Minggu, 23 November 2014

Cerita Yang Serupa



“Plis La, bantuin aku ya!”, Vega menarikku masuk ke dalam kafetaria kampus. Aku tersentak kaget.
“Eh, bentar dulu. Kamu kenapa sih?”, tanyaku seraya duduk di sebelah Vega.
Vega adalah seorang teman SMA yang berbeda fakultas denganku, aku di fakultas Bahasa dan Seni, dia Teknik Sipil. Dulu kami terbilang cukup akrab saat SMA karena selalu berada dalam satu kelas yang sama. Tapi semenjak kuliah, kami jarang sekali bertemu meski sekedar untuk mengobrol. Mungkin karena jarak gedung fakultas kami yang lumayan jauh, hingga mengurangi intensitas untuk bertemu.
Tapi siang ini aku dikejutkan dengan kemunculannya yang mendadak. Iya, mendadak tanganku ditarik-tarik olehnya dan diminta untuk membantu permasalahannya yang entah apa.
“Aku tau banget La, kamu ahli banget dalam hal ini. Makanya aku minta bantuan kamu.”, kata Vega dengan mimik wajah panik.
Aku mengernyitkan dahi, “Aku ahli dalam hal ini? Dalam hal apaan?”
“Dalam hal menghadapi mantan pacar!”, jawab Vega lantang. Aku tercengang.
“H-hah??”
“Iya! Aku punya permasalahan sama mantan aku, La. Jadi gini..”
Aku mengangkat kedua tangan di depan dada, mengisyaratkan Vega agar tidak bercerita lebih dulu.
“Kamu kesini nyamperin aku dengan terburu-buru, Cuma karena mau.. curhat soal mantan? Ya Tuhan!”
Vega menggigit bibirnya, sedikit tersipu. “Kamu bisa bantuin aku kan, La? Paling enggak dengerin cerita aku dulu.”
Aku menghela napas panjang. “Oke. Gimana?”
Vega membetulkan posisi duduknya agar lebih dekat denganku.
“Dua tahun lalu aku pacaran sama cowok bernama Kenny, dia adalah teman dari gebetan aku sebelumnya, Renno. Aku sama Kenny kenalan karena Renno yang ngasih nomerku tanpa permisi ke Kenny. Sampai sini kamu ngerti kan, La?”
Aku mengangguk, “Iya, terus?”
“Nah, sebenarnya aku nggak terlalu suka sama Kenny, tapi dia kayak ngejar aku terus. Padahal waktu itu hati aku Cuma tertuju buat Renno seorang. Tapi apalah daya, Renno Cuma nganggap aku teman curhat doang, dan akhirnya dengan terpaksa aku nerima cinta Kenny.”
Mata Vega terpejam sebentar, desahan nafasnya terdengar berat.
“Aku sayaaang banget sama Renno, La. Dia segalanya buat aku. Oke, mungkin sebagian orang yang tau soal perasaanku ke Renno nganggap ini Cuma obsesi konyol, tapi perasaanku ke dia nyata adanya, La. Aku rapuh banget tanpa dia.”
Tunggu, entah kenapa aku seperti mengenal cerita semacam ini. Tapi.. di mana aku mendengarnya?
“Akhirnya aku sama Kenny pacaran, dan saat itu perasaanku ke Kenny Cuma sebatas pelarian karena Renno pacaran sama orang lain. Kenny pun nggak tau kalau sebenarnya aku cinta banget sama Renno. Tapi melihat Kenny yang begitu baik dan sabar ngadepin aku, lama kelamaan aku luluh, La. Awalnya aku ngira ini Cuma perasaan iba, atau simpati belaka. Tapi setelah aku curhat sama sahabat aku, Tania, aku baru sadar kalau aku mulai sayang sama Kenny. Dia baik banget, La. Aku sampai merasa bersalah karena udah mengabaikan perasaan yang dia beri buat aku, dan dengan teganya aku malah Cuma jadiin dia pelarian.”
Aku merasa ada setruman mendadak yang menyerang kulit tanganku. Hei, apa ini?
“Waktu itu aku bingung La, aku nggak tau mesti gimana ngadepin perasaanku sendiri. Aku merasa serba salah. Kalau aku ngaku ke Kenny tentang perasaanku ke Renno yang gak pernah ilang, aku takut dia bakal ninggalin aku atau parahnya benci selamanya sama aku. Tapi di sisi lain aku merasa udah membohongi dia, aku mau hubungan ini berjalan tanpa ada apapun yang ditutupi.”
Tunggu, aku yakin aku pernah mendengar cerita semacam ini sebelumnya. Kenapa begitu terdengar familiar?
“Dan akhirnya, aku jujur sama Kenny kalau perasaanku  masih berat buat Renno. Tapi bukan berarti aku gak sayang sama dia, aku sayang kok. Cuma aku nggak mau nyiksa dia lebih lama lagi dengan perasaanku yang egois banget ini. Dan bisa ditebak, Kenny mutusin aku saat itu juga.”
Aku bisa melihat ada genangan di pelupuk mata Vega yang tak lama lagi akan tumpah. Dan sekali lagi, aku merasa mendapat setruman mendadak. Kali ini pada kakiku.
“Selama dua tahun sejak kejadian itu, aku dan Kenny lost contact. Aku pernah nyoba buat menghubungi dia, tapi selalu nggak dapat respon yang baik dari dia. Dia.. dia benci banget sama aku, La. Kenny benci banget sama aku.”, air mata yang semenjak tadi Vega tahan akhirnya mengucur deras.
“Padahal aku selalu berharap aku dan Kenny bisa jadi teman baik setelah putus, tapi ternyata enggak. Dia langsung menghilang dari pandangan aku, dia nggak pernah muncul sekalipun setelah itu. Terakhir aku dengar dia kerja di luar kota, dan lucunya, dia kerja satu tempat dengan Renno.”, Vega mencoba tersenyum seraya menyeka air matanya dengan tissue yang kuberikan.
“Aku lega hubungan Renno dan Kenny baik-baik aja, mereka masih tetap berteman baik. Tapi yang baru aku tau adalah, Kenny cerita tentang aku ke Renno. Dan dua minggu lalu Renno menegur aku. Oh iya, aku dan Renno masih sering chattingan lewat BBM.”
“Dia negur kamu? Soal apa?”, tanyaku.
“Soal sikapku yang keterlaluan ke Kenny. Mungkin sekarang Renno menganggap aku sebagai cewek yang jahat, atau.. entahlah. Aku nggak bisa baca isi hati dia dari dulu. Aku nggak pernah tau seperti apa Renno menganggap aku.”
Deg! Cerita ini begitu familiar. Apa aku pernah mendengarnya lewat sandiwara radio? Atau aku pernah membacanya di sebuah novel?
“Tapi yang jelas sekarang aku tau kalau Kenny benar-benar benci sama aku, La. Dia nggak bakalan sudi ketemu atau bahkan liat muka aku lagi. Aku nyesel La, sumpah. Aku nyesal kenapa bisa setega itu sama orang yang udah sayang banget sama aku. Sumpah aku nggak bisa maafin diri aku sendiri, La. Aku harus gimana?”
“Ve, gini..”, aku menghela napas pendek. Entah kenapa dadaku mendadak sesak.
“Aku udah berusaha minta maaf ke Kenny berkali-kali, tapi dia nggak pernah menanggapi dengan baik niat baik aku, La. oke, aku memang yang jahat, aku yang salah. Tapi aku nggak mau kalau dia sampai benci selamanya sama aku. Olla, Riris bilang kamu pernah ngalamin hal yang sama, makanya aku minta solusi dari kamu.”
Kalimat terakhir Vega akhirnya menyadarkanku. Ya. Kisah yang barusan aku dengar dari mulut Vega adalah kisah yang pernah kualami juga. Kisah itu kualami bersama Irham dan Odie.
Aku mendengus. Pantas saja terdengar familiar.
“Gini, Ve, aku nggak bisa ngasih solusi banyak. Aku Cuma minta kamu untuk menerima apapun keputusan Kenny. Oke, kamu udah berusaha untuk minta maaf sama dia, tapi dia nggak menanggapi dengan baik. Ya sudah, biarkan saja seperti itu, yang penting kamu udah nunjukin itikad baik kamu sama Kenny. Urusan dia mau memaafkan atau tidak, itu hak dia.”
“Tapi, La. Aku nggak mau dia benci selamanya sama aku.”
“Dia nggak akan benci sama kamu, Ve. Dia Cuma butuh waktu lebih lama terlepas dari bayang-bayang kamu. Dan tugasmu sekarang adalah mengikhlaskannya pergi. Kamu nggak perlu lagi ngejar dia untuk minta maaf, atau memintanya buat jadi teman kamu. Kalaupun dia bersedia berteman dengan kamu, sudah pasti dia akan menanggapi kamu dengan baik, kan? Mungkin kalau kamu terus-terusan ngejar dia buat dapetin maaf, yang ada dia malah makin jauh.”
“Jadi intinya..”
“Kini saatnya kamu benar-benar melepas dia. Cukup mendoakannya saja agar dia selalu bahagia di manapun dia berada, dengan siapapun dia. Itu udah cukup. Banget.”
Vega memandangku dengan senyum tipis, “Kamu tegar banget ya, La?”
“Hah? Tegar gimana?”
“Yaa, kisah kita ini hampir sama, dan harusnya kamu ngalamin stres yang sama kayak aku. Tapi saat aku lihat wajah kamu, seolah gak ada beban apapun, La. Kamu tegar.”
Aku terhenyak. Tegar? Aku? Aku rasa Vega salah. Aku tidak setegar yang dia kira, aku tidak pernah sekuat yang dia kira.
Aku lemah.
*
Mendengar cerita Vega yang mengalami hal serupa denganku, membuatku sekaligus berintrospeksi pada diriku sendiri. Aku sangat menyadari ketololanku dalam menghadapi perasaanku sendiri, keegoisanku yang tak pernah hilang, sikap keras kepala yang menyebalkan hingga membuat seseorang jauh dariku.
Ya, kini jarak antara aku dan Odie seolah tak bisa diukur oleh apapun. Terlalu jauh. Aku bahkan sampai hilang harapan bertemu dengannya lagi setelah kejadian waktu itu.
Namun seperti yang kukatakan pada Vega, aku akan selalu mendoakannya di manapun dia, dan dengan siapapun dia berada. Meski di sana dia tidak melakukan hal yang sama, meski dalam hatinya tersimpan berbagai cacian untukku, meski raganya enggan untuk menemuiku lagi.
Aku merasa tidak apa-apa. Aku merasa sikapnya sangat wajar dan masuk akal.

Bencilah aku sepuasmu. Caci maki aku semaumu. Aku sungguh tidak apa-apa, Odie.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar