Aku melirik
kalender diatas meja belajarku. Alisku terangkat. Agak terkesima juga mengingat
sudah cukup lama aku tidak lagi berhubungan dengan Remy. Sudah memasuki bulan
kedua setelah kuputuskan untuk benar-benar mengenyahkan namanya dari hatiku. Dan
ternyata kini aku benar-benar telah terbiasa tanpa dia. Aku tidak pernah lagi
merindukannya atau memikirkannya dengan sengaja seperti sebelumnya. Aku hanya
teringat kembali setelah Riris tidak sengaja menyebut namanya tadi siang.
“Cari cowok
dong, La, biar kamu nggak melongo gitu kalau ngeliatin aku sama Aldi.”, celetuk
Riris seraya duduk disebelahku.
Aku tidak
menyahut dan tetap melanjutkan makan siangku.
“Remy
gimana, La?”, tanya Riris tiba-tiba, membuatku tersedak.
“Uhukk!!”,
buru-buru kuambil teh botolku. Riris terkekeh melihatnya.
“Dih,
langsung salah tingkah gitu pas aku nyebut nama Remy. Masih mikirin, bu?”,
cibir Riris sambil menepuk pipiku.
Aku mendengus.
“Ngapain mikirin dia? Nggak penting lagi.”
“Dih,
lagaknya ini bocah. Dulu aja sampe galau berhari-hari, nangis mulu kalau
ngingat Remy.”
“Lah, itu
kan dulu Ris. Sekarang udah beda kali.”, aku meneguk teh botolku lagi. “Udah
lah, ngapain juga bahas-bahas dia lagi. Aku udah ngga minat.”
“Kamu yakin
udah nggak minat lagi?”, tanya Riris dengan nada retoris.
“Liat muka
aku. Emangnya aku keliatan masih ada rasa sama dia?”
Riris kontan
memandangiku dengan penuh selidik. “Hmmmm.”
“Enggak kan?”
Riris mengangguk.
“Bisa jadi. Tapi kenyataannya bakal terbukti ketika kamu ketemu dia lagi.
disitu bakal terlihat jelas di mata kamu, kamu masih punya rasa kayak dulu atau
nggak.”
Aku tercenung.
“Ketemu dia lagi? Dih, ngapain ketemu dia. Ada urusan apaan?”
“Lho, siapa
tau semesta punya rencana buat mempertemukan kamu lagi sama dia. Jadi siap-siap
aja.”
Aku
mendengus. Bertemu lagi dengan Remy? Are you kidding me? Selama dua bulan ini
saja aku tidak pernah melihat batang hidungnya sekalipun gedung fakultas kami
berdekatan. Melihat saja tidak pernah, apalagi bertemu.
*
Gerimis di
Sabtu sore ini terpaksa membuatku terpaksa mengunci diri dalam kamar kosku. Padahal
rencananya aku dan Riris akan pergi ke rumah Tante Riris yang berada di dekat
pantai dan melihat sunset disana. Namun apalah daya, Riris membatalkannya
dikarenakan hujan sudah melanda kawasan pantai. Bagaimana mau lihat sunset
kalau disana sedang hujan?
Aku pun Cuma
bisa merebahkan tubuhku diatas tempat tidur, ditemani remot televisi dan
sekaleng biskuit cokelat. Sampai tak terasa sudah hampir dua jam aku nonton
sambil mengunyah kudapanku. Aku tercengang, mendapati kaleng biskuit sudah
kosong dan ingat kalau aku belum membel stok kudapanku untuk bulan ini.
Aku menepuk
jidatku sendiri. Kalau kudapanku habis, nanti malam aku makan apa? Aku pun
bergegas mengambil dompet dan jas hujanku, melaju bersama motorku menuju
minimarket terdekat.
Begitu sampai
minimarket gerimis berganti hujan deras. Aku pun segera masuk ke dalam
minimarket dan mengambil beberapa makanan untuk stok satu minggu. Disaat hendak
mengambil kaleng biskuit, ada tangan lain yang juga mengambil kaleng yang sama.
aku dan si empunya tangan saling pandang.
Aku terhenyak
melihatnya. Seketika ada angin berhembus dengan cukup kencang. Bulu kudukku
berdiri. Merinding.
“Olla! Hei,
lama nggak ketemu!”, sapanya dengan wajah ceria. Seolah dia tidak pernah merasa
ada sesuatu diantara kami. Dia mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman.
Aku memaksakan
diri untuk tersenyum. “H-hei, Remy.”, aku menerima uluran tangannya. Dan kurasakan
kehangatan saat menjabat tangannya. Apa ini?
“Eh, kamu
kesini sama siapa? Mau beli apa?”, tanya Remy masih tetap memasang senyum
khasnya.
“Ini mau
ngambil kaleng biskuit.”, jawabku seadanya. Entah kenapa aku malah merasa grogi
disaat seperti ini. Kenapa aku tidak bersikap biasa saja? Aku ini kenapa?
“Oh, ini?
Tinggal satu nih. Ya udah kamu ambil aja, nanti aku cari yang lain aja.”,
ucapnya masih tetap memasang senyum.
Aku mendesah
pelan. Ayolah Rem, bisakah kamu tidak tersenyum begitu padaku?
“Oke, aku
ambil ya. Makasih.”, kataku seraya mengambil kaleng dan memasukkannya dalam keranjang.
Remy mengangguk.
“Sama-sama Ol. Eh aku ke kasir duluan ya.”
“Iya.”
Remy pun
berjalan menuju kasir, sedangkan aku masih ditempat memandanginya tanpa
berkedip. Ada perasaan aneh yang merasuki tubuhku. Aku tidak bisa
mendefinisikan seperti apa, aku hanya merasa ada yang tidak beres. Dan jantungku
ini.. kenapa berdegup tidak menentu sepanjang percakapanku dengan Remy?
Aku jadi
teringat ucapan Riris di kafetaria kampus kemarin. Kenyataannya akan terbukti ketika aku kembali bertemu Remy, disaat
itulah akan terlihat apakah aku masih memiliki perasaan yang sama atau tidak.
Ah! Apa-apaan ini? Bukankan aku sudah memutuskan untuk tidak lagi
memikirkannya? Tapi, tetap saja aku tidak bisa memungkiri, bahwa ada ‘sesuatu’ ketika
aku kembali memandang wajahnya.
Aku menghela
napas panjang. Kenapa diriku ini payah sekali?
Setelah
membayar belanjaanku di kantin, aku pun keluar mini market. Diluar hujan turun
dengan derasnya. Aku menggaruk kepalaku sendiri, kurasa aku tidak bisa nekat
menerjang hujan ini. Sekalipun aku mengenakan jas hujan, kalau kupaksakan
pulang dalam keadaan hujan deras begini, bisa jadi aku langsung terkena demam. Aku
pun menunggu di teras minimarket bersama pengunjung lain. Dan tiba-tiba ada
yang menepuk bahuku pelan. Aku menoleh.
“Lagi
nungguin siapa, Ol?”. Remy lagi. Rupanya dia masih disini.
“Nungguin
hujan reda.”, jawabku sekenanya. Dia mengangguk mengerti.
“Kamu
sendiri kenapa masih disini? Nunggu siapa?”, tanyaku balik.
“Oh, itu...”
Belum sempat
Remy menjawab, ada seorang gadis mengenakan sweater bermotif panda mendekati
kami. Bukan, tepatnya menghampiri Remy.
“Hey, Bi. Aku
udah beli martabaknya nih. Yuk balik!”, katanya sambil menepuk bahu Remy.
Aku tercenung
mendengarnya. ‘Bi’? Apa yang dimaksud dengan ‘Bi’?
“Ah, bentar.
Aku mau kenalin kamu sama temen sekampus aku, namanya Olla. Nah Olla, ini pacar
aku, Helena.”
Tepat di
detik itu aku merasa ada petir menyambar tubuhku.
“Hei, aku
Helena.”, sapanya sambil mengulurkan tangannya padaku. Aku yang masih dalam keadaan
terkejut bukan main mau tak mau menyalaminya.
“O-Olla..”,
ucapku dengan terbata. Kembali kupaksakan diri untuk tersenyum ditengah
perasaan tidak karuan ini.
“Ya udah,
Ol. Aku duluan ya. Kamu pulangnya hati-hati ya.”, ucapnya padaku masih dengan
tersenyum.
Aku tidak
menyahut lagi. Mataku masih terpaku pada genggaman tangan Remy dan Helena yang berjalan
beriringan meninggalkan minimarket menuju mobil. Mereka terlihat begitu mesra.
Iya, mesra
sekali sampai aku tak bisa melepaskan pandanganku pada mereka.
Aku memandang
langit yang makin gelap, hujan pun semakin deras. Aku mendengus. Sepertinya hujan
sedang menunjukkan empatinya padaku.
Pada akhirnya,
terjawab sudah kenyataan perasaanku yang sebenarnya pada Remy dalam pertemuan
singkat ini. Telah terbukti dan sudah pasti bahwa aku masih memiliki perasaan
yang sama seperti dulu. Mungkin selama ini aku hanya berusaha keras untuk tidak
memikirkannya, bukan untuk benar-benar membuang perasaan ini.
Ah, ya
ampun. Aku konyol sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar