Selasa, 09 September 2014

Yang Hatiku Inginkan



“Oke, nanti aku WhatsApp kamu ya. Aku duluan.”, ucap laki-laki itu dengan senyum menawannya padaku. Dia kemudian berlari kecil menuju bus yang telah menunggunya untuk naik. Tangannya melambai ke arahku begitu bus mulai melaju. Aku tersenyum tipis.
Aku merasa seperti bermimpi. Karena itu adalah pertemuanku dengannya setelah sekian lama tidak saling bertatap muka. Semua berawal ketika tanpa sadar aku menjatuhkan dompetku saat berbelanja di minimarket. Ditengah kegelisahanku mencari dompet, ada seseorang menepuk bahuku dari belakang kemudian menyerahkan dompet berwarna biru padaku. Aku terhenyak sekaligus tidak percaya bisa kembali dipertemukan olehnya. Aku merasa ini adalah kesialan terbaik selama hidupku. Jika aku tidak ceroboh menjatuhkan dompetku, mungkin aku takkan dipertemukan kembali oleh dia. Orang yang dulu sempat ada dihatiku dalam jangka waktu yang lama. Cinta masa SMP yang tanpa balasan. Ares Alfandi.
Dan kini, satu bulan setelah kejadian di halte bus itu, aku dan Ares semakin intensif dalam berhubungan. Dia rajin mengirimiku pesan, juga mengajakku pergi jalan-jalan. Ares tergolong laki-laki cuek, dia tidak terlalu suka membicarakan hal yang dia tidak tertarik. Tapi dia adalah pendengar terbaik kedua setelah Ibuku. Dia bersedia mendengarkan segala ceritaku, keluh kesahku, sesekali dia juga menanggapinya dengan memberi nasehat atau solusi. Dan aku bisa merasakan jelas betapa perhatiannya dia padaku. Ares tidak seperti laki-laki lain yang dulu pernah mendekatiku, yang Cuma bisa bertanya ‘lagi apa? sudah makan?’, atau ‘jangan lupa makan, nanti sakit’. Bagiku, kalimat semacam itu bukan pertanda perhatian atau ketertarikan. Itu hanya sekedar omong kosong, basa-basi semata. Ares tidak seperti itu. Perhatian Ares bisa dilihat ketika dia memperhatikanku bicara, dia mampu memperlakukanku dengan baik. Ares juga tidak pernah bertanya tentang masalah pribadiku, dia tau masalahku jika aku yang menceritakannya. Dia paham apa itu privasi, dan dia sendiripun memiliki rahasia.
Yang pada akhirnya aku ketahui hari ini.
“Pacar?”, ulangku padanya dengan bibir yang sedikit bergetar. Ares mengangguk pelan.
“Iya. Maaf ya, Ner, aku terpaksa batalin rencana kita besok.”, ucapnya. Matanya terlihat meminta pengertian padaku.
“Oke, nggak apa-apa kok. Lagian kan masih ada lain waktu.” Aku memasang senyum yang sedikit dipaksakan. Ekspresi Ares berubah, matanya terlihat berbinar.
“Syukurlah kamu nggak marah. Nah, sebagai gantinya gimana kalau kita ganti minggu depan aja?”
Aku mengangguk pelan, “Terserah kamu aja, aku ngikut.”
Ares tersenyum kemudian meneguk minumannya. Aku Cuma bisa memandangnya dengan memendam banyak kecewa. Kenapa wajahnya sebahagia itu? Kenapa aku saja yang merasa begitu kacau?
“Res..”, panggilku lirih.
“Kenapa, Ner?”
“Kamu... udah lama pacarannya?”, aku menelan ludahku yang terasa begitu getir.
Ares terlihat kaget mendengar pertanyaanku. “Oh, iya udah lumayan lama. Sekitar 14 bulan.”
“Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku?”, tanyaku lagi. Kali ini kurasakan nada suaraku bergetar.
“Ya karena aku Cuma merasa nggak penting untuk diceritakan. Kamu sendiri juga nggak pernah nanyain itu kan?”
Aku mengangguk. “Aku nggak nanya karena kamu juga nggak pernah nanyain hal itu sama aku, Res.”
Ares tertawa kecil. “Aku nggak nanya karena aku tau kalau kamu itu jomblo, Nerra. Masa aku nanya ‘pacar kamu mana?’ ke kamu. Yang ada nanti bikin kamu tersinggung lah.”
“Aku taunya juga kamu itu jomblo, Res.”
“Taunya dari mana?”
“Dari sikap kamu, mataku bisa melihat dengan jelas kalau kamu itu jomblo. Tapi ternyata aku Cuma sok tau.”, aku menghela napas pendek, memalingkan wajahku kearah lain.
“Kamu kenapa, Ner?”, Ares mengamati wajahku, seolah dia ingin membaca ekspresiku yang sebenarnya.
“Kenapa apanya?”
“Kamu marah soal aku yang nggak pernah ceritain pacarku? Ya maaf, aku nggak cerita soalnya kami ini longdistance. Aku Cuma nggak mau dianggap sedang cari pelarian semata.”
“Tapi nyatanya memang begitu kan, Res?”, mataku menatap Ares tajam. Dan mulai kurasakan ada genangan kecil di pelupuk mataku.
Ares tertegun melihatku. Aku masih menatapnya tajam. Entah perasaan apa yang mengganggu sistem kerja otakku. Aku merasa begitu kacau.
Suara dering handphone memecah keheningan panjang. Ares tersentak kaget, seraya merogoh saku celananya. Dia pun beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu keluar. Mengangkat telponnya, entah berbicara dengan siapa. Namun yang terlintas dikepalaku saat itu juga adalah pacarnya.
“Ner, maaf ya aku harus pulang sekarang. Nanti aku hubungin kamu lagi ya.”, ucapnya sambil mengambil jaketnya kemudian pergi tanpa kata apapun lagi.
Aku Cuma memandanginya sampai punggungnya menghilang dibalik pintu.
*
Dua hari berlalu. Seperti yang sudah Ares katakan, dia akan menghubungiku lagi. Namun entah kenapa aku merasa sangat malas menanggapinya. Aku terlalu kecewa dengan kenyataan yang ada. Ingin marah, namun marah pada siapa? Aku tidak bisa marah atau menyalahkan Ares, aku tidak ada hak untuk itu. Tapi perasaan ini, aku tidak bisa memungkirinya. Aku seolah dibawa kembali ke masa SMPku, dimana aku begitu mendambakannya juga menyukainya.
Tapi mungkin perasaanku kali ini kembali akan berakhir sia-sia.
Suara dering handphone membuyarkan lamunanku. Dengan ogah-ogahan aku mengambil handphone yang tergeletak diatas meja belajarku.

‘Nerra, mau makan jagung bakar nggak? Kalau mau nanti aku jemput. Ares.’

Aku mendesah pelan. Kenapa dia masih saja rajin menghubungiku bahkan selalu mencoba mengajakku pergi berdua? Apakah dia sedang memanfaatkan aku selagi pacarnya tidak ada? Atau selama ini dia memang nyaman denganku sebagai teman? Ah, aku benar-benar tidak mengerti dengan semua itu. Aku bahkan tidak tau harus bersikap bagaimana padanya.
Ku letakkan kembali handphone di meja tanpa membalasnya. Namun tak lama dering kembali terdengar. Kali ini dering panggilan masuk.
Ares lagi. Dan aku kembali mengabaikannya. Tak lama kemudian ada pesan masuk lagi, dan kuyakin dari Ares lagi.

‘Kamu boleh marah sama aku, Nerra. Tapi aku mohon jangan diamkan aku begini. Kalau ada hal yang mau kamu ungkapkan ke aku, ungkapkan aja. Aku Cuma nggak mau ada kesalahpahaman diantara kita. Kita selesaikan secara baik-baik ya.’

Aku tertegun membacanya. Dan entah kenapa spontan jariku menekan tombol ‘balas’.

‘Kamu jemput aku sekarang.’
*
Dan disinilah akhirnya aku dan Ares berada, tempat dimana harusnya kami datangi dua hari yang lalu. Sebuah danau yang terletak di perbatasan kota, dengan airnya yang begitu jernih juga bebas dari sampah plastik. Suasana terlihat begitu tenang dan menyejukkan, ditambah pengunjung yang tidak terlalu memadati tempat ini. Bahkan hanya terlihat beberapa penjual makanan disini. Ares mengajakku ke tenda penjual jagung bakar yang berdekatan dengan tepi danau.
“Aku tau kamu suka tempat yang nggak terlalu rame, makanya kesini. Gimana, sesuai dengan yang kamu suka?”, Ares mencoba membuka topik obrolan, karena selama diperjalanan kami lebih banyak diam.
Aku mengangguk pelan. “Tempatnya bagus. Keren.”, jawabku seadanya.
“Nanti kita duduk di tepi situ ya sambil makan jagungnya.”, tunjuk Ares dengan wajah sumringah padaku. aku Cuma mengangguk pelan.
Tak lama jagung bakar pesanan kami pun siap. Aku pun mengeluarkan dompet dari tasku, namun Ares buru-buru mencegahnya.
“Kamu ngapain?”
“Mau bayar jagungnya lah.”
Ares memasang tampang kesal. “Kamu ngehina ya, dikira aku ngga punya duit buat bayar apa?”
“Nggak selamanya kan kamu bayarin aku terus.”
“Udahlah, simpan lagi dompet kamu. Nih pak.”, Ares memberikan uang duapuluhribu pada penjual jagung bakar.
Aku menghela napas pendek, kemudian mengikuti Ares menuju tepi danau.
“Jangan diulang lagi ya, Ner. Aku tersinggung.”, ucap Ares begitu duduk di tepi danau yang jernih itu. Aku pun duduk disampingnya.
“Kenapa mesti tersinggung? Aku kan udah bilang, nggak selamanya kamu bayarin aku terus.”, timpalku seadanya.
Ares tidak menyahut lagi, dia mulai melahap jagungnya sambil memandang danau. Aku pun tidak mengucapkan apapun lagi. Kami saling diam, hening menghinggapi dalam waktu yang cukup lama. Dan jujur saja lama-lama aku merasa tidak nyaman jika terus seperti ini.
“Res..” panggilku pelan. Dia menoleh.
“Apa?”
“Kamu kenapa diam aja dari tadi?”
“Aku lagi niruin kamu.”
“Niruin aku?”, ulangku. Ares mengangguk.
“Kamu sendiri kenapa suka banget diamin aku begitu?”, tanyanya dengan wajah serius.
Aku bingung hendak merespon apa.
“Aku kan udah bilang, kamu boleh marah sama aku tapi jangan diamin aku, Ner. Kalau ada hal yang perlu kamu bilang, bilang aja. Aku siap mendengarkan.”
Aku meletakkan jagung bakarku. “Mungkin kamu bisa mendengar, tapi belum tentu kamu bisa mengerti, Res.”
Ares menghela napas pendek. “Intinya tentang apa? Tentang aku yang nggak bilang sama kamu soal pacar?”
“Kamu pikir tentang itu?”
“Lalu apa?”
“Aku tuh..”, aku menggigit bibir bawahku sendiri. Apakah salah jika aku mengutarakan perasaanku padanya? Kurasa akan terdengar aneh karena posisinya kini sudah memiliki kekasih. Aku akan terlihat begitu tolol jika mengungkapkannya.
“Ner, jujur aja ya, aku merasa sangat nyaman kalau didekat kamu.”, celetuk Ares, mengejutkanku. Aku memandangnya dengan tatapan tidak percaya.
“H-hah?”
Ares memandangku, kemudian tangannya membelai rambutku pelan.
“Aku nyaman sama kamu, Ner. Aku pengen kita bisa selalu seperti ini.”
Mendengar itu rasanya aku seperti diberi suntikan kekebalan tubuh. Mendadak ada energi besar yang masuk ke dalam tubuhku, menyebar cepat ke seluruh bagian organ.
“Tetap seperti ini?”, ulangku.
“Iya.”, Ares tersenyum seraya mendekatkan tubuhnya, kemudian memelukku. Aku sedikit tersentak, namun pelukannya lebih kuat dari rasa terkejutku. Terasa begitu hangat dan menenangkan.
“Aku suka kamu dari SMP, Res.”, ucapku spontan, masih dalam pelukannya.
“Hm? Dari SMP? Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”
“Aku nggak punya kesempatan buat ngutarainnya. Lagian dulu kamu terlalu populer dan banyak yang suka. Aku jadi minder.”
“Ngapain mesti minder? Toh aku juga dulu diam-diam merhatiin kamu di kelas.”
Suntikan energi kembali masuk ke dalam tubuhku.
“Selama dua tahun kita sekelas bareng, kamu merhatiin aku?”, tanyaku setengah tidak percaya.
“Iya, habisnya kamu murid cewek yang pinter sih. Aku pengen minta kamu ajarin aku, tapi malu.”
Aku tersenyum geli, masih dalam pelukannya. “Jadi dulu kita sama-sama minder satu sama lain? Lucu.”
Ares melepas pelukannya. “Tapi sekarang udah enggak kan?”
“Enggak kayaknya.” Aku tersenyum.
“Nah, gitu dong senyum. Kamu tuh jelek banget kalau lagi ngambek, mana ngambeknya diemin orang lagi.”
Aku menepuk bahunya. “Maaf ya, aku bener-bener bingung mau gimana sama kamu.”
“Udahlah, nggak usah dipikirin lagi.”
Ares meraih tanganku, digenggamnya dengan erat. Kemudian menaruh kedua tanganku dipipinya. Kurasakan pipinya begitu dingin.
“Dingin banget Res pipi kamu.”
“Kalau gitu hangatin dong.”, ujarnya dengan nada nakal.
Aku mendengus, namun aku tau maksudnya. Ku kecup pipi kanannya.
“Masih dingin.”, Ares mulai menggodaku. Spontan aku mencubit pipinya.
“Udah, ah. Makan tuh jagung bakarmu.”
Ares tidak menyahut, dia diam sambil memandangku dengan tatapan aneh.
“Apaan sih?”, kudorong bahunya pelan. Namun tangannya sigap menarikku agar lebih dekat dengan wajahnya. Dan kurasakan bibir kami bertemu.
Aku merasa jantungku berhenti berdetak.
*
Minggu siangku kali ini terasa berbeda. Biasanya aku hanya menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan dirumah atau mengerjakan tugas kuliah. Namun kali ini aku bisa menghabiskan waktuku dengan Ares.
Ya, akhirnya perasaanku terbalas. Aku pun bisa merasakan cinta yang selama ini aku dambakan
Aku bisa meluangkan waktu lebih banyak untuknya. Aku bisa melakukan banyak hal bersamanya. Aku bisa bermanja dengannya. Aku bisa memeluknya selama mungkin. Aku bisa menciumnya sebanyak aku mau. Namun, ada satu hal yang tidak bisa aku lakukan..
“Iya sayang, ini aku mau on the way kerumah kamu. Tunggu ya! Dah!”, Ares menutup telponnya. Kemudian kembali menghujaniku dengan ciuman bertubi-tubi.
“Bentar!”, Aku mendorong bahunya. “Kamu nggak mau ketemu dia?”
“Ketemu lah.”
“Ya udah sana pergi.”
“Lima menit lagi, oke?”
“Res..”
Ares seolah tidak peduli, dia malah memelukku dengan erat. Aku tak sanggup melawan ini, tanganku pun melingkari punggungnya.
“Maaf ya, aku nempatin kamu di posisi yang nggak enak begini.”, ucapnya lirih.
“Yang penting aku tau kalau kamu sayang sama aku Res. Itu udah cukup.”
Ares melepas pelukannya. “Makasih.”
Aku tersenyum tipis. “Ya udah sana, pacar kamu udah nunggu. Dia Cuma beberapa hari disini, luangin waktumu sebaik mungkin.”
“Ya udah, aku pergi ya.”, Ares membelai rambutku dengan lembut.
“Rambutmu acak-acakan. Sini aku sisirin dulu.”, aku pun mengambil sisir kemudian merapikan rambutnya.
“Nah, udah rapi sekarang.”
Ares tersenyum seraya mengenakan jaketnya. “Makasih Nerra. Aku sayang kamu.”
“Aku juga sayang kamu, Ares.”
Dia pun pergi setelah melayangkan kecupan dibibirku.

Aku menghela napas panjang. Ya, hal yang tidak bisa aku lakukan adalah menjadi kekasih Ares yang sebenarnya.
Ada apa dengan otakku ini? Namun apa yang salah dengan hatiku yang tidak ingin melepasnya? Kali ini aku mengakui keegoisanku yang tidak bermoral ini. Mungkin aku sudah melangkah terlalu jauh. Mungkin harusnya aku tidak melakukan ini. Tapi apakah salah jika memang inilah yang dirasakan dan diinginkan oleh hatiku? Meski memang keadaannya tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan, meski nyatanya aku dan Ares dibatasi oleh dinding penghalang yang kokoh, dan meski aku tau seberapa besar resikonya nanti. Namun apapun itu, aku merasa bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar