“Plis La,
bantuin aku ya!”, Vega menarikku masuk ke dalam kafetaria kampus. Aku tersentak
kaget.
“Eh, bentar
dulu. Kamu kenapa sih?”, tanyaku seraya duduk di sebelah Vega.
Vega adalah
seorang teman SMA yang berbeda fakultas denganku, aku di fakultas Bahasa dan
Seni, dia Teknik Sipil. Dulu kami terbilang cukup akrab saat SMA karena selalu
berada dalam satu kelas yang sama. Tapi semenjak kuliah, kami jarang sekali
bertemu meski sekedar untuk mengobrol. Mungkin karena jarak gedung fakultas
kami yang lumayan jauh, hingga mengurangi intensitas untuk bertemu.
Tapi siang
ini aku dikejutkan dengan kemunculannya yang mendadak. Iya, mendadak tanganku
ditarik-tarik olehnya dan diminta untuk membantu permasalahannya yang entah
apa.
“Aku tau
banget La, kamu ahli banget dalam hal ini. Makanya aku minta bantuan kamu.”,
kata Vega dengan mimik wajah panik.
Aku mengernyitkan
dahi, “Aku ahli dalam hal ini? Dalam hal apaan?”
“Dalam hal
menghadapi mantan pacar!”, jawab Vega lantang. Aku tercengang.
“H-hah??”
“Iya! Aku punya
permasalahan sama mantan aku, La. Jadi gini..”
Aku mengangkat
kedua tangan di depan dada, mengisyaratkan Vega agar tidak bercerita lebih
dulu.
“Kamu kesini
nyamperin aku dengan terburu-buru, Cuma karena mau.. curhat soal mantan? Ya Tuhan!”
Vega menggigit
bibirnya, sedikit tersipu. “Kamu bisa bantuin aku kan, La? Paling enggak
dengerin cerita aku dulu.”
Aku menghela
napas panjang. “Oke. Gimana?”
Vega membetulkan
posisi duduknya agar lebih dekat denganku.
“Dua tahun lalu
aku pacaran sama cowok bernama Kenny, dia adalah teman dari gebetan aku
sebelumnya, Renno. Aku sama Kenny kenalan karena Renno yang ngasih nomerku
tanpa permisi ke Kenny. Sampai sini kamu ngerti kan, La?”
Aku mengangguk,
“Iya, terus?”
“Nah,
sebenarnya aku nggak terlalu suka sama Kenny, tapi dia kayak ngejar aku terus. Padahal
waktu itu hati aku Cuma tertuju buat Renno seorang. Tapi apalah daya, Renno Cuma
nganggap aku teman curhat doang, dan akhirnya dengan terpaksa aku nerima cinta
Kenny.”
Mata Vega
terpejam sebentar, desahan nafasnya terdengar berat.
“Aku sayaaang
banget sama Renno, La. Dia segalanya buat aku. Oke, mungkin sebagian orang yang
tau soal perasaanku ke Renno nganggap ini Cuma obsesi konyol, tapi perasaanku
ke dia nyata adanya, La. Aku rapuh banget tanpa dia.”
Tunggu,
entah kenapa aku seperti mengenal cerita semacam ini. Tapi.. di mana aku
mendengarnya?
“Akhirnya
aku sama Kenny pacaran, dan saat itu perasaanku ke Kenny Cuma sebatas pelarian
karena Renno pacaran sama orang lain. Kenny pun nggak tau kalau sebenarnya aku
cinta banget sama Renno. Tapi melihat Kenny yang begitu baik dan sabar ngadepin
aku, lama kelamaan aku luluh, La. Awalnya aku ngira ini Cuma perasaan iba, atau
simpati belaka. Tapi setelah aku curhat sama sahabat aku, Tania, aku baru sadar
kalau aku mulai sayang sama Kenny. Dia baik banget, La. Aku sampai merasa
bersalah karena udah mengabaikan perasaan yang dia beri buat aku, dan dengan
teganya aku malah Cuma jadiin dia pelarian.”
Aku merasa
ada setruman mendadak yang menyerang kulit tanganku. Hei, apa ini?
“Waktu itu
aku bingung La, aku nggak tau mesti gimana ngadepin perasaanku sendiri. Aku
merasa serba salah. Kalau aku ngaku ke Kenny tentang perasaanku ke Renno yang
gak pernah ilang, aku takut dia bakal ninggalin aku atau parahnya benci
selamanya sama aku. Tapi di sisi lain aku merasa udah membohongi dia, aku mau
hubungan ini berjalan tanpa ada apapun yang ditutupi.”
Tunggu, aku
yakin aku pernah mendengar cerita semacam ini sebelumnya. Kenapa begitu
terdengar familiar?
“Dan
akhirnya, aku jujur sama Kenny kalau perasaanku
masih berat buat Renno. Tapi bukan berarti aku gak sayang sama dia, aku
sayang kok. Cuma aku nggak mau nyiksa dia lebih lama lagi dengan perasaanku
yang egois banget ini. Dan bisa ditebak, Kenny mutusin aku saat itu juga.”
Aku bisa
melihat ada genangan di pelupuk mata Vega yang tak lama lagi akan tumpah. Dan sekali
lagi, aku merasa mendapat setruman mendadak. Kali ini pada kakiku.
“Selama dua
tahun sejak kejadian itu, aku dan Kenny lost contact. Aku pernah nyoba buat
menghubungi dia, tapi selalu nggak dapat respon yang baik dari dia. Dia.. dia
benci banget sama aku, La. Kenny benci banget sama aku.”, air mata yang
semenjak tadi Vega tahan akhirnya mengucur deras.
“Padahal aku
selalu berharap aku dan Kenny bisa jadi teman baik setelah putus, tapi ternyata
enggak. Dia langsung menghilang dari pandangan aku, dia nggak pernah muncul
sekalipun setelah itu. Terakhir aku dengar dia kerja di luar kota, dan lucunya,
dia kerja satu tempat dengan Renno.”, Vega mencoba tersenyum seraya menyeka air
matanya dengan tissue yang kuberikan.
“Aku lega
hubungan Renno dan Kenny baik-baik aja, mereka masih tetap berteman baik. Tapi
yang baru aku tau adalah, Kenny cerita tentang aku ke Renno. Dan dua minggu
lalu Renno menegur aku. Oh iya, aku dan Renno masih sering chattingan lewat
BBM.”
“Dia negur
kamu? Soal apa?”, tanyaku.
“Soal
sikapku yang keterlaluan ke Kenny. Mungkin sekarang Renno menganggap aku
sebagai cewek yang jahat, atau.. entahlah. Aku nggak bisa baca isi hati dia
dari dulu. Aku nggak pernah tau seperti apa Renno menganggap aku.”
Deg! Cerita ini
begitu familiar. Apa aku pernah mendengarnya lewat sandiwara radio? Atau aku
pernah membacanya di sebuah novel?
“Tapi yang
jelas sekarang aku tau kalau Kenny benar-benar benci sama aku, La. Dia nggak
bakalan sudi ketemu atau bahkan liat muka aku lagi. Aku nyesel La, sumpah. Aku nyesal
kenapa bisa setega itu sama orang yang udah sayang banget sama aku. Sumpah aku
nggak bisa maafin diri aku sendiri, La. Aku harus gimana?”
“Ve, gini..”,
aku menghela napas pendek. Entah kenapa dadaku mendadak sesak.
“Aku udah
berusaha minta maaf ke Kenny berkali-kali, tapi dia nggak pernah menanggapi
dengan baik niat baik aku, La. oke, aku memang yang jahat, aku yang salah. Tapi
aku nggak mau kalau dia sampai benci selamanya sama aku. Olla, Riris bilang
kamu pernah ngalamin hal yang sama, makanya aku minta solusi dari kamu.”
Kalimat terakhir
Vega akhirnya menyadarkanku. Ya. Kisah yang barusan aku dengar dari mulut Vega
adalah kisah yang pernah kualami juga. Kisah itu kualami bersama Irham dan
Odie.
Aku mendengus.
Pantas saja terdengar familiar.
“Gini, Ve,
aku nggak bisa ngasih solusi banyak. Aku Cuma minta kamu untuk menerima apapun
keputusan Kenny. Oke, kamu udah berusaha untuk minta maaf sama dia, tapi dia
nggak menanggapi dengan baik. Ya sudah, biarkan saja seperti itu, yang penting
kamu udah nunjukin itikad baik kamu sama Kenny. Urusan dia mau memaafkan atau
tidak, itu hak dia.”
“Tapi, La. Aku
nggak mau dia benci selamanya sama aku.”
“Dia nggak
akan benci sama kamu, Ve. Dia Cuma butuh waktu lebih lama terlepas dari
bayang-bayang kamu. Dan tugasmu sekarang adalah mengikhlaskannya pergi. Kamu nggak
perlu lagi ngejar dia untuk minta maaf, atau memintanya buat jadi teman kamu. Kalaupun
dia bersedia berteman dengan kamu, sudah pasti dia akan menanggapi kamu dengan
baik, kan? Mungkin kalau kamu terus-terusan ngejar dia buat dapetin maaf, yang
ada dia malah makin jauh.”
“Jadi
intinya..”
“Kini
saatnya kamu benar-benar melepas dia. Cukup mendoakannya saja agar dia selalu
bahagia di manapun dia berada, dengan siapapun dia. Itu udah cukup. Banget.”
Vega memandangku
dengan senyum tipis, “Kamu tegar banget ya, La?”
“Hah? Tegar gimana?”
“Yaa, kisah
kita ini hampir sama, dan harusnya kamu ngalamin stres yang sama kayak aku.
Tapi saat aku lihat wajah kamu, seolah gak ada beban apapun, La. Kamu tegar.”
Aku terhenyak.
Tegar? Aku? Aku rasa Vega salah. Aku tidak setegar yang dia kira, aku tidak
pernah sekuat yang dia kira.
Aku lemah.
*
Mendengar cerita
Vega yang mengalami hal serupa denganku, membuatku sekaligus berintrospeksi
pada diriku sendiri. Aku sangat menyadari ketololanku dalam menghadapi
perasaanku sendiri, keegoisanku yang tak pernah hilang, sikap keras kepala yang
menyebalkan hingga membuat seseorang jauh dariku.
Ya, kini
jarak antara aku dan Odie seolah tak bisa diukur oleh apapun. Terlalu jauh. Aku
bahkan sampai hilang harapan bertemu dengannya lagi setelah kejadian waktu itu.
Namun seperti
yang kukatakan pada Vega, aku akan selalu mendoakannya di manapun dia, dan
dengan siapapun dia berada. Meski di sana dia tidak melakukan hal yang sama,
meski dalam hatinya tersimpan berbagai cacian untukku, meski raganya enggan
untuk menemuiku lagi.
Aku merasa
tidak apa-apa. Aku merasa sikapnya sangat wajar dan masuk akal.
Bencilah aku
sepuasmu. Caci maki aku semaumu. Aku sungguh tidak apa-apa, Odie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar