Rabu, 10 September 2014

Pertemuan Singkat



Aku melirik kalender diatas meja belajarku. Alisku terangkat. Agak terkesima juga mengingat sudah cukup lama aku tidak lagi berhubungan dengan Remy. Sudah memasuki bulan kedua setelah kuputuskan untuk benar-benar mengenyahkan namanya dari hatiku. Dan ternyata kini aku benar-benar telah terbiasa tanpa dia. Aku tidak pernah lagi merindukannya atau memikirkannya dengan sengaja seperti sebelumnya. Aku hanya teringat kembali setelah Riris tidak sengaja menyebut namanya tadi siang.
“Cari cowok dong, La, biar kamu nggak melongo gitu kalau ngeliatin aku sama Aldi.”, celetuk Riris seraya duduk disebelahku.
Aku tidak menyahut dan tetap melanjutkan makan siangku.
“Remy gimana, La?”, tanya Riris tiba-tiba, membuatku tersedak.
“Uhukk!!”, buru-buru kuambil teh botolku. Riris terkekeh melihatnya.
“Dih, langsung salah tingkah gitu pas aku nyebut nama Remy. Masih mikirin, bu?”, cibir Riris sambil menepuk pipiku.
Aku mendengus. “Ngapain mikirin dia? Nggak penting lagi.”
“Dih, lagaknya ini bocah. Dulu aja sampe galau berhari-hari, nangis mulu kalau ngingat Remy.”
“Lah, itu kan dulu Ris. Sekarang udah beda kali.”, aku meneguk teh botolku lagi. “Udah lah, ngapain juga bahas-bahas dia lagi. Aku udah ngga minat.”
“Kamu yakin udah nggak minat lagi?”, tanya Riris dengan nada retoris.
“Liat muka aku. Emangnya aku keliatan masih ada rasa sama dia?”
Riris kontan memandangiku dengan penuh selidik. “Hmmmm.”
“Enggak kan?”
Riris mengangguk. “Bisa jadi. Tapi kenyataannya bakal terbukti ketika kamu ketemu dia lagi. disitu bakal terlihat jelas di mata kamu, kamu masih punya rasa kayak dulu atau nggak.”
Aku tercenung. “Ketemu dia lagi? Dih, ngapain ketemu dia. Ada urusan apaan?”
“Lho, siapa tau semesta punya rencana buat mempertemukan kamu lagi sama dia. Jadi siap-siap aja.”
Aku mendengus. Bertemu lagi dengan Remy? Are you kidding me? Selama dua bulan ini saja aku tidak pernah melihat batang hidungnya sekalipun gedung fakultas kami berdekatan. Melihat saja tidak pernah, apalagi bertemu.
*
Gerimis di Sabtu sore ini terpaksa membuatku terpaksa mengunci diri dalam kamar kosku. Padahal rencananya aku dan Riris akan pergi ke rumah Tante Riris yang berada di dekat pantai dan melihat sunset disana. Namun apalah daya, Riris membatalkannya dikarenakan hujan sudah melanda kawasan pantai. Bagaimana mau lihat sunset kalau disana sedang hujan?
Aku pun Cuma bisa merebahkan tubuhku diatas tempat tidur, ditemani remot televisi dan sekaleng biskuit cokelat. Sampai tak terasa sudah hampir dua jam aku nonton sambil mengunyah kudapanku. Aku tercengang, mendapati kaleng biskuit sudah kosong dan ingat kalau aku belum membel stok kudapanku untuk bulan ini.
Aku menepuk jidatku sendiri. Kalau kudapanku habis, nanti malam aku makan apa? Aku pun bergegas mengambil dompet dan jas hujanku, melaju bersama motorku menuju minimarket terdekat.
Begitu sampai minimarket gerimis berganti hujan deras. Aku pun segera masuk ke dalam minimarket dan mengambil beberapa makanan untuk stok satu minggu. Disaat hendak mengambil kaleng biskuit, ada tangan lain yang juga mengambil kaleng yang sama. aku dan si empunya tangan saling pandang.
Aku terhenyak melihatnya. Seketika ada angin berhembus dengan cukup kencang. Bulu kudukku berdiri. Merinding.
“Olla! Hei, lama nggak ketemu!”, sapanya dengan wajah ceria. Seolah dia tidak pernah merasa ada sesuatu diantara kami. Dia mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. “H-hei, Remy.”, aku menerima uluran tangannya. Dan kurasakan kehangatan saat menjabat tangannya. Apa ini?
“Eh, kamu kesini sama siapa? Mau beli apa?”, tanya Remy masih tetap memasang senyum khasnya.
“Ini mau ngambil kaleng biskuit.”, jawabku seadanya. Entah kenapa aku malah merasa grogi disaat seperti ini. Kenapa aku tidak bersikap biasa saja? Aku ini kenapa?
“Oh, ini? Tinggal satu nih. Ya udah kamu ambil aja, nanti aku cari yang lain aja.”, ucapnya masih tetap memasang senyum.
Aku mendesah pelan. Ayolah Rem, bisakah kamu tidak tersenyum begitu padaku?
“Oke, aku ambil ya. Makasih.”, kataku seraya mengambil kaleng dan memasukkannya dalam keranjang.
Remy mengangguk. “Sama-sama Ol. Eh aku ke kasir duluan ya.”
“Iya.”
Remy pun berjalan menuju kasir, sedangkan aku masih ditempat memandanginya tanpa berkedip. Ada perasaan aneh yang merasuki tubuhku. Aku tidak bisa mendefinisikan seperti apa, aku hanya merasa ada yang tidak beres. Dan jantungku ini.. kenapa berdegup tidak menentu sepanjang percakapanku dengan Remy?
Aku jadi teringat ucapan Riris di kafetaria kampus kemarin. Kenyataannya akan terbukti ketika aku kembali bertemu Remy, disaat itulah akan terlihat apakah aku masih memiliki perasaan yang sama atau tidak. Ah! Apa-apaan ini? Bukankan aku sudah memutuskan untuk tidak lagi memikirkannya? Tapi, tetap saja aku tidak bisa memungkiri, bahwa ada ‘sesuatu’ ketika aku kembali memandang wajahnya.
Aku menghela napas panjang. Kenapa diriku ini payah sekali?

Setelah membayar belanjaanku di kantin, aku pun keluar mini market. Diluar hujan turun dengan derasnya. Aku menggaruk kepalaku sendiri, kurasa aku tidak bisa nekat menerjang hujan ini. Sekalipun aku mengenakan jas hujan, kalau kupaksakan pulang dalam keadaan hujan deras begini, bisa jadi aku langsung terkena demam. Aku pun menunggu di teras minimarket bersama pengunjung lain. Dan tiba-tiba ada yang menepuk bahuku pelan. Aku menoleh.
“Lagi nungguin siapa, Ol?”. Remy lagi. Rupanya dia masih disini.
“Nungguin hujan reda.”, jawabku sekenanya. Dia mengangguk mengerti.
“Kamu sendiri kenapa masih disini? Nunggu siapa?”, tanyaku balik.
“Oh, itu...”
Belum sempat Remy menjawab, ada seorang gadis mengenakan sweater bermotif panda mendekati kami. Bukan, tepatnya menghampiri Remy.
“Hey, Bi. Aku udah beli martabaknya nih. Yuk balik!”, katanya sambil menepuk bahu Remy.
Aku tercenung mendengarnya. ‘Bi’? Apa yang dimaksud dengan ‘Bi’?
“Ah, bentar. Aku mau kenalin kamu sama temen sekampus aku, namanya Olla. Nah Olla, ini pacar aku, Helena.”
Tepat di detik itu aku merasa ada petir menyambar tubuhku.
“Hei, aku Helena.”, sapanya sambil mengulurkan tangannya padaku. Aku yang masih dalam keadaan terkejut bukan main mau tak mau menyalaminya.
“O-Olla..”, ucapku dengan terbata. Kembali kupaksakan diri untuk tersenyum ditengah perasaan tidak karuan ini.
“Ya udah, Ol. Aku duluan ya. Kamu pulangnya hati-hati ya.”, ucapnya padaku masih dengan tersenyum.
Aku tidak menyahut lagi. Mataku masih terpaku pada genggaman tangan Remy dan Helena yang berjalan beriringan meninggalkan minimarket menuju mobil. Mereka terlihat begitu mesra.
Iya, mesra sekali sampai aku tak bisa melepaskan pandanganku pada mereka.
Aku memandang langit yang makin gelap, hujan pun semakin deras. Aku mendengus. Sepertinya hujan sedang menunjukkan empatinya padaku.

Pada akhirnya, terjawab sudah kenyataan perasaanku yang sebenarnya pada Remy dalam pertemuan singkat ini. Telah terbukti dan sudah pasti bahwa aku masih memiliki perasaan yang sama seperti dulu. Mungkin selama ini aku hanya berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bukan untuk benar-benar membuang perasaan ini.

Ah, ya ampun. Aku konyol sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar