“Oke, nanti
aku WhatsApp kamu ya. Aku duluan.”, ucap laki-laki itu dengan senyum menawannya
padaku. Dia kemudian berlari kecil menuju bus yang telah menunggunya untuk
naik. Tangannya melambai ke arahku begitu bus mulai melaju. Aku tersenyum
tipis.
Aku merasa
seperti bermimpi. Karena itu adalah pertemuanku dengannya setelah sekian lama
tidak saling bertatap muka. Semua berawal ketika tanpa sadar aku menjatuhkan
dompetku saat berbelanja di minimarket. Ditengah kegelisahanku mencari dompet,
ada seseorang menepuk bahuku dari belakang kemudian menyerahkan dompet berwarna
biru padaku. Aku terhenyak sekaligus tidak percaya bisa kembali dipertemukan
olehnya. Aku merasa ini adalah kesialan terbaik selama hidupku. Jika aku tidak
ceroboh menjatuhkan dompetku, mungkin aku takkan dipertemukan kembali oleh dia.
Orang yang dulu sempat ada dihatiku dalam jangka waktu yang lama. Cinta masa
SMP yang tanpa balasan. Ares Alfandi.
Dan kini, satu
bulan setelah kejadian di halte bus itu, aku dan Ares semakin intensif dalam berhubungan.
Dia rajin mengirimiku pesan, juga mengajakku pergi jalan-jalan. Ares tergolong
laki-laki cuek, dia tidak terlalu suka membicarakan hal yang dia tidak
tertarik. Tapi dia adalah pendengar terbaik kedua setelah Ibuku. Dia bersedia
mendengarkan segala ceritaku, keluh kesahku, sesekali dia juga menanggapinya
dengan memberi nasehat atau solusi. Dan aku bisa merasakan jelas betapa
perhatiannya dia padaku. Ares tidak seperti laki-laki lain yang dulu pernah
mendekatiku, yang Cuma bisa bertanya ‘lagi apa? sudah makan?’, atau ‘jangan
lupa makan, nanti sakit’. Bagiku, kalimat semacam itu bukan pertanda perhatian
atau ketertarikan. Itu hanya sekedar omong kosong, basa-basi semata. Ares tidak
seperti itu. Perhatian Ares bisa dilihat ketika dia memperhatikanku bicara, dia
mampu memperlakukanku dengan baik. Ares juga tidak pernah bertanya tentang
masalah pribadiku, dia tau masalahku jika aku yang menceritakannya. Dia paham
apa itu privasi, dan dia sendiripun memiliki rahasia.
Yang pada
akhirnya aku ketahui hari ini.
“Pacar?”,
ulangku padanya dengan bibir yang sedikit bergetar. Ares mengangguk pelan.
“Iya. Maaf
ya, Ner, aku terpaksa batalin rencana kita besok.”, ucapnya. Matanya terlihat
meminta pengertian padaku.
“Oke, nggak
apa-apa kok. Lagian kan masih ada lain waktu.” Aku memasang senyum yang sedikit
dipaksakan. Ekspresi Ares berubah, matanya terlihat berbinar.
“Syukurlah
kamu nggak marah. Nah, sebagai gantinya gimana kalau kita ganti minggu depan
aja?”
Aku
mengangguk pelan, “Terserah kamu aja, aku ngikut.”
Ares
tersenyum kemudian meneguk minumannya. Aku Cuma bisa memandangnya dengan
memendam banyak kecewa. Kenapa wajahnya sebahagia itu? Kenapa aku saja yang
merasa begitu kacau?
“Res..”,
panggilku lirih.
“Kenapa,
Ner?”
“Kamu...
udah lama pacarannya?”, aku menelan ludahku yang terasa begitu getir.
Ares
terlihat kaget mendengar pertanyaanku. “Oh, iya udah lumayan lama. Sekitar 14
bulan.”
“Kenapa kamu
nggak pernah bilang sama aku?”, tanyaku lagi. Kali ini kurasakan nada suaraku
bergetar.
“Ya karena aku
Cuma merasa nggak penting untuk diceritakan. Kamu sendiri juga nggak pernah
nanyain itu kan?”
Aku
mengangguk. “Aku nggak nanya karena kamu juga nggak pernah nanyain hal itu sama
aku, Res.”
Ares tertawa
kecil. “Aku nggak nanya karena aku tau kalau kamu itu jomblo, Nerra. Masa aku
nanya ‘pacar kamu mana?’ ke kamu. Yang ada nanti bikin kamu tersinggung lah.”
“Aku taunya
juga kamu itu jomblo, Res.”
“Taunya dari
mana?”
“Dari sikap
kamu, mataku bisa melihat dengan jelas kalau kamu itu jomblo. Tapi ternyata aku
Cuma sok tau.”, aku menghela napas pendek, memalingkan wajahku kearah lain.
“Kamu
kenapa, Ner?”, Ares mengamati wajahku, seolah dia ingin membaca ekspresiku yang
sebenarnya.
“Kenapa
apanya?”
“Kamu marah
soal aku yang nggak pernah ceritain pacarku? Ya maaf, aku nggak cerita soalnya
kami ini longdistance. Aku Cuma nggak mau dianggap sedang cari pelarian
semata.”
“Tapi
nyatanya memang begitu kan, Res?”, mataku menatap Ares tajam. Dan mulai
kurasakan ada genangan kecil di pelupuk mataku.
Ares
tertegun melihatku. Aku masih menatapnya tajam. Entah perasaan apa yang
mengganggu sistem kerja otakku. Aku merasa begitu kacau.
Suara dering
handphone memecah keheningan panjang. Ares tersentak kaget, seraya merogoh saku
celananya. Dia pun beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu keluar.
Mengangkat telponnya, entah berbicara dengan siapa. Namun yang terlintas
dikepalaku saat itu juga adalah pacarnya.
“Ner, maaf
ya aku harus pulang sekarang. Nanti aku hubungin kamu lagi ya.”, ucapnya sambil
mengambil jaketnya kemudian pergi tanpa kata apapun lagi.
Aku Cuma
memandanginya sampai punggungnya menghilang dibalik pintu.
*
Dua hari
berlalu. Seperti yang sudah Ares katakan, dia akan menghubungiku lagi. Namun
entah kenapa aku merasa sangat malas menanggapinya. Aku terlalu kecewa dengan
kenyataan yang ada. Ingin marah, namun marah pada siapa? Aku tidak bisa marah
atau menyalahkan Ares, aku tidak ada hak untuk itu. Tapi perasaan ini, aku
tidak bisa memungkirinya. Aku seolah dibawa kembali ke masa SMPku, dimana aku
begitu mendambakannya juga menyukainya.
Tapi mungkin
perasaanku kali ini kembali akan berakhir sia-sia.
Suara dering
handphone membuyarkan lamunanku. Dengan ogah-ogahan aku mengambil handphone
yang tergeletak diatas meja belajarku.
‘Nerra, mau
makan jagung bakar nggak? Kalau mau nanti aku jemput. Ares.’
Aku mendesah
pelan. Kenapa dia masih saja rajin menghubungiku bahkan selalu mencoba
mengajakku pergi berdua? Apakah dia sedang memanfaatkan aku selagi pacarnya
tidak ada? Atau selama ini dia memang nyaman denganku sebagai teman? Ah, aku
benar-benar tidak mengerti dengan semua itu. Aku bahkan tidak tau harus
bersikap bagaimana padanya.
Ku letakkan
kembali handphone di meja tanpa membalasnya. Namun tak lama dering kembali
terdengar. Kali ini dering panggilan masuk.
Ares lagi.
Dan aku kembali mengabaikannya. Tak lama kemudian ada pesan masuk lagi, dan
kuyakin dari Ares lagi.
‘Kamu boleh
marah sama aku, Nerra. Tapi aku mohon jangan diamkan aku begini. Kalau ada hal
yang mau kamu ungkapkan ke aku, ungkapkan aja. Aku Cuma nggak mau ada
kesalahpahaman diantara kita. Kita selesaikan secara baik-baik ya.’
Aku tertegun
membacanya. Dan entah kenapa spontan jariku menekan tombol ‘balas’.
‘Kamu jemput
aku sekarang.’
*
Dan
disinilah akhirnya aku dan Ares berada, tempat dimana harusnya kami datangi dua
hari yang lalu. Sebuah danau yang terletak di perbatasan kota, dengan airnya
yang begitu jernih juga bebas dari sampah plastik. Suasana terlihat begitu
tenang dan menyejukkan, ditambah pengunjung yang tidak terlalu memadati tempat
ini. Bahkan hanya terlihat beberapa penjual makanan disini. Ares mengajakku ke
tenda penjual jagung bakar yang berdekatan dengan tepi danau.
“Aku tau
kamu suka tempat yang nggak terlalu rame, makanya kesini. Gimana, sesuai dengan
yang kamu suka?”, Ares mencoba membuka topik obrolan, karena selama
diperjalanan kami lebih banyak diam.
Aku
mengangguk pelan. “Tempatnya bagus. Keren.”, jawabku seadanya.
“Nanti kita
duduk di tepi situ ya sambil makan jagungnya.”, tunjuk Ares dengan wajah
sumringah padaku. aku Cuma mengangguk pelan.
Tak lama
jagung bakar pesanan kami pun siap. Aku pun mengeluarkan dompet dari tasku,
namun Ares buru-buru mencegahnya.
“Kamu ngapain?”
“Mau bayar
jagungnya lah.”
Ares
memasang tampang kesal. “Kamu ngehina ya, dikira aku ngga punya duit buat bayar
apa?”
“Nggak
selamanya kan kamu bayarin aku terus.”
“Udahlah,
simpan lagi dompet kamu. Nih pak.”, Ares memberikan uang duapuluhribu pada
penjual jagung bakar.
Aku menghela
napas pendek, kemudian mengikuti Ares menuju tepi danau.
“Jangan
diulang lagi ya, Ner. Aku tersinggung.”, ucap Ares begitu duduk di tepi danau
yang jernih itu. Aku pun duduk disampingnya.
“Kenapa
mesti tersinggung? Aku kan udah bilang, nggak selamanya kamu bayarin aku
terus.”, timpalku seadanya.
Ares tidak
menyahut lagi, dia mulai melahap jagungnya sambil memandang danau. Aku pun
tidak mengucapkan apapun lagi. Kami saling diam, hening menghinggapi dalam
waktu yang cukup lama. Dan jujur saja lama-lama aku merasa tidak nyaman jika
terus seperti ini.
“Res..”
panggilku pelan. Dia menoleh.
“Apa?”
“Kamu kenapa
diam aja dari tadi?”
“Aku lagi
niruin kamu.”
“Niruin
aku?”, ulangku. Ares mengangguk.
“Kamu
sendiri kenapa suka banget diamin aku begitu?”, tanyanya dengan wajah serius.
Aku bingung
hendak merespon apa.
“Aku kan
udah bilang, kamu boleh marah sama aku tapi jangan diamin aku, Ner. Kalau ada
hal yang perlu kamu bilang, bilang aja. Aku siap mendengarkan.”
Aku
meletakkan jagung bakarku. “Mungkin kamu bisa mendengar, tapi belum tentu kamu
bisa mengerti, Res.”
Ares
menghela napas pendek. “Intinya tentang apa? Tentang aku yang nggak bilang sama
kamu soal pacar?”
“Kamu pikir
tentang itu?”
“Lalu apa?”
“Aku tuh..”,
aku menggigit bibir bawahku sendiri. Apakah salah jika aku mengutarakan
perasaanku padanya? Kurasa akan terdengar aneh karena posisinya kini sudah
memiliki kekasih. Aku akan terlihat begitu tolol jika mengungkapkannya.
“Ner, jujur
aja ya, aku merasa sangat nyaman kalau didekat kamu.”, celetuk Ares,
mengejutkanku. Aku memandangnya dengan tatapan tidak percaya.
“H-hah?”
Ares
memandangku, kemudian tangannya membelai rambutku pelan.
“Aku nyaman
sama kamu, Ner. Aku pengen kita bisa selalu seperti ini.”
Mendengar
itu rasanya aku seperti diberi suntikan kekebalan tubuh. Mendadak ada energi
besar yang masuk ke dalam tubuhku, menyebar cepat ke seluruh bagian organ.
“Tetap
seperti ini?”, ulangku.
“Iya.”, Ares
tersenyum seraya mendekatkan tubuhnya, kemudian memelukku. Aku sedikit tersentak,
namun pelukannya lebih kuat dari rasa terkejutku. Terasa begitu hangat dan
menenangkan.
“Aku suka
kamu dari SMP, Res.”, ucapku spontan, masih dalam pelukannya.
“Hm? Dari
SMP? Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”
“Aku nggak
punya kesempatan buat ngutarainnya. Lagian dulu kamu terlalu populer dan banyak
yang suka. Aku jadi minder.”
“Ngapain
mesti minder? Toh aku juga dulu diam-diam merhatiin kamu di kelas.”
Suntikan
energi kembali masuk ke dalam tubuhku.
“Selama dua
tahun kita sekelas bareng, kamu merhatiin aku?”, tanyaku setengah tidak
percaya.
“Iya,
habisnya kamu murid cewek yang pinter sih. Aku pengen minta kamu ajarin aku,
tapi malu.”
Aku
tersenyum geli, masih dalam pelukannya. “Jadi dulu kita sama-sama minder satu
sama lain? Lucu.”
Ares melepas
pelukannya. “Tapi sekarang udah enggak kan?”
“Enggak
kayaknya.” Aku tersenyum.
“Nah, gitu
dong senyum. Kamu tuh jelek banget kalau lagi ngambek, mana ngambeknya diemin
orang lagi.”
Aku menepuk
bahunya. “Maaf ya, aku bener-bener bingung mau gimana sama kamu.”
“Udahlah,
nggak usah dipikirin lagi.”
Ares meraih
tanganku, digenggamnya dengan erat. Kemudian menaruh kedua tanganku dipipinya.
Kurasakan pipinya begitu dingin.
“Dingin
banget Res pipi kamu.”
“Kalau gitu
hangatin dong.”, ujarnya dengan nada nakal.
Aku
mendengus, namun aku tau maksudnya. Ku kecup pipi kanannya.
“Masih
dingin.”, Ares mulai menggodaku. Spontan aku mencubit pipinya.
“Udah, ah.
Makan tuh jagung bakarmu.”
Ares tidak
menyahut, dia diam sambil memandangku dengan tatapan aneh.
“Apaan
sih?”, kudorong bahunya pelan. Namun tangannya sigap menarikku agar lebih dekat
dengan wajahnya. Dan kurasakan bibir kami bertemu.
Aku merasa
jantungku berhenti berdetak.
*
Minggu
siangku kali ini terasa berbeda. Biasanya aku hanya menghabiskan waktu untuk
bermalas-malasan dirumah atau mengerjakan tugas kuliah. Namun kali ini aku bisa
menghabiskan waktuku dengan Ares.
Ya, akhirnya
perasaanku terbalas. Aku pun bisa merasakan cinta yang selama ini aku dambakan
Aku bisa
meluangkan waktu lebih banyak untuknya. Aku bisa melakukan banyak hal
bersamanya. Aku bisa bermanja dengannya. Aku bisa memeluknya selama mungkin.
Aku bisa menciumnya sebanyak aku mau. Namun, ada satu hal yang tidak bisa aku
lakukan..
“Iya sayang,
ini aku mau on the way kerumah kamu. Tunggu ya! Dah!”, Ares menutup telponnya.
Kemudian kembali menghujaniku dengan ciuman bertubi-tubi.
“Bentar!”,
Aku mendorong bahunya. “Kamu nggak mau ketemu dia?”
“Ketemu
lah.”
“Ya udah
sana pergi.”
“Lima menit
lagi, oke?”
“Res..”
Ares seolah
tidak peduli, dia malah memelukku dengan erat. Aku tak sanggup melawan ini,
tanganku pun melingkari punggungnya.
“Maaf ya,
aku nempatin kamu di posisi yang nggak enak begini.”, ucapnya lirih.
“Yang
penting aku tau kalau kamu sayang sama aku Res. Itu udah cukup.”
Ares melepas
pelukannya. “Makasih.”
Aku
tersenyum tipis. “Ya udah sana, pacar kamu udah nunggu. Dia Cuma beberapa hari
disini, luangin waktumu sebaik mungkin.”
“Ya udah,
aku pergi ya.”, Ares membelai rambutku dengan lembut.
“Rambutmu acak-acakan.
Sini aku sisirin dulu.”, aku pun mengambil sisir kemudian merapikan rambutnya.
“Nah, udah
rapi sekarang.”
Ares
tersenyum seraya mengenakan jaketnya. “Makasih Nerra. Aku sayang kamu.”
“Aku juga
sayang kamu, Ares.”
Dia pun
pergi setelah melayangkan kecupan dibibirku.
Aku menghela
napas panjang. Ya, hal yang tidak bisa aku lakukan adalah menjadi kekasih Ares
yang sebenarnya.
Ada apa
dengan otakku ini? Namun apa yang salah dengan hatiku yang tidak ingin
melepasnya? Kali ini aku mengakui keegoisanku yang tidak bermoral ini. Mungkin
aku sudah melangkah terlalu jauh. Mungkin harusnya aku tidak melakukan ini.
Tapi apakah salah jika memang inilah yang dirasakan dan diinginkan oleh hatiku?
Meski memang keadaannya tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan, meski
nyatanya aku dan Ares dibatasi oleh dinding penghalang yang kokoh, dan meski aku
tau seberapa besar resikonya nanti. Namun apapun itu, aku merasa bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar