Kamis, 18 September 2014

Mungkin Nanti

Aku merasa ada yang salah pada perasaanku ini. Awalnya aku kira sudah berhasil mengenyahkan Remy dari pikiranku, aku bahkan yakin sudah benar-benar melupakannya. Tapi ternyata aku keliru, perasaan yang kupunya ini ternyata terlalu dalam, terlalu berat untuk dilepaskan. Bertemu kembali dengannya tempo hari, telah membuktikan kenyataan perasaanku yang sebenarnya, apalagi ketika kulihat dia bersama kekasihnya. Hatiku seperti teriris belati. Aku merasa sakit kembali.
Perasaan ini sungguh menyebalkan.

“Kamu tuh ya..”, Riris berdecak heran setelah mendengar ceritaku ketika bertemu Remy dan kekasihnya. “Jangan terlalu dimasukin ke hati kenapa sih? Biarin aja gitu dia lewat sama pacarnya, cuek aja. Dia aja nggak peduliin mau gimana perasaan kamu saat itu.”
Aku mendesah. “Ternyata beneran nggak gampang, Ris. Dia bener-bener susah dilupain.”
“Kamunya aja yang kurang usaha, La. Kamu cari cowok kek biar nggak kebayang Remy terus. Kasian tau ngeliat kamu begini merananya gara-gara satu cowok yang udah jelas-jelas hatinya bukan buat kamu.”
“Kamu kira cari cowok segampang bikin telor dadar apa?”, aku mendengus, “Selama aku belum bisa meyakini diri aku sendiri kalau udah benar-benar lupain Remy, aku nggak mau nyari cowok lain.”
Riris menepuk pipiku pelan. “Ribet kamu ya jadi cewek. Lemah, tau nggak. Dulu waktu masih galau-galau soal Irham juga begini ribetnya. Eh tunggu..”, Riris menerawang. “Kalau dipikir, Remy itu kayak Irham ya?”
Aku tercenung. “Hah? Apanya?”
“Iya, kamu dulu suka banget sama Irham, tapi dianya nggantungin kamu dan akhirnya jadian sama cewek lain. Remy juga gitu, kesannya dia ngasih harapan tapi ujung-ujungnya dia juga jadiannya sama cewek lain.”
Aku tercengang mendengar ucapan Riris. Aku kok baru ngeh ya?
“Kamu kok nasib asmaranya sial banget begini sih, La? Ya ampun, kenapa tiap kamu suka sama cowok selalu aja bertepuk sebelah tangan, sih?”, Riris memasang muka prihatin. Dia merangkul bahuku dan menepuknya pelan.
Aku Cuma tersenyum tipis. Ya, kuakui kalau aku memang tidak pernah beruntung dalam hal ini.
*
Jam dinding menunjukkan pukul 9 malam. Aku menguap lebar, sementara jemariku masih terus menari diatas keyboard. Menyibukkan diri dengan tumpukan tugas kuliah yang tidak pernah ada habisnya. Kurasa dengan mengerjakan tugas begini akan jauh lebih baik daripada aku terus merenungi nasib asmaraku yang tidak pernah beruntung.
Tanganku meraih cangkir kopi moccaku yang mulai dingin dan meneguknya pelan. Bersamaan dengan itu, radio yang kubiarkan menyala untuk menemaniku malam ini, tengah memutar sebuah lagu.

Saatnya ku berkata
Mungkin yang terakhir kalinya
Sudahlah lepaskan semua
Kuyakin inilah waktunya
Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi
Mungkin saja rasa itu telah pergi

Aku tersentak. Lagu dari Peterpan itu langsung mengingatkanku pada Irham. Spontan aku menepuk dahiku sendiri. Kenapa disaat seperti ini malah yang teringat adalah orang itu? Kenapa disaat seperti ini malah yang terdengar lagu favoritnya?
Aku menjatuhkan kepalaku di meja. Memandangi radio yang masih memutar lagu itu. Ya, bisa dibilang lagu ‘Mungkin Nanti’ itu adalah lagu kenanganku bersama Irham. Dia adalah orang yang membuatku begitu menyukai lagu ini. Aku kembali teringat ketika dia menyanyikan lagu itu untukku. Dan aku kembali teringat pada momen dimana aku benar-benar merasa jatuh cinta padanya.
Mei, 3 tahun lalu.
Aku memandangi Irham yang meneguk es jeruknya dengan brutal hingga membuat tetesan air jeruk itu menetesi dagunya.
“Haus, Mas?”, tanyaku dengan nada meledek. Irham cuek, dia kemudian menyeka mulut dan dagunya dengan ujung kemeja putihnya.
“Gila diluar panas banget. Kipasin kek.”, ujarnya. Aku menggelengkan kepalaku.
“Lagian kamu ngapain nekat kesini tau cuacanya lagi panas begini.”
Irham terkekeh. “Aku kan kangen sama kamu, Olla jelek.”, tangannya meraih hidungku, mencubitnya gemas.
Aku menampik tangannya. “Sakit tau!”
“Duh, juteknya!”, tangannya gantian mencubit pipiku. “Kenapa belom ganti seragam? Besok masih dipake kan?”, tanyanya begitu melihatku masih mengenakan seragam putih-abu.
“Lah, mau ganti baju gimana, kamu aja langsung dateng begitu aku baru sampai rumah. Kamu juga nggak pulang dulu kek, ganti seragam kamu tuh baru sorenya main kesini.”.
“Sebenernya aku udah pulang sekolah dari tadi sih. Tadi ke sekolah Cuma main doang.”
Aku berdecak heran. “Mentang-mentang ujiannya udah selesai jadi seenaknya ya masuk sekolah.”
“Lah, kamu kan juga udah selesai ujiannya. Sama aja dong.”
“Tapi kan aku masih perlu mengurus keperluan buat daftar kuliah, bukan sekedar main doang kayak kamu.”, aku menjewer telinganya pelan. Irham meringis.
“Eh, punya siapa tuh?”, tanya Irham begitu matanya menangkap ada bayangan gitar tergeletak disamping lemari. “Aku yakin sih bukan punya kamu, kamu mana bisa main gitar.”, ejeknya seraya mengambil gitar itu.
Spontan aku menepuk pahanya keras. “Emang kamu bisa? Coba mainin satu lagu buat aku. Cepet!”
Irham memonyongkan bibirnya. “Bisa doong. Kecil ini mah. Kamu mau aku nyanyiin lagu apa?”
“Eeeng..”, aku memutar otak. Memikirkan lagu bagus apa yang sekiranya Irham tau dan bisa membawakannya.
“Ah, kelamaan mikirnya.”, Irham mengibaskan tangannya di depan wajahku.
“Ya sabar kek, aku kan lagi nyari lagu yang bagus.”
“Udah udah, sini aku aja yang pilihin lagunya. Salah satu lagu favorit aku nih.”
“Oh ya?”, aku mencibir, “Lagu apa emang? Jangan bilang kalau lagu dangdut!”
Irham terkekeh. “Bukan kok, ini lagunya abang aku. Hehe.”
Aku tercenung. “Abang?”
Irham tersenyum tipis kemudian mulai memetik gitarnya dan bersenandung. Aku tercengang. Suaranya ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan.

Dan mungkin bila nanti
Kita kan bertemu lagi
Satu pintaku jangan kau coba
Tanyakan kembali
Rasa yang kutinggal mati
Seperti hari kemarin
Saat semua disini

Irham menyanyikan bagian reff lagu itu dengan sempurna. Aku sampai tidak bisa berkata apa-apa saat mendengarnya. Mungkin jika dibandingkan dengan penyanyi lain, dia terbilang masih sangat amatir. Tapi ada sesuatu di dalam suaranya yang membuatku begitu terkesima. Dia menyanyikannya penuh dengan penghayatan, hingga ikut membuatku larut dalam iramanya.
Dan dalam sekejap saja, aku merasa langsung jatuh cinta. Jatuh cinta pada lagu itu, dan jatuh cinta padanya. Pada Irham.

“Tepuk tangannya mana?”, tanya Irham membuyarkan lamunanku. Aku tersentak.
“Oh? Hah? Apa?”
“Kamu ngelamun ya? Aku nyanyi dari tadi kamu dengerin nggak sih?”
Aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal. “I-iya, aku dengerin kok.”, jawabku salah tingkah.
Irham tersenyum lebar, “Kamu terpana ya denger aku nyanyi begini merdunya? Hayoo ngaku!”
“Hah? Ih, pede banget! Enggak lah.”, sanggahku. Padahal nyatanya memang begitu adanya.
“Huu, dasar jelek nggak mau ngaku!”, tangan Irham kembali mencubit hidungku.
“Kamu tuh yang jelek!”, aku balas mencubit pipi dengan kedua tanganku.
Irham kontan memegangi kedua tanganku, menggenggamnya dengan erat. Aku mendadak bergeming.
Namun tak lama Irham melepasnya kemudian menjatuhkan kepalanya dipangkuanku.
“Eh ngapain nih?!”, aku kontan mendorong kepalanya agar bangun dari pangkuanku.
“Mau tiduran, ngantuk.”, ucapnya cuek. Dia meletakan lenganya diatas wajahnya, memejamkan matanya.
Aku tercengang. “Eh, jelek! Jangan tidur disini ah!”
“Bentar doang.”
“Ih, ini anak!”, sungutku kesal. Akhirnya aku membiarkannya tidur dipangkuanku, entah dia tidur sungguhan atau Cuma main-main. Biarlah.
Aku memandanginya penuh dengan tanda tanya. Sebenarnya apa yang Irham rasakan terhadapku? Apa dia punya perasaan yang sama? Apa dia merasa nyaman saat bersamaku? Apakah aku ada dihatinya? Apakah dia tidak memikirkan orang lain selain aku?
Berbagai pertanyaan itu terus berputar dalam otakku, dan entah kapan bisa terjawab. Aku hanya merasa selama ini semuanya serba menggantung. Irham sama sekali tidak pernah mengatakan suka atau benci. Dia hanya terus ada disampingku ketika aku membutuhkannya. Dan aku pun berusaha untuk terus ada disampingnya ketika dia membutuhkan teman untuk bicara.
Namun ketika memandanginya terbaring dipangkuanku ini, ada perasaan yakin menghampiriku. Aku merasa yakin bahwa selama ini Irham merasa nyaman bersamaku, dan mungkin sebentar lagi dia akan mengungkapkan perasaannya.
Aku memandanginya yang masih memejamkan matanya. Dia terlihat begitu tampan saat ini. Tanganku pun menyentuh pelan dahinya, matanya, hidungnya, dan jariku terhenti di bibirnya.
Aku menelan ludahku. Entah ada dorongan dari mana agar aku mencium bibirnya. Kontan aku menggeleng kepalaku keras. Apa ini? Konyol sekali!
Tiba-tiba kurasakan ada yang menepuk perutku. Aku tersentak.
“Eh, udah berapa bulan nih?”, Irham terkekeh sambil menepuk perutku.
“Udahan tidurnya?”
Irham menggeleng. “Maunya sih belom, habisnya empuk sih.”
“Heh!”, spontan aku menepuk pipinya. “Empuk apanya?!”
“Empuk kayak spring bed. Hehehe.”, Irham terkekeh lagi sambil terus menepuk perutku. “Duh, dasar jelek gendut!”
Aku mendengus. “Bangun gih!”
“Ntar.”
“Cepetan bangun!”
“Nggak mau.”
“Kalau nggak bangun aku cium loh!”
Irham tersentak. Aku spontan menutup mulutku dengan kedua tangan. Apa yang barusan aku bilang?!
Namun tak lama kurasakan tangan Irham meraih bahuku. Matanya memandangku tajam. Aku mendadak kikuk dan bingung harus berkata apa.
“Sini.”, ucapnya pelan seraya menarik bahuku agar mendekat ke arahnya.
Aku bergeming, namun kembali kurasakan dorongan untuk mencium itu. Ada pertentangan dalam diriku. Otakku melarangnya, namun hatiku menginginkannya.
Dan pada akhirnya aku menuruti keegoisan hatiku, kemudian memejamkan mataku dan mengecup pelan bibirnya.
*
Aku memukul kepalaku sendiri. Kenapa aku malah kembali mengingat kejadian yang harusnya tidak aku ingat itu? Kembali kujatuhkan kepalaku dan menghantamnya berkali-kali ke meja, sambil dalam hati berharap agar ingatan itu segera enyah dari kepalaku. Betapa konyolnya aku jika terus mengingatnya. Aku tidak mau mengingatnya lagi. Jika teringat kejadian itu, rasanya ingin kuhabisi kepalaku sendiri dengan palu.
Aku menghela napas panjang, bersamaan dengan air mata yang jatuh perlahan ke pipi. Ayolah Irham, bisakah kamu menghilang dari otakku? Aku sudah bisa merelakanmu dengan yang lain, aku sudah tidak mempermasalahkan apapun lagi denganmu. Tapi kenapa masih saja kamu muncul dalam ingatanku?
Aku melirik radio yang masih memutar lagu kenanganku dengan Irham itu.

Tak usah kau tanyakan lagi
Simpan untukmu sendiri
Semua sesal yang kau cari
Semua rasa yang kau beri

Aku tercenung, memikirkan bagaimana jika aku kembali bertemu dengannya. Apa yang akan kulakukan? Apa jika kelak aku bertemu dengannya lagi dia sudah tak bersama kekasihnya?
Hah, apa-apaan ini? Kenapa pikiranku mengacau begini?
Aku mengusap air mataku. Entah kenapa sakit yang dulu kurasakan seperti datang kembali. Luka yang sudah berhasil aku sembuhkan kini terasa lagi. Pikiranku kembali dipenuhi oleh nama Irham, padahal selama ini aku tidak pernah dengan sengaja memikirkannya. Ada apa ini? Apakah mungkin disana Irham tengah memikirkan dan merindukan aku? Ah, yang benar saja. Kalaupun dia merindukan aku, kenapa dia tidak mencoba menghubungiku?
Tiba-tiba handphone ku berdering, menandakan ada pesan masuk.

Assalamualaikum, Olla jelek.

Aku tersentak kaget. Irham?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar