Sabtu, 15 November 2014

His Name Is Irham



Selasa pertama di bulan November, gerimis turun dengan malu-malu. Kehadirannya menandakan bahwa musim kemarau telah berlalu, dan kini berganti menjadi musim hujan.
Kulirik arlojiku, waktu menunjukkan pukul 2 siang. Harusnya pada pukul segini aku sudah berada di kamar kostku sambil menonton DVD drama Korea dan ditemani sekaleng wafer vanilla. Tapi apa daya, gerimis yang tadinya turun dengan malu-malu, kini sudah berganti hujan deras.
Aku menepuk bahu Riris yang tengah asyik memainkan handphonenya di sebelahku. Dia menoleh.
“Laper nih, Ris. Ke kafetaria yuk.”, ajakku.
“Hah? Perasaan tadi kamu udah makan deh, baru sejam yang lalu kan?”
“Butuh cemilan Ris, kamu tau sendiri aku ini lebih kuat ngemil dari pada makan nasinya.”
Riris menepuk dahinya sendiri, “Itu perut apa karet sih, La? ya udah deh yuk, dari pada ntar kamu makanin meja perpus.”
Aku mencubit lengan Riris akibat kalimat barusan. Gadis itu meringis kemudian ngacir keluar perpus.
Sesampainya di kafetaria aku membeli sepiring siomay dan segelas teh hangat, Riris hanya membeli teh botol.
“Untung masih ada siomaynya, aku beruntung. Hihi!”, ucapku girang mengetahui makanan favoritku masih tersedia di kafetaria.
“Kayaknya penjualnya punya feeling kalo aku bakalan dateng kali yak, Ris.”
Riris terkikik mendengar celotehanku. “Idih, pede banget kamu, La. Eh tapi, apa kamu nggak bosen ya, La? Yang aku liat tiap kali kamu jajan pasti beli siomay lagi siomay lagi. Kayak nggak ada makanan lain aja deh.”
Aku tersenyum tipis, “Gimana ya, Ris. Kalo udah jadi favorit ya susah untuk digantikan. Lagipula, makanan ini penuh kenangan tau.”
“Kenangan?”, dahi Riris mengerut. “Maksudnya kamu pernah pedekate sama penjual siomay gitu?”
Aku kontan menoyor hidung Riris gemas, “Bukan gitu maksudnya!”
“Lah terus?”
“Siomay ini, makanan yang aku makan pertamakali bareng Irham, Ris..”, ucapku pelan sambil memandang piring berisi baso, tahu, kol, pangsit yang disiram bumbu kacang itu.
“Irham lagi yang disebut,”, Riris mendengus sebal. “Katanya udah lupa, katanya nggak mau mikirin dia lagi. Ehh, masih aja inget makanan pertama awal pedekate kalian.”
“Mana waktu makannya juga pas lagi hujan-hujan begini. Romantis nggak sih menurut kamu, Ris?”, tanyaku tanpa mengacuhkan komentar Riris barusan.
“Olla, udah ya. Jangan mulai bernostalgia lagi. Cukup untuk segala kegalauan yang kamu rasakan gara-gara makhluk bernama Irham Ramadhan itu, ya!”, tukas Riris. Dia sepertinya benar-benar jengah jika aku mulai membahas soal Irham.
Padahal jujur saja, sebenarnya aku tidak merasa bosan jika terus menerus menyebut namanya. Aku tidak merasa benci jika mengingat tentangnya. Aku hanya sempat tak tau harus bagaimana menyikapi perasaanku sendiri ketika Irham tiba-tiba muncul kemudian pergi lagi dengan seenaknya.
“Di hatimu itu sebenarnya siapa yang paling menguasai sih? Irham, Remy, atau Odie?”, tanya Riris penasaran. “Aku tau kamu sebenarnya saat ini nggak sepenuhnya melupakan mereka bertiga kan, La?”
Aku tercenung, “Kenapa kamu tiba-tiba nanyain soal itu?”
“Kadang aku Cuma bingung aja sama kamu, La. kamu itu sebenarnya cinta sama siapa? Kayaknya aku nggak pernah dengar kamu bisa konsisten sama satu cowok. Belum kelar sama Irham, ada Odie. Odie ilang, gantian Remy. Remy enyah, balik ke Irham lagi. kamu nggak pengin nyobain beralih sama orang lain apa? Dulu Yuga kamu nggak terlalu tanggepin, Fabian kamu tolak cintanya. Duh, nggak ngerti lagi deh sama jalan pikiran kamu.”
“Ris, kamu kan tau sendiri kalau aku sayang sama..”
“Tiga tahun lalu, Irham. Dua tahun lalu, Odie dan tiga bulan yang lalu Remy. Hayo, kurang paham apa lagi aku sama kamu?”
“Sampai hafal gitu ih.”, aku berdecak kagum.
“Gimana nggak hafal, Cuma mereka yang selalu kamu ingat. Nggak pernah nyoba ngelupain dengan segenap jiwa sih.”, timpal Riris sedikit ketus.
Aku menghela napas pendek. Ya, Riris benar. Aku memang tidak sepenuhnya berhasil mengenyahkan tiga nama itu dari pikiran juga hatiku.  Selama ini aku hanya mencoba untuk tidak mempedulikannya, bukan untuk benar-benar melupakan.
“Gini..”, aku meletakkan garpuku, “Irham itu orang pertama yang bikin aku jatuh cinta dengan dahsyatnya dan sekaligus menjatuhkan aku tak kalah dahsyat pula. Odie datang setelah Irham, dia berhasil membuat lubang akibat bom Irham sedikit tertutupi. Aku bahagia punya dia, aku pun sayang sama dia. Dan Remy, dia alasan aku kembali membuka hati setelah sekian lama menjomblo dan gagal pedekate dengan beberapa cowok, yang salah satunya yang bernama Yuga. Aku sayang sama Remy, aku bahkan sangat berharap dia bisa jadi masa depan aku nanti. Tapi nyatanya yang terjadi adalah, mereka bertiga Cuma singgah sesaat kemudian pergi tanpa mempedulikan apa yang aku rasakan, Ris. Menurut kamu, apakah salah kalau aku masih terus terbayang sama mereka setelah semua yang terjadi?”
Riris mengangguk pelan. “Menurut aku, kamu terlalu mudah terbawa perasaan, La. Kamu nggak bisa membedakan mana yang sebenarnya kamu inginkan, mana yang seharusnya kamu pilih dan mana yang kamu butuhkan. Irham, adalah contoh yang kamu pilih dan inginkan tapi nggak bisa kamu dapatkan. Odie, dia harusnya yang kamu pilih, tapi kamunya yang belum sepenuhnya siap akan kehadirannya. Dan Remy, dia datang karena dibutuhkan untuk menghibur hati kamu yang lama tak berpenghuni, La.”
“Terus?”
“Lah, kamu harusnya sadar dong siapa yang benar-benar kamu cintai? Harusnya kamu paham banget kalau dari ketiga cowok itu hanya satu yang kamu cintai, bukan ketiganya. Ngerti ngga?”
“Tapi aku merasa sayang sama ketiganya, Ris. Mereka semua spesial di hati aku.”
“Iya aku tau. Tapi coba kamu bandingkan saat kamu sama Irham, sama Odie dan sama Remy. Bandingkan juga saat kamu merasa jatuh dan galau gara-gara mereka. Siapa yang lebih menyakitkan hati kamu, itulah yang sebenarnya kamu cintai, La.”
Aku mendesah pelan, “Lalu, setelah aku tau siapa dia, aku harus ngapain? Nggak ada satupun dari mereka yang pantas lagi untuk diharapkan, Ris. Mereka semua udah ninggalin aku, mereka udah bahagia dengan pilihan mereka sendiri. Posisi aku disini Cuma sebagai pihak yang mencintai lalu ditinggalkan. Bukan untuk mereka pilih.”
“Emang iya?”
“Hah?”
“Dari mana kamu tau kalau kamu bukan pihak yang dipilih? Siapa tau aja kan La, suatu saat nanti kamu akan ketemu salah satu dari mereka dan pada akhirnya dia milih kamu.”
“Duh, Ris, jangan bikin aku berharap deh. Aku nggak mau ngarepin apa-apa lagi, baik dari Irham, Odie ataupun Remy.”
Riris menepuk tangannya satu kali, “Nah, kamu sadar kalau kamu nggak ada hak lagi buat ngarep sama mereka. Tapi kenapa kamu masih ngingat-ngingat segala kenangan itu? kamu nggak kasian sama hati kamu sendiri?”
Aku mengerutkan dahiku mendengar celotehan Riris, “Ris, sadar nggak sih daritadi kamu kerjaannya menampik semua tanggapan aku doang. Muter-muter nggak jelas tau nggak.”
Riris memasang senyum tipis, “Sebenarnya aku lagi nyoba nyadarin kamu, La. Kamu sendiri juga hobinya muter-muterin kenangan kamu sendiri.”
“Hah? Aku muter-muterin apaan?”
“Segala kenangan kamu yang berhubungan sama mereka bertiga. Suatu hari kamu ingat sama Irham, tiba-tiba ingat sama Odie, eh pas ngelihat Remy di depan kelas kamu langsung nyesek sendiri, eh terus tiba-tiba teringat Irham lagu. Sikap kamu itu yang nyebelin, La. Kamu seolah nggak bisa tegas sama ucapan kamu sendiri. Oke, hati kamu memang berhak buat nentuin siapa yang kamu suka, tapi di mata orang lain, kamu itu pribadi yang plin-plan, La. Kamu gampang terbawa perasaan, gampang galau, dan gampang buat menyepelekannya lagi. Kamu lihat aku deh, dari dulu aku Cuma terpaku sama satu nama, aku selalu menjaga nama itu sejak 3 tahun lalu sampai sekarang. Cintaku sepenuhnya buat Aldi seorang, aku nggak pernah sekalipun berpindah hati, La. Tapi kamu? coba kamu introspeksi sendiri deh.”
Aku terdiam mendengar ucapan Riris yang entah kenapa begitu menusuk hingga bagian organ terdalam. Sangat menohok, membuat sakit, perih, dan aku merasa tertampar ratusan kali. Ucapan Riris memang masuk akal dan tidak keliru. Komentar yang keluar dari mulutnya berhasil menyadarkan aku yang keras kepala dan egois ini.
Ya, keras kepala karena tidak pernah mendengarkan nasehat orang lain. Dan egois karena selalu memaksakan perasaanku sendiri untuk bisa diterima, padahal belum tentu yang kurasakan itu tepat. Contohnya pada kasus yang baru saja aku bahas dengan Riris, tentang siapa yang sebenarnya aku cintai.
Benar, aku merasa menyayangi mereka bertiga. Aku merasa nyaman dan berharap untuk bisa memiliki mereka. Namun setelah aku pikir ulang, memang hanya ada satu yang terus menerus aku ingat tanpa henti. Seseorang yang wajahnya selalu terlintas dalam pikiranku, seseorang yang namanya begitu sering terngiang di telingaku, seseorang yang tiap kali aku coba lupakan namun tak kunjung enyah dari dalam hati.
Ya, ada seorang bajingan yang tak bosan mendiami hati juga isi kepalaku. Bajingan yang merampas hatiku dan menjatuhkannya tanpa ampun, hingga aku tak sanggup melupakan segala sakit yang dia beri. Bajingan yang selalu muncul dengan tiba-tiba, membuat jantung ini berdebar, kemudian menghilang tanpa permisi. Bajingan yang selalu aku doakan agar hidupnya selalu bahagia dengan siapapun yang berada di sisinya. Bajingan yang selalu aku cintai meski ada beberapa orang lain mengisi hatiku. Bajingan yang namanya tidak pernah bisa tergantikan oleh siapapun, meski aku tak bisa merengkuhnya dalam dekapanku. Sialnya, aku begitu mencintai bajingan itu.
Bajingan itu bernama Irham Ramadhan.

“Sayang sama cinta itu definisinya suka diartikan sama, La. Tapi menurut aku, kalau sayang belum tentu cinta, tapi kalau cinta, sudah pasti sayang. Sedangkan ‘suka’, itu kata yang universal. Ngerti nggak?”, celetuk Riris begitu kami sampai di tempat parkir.
“Iya, aku ngerti. Aku sadar banyak yang aku sayangi, tapi Cuma satu yang aku cintai selain Tuhan dan orangtua.”
“Ya udah, jangan pakai alasan ‘sayang’ itu buat bergalau-galau nggak jelas lagi.”
“Habis ini aku cari gebetan lain, deh.”
“Baguus!”, Riris mengacungkan kedua jempolnya padaku.
Aku tersenyum tipis padanya yang kemudian berjalan menghampiri Aldi, kekasihnya. Hujan sudah reda, aku pun bergegas untuk pulang dengan membawa hati yang lebih lapang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar