Dia datang
lagi.
Entah apa
yang ada dalam kepalanya, entah makhluk apa yang merasuki dirinya. Aku tidak
mengerti dan tidak ingin peduli. Ya, pada awalnya aku tidak ingin peduli sama
sekali dengannya. Kedatangannya kali ini pasti tidak jauh beda dengan
sebelumnya, dia hanya datang untuk singgah dan pergi begitu saja. Dia hanya
datang mencari kesenangan, mengusir rasa bosan yang melanda dirinya, kemudian
pergi meninggalkan jejak bernama luka. Itu sudah biasa dia lakukan, dan mungkin
dia merasa perlu melakukannya kembali kali ini.
Sempat terpikir
untuk tidak lagi menerima kehadirannya kali ini. Aku terlalu takut jika harus
kembali menelan kecewa, aku terlalu takut jika kembali merasa terluka. Namun selama ini dia masih terlihat peduli
padaku, masih ingat tanggal ulangtahunku bahkan mengirimkan pesan ucapan
selamat pukul 12 malam. Dia juga masih sering menyapaku, dan selalu mencoba
untuk tetap menjaga silaturahmi meski aku tidak mengacuhkannya. Ya, dia masih
tetap berusaha menjalin komunikasi denganku selama ini, namun selalu aku
abaikan karena aku malas menghadapi sikapnya yang seenaknya sendiri. Namun lama
kelamaan, aku merasa bimbang pada diriku sendiri. Disatu sisi aku ingin
menghindarinya, disisi lain aku tidak tega jika harus terus mengabaikannya. Dia
sosok menyebalkan yang tidak mampu aku benci.
Namun
sebenarnya siapakah ‘dia’ itu?
Bisa dibilang
dia adalah orang kurang beruntung yang disukai oleh gadis sepertiku. Kenapa ‘tidak
beruntung’? Jika dia beruntung, maka dia akan merasa bahagia disisiku, dia tidak
akan pergi meninggalkan aku demi gadis lain. Terdengar menyedihkan? Begitulah adanya.
Sering aku
bertanya pada diriku sendiri, apakah segala perasaanku padanya belum benar-benar
hilang sekarang? Kenapa aku masih merasa degupan jantungku tak menentu ketika
dia datang meski hanya lewat pesan? Kenapa aku masih sering merasa rindu
padanya? Apakah itu perasaan yang wajar? Tapi sejujurnya aku tidak ingin lagi
menyimpan perasaan apapun padanya. Selama ini aku selalu berusaha membuang
perasaan ini dengan tuntas dan tanpa menyisakan apapun lagi. Namun nyatanya,
usahaku tidak membuahkan hasil yang kuinginkan. Aku tidak benar-benar bisa
melupakannya. Sejauh ini aku hanya berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya
juga mempedulikannya, bukan untuk membuang namanya dari hatiku. Aku merasa payah,
namun aku bisa apa lagi? Perasaanku terlalu besar padanya dulu, hingga membuat
luka yang sama besarnya pula. Semua itu menyulitkanku.
Namun pada
akhirnya aku harus tetap melihat ke depan, melihat kenyataan yang ada. Aku tidak
boleh terpengaruh pada perasaanku dulu. Kali ini aku harus lebih bijaksana
mengatur ego dan perasaanku. Maka kuputuskan untuk kembali menerima
kehadirannya sebagai temanku. Kurasa itu bukan keputusan yang buruk jika hanya menjadi
teman untuk berbagi cerita, teman yang menemani dengan canda tawa. Hanya sekedar
itu. Lagipula aku juga merasa kasihan padanya jika terus aku abaikan, aku
sendiri pun sudah bosan bersikap angkuh padanya. Dan aku merasa kali ini akan
berbeda dengan sebelumnya. Awalnya aku kira akan sulit menghadapinya jika dia
masih bersikap sama seperti dulu. Namun ternyata sikapnya padaku sudah tidak
seenaknya seperti dulu, dia sudah lebih baik kali ini. Jadi kurasa tidak akan
ada lagi luka atau kecewa. Tidak ada yang perlu aku khawatirkan lagi. Tidak ada
lagi yang harus aku cemaskan. Karena dia adalah temanku, aku adalah temannya.
Ah, lagipula
ada orang lain yang sedang kusukai sekarang. Apa yang perlu aku khawatirkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar