Kamis, 11 September 2014

Long Distance Relationshit



Tangan Tita masih menggenggam erat lengan Adi seolah tidak ingin melepasnya. Wajahnya terlihat kusut dengan bibir yang dimanyunkan. Adi Cuma bisa menghibur kekasihnya itu sebisanya. Namun Tita makin mengeratkan genggaman tangannya pada Adi ketika terdengar suara notifikasi kereta akan segera berangkat.
“Tita, aku harus masuk kereta sekarang.”, ucap Adi. Tita menggeleng keras.
“Hei, kita kan Cuma pisah sementara. Lagian aku keluar kota kan buat kerja, aku nggak bener-bener bakal ninggalin kamu, kok.”
“Kalau Mas disana, nanti siapa yang jagain Mas? Kalau Mas disana, terus ketemu cewek yang lebih cantik dari aku gimana?”, Tita mulai terisak. Air matanya menetes ke pipi.
Adi membelai rambut kekasihnya dengan lembut. “Kita udah bahas ini berkali-kali, Yang. Kamu percaya kan sama aku?”
Tita mengangguk pelan seraya mengusap air matanya.
“Janji ya, Mas, jangan genit-genit sama cewek lain disana. Pokoknya harus terus ngabarin aku.”
“Iya, aku janji. Kamu juga janji ya jangan nakal nakal. Kalau ketauan nakal, awas aja!”
Tita mencubit hidup Adi gemas. “Harusnya aku yang bilang begitu sama Mas.”
Adi tersenyum simpul. Dia pun berpamitan pada Ayah dan Kakaknya yang ikut mengantarnya ke stasiun. Dua tas pakaian di tentengnya dan bergegas masuk ke dalam kereta.
“Hati-hati!”, teriak Tita, melambaikan tangannya pada Adi.
Bersamaan dengan itu, kereta pun melaju perlahan.
*
Dua minggu berlalu sejak kepergian Adi.
Tita melempar handphonenya ke tempat tidurnya dengan kesal. Sudah pukul 7 malam namun belum ada pesan satupun dari Adi. Padahal sejak pagi dia sudah berkali mengirimkan pesan, namun juga tidak mendapat tanggapan.
‘Apa kerja sesibuk itu? Emangnya nggak ada waktu buat balas meskipun sekali gitu?’, batinnya kesal.
“Kamu kenapa, Ta?”, tanya Nina begitu masuk ke kamar Tita dan menemukan adiknya berwajah masam.
“Itu Mas Adi nggak ngasih kabar sejak pagi. Mana aku WhatsApp juga nggak dibalas. Nyebelin!”, jawab Tita masih dengan nada jengkel.
“Ya ampun, maklumin aja kali, Ta. Siapa tau dia lagi sibuk sama kerjaannya.”, timpal Nina enteng.
“Sibuk sih sibuk Mbak, tapi masa iya nggak ada waktu semenit aja buat balas WhatsApp pacarnya sendiri? Ih, sibuk ngecengin cewek lain kali tuh!”
Nina menepuk pipi Tita. “Jangan ngomong gitu, Ta. Jangan negative thinking dulu. Sabar dikit napa, nanti juga dia ngabarin kalau udah sempat. Jangan kayak anak kecil gitu ah.”
Tita mendengus. “Mbak, aku kurang pengertian gimana sih sama dia? Aku udah ngertiin dia sekarang jadi jarang punya waktu luang, dia capek kerja, dan jarang dapet libur. Tapi masa aku terus yang harus sabar sih? Enakan dia dong!”
TUNG!! Terdengar suara notifikasi dari handphone Tita. Buru-buru dia mengambilnya diatas tempat tidurnya.

‘Sayang maaf ya aku baru pulang kerja. Tadi aku berangkat kerja buru-buru jadi lupa nggak bawa hp. Kamu lagi ngapain? Oh iya, gimana ospeknya?’

Tita tersenyum lebar membacanya. Raut muka kesalnya berganti ekspresi gembira dan penuh kelegaan.
“Siapa?”, tanya Nina penasaran.
“Mas Adi.”, jawab Tita masih dengan senyum lebar.
“Tuh! Kalau kamu sabar dikit, nggak ngomel-ngomel, dia akan ngabarin dengan sendirinya. Dasar!”, Nina melemparkan boneka ke arah Tita yang tengah cengar cengir dengan handphonenya.
*
Satu Minggu kemudian.
“Jadi gitu, dia ternyata selama ini punya cewek idaman lain disana. Dia udah nggak sayang lagi sama gue.”, cerita Disha, teman sekelas Tita yang juga sedang menjalani pacaran jarak jauh.
Tita melotot. “Serius, Sha? Dia selingkuh?”
Disha mengangguk sambil terus terisak. “Gue udah bilang sama Vano kalau gue nggak mau LDRan, tapi gue nggak bisa berbuat apa-apa karena ortunya nyuruh dia kuliah diluar kota. Tapi Vano tetap ngeyakinin gue kalau kami mampu jalanin jarak jauh ini. Dia juga janji nggak bakal ninggalin gue. Tapi nyatanya...”, air mata Disha tumpah tak tertahan.
“Bukannya kalian berdua selama ini baik-baik aja ya?”, tanya Lana.
“Gue sendiri juga bingung dimana letak permasalahannya sampai dia tega ngekhianatin gue gitu.”
“Vano sendiri yang bilang kalau dia punya cewek lain?”,  tanya Tita. Disha menggeleng.
“Bukan, tapi Sammy, teman satu kos dia. Katanya Vano sering terlihat bawa cewek ke kamarnya. Apa artinya coba kalau nggak selingkuh?”
“Siapa tau Cuma temen sekelasnya, Sha.”, timpal Lana. Disha menggeleng lagi.
“Kalau Cuma temen kenapa hampir tiap Minggu dia bawa cewek ke kosnya, Lan? Vano jahat banget sama gue. Padahal selama ini gue jaga hati buat dia, gue berusaha setia, tapi dia.. dia tega banget sama guee!”, Disha menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menangis lebih kencang.
Tita memandangnya dengan wajah horor. Degup jantungnya mendadak tak seirama. Pikirannya melayang pada kekasihnya yang jauh disana. Dia pun beranjak dari tempat duduknya, berlari keluar kelas. Segera dia mengambil handphone dan menelpon pacarnya.
Tak lama kemudian terdengar suara Adi. “Kenapa Yang?”
“Mas kamu lagi dimana? Lagi sama siapa?”, tanya Tita dengan nafas sedikit tersengal.
“Aku lagi di kontrakan temanku. Lagi libur kerja jadi main kesini. Kenapa sih? Suaramu kok kayak abis lari keliling lapangan gitu?”
“Mas kamu jujur deh sama aku, kamu nggak punya cewek idaman lain disana kan?”, tanya Tita to the point.
“H-hah?!”
“Jawab Mas, kamu nggak punya cewek lain selain aku kan?”
“Kamu kenapa sih, Ta? Nanyainnya kok ngaco gitu? Ya jelas enggak lah, pacarku ya Cuma kamu doang.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Sumpah?”
“Sumpah!”
Tita menghela napas lega mendengarnya. “Alhamdulillah..”
“Kamu kenapa? Mulai nggak percaya sama aku?”
“Bukan gitu, Mas. Ini temenku baru cerita kalau cowoknya selingkuh, mereka itu pasangan LDR juga kayak kita.”
“Hah? Ya ampun, Ta, kamu jangan terpengaruh sama cerita temenmu itu dong. Kamu harus tetap percaya sama aku. Oke?”
“Tapi Mas jamin kan nggak akan ninggalin aku demi cewek lain sekalipun dia lebih cantik dari aku?”
“Iya, Tita sayang. Cuma kamu dan tetap kamu yang bakal terus ada dihati aku.”
Tita tersenyum lebar mendengarnya. Hatinya lega.
*
Satu bulan kemudian.
Hampir seharian Tita menggerutu sendiri karena semenjak pagi tidak ada satupun pesan dari Adi yang muncul di layar handphonenya. Tita sendiri sudah mencoba untuk menghubungi pacarnya itu, namun tidak ada respon apapun. Pikiran aneh pun kembali bermunculan dalam otaknya. Apalagi ketika dia teringat kata-kata Disha kemarin sore.
“Lo masih mau lanjut sama Adi, Ta?”, tanya Disha sewaktu mereka duduk di taman kampus.
Tita mengangguk yakin. “Masih lah, gue percaya sama dia, gue sayang sama dia.”
“Dia?”
“Dia juga sayang sama gue lah.”
Disha mendengus. “Jangan terlalu yakin, Ta. Cowok itu kadang nggak bisa ditebak pikirannya. Di awal bisa aja berjanji setia sehidup semati, tapi pada akhirnya berkhianat juga.”
Tita mendesah pelan, “Sha, jangan menyamaratakan cowok kayak gitu dong. Gue tau lo pernah dikhianatin, tapi kan nggak semua cowok kayak Vano. Buktinya Mas Adi, dia tetap setia sama gue.”
“Seberapa yakin lo sama dia?”
“Eeeenggg..”
“Emang dia masih rajin ngehubungin lo duluan? Pasti enggak kan? Pasti lo duluan yang ngehubungin dia duluan, tapi dia balasnya berjam-jam kemudian.”
Tita mendadak bergeming.
“Lo sama dia sekarang jadi jarang banget punya waktu luang yang panjang untuk berdua kan? Dan tentunya dia yang bikin waktu luang itu jadi pendek banget. Ya kan?”
Tita masih tidak menyahut.
“Kalo hubungan kalian makin nggak intensif, lo mesti waspada, Ta. Lo perlu nyurigain cowok lo. Gue nggak nakut-nakutin, gue Cuma nggak mau lo ngalamin hal kayak gue.”, Disha meneguk es tehnya. “LDR itu nyakitin, Ta. Lo tau nggak kepanjangannya apaan? Long Distance RelationSHIT. Jarang ada yang benar-benar berhasil ngejalaninnya, Ta. Banyak pasangan LDR yang berakhir dengan sia-sia.”

Tita mengambil handphonenya dan kembali mencoba menghubungi nomor Adi. Sialnya tidak ada respon apapun.
‘Padahal nomornya aktif, tapi nggak pernah ngerespon! Lagi ngapain sih?!’, batin Tita mulai gelisah karena sudah beberapa hari Adi jarang mengiriminya pesan. Setiap kali ditanya jawabannya selalu sama, sibuk. Tita mulai ragu, apakah Adi benar-benar sibuk dengan kerjaannya? Atau dia sibuk dengan yang ‘lainnya’?

Malamnya sebuah pesan dari Adi akhirnya muncul di layar handphonenya.

‘Lagi apa sayang?’

Malas membalas, Tita langsung menekan tombol ‘dial’. Tak lama Adi pun mengangkat telponnya.

“Kok telpon? Lagi banyak pulsa?”
“Nggak usah basa-basi Mas. Kamu kemana aja seharian ini?”, tanya Tita dengan ketus.
“Lho? Kerja lah, ngapain lagi.”
“Kamu sadar nggak Mas kalau udah beberapa hari ini kamu berubah banget?”
“Be-berubah? Berubah gimana?”,
“Nggak nyadar banget sih? Kamu tuh jadi jarang ngasih kabar Mas. Kamu jadi tambah jauh sama aku tau nggak!”
“Ta, aku kan kerja. Maklumin dong.”
Tita menghela napas pendek. “Aku udah maklumin kamu setiap hari, Mas. Tapi kamu sendiri yang seenaknya sama aku. Kamu kira aku nggak capek apa nungguin kamu ngasih kabar duluan? Apa iya selalu aku yang ngehubungin kamu duluan gitu? Pengertian dikit kali!”
“Kamu jangan kayak anak kecil dong, Ta. Aku ini capek seharian kerja, kamu kira kerja di pabrik itu gampang apa? Enggak. Mana aku jarang dapet libur, yang ada dikasih lembur terus. Selama ini aku nggak pernah ngeluh apapun sama kamu, tapi kenapa kamu begini sih? Egois!”, tukas Adi dengan nada keras.
Tita tersentak. “Barusan kamu habis ngebentak aku, Mas?”
“Aku tuh capek, Ta. Kamu harusnya lebih ngertiin kerjaan aku dong, jangan maunya diperhatiin terus. Kamu tuh udah 18 tahun, harusnya udah bisa bersikap dewasa!”
“Aku merhatiin kamu tiap hari, Mas, aku ngertiin kamu tiap saat. Kamu yang nggak mau gantian ngertiin aku. Selalu aja ada alasan buat nggak ngehubungin aku. Yang capek lah, yang sibuk lah. Kamu bisa meluangkan waktu sama temen-temen kamu disana, tapi sama pacarmu sendiri malah... Yang egois itu kamu!”
Terdengar helaan napas Adi. “Kamu tuh ya..”
“Apa?! Aku apa? Sikap kamu yang begini malah bikin aku curiga tau nggak.”
“Curiga?”
“Kamu punya cewek lain kan disana?”
“Apa?”
“Kamu selingkuh kan Mas?!”
“Ta!”
“Ngaku aja, kamu selingkuh kan?!”
Tak ada sahutan. Tita hanya mendengar suara helaan napas berkali kali.
“Kamu udah nggak percaya lagi sama aku?”, tanya Adi, kali ini bernada sedih.
Tita bergeming.
“Terserah kamu kalau udah nggak percaya lagi sama aku. aku nggak akan maksa kamu buat percaya. Tapi asal kamu tau, Ta, aku selalu sayang sama kamu. Dan selalu percaya sama kamu selama ini.”
“M-mas...”
“Kita berhenti aja sampai disini.”
Tita terdiam, bibirnya seperti terkena lem, tidak bisa digerakkan. Matanya berkaca-kaca mendengar ucapan Adi.
Hatinya remuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar