Selasa, 23 September 2014

Sebuah Alasan



“Ada apa denganmu? Apa kamu baik-baik saja? Coba ceritakan padaku, aku bersedia mendengarnya.”
Ada perasaan aneh ketika dia bertanya demikian kepadaku. Terdengar begitu tiba-tiba dan sedikit mengejutkanku. Dia bertanya seolah tahu kalau aku memang sedang dalam keadaan kacau. Dia bertanya disaat yang begitu tepat hingga aku merasa terkejut sendiri. Apa dia bisa membaca isi hatiku? Jika iya, lalu apa dia juga bisa memberi solusi atas keresahanku saat ini?
Ketika dia bertanya seperti itu sebenarnya aku tidak memiliki jawaban apapun untuk kukatakan padanya. Akupun hanya tersenyum tipis dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Namun matanya menunjukkan hal lain, dia seolah tidak mempercayai ucapanku. Dia sedikit mendesakku untuk mengatakan yang sejujurnya. Namun sekali lagi aku hanya bisa mengatakan ‘aku baik-baik saja’. Diapun menyerah dan tidak bertanya lagi.

Aku menghela napas pendek. Ya, sejujurnya aku memang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Aku tengah merasa risau juga kacau. Dan sebenarnya aku memang ingin ada seseorang yang bersedia duduk disampingku dan mendengar keluh kesahku. Namun aku memiliki alasan mengapa aku tidak mengakui perasaan kacau ini padanya. Aku tidak ingin dia tahu bahwa sebenarnya dialah yang menjadi alasan atas segala kerisauanku ini. Akan terdengar sangat tolol jika aku mengatakan padanya kalau semua ini tentang dia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya nanti. Apakah dia akan terkejut dan lari menjauhiku atau tetap disampingku dan merangkulku sebagai kawan baiknya? Entahlah. Aku lebih memilih untuk menutupinya daripada terjadi sesuatu yang lebih buruk dari ini.

Ada banyak hal yang sebenarnya ingin aku katakan  padanya, aku ingin dia tau betapa kacaunya aku saat ini. Aku ingin dia tahu kalau hatiku begitu sakit ketika dia mengatakan telah memiliki kekasih. Aku ingin dia mengerti bahwa aku begitu cemburu ketika dia dengan atau tidak sengaja memamerkan kemesraannya bersama kekasihnya di media sosial. Aku ingin dia memahami sedikit perasaanku yang begitu terluka ketika melihat berbagai foto dan kalimat yang dia tujukan pada kekasihnya. Aku ingin dia sadari bahwa perasaanku padanya masih sebesar dulu. Namun semua itu tidak mampu aku ungkapkan padanya. Semuanya aku pendam dalam hati dan kututupi dengan kalimat ‘aku baik-baik saja’.

Tidak. Aku tidak sedang menyalahkan sikapnya yang seperti itu. Aku hanya tengah kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku yang harus menerima ini semua? Kenapa aku tidak diberi kesempatan untuk bisa memiliki hatinya? Dan kenapa pula aku harus menahan perasaan ini sendiri? Sejujurnya aku lelah, bahkan terlalu lelah menghadapi perasaanku yang kacau ini. Kadang aku tidak mampu mengontrolnya hingga akhirnya membuat air mataku tumpah dengan percuma. Ya, aku menangisi seseorang yang bahkan memiliki perasaan padaku pun tidak. Bukankah itu sangat konyol?

Bukannya aku tidak pernah mencoba untuk melupakan perasaanku padanya. Aku selalu berusaha untuk menyenyahkan namanya dari hatiku. Beberapa kali aku mencoba untuk tidak mengacuhkannya dan bersikap sinis padanya. Namun disaat tertentu, aku kembali diingatkan oleh wajahnya yang tiba-tiba terbayang dalam benakku. Ada juga masa dimana tiba-tiba dia datang menanyakan kabarku dan mengajakku berbincang. Atau dia sekedar lewat melalui status di akun media sosialnya. Semua itu yang membuatku terus ‘bertemu’ dengannya, seolah tidak ada ruang untuk tidak melihatnya. Dan tentu saja semua itu membuatku sulit untuk melupakannya. bukan berarti aku tidak mampu, namun aku yakin perasaan ini akan hilang secara perlahan.

Dan kini akhirnya aku berada di titik dimana aku menyadari bahwa aku tidak pantas lagi untuk memikirkannya. Aku harus pahami bahwa dia tidak menganggapku lebih dari seorang kawan. Aku harus sadari bahwa tidak sepantasnya aku masih memikirkan orang yang telah memiliki kekasih. Dan satu hal lagi yang perlu aku pahami, bahwa segala sesuatu bisa terjadi karena adanya alasan. Aku memiliki alasan mengapa aku bisa jatuh cinta padanya. Dia memiliki alasan mengapa tidak bisa membalas perasaanku. Ada alasan kuat yang membuatku akhirnya mendapat luka ini, juga ada alasan mengapa aku harus membuang perasaan ini. Dan kurasa alasan itu adalah, karena diluar sana ada orang lain yang dipersiapkan untukku yang jauh lebih baik darinya. Ada seseorang yang nantinya akan jadi jodohku yang sebenarnya, seseorang yang terpilih untuk mendampingiku hingga tua kelak.
Dan tugasku kini adalah, hanya menunggu waktu untuk dipertemukan dengan orang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar