Selasa
pertama di bulan November, gerimis turun dengan malu-malu. Kehadirannya
menandakan bahwa musim kemarau telah berlalu, dan kini berganti menjadi musim
hujan.
Kulirik
arlojiku, waktu menunjukkan pukul 2 siang. Harusnya pada pukul segini aku sudah
berada di kamar kostku sambil menonton DVD drama Korea dan ditemani sekaleng
wafer vanilla. Tapi apa daya, gerimis yang tadinya turun dengan malu-malu, kini
sudah berganti hujan deras.
Aku menepuk
bahu Riris yang tengah asyik memainkan handphonenya di sebelahku. Dia menoleh.
“Laper nih,
Ris. Ke kafetaria yuk.”, ajakku.
“Hah?
Perasaan tadi kamu udah makan deh, baru sejam yang lalu kan?”
“Butuh
cemilan Ris, kamu tau sendiri aku ini lebih kuat ngemil dari pada makan
nasinya.”
Riris
menepuk dahinya sendiri, “Itu perut apa karet sih, La? ya udah deh yuk, dari
pada ntar kamu makanin meja perpus.”
Aku mencubit
lengan Riris akibat kalimat barusan. Gadis itu meringis kemudian ngacir keluar
perpus.
Sesampainya
di kafetaria aku membeli sepiring siomay dan segelas teh hangat, Riris hanya
membeli teh botol.
“Untung
masih ada siomaynya, aku beruntung. Hihi!”, ucapku girang mengetahui makanan
favoritku masih tersedia di kafetaria.
“Kayaknya
penjualnya punya feeling kalo aku bakalan dateng kali yak, Ris.”
Riris
terkikik mendengar celotehanku. “Idih, pede banget kamu, La. Eh tapi, apa kamu
nggak bosen ya, La? Yang aku liat tiap kali kamu jajan pasti beli siomay lagi
siomay lagi. Kayak nggak ada makanan lain aja deh.”
Aku
tersenyum tipis, “Gimana ya, Ris. Kalo udah jadi favorit ya susah untuk
digantikan. Lagipula, makanan ini penuh kenangan tau.”
“Kenangan?”,
dahi Riris mengerut. “Maksudnya kamu pernah pedekate sama penjual siomay gitu?”
Aku kontan
menoyor hidung Riris gemas, “Bukan gitu maksudnya!”
“Lah terus?”
“Siomay ini,
makanan yang aku makan pertamakali bareng Irham, Ris..”, ucapku pelan sambil
memandang piring berisi baso, tahu, kol, pangsit yang disiram bumbu kacang itu.
“Irham lagi
yang disebut,”, Riris mendengus sebal. “Katanya udah lupa, katanya nggak mau
mikirin dia lagi. Ehh, masih aja inget makanan pertama awal pedekate kalian.”
“Mana waktu
makannya juga pas lagi hujan-hujan begini. Romantis nggak sih menurut kamu,
Ris?”, tanyaku tanpa mengacuhkan komentar Riris barusan.
“Olla, udah
ya. Jangan mulai bernostalgia lagi. Cukup untuk segala kegalauan yang kamu
rasakan gara-gara makhluk bernama Irham Ramadhan itu, ya!”, tukas Riris. Dia
sepertinya benar-benar jengah jika aku mulai membahas soal Irham.
Padahal
jujur saja, sebenarnya aku tidak merasa bosan jika terus menerus menyebut
namanya. Aku tidak merasa benci jika mengingat tentangnya. Aku hanya sempat tak
tau harus bagaimana menyikapi perasaanku sendiri ketika Irham tiba-tiba muncul
kemudian pergi lagi dengan seenaknya.
“Di hatimu
itu sebenarnya siapa yang paling menguasai sih? Irham, Remy, atau Odie?”, tanya
Riris penasaran. “Aku tau kamu sebenarnya saat ini nggak sepenuhnya melupakan
mereka bertiga kan, La?”
Aku
tercenung, “Kenapa kamu tiba-tiba nanyain soal itu?”
“Kadang aku
Cuma bingung aja sama kamu, La. kamu itu sebenarnya cinta sama siapa? Kayaknya
aku nggak pernah dengar kamu bisa konsisten sama satu cowok. Belum kelar sama
Irham, ada Odie. Odie ilang, gantian Remy. Remy enyah, balik ke Irham lagi.
kamu nggak pengin nyobain beralih sama orang lain apa? Dulu Yuga kamu nggak
terlalu tanggepin, Fabian kamu tolak cintanya. Duh, nggak ngerti lagi deh sama
jalan pikiran kamu.”
“Ris, kamu
kan tau sendiri kalau aku sayang sama..”
“Tiga tahun
lalu, Irham. Dua tahun lalu, Odie dan tiga bulan yang lalu Remy. Hayo, kurang paham
apa lagi aku sama kamu?”
“Sampai
hafal gitu ih.”, aku berdecak kagum.
“Gimana
nggak hafal, Cuma mereka yang selalu kamu ingat. Nggak pernah nyoba ngelupain
dengan segenap jiwa sih.”, timpal Riris sedikit ketus.
Aku menghela
napas pendek. Ya, Riris benar. Aku memang tidak sepenuhnya berhasil
mengenyahkan tiga nama itu dari pikiran juga hatiku. Selama ini aku hanya mencoba untuk tidak
mempedulikannya, bukan untuk benar-benar melupakan.
“Gini..”,
aku meletakkan garpuku, “Irham itu orang pertama yang bikin aku jatuh cinta
dengan dahsyatnya dan sekaligus menjatuhkan aku tak kalah dahsyat pula. Odie
datang setelah Irham, dia berhasil membuat lubang akibat bom Irham sedikit
tertutupi. Aku bahagia punya dia, aku pun sayang sama dia. Dan Remy, dia alasan
aku kembali membuka hati setelah sekian lama menjomblo dan gagal pedekate
dengan beberapa cowok, yang salah satunya yang bernama Yuga. Aku sayang sama
Remy, aku bahkan sangat berharap dia bisa jadi masa depan aku nanti. Tapi
nyatanya yang terjadi adalah, mereka bertiga Cuma singgah sesaat kemudian pergi
tanpa mempedulikan apa yang aku rasakan, Ris. Menurut kamu, apakah salah kalau
aku masih terus terbayang sama mereka setelah semua yang terjadi?”
Riris
mengangguk pelan. “Menurut aku, kamu terlalu mudah terbawa perasaan, La. Kamu
nggak bisa membedakan mana yang sebenarnya kamu inginkan, mana yang seharusnya
kamu pilih dan mana yang kamu butuhkan. Irham, adalah contoh yang kamu pilih
dan inginkan tapi nggak bisa kamu dapatkan. Odie, dia harusnya yang kamu pilih,
tapi kamunya yang belum sepenuhnya siap akan kehadirannya. Dan Remy, dia datang
karena dibutuhkan untuk menghibur hati kamu yang lama tak berpenghuni, La.”
“Terus?”
“Lah, kamu
harusnya sadar dong siapa yang benar-benar kamu cintai? Harusnya kamu paham
banget kalau dari ketiga cowok itu hanya satu yang kamu cintai, bukan
ketiganya. Ngerti ngga?”
“Tapi aku
merasa sayang sama ketiganya, Ris. Mereka semua spesial di hati aku.”
“Iya aku
tau. Tapi coba kamu bandingkan saat kamu sama Irham, sama Odie dan sama Remy.
Bandingkan juga saat kamu merasa jatuh dan galau gara-gara mereka. Siapa yang
lebih menyakitkan hati kamu, itulah yang sebenarnya kamu cintai, La.”
Aku mendesah
pelan, “Lalu, setelah aku tau siapa dia, aku harus ngapain? Nggak ada satupun
dari mereka yang pantas lagi untuk diharapkan, Ris. Mereka semua udah ninggalin
aku, mereka udah bahagia dengan pilihan mereka sendiri. Posisi aku disini Cuma
sebagai pihak yang mencintai lalu ditinggalkan. Bukan untuk mereka pilih.”
“Emang iya?”
“Hah?”
“Dari mana
kamu tau kalau kamu bukan pihak yang dipilih? Siapa tau aja kan La, suatu saat
nanti kamu akan ketemu salah satu dari mereka dan pada akhirnya dia milih
kamu.”
“Duh, Ris,
jangan bikin aku berharap deh. Aku nggak mau ngarepin apa-apa lagi, baik dari
Irham, Odie ataupun Remy.”
Riris
menepuk tangannya satu kali, “Nah, kamu sadar kalau kamu nggak ada hak lagi
buat ngarep sama mereka. Tapi kenapa kamu masih ngingat-ngingat segala kenangan
itu? kamu nggak kasian sama hati kamu sendiri?”
Aku
mengerutkan dahiku mendengar celotehan Riris, “Ris, sadar nggak sih daritadi
kamu kerjaannya menampik semua tanggapan aku doang. Muter-muter nggak jelas tau
nggak.”
Riris
memasang senyum tipis, “Sebenarnya aku lagi nyoba nyadarin kamu, La. Kamu sendiri
juga hobinya muter-muterin kenangan kamu sendiri.”
“Hah? Aku
muter-muterin apaan?”
“Segala
kenangan kamu yang berhubungan sama mereka bertiga. Suatu hari kamu ingat sama
Irham, tiba-tiba ingat sama Odie, eh pas ngelihat Remy di depan kelas kamu
langsung nyesek sendiri, eh terus tiba-tiba teringat Irham lagu. Sikap kamu itu
yang nyebelin, La. Kamu seolah nggak bisa tegas sama ucapan kamu sendiri. Oke,
hati kamu memang berhak buat nentuin siapa yang kamu suka, tapi di mata orang
lain, kamu itu pribadi yang plin-plan, La. Kamu gampang terbawa perasaan,
gampang galau, dan gampang buat menyepelekannya lagi. Kamu lihat aku deh, dari
dulu aku Cuma terpaku sama satu nama, aku selalu menjaga nama itu sejak 3 tahun
lalu sampai sekarang. Cintaku sepenuhnya buat Aldi seorang, aku nggak pernah sekalipun
berpindah hati, La. Tapi kamu? coba kamu introspeksi sendiri deh.”
Aku terdiam
mendengar ucapan Riris yang entah kenapa begitu menusuk hingga bagian organ
terdalam. Sangat menohok, membuat sakit, perih, dan aku merasa tertampar
ratusan kali. Ucapan Riris memang masuk akal dan tidak keliru. Komentar yang
keluar dari mulutnya berhasil menyadarkan aku yang keras kepala dan egois ini.
Ya, keras
kepala karena tidak pernah mendengarkan nasehat orang lain. Dan egois karena
selalu memaksakan perasaanku sendiri untuk bisa diterima, padahal belum tentu
yang kurasakan itu tepat. Contohnya pada kasus yang baru saja aku bahas dengan
Riris, tentang siapa yang sebenarnya aku cintai.
Benar, aku
merasa menyayangi mereka bertiga. Aku merasa nyaman dan berharap untuk bisa memiliki
mereka. Namun setelah aku pikir ulang, memang hanya ada satu yang terus menerus
aku ingat tanpa henti. Seseorang yang wajahnya selalu terlintas dalam
pikiranku, seseorang yang namanya begitu sering terngiang di telingaku,
seseorang yang tiap kali aku coba lupakan namun tak kunjung enyah dari dalam
hati.
Ya, ada seorang
bajingan yang tak bosan mendiami hati juga isi kepalaku. Bajingan yang merampas
hatiku dan menjatuhkannya tanpa ampun, hingga aku tak sanggup melupakan segala
sakit yang dia beri. Bajingan yang selalu muncul dengan tiba-tiba, membuat
jantung ini berdebar, kemudian menghilang tanpa permisi. Bajingan yang selalu
aku doakan agar hidupnya selalu bahagia dengan siapapun yang berada di sisinya.
Bajingan yang selalu aku cintai meski ada beberapa orang lain mengisi hatiku.
Bajingan yang namanya tidak pernah bisa tergantikan oleh siapapun, meski aku
tak bisa merengkuhnya dalam dekapanku. Sialnya, aku begitu mencintai bajingan
itu.
Bajingan itu
bernama Irham Ramadhan.
“Sayang sama
cinta itu definisinya suka diartikan sama, La. Tapi menurut aku, kalau sayang
belum tentu cinta, tapi kalau cinta, sudah pasti sayang. Sedangkan ‘suka’, itu
kata yang universal. Ngerti nggak?”, celetuk Riris begitu kami sampai di tempat
parkir.
“Iya, aku
ngerti. Aku sadar banyak yang aku sayangi, tapi Cuma satu yang aku cintai
selain Tuhan dan orangtua.”
“Ya udah,
jangan pakai alasan ‘sayang’ itu buat bergalau-galau nggak jelas lagi.”
“Habis ini
aku cari gebetan lain, deh.”
“Baguus!”,
Riris mengacungkan kedua jempolnya padaku.
Aku
tersenyum tipis padanya yang kemudian berjalan menghampiri Aldi, kekasihnya.
Hujan sudah reda, aku pun bergegas untuk pulang dengan membawa hati yang lebih
lapang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar