama kemudian dia mendengar ada suara mesin mobil terparkir di depan rumahnya.  Dia terperanjat.
Nami pun buru-buru keluar rumah untuk memastikan. Dan ternyata, ramalan kakaknya tepat. Ale berdiri dengan membawa setangkai mawar merah di tangannya.
“Aku nggak bisa tanpa kamu, Nam. Maaf atas keputusan aku yang keliru tempo hari. Aku sayang kamu, aku cinta kamu.”
Nami menyunggingkan senyumnya lebar, kemudian segera mendekap Ale dalam pelukannya. Ale membalas pelukannya lebih erat. Dan tanpa membuang waktu lagi, segera dikecupnya kening, pipi, dan bibir Nami.
Nabel yang mengintip dari jendela terkikik geli sambil membaca ulang sebuah pesan yang tertera di layar handphonenya

‘Mbak, jam 3 nanti aku ke rumah bawa mawar buat Nami, aku mau ngajak dia balikan. Mbak bantuin aku ya?

Ale.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar